32 BAB III
DESKRIPSI PEMBERDAYAAN WARGA BINAAN PEREMPUAN DI LP WANITA Klas III KUPANG
Pada Bab ini penulis akan memaparkan hasil-hasil penelitian antara lain: 1) gambaran
umum tempat penelitian, 2) Kegiatan pembinaan warga binaan perempuan di LP wanita Klas
III Kupang, dan 3) Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh Warga Binaan Perempuan
di LP Wanita kota Kupang.
3.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang adalah Unit Pelaksana Teknis
dilingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI tertuang di dalam Surat Keputusan Menteri
Kehakiman dan HAM RI No.M.HH-09.OT.01.01 TAHUN 2011 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang di lingkungan Kementerian Hukum
dan HAM RI, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M-01.PR.07.10
Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Tata Naskah Dinas.
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang baru beroperasi sejak tanggal 03
September 2012, terletak di kota Kupang di pulau Timor. Kota Kupang merupakan ibukota
dari provinsi Nusa Tenggara Timur, secara geografis pulau Timor diapit disebelah selatan
oleh laut Timor dan di sebelah barat oleh laut Sawu, sebelah utara oleh Selat Ombai dan
daerah enklauve Oekusi (Republik Timor Leste), sebelah timur berbatasan dengan Timor
33
Gambar 1 : Gedung LP Wanita Klas III Kupang.
sebelum beroperasi sejak tanggal 3 September 2012 Warga Binaan Perempuan (WBP) menjalani masa tahanan/masa hukuman di LP Klas II Kupang yang berlokasi tidak jauh dari
LP Wanita ini.
Suku bangsa yang terbesar di berbagai wilayah kerja Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Klas III Kupang dari berbagai suku bangsa Timor, Rote, Sabu, Sumba, Alor, Flores,
dan bahasa daerah yang juga berbeda antara lain: Bahasa Timor/ Dawan dan lain-lain.
Bangunan Lapas Wanita Klas III Kupang seluas 871m2 dibangun pada tahun 2007
menghadap arah barat terletak di jalan Adisucipto, dalam suatu kawasan tanah milik Lapas
Klas IIA Kupang dibangun kantor sederetan Lembaga Pemasyarakatan ke arah utara, berdiri
juga Rutan Kupang dan Kantor Rudenim sedangkan ke arah selatan berdiri Kantor Imigrasi
Kupang. Dibagian timur berdiri Perumahan Lapas Klas IIA Kupang. Kapasitas daya tampung
Lapas Wanita Kelas III Kupang sebanyak : 50 orang, jumlah kamar hunian berjumlah 6
34
Sesuai Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI No. M.HH-09.OT.01.01
TAHUN 2011 tentang Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III tahun 2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III di lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI
telah membangun Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III atau Lembaga Pemasyarakatan
pada berbagai provinsi di Indonesia untuk menampung tersangka atau terdakwa yang sedang
dalam proses persidangan. Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang mempunyai 2
(Dua) wilayah kerja yaitu Wilayah Pemerintah Kota Kupang dan Wilayah Kerja Pemerintah
Kabupaten Kupang.
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III Kupang sebagai salah satu unit pelaksana
teknis di bidang Pemasyarakatan di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kantor wilayah Kementerian Hukum dan
HAM NTT yaitu: melaksanakan sebagian tugas pokok Kementerian Hukum dan HAM
dibidang Pemasyarakatan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III
Kupang mempunyai fungsi :
1. Melakukan pelayanan terhadap tahanan
2. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib Lapas
3. Melakukan pengelolaan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III
Kupang
35 VISI & MISI Lapas Wanita Klas III Kupang:
a. VISI
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas III Kupang dalam tugasnya mengemban visi
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, visinya adalah “Terwujudnya Lembaga
Pemasyarakatan yang unggul dalam pembinaan, prima dalam pelayanan dan tangguh
dalam pengamanan “.
b. MISI
1. Melaksanakan pelayanan yang cepat
2. Memberikan kemudahan yang berkualitas dalam pelayanan terhadap masyarakat.
3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dalam kerangka mengamankan serta menunjang pembangunan
nasional.
Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang dengan 4
(empat) Jabatan Struktural Eselon V yang pada masing–masing jabatan diduduki oleh pegawai sebagai berikut :
1. Kasubsi Admisi & Orientasi : Sarlin Devis Ully
2. Kasubsi Pembinaan : Lela Purwasih Pohan
3. Kasubsi Kamtib : Septerhani Buky,SH
4. Kaur Tata Usaha : Ni Nengah S. Ristha
36
1. Tahun 2012 s/d Tahun 2013 :Elisabeth Kaay,Bc.IP,SH ( Kalapas)1
2. Bulan April s/d Bulan Mei 2013 :Iskandarsyah, Bc.IP. SH (Plt. Kalapas)
3. Bulan Mei s/d Bulan Juni 2013 :Jawas Syafrudin, S.Ag (Plt. Kalapas)
4. Bulan Juni s/d Tanggal 17 Nopember 2013 : Stefanus Lette, SH (Plt. Kalapas)
5. Tanggal 18 Nopember 2013 s/d sekarang : Alfrida, SH, MH (Kalapas)
Gambar 2 : Jadwal Kegiatan Rutin Warga Binaan Perempuan LP Wanita Klas III Kupang.
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan 7 orang Warga Binaan
Perempuan, penulis memaparkan latar belakang dari masing-masing warga binaan dengan
maksud agar dapat dipahami bagaimana makna hidup yang dimiliki oleh masing-masing
warga binaan sebelum mereka melakukan kesalahan dan masuk LP. Dan bagaimana proses
pembinaan di LP Wanita Klas III Kupang yang diberikan kepada mereka sebagai upaya
1
37
pemberdayaan bagi mereka untuk dapat memiliki makna hidup yang positif. Latar belakang
mereka, yaitu sebagai berikut:
1. Ibu RL
Ibu RL merupakan seorang Ibu Rumah tangga, berstatus sudah menikah, berusia 55
tahun dan beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhir adalah SMA. Ibu RL
adalah ibu dari 4 orang anak, 2 orang anaknya sudah berkeluarga sedangkan 2 orang
anaknya yang lain masih kuliah, pekerjaan sehari-hari Ibu RL sebelum masuk LP
adalah menjaga kios kecil di rumahnya, sedangkan suaminya adalah seorang pekerja
swasta di Dili, Timor Leste. Latar belakang kasus yang menyebabkan Ibu RL masuk
LP adalah kasus Human Trafficking, Ibu RL terlibat kasus perdagangan orang ke
Pulau M. Menurutnya, dia tidak berniat menjual orang tetapi sebaliknya dia
menolong orang tersebut untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi ketika orang tersebut
meninggal di pulau M, ibu RL dilaporkan oleh sebuah LSM dengan tuduhan
menjual orang, kemudian dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dihukum selama
7 tahun.
2. Ibu S
Ibu S adalah seorang Janda berusia 41 tahun yang berasal dari kota M, beragama
muslim, pendidikan terakhir SMA. Ibu S memiliki 2 orang anak, dan 1 orang cucu.
Anak pertama sudah berkeluarga, dan anak yang kedua masih SMP. Ibu S tinggal
bersama dengan ibu dan anaknya. Sebelum masuk LP, pekerjaan ibu S adalah
menjadi penyanyi band dengan gaji yang tidak tentu setiap bulannya tergantung
undangan menyanyi yang didapat. Latar belakang kasus yang menyebabkan Ibu S
masuk LP adalah kasus Narkoba (sebagai pecandu dan pengedar), masa hukuman
yang harus dijalani Ibu S adalah 5 tahun. Menurutnya, dia sampai masuk ke dalam
38
karena gaji yang didapat dari hasil menyanyi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga.
3. Ibu SST
Ibu SST adalah seorang janda beranak 4, anak yang pertama berusia 10 tahun dan
anak yang bungsu masih berusia 5 bulan. Ibu SST berusia 30 tahun dan beragama
Kristen Protestan, pendidikan terakhir SMP. Ibu SST merupakan warga binaan
berstatus residivis (orang yang pernah dihukum mengulangi tindak kejahatan yang
serupa) yang sudah 3 kali masuk LP dengan kasus yang sama yaitu kasus pencurian.
Sejak tahun 2005 Ibu SST bekerja di salah satu tempat hiburan malam di Pulau Bali
hingga tahun 2013 Ibu ST memutuskan untuk pulang ke Kupang dan bekerja di
Kupang. Pertama kali Ibu SST masuk LP tahun 2013, karena mencuri uang boss-nya
ketika dia bekerja di salah satu toko di kota Kupang, saat itu dia dihukum selama 1
tahun 6 bulan, kali kedua yaitu tahun 2015 Ibu SST mencuri uang sesama pelanggan
di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Kota Kupang, saat itu Ibu SST dihukum
selama 4 bulan. Dan yang ketiga kalinya adalah bulan juni 2016, ibu SST kembali
dihukum selama 2 tahun 5 bulan karena mencuri uang di salah satu toko di Kota
Kupang. Menurut pengakuannya, alasan dia sampai mencuri adalah faktor ekonomi,
Ibu SST tinggal bersama ibu dan anak-anaknya, ketika hidup bersama suaminya,
suaminya tidak bekerja sehingga Ibu SST yang harus mencari uang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Suami SST kerap meminta uang darinya untuk judi dan pernah
sekali waktu suaminya membawa lari anaknya, dan Ibu SST baru diperbolehkan
bertemu anaknya jika membewa uang untuk suaminya, Ibu ST juga pernah mencuri
dengan alasan harus menebus rumah yang hampir disita karena rumah tersebut
digadaikan ibunya ketika ayahnya meninggal dunia, dan pernah juga dia mencuri
39
4. Ibu HS
Ibu HS merupakan seorang janda berusia 36 tahun, berasal dari Pulau S dan
beragama muslim, pendidikan terakhir SMP. Ibu HS merupakan ibu dari 3 orang
anak, anak yang pertama berusia 13 tahun, anak kedua 10 tahun dan yang bungsu
berusia 8 tahun. Ibu HS merupakan seorang petani. Latar belakang kasus yang
menyebabkan ibu HS masuk LP adalah kasus pembunuhan suaminya. Suami Ibu HS
mempunyai 2 orang istri, Ibu HS adalah istri yang kedua. Menurut pengakuannya,
suaminya tidak memberikan dia perhatian, sehingga dia berselingkuh dengan
seorang pria yang dia sebut sebagai CS-nya. Sebelum kejadian pembunuhan,
suaminya mengetahui perselingkuhannya dan pernah mengancam membunuhnya
dengan parang, setelah tiga bulan kemudian CS-nya datang ke rumahnya dan
membunuh suaminya dengan parang yang ada di rumah ibu HS. Karena kasus ini
Ibu HS dihukum selama 17 tahun dan CS-nya dihukum selama 20 tahun.
5. Sdr. MP
Sdr. MP adalah seorang guru, berstatus masih lajang, berusia 31 tahun dan beragama
Kristen Protestan, pendidikan terakhir Sarjana (S1), merupakan salah satu warga
binaan perempuan yang dipilih menjadi Majelis (pengurus jemaat Mawar Saron LP
Wanita Klas III Kupang) dr. MP dihukum selama 6 tahun karena terbukti
membunuh anaknya yang baru dilahirkan. Motivasinya membunuh karena dia hamil
di luar nikah. Sdr. MP tinggal bersama dengan orang tuanya di Pulau S.
6. Ibu SW
Ibu SW berstatus sudah menikah, berusia 50 tahun dan beragama muslim,
pendidikan terakhir Sarjana (S1). Ibu SW adalah Ibu dari 5 orang anak, yang sulung
berusia 22 tahun dan yang bungsu berusia 7 tahun. Pekerjaan Ibu SW sebelum
40
provinsi NTT. Suami Ibu SW juga adalah seorang PNS. Latar belakang kasus yang
menyebabkan ibu SW masuk ke dalam LP adalah kasus Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) terkait dana fiktif, dengan masa hukuman selama 3 tahun.
7. Ibu EV
Ibu EV adalah seorang janda berusia 25 tahun, memiliki seorang anak yang berusia
2 tahun. Berasal dari kota L dan beragama Kristen Protestan, pendidikan terakhir
SMA. Pekerjaan Ibu EV sebelum masuk LP adalah sebagai waitress di sebuah
restaurant di Hongkong. Latar belakang kasus yang menyebabkan ibu EV masuk LP
adalah sebagai Pecandu dan pengedar Narkoba kelas Internasional, karena kasus ini
Ibu EV dihukum selama 19 tahun. Menurut pengakuannya, dia sampai masuk ke
dunia narkoba awalnya adalah karena pergaulan di luar negeri dengan teman-teman
yang adalah pemakai, kemudian dia juga ikut menjual narkoba tersebut ke Indonesia
dan Timor Leste. Alasan lainnya adalah karena faktor ekonomi, pemasukan dari
hasil transaksi narkoba jauh lebih besar dari pekerjaannya menjadi waitress.
3.2 Kegiatan Pemberdayaan bagi Warga Binaan Perempuan di LP Wanita Klas III Kupang
Tujuan dari pembinaan yang diselenggarakan oleh LP Wanita Klas III Kupang
adalah untuk melakukan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Kedua
pola pembinaan ini dilakukan sebagai upaya perlindungan terhadap warga binaan agar
ketika mereka kembali ke masyarakat mereka dapat diterima oleh masyarakat,
menyadari kesalahan mereka dan tidak mengulanginya lagi dan juga dapat mandiri
tidak tergantung kepada orang lain.2
2
41 3.2.1. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan kemandirian dilakukan agar warga binaan memiliki keterampilan
sebagai salah satu indikator keberhasilan pembinaan kemandirian yang
merupakan bentuk peningkatan sumber daya manusia bagi warga binaan.
Pembinaan kemandirian dilakukan dengan cara memberikan kursus keterampilan,
pihak LP Wanita Klas III Kupang bekerja sama dengan Rumah Tenun Ikat Ina
Ndao dalam pembinaan keterampilan menenun, selain itu ada juga keterampilan
menjahit (tata busana), keterampilan membuat kue (tata boga), dan keterampilan
salon (tata rias), dan kegiatan berkebun. Namun untuk saat ini yang sedang
berlangsung adalah kegiatan menenun dan juga membuat hiasan dari muti.
Pelatihan keterampilan ini berlangsung setiap hari senin sampai dengan jumat
pada pukul 09.00-12.00 WITA dan setelah itu dilanjukan lagi pada pukul
15.15-16.45 WITA. Kasubsi Pembinaan yaitu Ibu LP mengatakan bahwa
“Untuk saat ini kegiatan yang sedang berjalan adalah menenun dan membuat hiasan dari bahan muti, kalau menjahit sementara tidak berjalan karena kami kekurangan dana untuk membeli bahan.” 3
Hal yang sama juga dijelaskan oleh ibu Kalapas Wanita Klas III Kupang:
”Pembinaan keterampilan atau kegiatan kerja, mereka sementara ini sedang pelatihan menenun, itu kita kerja sama dengan rumah tenun ikat khusus. Kemudian pelatihan menjahit, kita juga pernah kerja sama dengan UNDANA kita dapat sponsor dari sana jadi mereka siapkan instruktur, siapkan bahan-bahan tinggal kita tunjuk narapidana unuk kursus. Hanya saja kegiatan menjahit sementara tidak berjalan karena kami kendala tidak punya bahan, untuk beli bahan belum ada dana. Untuk 2016 ini tidak ada dana kerja, kita hanya berusaha untuk mencari mitra di luar. Kita juga pernah kerja sama dengan LSM „tegar‟ untuk kursus menjahit. Cukup banyak dari pihak luar yang bersimpati dengan kami Lapas Wanita.
3
42
Kemudian ada juga kegiatan berkebun, saya hanya modali 100ribu unuk beli pupuk dan bibit bisa ratusan ribu hasilnya. Mereka menanam sawi dan selada, yang beli adalah kita petugas, saya juga beli lagi dari mereka. Uangnya dipegang oleh petugas tapi ada sedikit yang kita berikan kepada mereka sebagai upah. Hanya saja yah memang lahan kita terbatas, tetapi cukup untuk memberikan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka”.4
Kegiatan keterampilan ini diadakan setiap hari dan merupakan kegiatan
wajib bagi Warga binaan, hal ini dilakukan untuk menjauhkan warga binaan dari
perasaan jenuh dan bosan dalam menjalani masa hukuman di dalam LP. Selain itu
juga kegiatan ini memiliki tujuan agar ketika warga binaan dibebaskan nanti
mereka dapat mempunyai modal keterampilan dan tidak menjadi “sampah”
masyarakat. Pelaksanaan pembinaan kemandirian ini dilakukan dengan harapan
bahwa dapat meningkatkan sumber daya manusia bagi warga binaan sehingga
mereka dapat merasakan bahwa sebagai pribadi dan warga negara Indonesia
mereka juga mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara seperti
warga negara Indonesia lainnya.
Tanggapan Warga Binaan Perempuan terkait dampak yang dirasakan dari
Program pembinaan kemandirian di LP Wanita Klas III Kupang sebagai berikut:
Ibu RL mengatakan:
“Saya ikut pelatihan tenun. Bersyukur ada kegiatan semacam ini karena kami bisa alihkan stress. Bisa mengurasi rasa bosan juga. Kalau sudah bosan bisa muncul pikiran yang aneh-aneh. Kegiatannya cocok untuk ibu-ibu karena di sini kan LP Wanita, perempuan semua.”5
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibu SST:
“beta ikut tenun deng bikin muti. tapi kadang-kadang kalo kawan dong dari kios koperasi minta tong bikin kue, b ikut bantu, tapi itu ju kalo ada pesanan dolo ke seratus lebih pesanan, biasa yang pesan dari luar, ada LP Dewasa, dia pu kegiatan bae ju, ketong jadi sonde talalu bosan di sini, cukup menolong.” (Saya ikut tenun dan bikin muti. Tapi kadang-kadang kalau teman-teman dari kios koperasi minta
4
Wawancara dengan Ibu Kalapas, tanggal 25 okober 2016, Pkl. 08.41 WITA
5
43
bantuan untuk bikin kue, saya ikut bantu, tapi itu kalau ada pesanan dulu misalnya berapa ratus, biasa yang pesan dari luar seperti dari LP Dewasa. Baik juga kegiatannya. Jadi kita tidak terlalu bosan di dalam sini. Cukup menolong).6
Menurut Ibu RL dan Ibu SST kegiatan pembinaan pemasyarakatan
khususnya kegiatan keterampilan, cukup menolong mereka dalam mengatasi
rasa bosan dan stress saat menjalani masa hukuman di dalam LP.
Ibu SW mengatakan:
“Kegiatan pembinaan yang ada sekarang membuat hiasan muti dan menenun. Iya saya rasa kegiatannya positif yah, karena yang tadinya tidak tahu menenun itu bagaimana jadi tahu sekarang. Menurut saya semacam refreshing begitu, karena kalau tidak ada kegiatan seperti ini bisa stress kita. Bisa juga keterampilan yang didapat kita pakai kalau sudah bebas, tapi mungkin untuk bikin muti masih mudah alat dan bahannya didapat, tapi kalo tenun mau buka usaha sendiri juga kendala kalo tidak punya bahan.”7
Demikian juga menurut Ibu S:
“Untuk kegiatan keterampilan ada tenun, ada juga bikin muti. Saya pernah ikut juga dua-duanya tapi saya lebih banyak di dapur, karena sudah dibagi-bagi tugasnya. Saya tugasnya masak untuk makan, jadi begitu sel dibuka pagi hari saya langsung di dapur. Kegiatannya positif untuk ibu-ibu di sini.”
Menurut Ibu SW dan Ibu S kegiatan pembinaan keterampilan yang
ada adalah kegiatan yang positif karena bisa menjadi bekal bagi Warga
Binaan Perempuan ketika bebas nanti, tetapi kendalanya adalah untuk
keterampilan tenun Warga Binaan akan kesulitan menerapkannya ketika
kembali ke masyarakat karena untuk menjadikan itu suatu lapangan
pekerjaan sendiri tetapi tidak memiliki alat dan bahan akan sia-sia saja.
Selain itu Warga Binaan Perempuan sudah dibagi-bagi tugasnya, selain
mengikuti pelatihan keterampilan ada yang sudah tugasnya memasak di
6
Hasil wawancara dengan Ibu SST, tanggal 20 Oktober 2016, Pkl. 09.24 WITA
44
dapur, ada yang bertugas menjaga kios koperasi di dalam LP,
membersihkan ruangan Kalapas dan pegawai, dan berkebun.
Ibu EV mengatakan:
“Kegiatan pembinaannya saya ikut yang tenun. Biar tidak jenuh. Daripada duduk-duduk saja juga tidak baik, apalagi perempuan kalau sudah duduk cerita pasti rentan konflik. Cukup membantu untuk melewati hari, bisa jadi sumber pendapatan juga kalo keluar nanti, tapi yang hukumannya lama seperti saya belum berpikir ke sana. Harapan saya yang paling besar adalah bisa dapat remisi (pengurangan masa tahanan), kasus khusus seperti narkoba kan tidak dapat remisi sama sekali. ”8
Demikian juga dengan Ibu HS:
“Iya, ikut tenun. Ikut kegiatan itu jadi sesaat bisa lupa dengan masalah, beban, tapi kalo duduk sendiri lagi pasti pikiran lagi. Karena masa hukuman saya yang lama.”9
Menurut Sdr. MP:
“Semua kegiatan pembinaan di sini positif, saya ikut dua-duanya. Tapi saya lebih banyak kalo pagi bantu-bantu membersihkan ruangan dan juga menjaga wartel di dalam LP, kalau ada keluarga warga
dengan yang lainnya bahwa pembinaan melalui kegiatan keterampilan ini adalah
kegiatan yang positif dan sangat menolong mereka di dalam LP ketika menjalani
hukuman, yaitu dapat mengurangi rasa bosan dan stress tetapi bagi Ibu EV dan
Ibu HS yang memiliki masa hukuman yang lama (diatas 10 tahun) tampaknya
8
45
itu tidak terlalu menolong dalam mengatasi pergumulan batin mereka ketika
diperhadapkan dengan masa hukuman yang sangat lama yang harus dijalani.
3.2.2. Pembinaan Kepribadian
Pembinaan Kepribadian dilakukan agar warga binaan tidak saja dibina
untuk menjadi manusia yang mandiri tetapi memiliki moral dan mental yang baik.
kegiatan pembinaan kepribadian ini meliputi, 1) pembinaan jasmani, yang mana
pembinaan ini dilakukan dalam usaha menyelaraskan antara kebutuhan Rohani
dan Jasmani, maka dijadwalkan setiap hari kecuali hari sabtu, ada kegiatan
olahraga seperti senam bersama.
2) Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari pembinaan kesehatan
jasmani, di dalam LP Wanita Klas III Kupang, terdapat 1 orang perawat yang
melayani pemeriksaan kesehatan warga binaan, LP wanita tidak memiliki dokter
sendiri sehingga perawat hanya memeriksa kesehatan warga binaan dan untuk
beberapa penyakit yang masih dikategorikan ringan seperti demam, pilek, dan lain
sebagainya langsung diberikan obat oleh perawat di tempat. Tetapi jika
penyakitnya membutuhkan penanganan lebih lanjut maka akan dilanjutkan ke
rumah sakit. Adapun beberapa kegiatan pelayanan kesehatan, maupun penyuluhan
yang biasanya diadakan di dalam
LP Wanita Klas III Kupang
GSF ( HIV Dan Narkoba );
Pelayanan Kesehatan Terpadu;
Pemberantasan tuberculosis (TBC) Kerja sama dengan Puskesmas
46
YAKITA (AIDS dan NARKOBA)
Selanjutnya, 3) kegiatan pembinaan kesadaran beragama/pembinaan
kerohanian. Usaha ini dilakukan agar warga binaan perempuan dapat menyadari
akibat dari perbuatan yang salah dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.
Dalam melakukan pembinaan kerohanian bagi Warga Binaan di LP Wanita Klas
III Kupang bekerja sama dengan Kementerian Agama Kota Kupang; Persekutuan
Doa Untuk Warga Binaan Pemasyarakatan; serta Kelompok Gereja dan
Persekutuan Doa.
Pada tanggal 20 juli 2013 gedung gereja di LP Wanita Klas III Kupang
ditahbiskan/diresmikan sebagai jemaat GMIT oleh Majelis Sinode GMIT dan
diberi nama “Mawar Saron” yang berarti bunga mawar dari lembah Saron yang
dapat memberikan keharuman dan keindahan bagi dunia. Nama yang memberi
motivasi bagi setiap warga jemaat untuk memiliki harapan yang sama. Gedung
gereja ini digunakan secara bersama-sama oleh warga Katolik & warga Kristen
Protestan.
Jemaat (warga binaan) yang ada dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Klas III Kupang berasal dari berbagai latar belakang gereja/denominasi (GMIT,
GBI, GPDI, dan GSJA) dan berbagai latar belakang tempat di wilayah Nusa
Tenggara Timur (NTT), Bali, Lampung dan merupakan jemaat tidak tetap
(transit) dengan jumlah umat yang selalu berubah-ubah sesuai masa menjalani
proses hukumannya masing-masing.
Jumlah umat Kristen, katolik dan islam setiap bulan berkisar antara 50 s/d
85 orang tergantung kasus & lamanya penahanan. Untuk sementara data warga
binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas III Kupang sampai saat ini
47
orang, GBI 4 orang, GPDI 1 orang, dan GSJA 1 orang), Katolik 23 orang, Islam
15 orang.
Pendeta, Pastor, dan Imam sebagaimana mestinya tidak bebas mengatur
pelayanan bagi jemaatnya karena dibatasi oleh ruang dan waktu. Selain pelayanan
bimbingan rohani (konseling pastoral) dan pihak agama Provinsi NTT, dari
Kementrian Hukum dan HAM provinsi NTT, dari BNN (Badan Narkoba
nasional) yang secara rutin dilaksanakan setiap bulan, 2 kali kunjungan.
Pendeta dibantu beberapa orang majelis jemaat yang disebut imamat am
orang percaya (pengurus gereja) yang menyerahkan hidupnya untuk melayani
Tuhan dalam gereja, menata dan mengelola administrasi dan keuangan gereja
untuk kepentingan pelayanan gereja.
Karena masa penahanan warga binaan perempuan yang dipilih menjadi
majelis berbeda/bervariasi dengan berbagai kemampuan yang terbatas maka
periodik pelayanan mereka tidak berlangsung sebagaimana mestinya di jemaat,
yaitu 4 tahun per periodik, melainkan tiap periodik hanya terdiri dari satu (1)
tahun pelayanan.
Kegiatan Pembinaan Kerohanian khusus untuk yang beragama Kristen
Protestan dilakukan setiap hari Senin, Rabu dan Minggu. Pada hari senin di
minggu pertama dan ketiga pembinaan rohani dilayani oleh pembina rohani dari
Departemen Agama, kegiatan pembinaan yang dilakukan yaiu ibadah atau PA
(Pemahaman Alkitab), pada hari rabu dilayani oleh pelayan jemaat Mawar Saron,
kegiatan pembinaan yang dilakukan adalah PA dan Konseling. PA dilakukan
setiap minggu pertama dan ketiga, sedangkan konseling di minggu kedua dan
keempat, masing-masing kegiatan berlangsung selama 2 jam. Setiap hari sabtu
48
minggu ibadah untuk umat Kristen Protestan pukul 08.00-10.00 WITA, dan
Katolik Pukul 10.00-12.00 WITA.
Ibu Kalapas menjelaskan,
”Untuk Pembinaan kerohanian, kita bekerja sama dengan denominasi gereja karena kalau dari pihak lapas kita tidak punya skill ke situ, jadi harus bermitra dengan denominasi gereja dari luar unuk pembinaan kerohanian. Minggu pertama dan minggu ketiga setiap hari senin pembinaan rohani dari DEPAG untuk yang agama kristen protestan, hari sabtu dan minggu untuk katolik dari DEPAG dan ada konseling dari pendeta setiap hari rabu di minggu kedua dan kempat begitu juga dari katolik, hari minggu ada ibadah minggu. Hari sabtu juga ada denominasi dari luar untuk pembinaan kerohanian. Untuk muslim juga ada kegiatan kerohanian dari DEPAG, selama bulan puasa setiap hari ada pembinaan untuk umat muslim.11
Pelayanan ibadah bagi Kristen Protestan yang berlangsung setiap hari
minggu Pukul 08.00 Wita tidak hanya dihadiri oleh anggota jemaat yang adalah
warga binaan tetapi keluarga dari warga binaan juga diizinkan untuk mengikuti
ibadah bersama-sama pada kesempatan tersebut. Jumlah anggota keluarga yang
diizinkan masuk dibatasi jumlahnya, yaitu 2 orang anggota keluarga dari
masing-masing warga binaan, izin masuk diberikan setelah melalui proses pemeriksaan
(penggeledahan) oleh petugas LP. Pemeriksaan (penggeledahan) tidak saja
dilakukan terhadap anggota keluarga tetapi para pelayan ibadah, seperti pendeta,
pastor dan uztadjah juga harus melalui tahap pemeriksaan (penggeledahan)
sebelum masuk.
Ibu Kalapas menjelaskan bahwa:
“Untuk keluarga yang mengikuti ibadah bersama wbp setiap hari minggu saya batasi 2 orang anggota keluarga inti dari masing-masing wbp, dan ketika masuk kami harus melakukan penggeledahan (pemeriksaan) terlebih dahulu. Dan saya berencana suatu saat nanti aturan tersebut akan saya hilangkan, cukup wbp saja yang beribadah di dalam, karena LP dan rutan di manapun di seluruh indonesia tidak ada atura n yang mengharuskan keluarganya ikut ibadah di dalam LP atau Rutan.
11
49
Terkait dengan proses Pemeriksaan itu berlaku bagi semua orang yang masuk ke lingkungan LP, baik itu keluarga, pegawai bahkan pembina rohani. Hal ini untuk keamanan. Melewati pintu ketiga semua harus steril”.12
Selanjutnya tentang konseling, konseling merupakan bagian dari
pembinaan rohani yang dilakukan oleh pendeta jemaat Mawar Saron, konseling
ini dilakukan agar setiap warga binaan dapat memiliki waktu khusus secara
pribadi dengan pendeta untuk menceritakan masalah yang mereka alami.
Konseling dilakukan dua kali dalam sebulan. Pelayanan konseling diberikan
kepada warga binaan secara bergiliran sesuai dengan daftar nama (jadwal) yang
telah dibuat, jadwal tersebut diumumkan pada saat ibadah minggu. Hal ini
dilakukan karena pelayanan konseling dibatasi oleh waktu dan agar semua
anggota jemaat mendapatkan giliran konseling, sehingga akibatnya konseling
hanya bisa dilakukan satu kali untuk satu warga binaan, kecuali untuk warga
binaan yang masa tahanannya cukup lama setelah beberapa bulan kemudian bisa
kembali konseling.
Pada saat konseling pertama-tama pendeta berusaha membangun
hubungan dengan konseli dengan cara menjelaskan peran pendeta bagi konseli
agar tidak ada kesalahpaman dari konseli, agar konseli memahami bahwa
keberadaan pendeta di LP berbeda dengan polisi ataupun pegawai LP, dan agar
pada saat konseling konseli tidak merasa seperti diinterogasi, dintervensi dan lain
sebagainya dengan demikian mereka mau membuka diri dan menceritakan
masalah mereka. Saat konseli sudah bisa menceritakan masalahnya, kemudian
pendeta memberikan pandangan-pandangan yang mungkin dapat menolong
konseli menghadapi masalahnya, selanjutnya pendeta mendoakan konseli.
12
50
Karena karakter yang berbeda-beda pada setiap warga binaan sehingga
pada saat konseling dilakukan ada warga binaan yang mudah untuk membuka diri
dan menceritakan masalah, ada yang sangat tertutup sehingga hanya bisa
menangis dan tidak bisa mengutarakan masalahnya. Tetapi dalam situasi yang
demikian pendeta tetap menuntun dengan perlahan-lahan agar konseli mau
membuka diri saat konseling.
Dalam 1 hari konseling hanya bisa dilakukan untuk 1 orang warga binaan
karena masing-masing warga binaan punya masalah yang berbeda-beda, ada
warga binaan yang punya suatu masalah inti tetapi ada masalah-masalah lain
yang ternyata memiliki keterkaitan sehingga sangat kompleks. Pada umumnya
WBP memiliki masalah yang berawal dari masalah Rumah Tangga yang sudah
memuncak yang tidak bisa diatasi lagi sehingga diambil jalan pintas yaitu
tindakan kriminal. Menurut keterangan Ibu Pendeta bahwa kejahatan yang
dilakukan WBP karena “akar pahit” yang sudah disimpan sangat lama, pada
umumnya perempuan lebih sabar daripada laki-laki tetapi karena
masalah-masalah yang dipendam menjadi “akar pahit” sudah terlalu lama dan banyak dalam hidupnya akhirnya mereka melakukan tindakan kriminalitas, kecuali kasus
penganiayaan atau pengeroyokkan itu merupakan tindakan spontanitas.
Berikut adalah tanggapan dari Warga Binaan perempuan terkait dengan
kegiatan Pembinaan Kerohanian khususnya konseling yang ada di dalam LP
Wanita Klas III Kupang:
Ibu RL seorang warga binaan perempuan berlatar belakang kasus Human
51
“Konseling ada, pendeta yang layani konseling, dilakukan secara bergilir, jadi tidak bisa sesuka hati ketemu pendeta untuk konseling sudah ada jadwalnya dan ada batas waktu. Mungkin kalau waktunya ditambah kami bisa lebih merasakan manfaat konseling itu. Yah kita butuh teman cerita, butuh penguatan dari ibu pelayan. Kalau cerita di teman mereka juga ada punya masalah masing-masing, kalau kita curhat ke mereka nanti bertambah-tambah lagi masalah mereka. Tapi karena waktu sedikit kita ketemu Ibu Pendeta tidak bisa leluasa. Jadi susah juga, berdoa sendiri saja”13
Demikian juga dengan Ibu SST, seorang residivis kasus pencurian:
“ jadi konseling di sini tuh su ada dia pung jadwal, kalo dapa panggil untuk konseling baru ketong pi. Kalo mau bilang butuh ketong semua butuh, apalai di dalam sini ketong semua orang-orang bermasalah. Biasa kalo konseling tuh ketong cerita masalah, trus ibu pendeta kasih penguatan deng firman Tuhan, buka ketong pung pikiran, trus ibu pendeta doakan ketong. Yang sekarang su bae tapi ketong sonde bisa lama -lama deng ibu pendeta.” ((Jadi konselingnya sudah ada jadwal, kalau dipanggil untuk konseling kita pergi. Kalau soal butuh, kita semua butuh apalagi di dalam sini kita semua orang-orang bermasalah. Biasanya kalo konseling cerita masalah, ibu pendeta kasih penguatan dengan firman Tuhan, buka kita punya pikiran, lalu ibu pendeta doakan. Yang ada sekarang sudah baik, tapi kami tidak bisa punya waktu yang banyak dengan ibu pendeta)14
Menurut Ibu RL dan Ibu SST bahwa sebagai warga binaan mereka
sangat membutuhkan pelayanan konseling karena mereka adalah
orang-orang yang bermasalah sehingga perlu untuk mendapatkan arahan dan
penguatan dari pelayan Tuhan, dan ada hal-hal yang tidak bisa mereka
ceritakan kepada teman sesama warga binaan karena masing-masing
memiliki masalahnya sendiri-sendiri.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sdr. MP terpidana kasus
pembunuhan:
“Menurut saya pribadi konseling itu penting, tetapi karena waktu yang kurang jadi kurang maksimal. Sebenarnya kami berharap waktunya bisa ditambah lagi. Orang-orang seperti kami ini butuh sekali yang namanya
13
Hasil wawancara dengan Ibu RL, tanggal 19 oktober 2016, Pkl. 10.32 WITA
14
52
konseling, bisa bercerita dengan ibu pendeta, dapa t penguatan, berdoa bersama-sama secara pribadi dengan pendeta setidaknya bisa menolong kami agar kami kuat secara mental dan spiritual menjalani hukuman.”15
Ibu EV warga binaan perempuan kasus Narkoba juga menambahkan:
“Tidak semua hal bisa kita ceritakan dengan teman karena kadang kita cerita malah cerita kita dijadikan bahan gosip ke teman lain. Kalau dengan pendeta kan lebih nyaman. Apalagi yang masa hukumannya lama seperti saya diatas 10 tahun, tentunya sangat stress dan sangat membutuhkan konseling. Menurut saya kalau bisa waktu konseling ditambah lagi.”16
Menurut Sdr. MP dan Ibu EV, konseling yang ada sekarang waktunya
sangat kurang sehingga kurang maksimal, terutama bagi warga binaan yang masa
hukumannya diatas 10 tahun dan merasa kehilangan harapan.
Tidak saja dari warga binaan yang beragama kristen protestan, Ibu S
terpidana kasus narkoba yang beragama muslim juga merasa bahwa konseling
sangat dibutuhkan bagi warga binaan, tetapi di muslim tidak ada yang namanya
pelayanan konseling.
Ibu S mengatakan:
“Konseling hanya ada untuk yang kristen dan katolik, di kami (muslim) tidak ada. Kalau ada, saya rasa kami juga perlu, mungkin bisa lebih lega kalau bisa menceritakan masalah kami dan mendapatkan solusi.17
Jadwal kegiatan pembinaan kerohanian bagi warga binaan perempuan
yang beragama muslim adalah setiap hari kamis oleh pembina rohani
(Uztadjah) dari Depag, kegiatannya yaitu mengaji tidak ada kegiatan seperti
konseling.
15
Hasil wawancara dengan Sdr. MP, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 10.11 WITA
16
Hasil wawancara dengan Ibu EV, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 11.03 WITA
17
53
Terkait dengan masalah waktu konseling ini dilakukan sesuai dengan waktu
yang telah dijadwalkan dari LP, Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Pdt. Irene bahwa:
“Proses konseling kami lakukan secara bergiliran sesuai daftar nama warga binaan yang merupakan anggota jemaat Mawar Saron, dilakukan secara bergiliran karena semua kegiatan warga binaa n di dalam LP telah dijadwalkan. Saya tidak setiap hari ada bersama -sama dengan mereka di LP, konseling hanya dilakukan dalam 2 kali dalam sebulan dan dilakukan hanya dalam 1 atau 2 jam.”18
Ibu Pdt Irene juga menambahkan bahwa konseling adalah salah satu
tugas pelayanan gereja yang sangat penting dan menjadi tanggung jawab
gereja untuk menolong dan membimbing warga jemaat ke arah yang lebih
baik dan benar. Pelayanan konseling pastoral juga menjadi bagian yang
integral dalam gereja karena warga jemaat tidak dapat bertumbuh dengan
sehat hanya melalui pelayanan ritual /ibadah, tetapi juga membutuhkan
sentuhan-sentuhan kasih, perhatian dan kepedulian seorang pendeta terhadap
persoalan-persoalan krusial yang dihadapi warga jemaat secara pribadi atau
dalam kehidupan bersama di tengah-tengah keluarga, masyarakat & bangsa
dalam berbagai tugas dan pekerjaan setiap hari. Oleh karena itu seorang
gembala tidak cukup menuntun para warga jemaat melalui pemberitaan
firman, sakramen-sakramen dan kunjungan formal, disiplin gereja, dll yang
bersifat ritual semata, tetapi juga menolong warga jemaat untuk dapat
memahami berbagai gejolak yang muncul akibat dari pergumulan persoalan
yang sedang diperhadapkan kepadanya sehingga ia dimampukan untuk bisa
menemukan jati dirinya sendiri dan persoalan yang melilit kehidupannya
serta berusaha untuk keluar dari berbagai kesulitan dan kesesatan hidup.19
18
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt.Irene, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 01.14 WITA
19
54
Hal ini dijelaskan oleh Ibu kalapas:
“Untuk porsi pembinaan rohani dan pemasyarakatan sebenarnya harus seimbang. Karena di samping pembinaan kerohanian kita harus kasih pembinaan keterampilan juga, agar mereka tidak bosan sehingga kami variasi kegiatannya. Untuk jadwal konseling memang disesuaikan dengan kebutuhan saja, karena tidak mungkin setiap hari hanya konseling saja kegiatan di sini. Karena saya juga perhatikan hanya tertentu saja yang mau konseling. Mereka sudah punya kegiatan tetap yang sudah dijadwalkan sejak mereka bangun sampai mereka tidur. Terkait jadwal konseling, selama ini saya tidak pernah mendengar keluhan dari staf bagian pembinaan maupun warga binaan bahwa konseling perlu ditambah jam, berarti mereka tidak terlalu butuh.”20
Menurut Ibu Kalapas jadwal yang telah dibuat terkait dengan jadwal
kegiatan rutin warga binaan sudah baik dan seimbang antara pembinaan
pemasyarakatan dan pembinaan rohani selain itu juga hal tersebut sudah sesuai
dengan kebutuhan warga binaan.
3.3 Permasalahan warga binaan perempuan di LP wanita Klas III Kupang. a) Masalah yang bersumber dari diri sendiri
Warga Binaan Perempuan yang sedang menjalani masa hukuman di dalam LP
wanita tentunya memiliki latar belakang kasus yang berbeda-beda dan masa
hukuman yang berbeda-beda juga, tapi ada juga yang latar belakang kasusnya sama
tetapi masa hukuman berbeda. Ada yang merupakan pengalaman pertama kali
menjadi Warga Binaan tetapi ada juga yang berstatus residivis yaitu warga binaan
yang sudah lebih dari satu kali masuk LP dengan kasus yang sama. Respon diri
terhadap hukuman yang dijalani tersebut juga berbeda-beda pada setiap Warga
Binaan, ada yang bisa menerima dengan ikhlas tetapi ada juga yang belum sepenuh
hati menerima hukuman tersebut karena merasa bahwa hukuman yang diberikan
20
55
tidak sesuai, tidak merasa diri melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan, dan
lain sebagainya.
Salah satu Warga Binaan yang terlihat ikhlas menjalani hukumannya adalah
Ibu S, Ibu S mengatakan:
“Mungkin ini teguran dari Tuhan, supaya saya sadar kalau narkoba itu memang tidak baik, supaya saya bisa terlepas dari narkoba. Saya hanya sedih kalau ingat anak saya dan keluarga saya, karena saya harus menjalani masa hukuman 5 tahun di Kota ini. Jarak yang jauh dari mereka, kadang-kadang saya rindu dan itu yang membuat saya sedih.”21
Ibu S menyadari kesalahan yang dilakukannya, dan dia menganggap bahwa
hukuman yang diterimanya adalah teguran dari Tuhan sehingga dia ikhlas menerima
hukuman tersebut, namun jarak yang jauh dari keluarganya yang membuat dia sedih
karena rindu, tidak ada keluarga ataupun teman yang menjenguknya di LP karena
semua kenalan dan keluarganya berada di Kota M.
Berbeda dengan Ibu S, Ibu RL merasa bahwa hukuman yang dia jalani
bukanlah sesuatu yang harus dia terima karena menurutnya dia sama sekali tidak
melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan kepadanya.
”Bukan saya masuk penjara saya juga bingung saya salah apa, saya niat tolong orang supaya bisa dapat kerja tapi setelah 4 tahun dia kerja di kota M dia meninggal di sana, saya yang awalnya hanya membantu dia untuk berangkat ke kota M kemudian dituduh jual orang.”22
Sama halnya dengan Sdr. MP yang merasa tidak pantas menerima hukuman
karena merasa apa yang dilakukannya bukanlah sesuatu kesalahan yang harus
sampai membuat dia masuk penjara, Sdr. MP mengatakan:
“Sebenarnya saya korban juga, tetapi mereka tidak peduli dengan posisi saya. Apa yang saya lakukan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara lain tanpa harus berakhir di penjara apalagi dengan masa hukuman yang lama (6 tahun), saya dikenai pasal yang tidak sesuai. Saya sedih, marah, kecewa tapi mau bagaimana lagi, berusaha ikhlas saja.”23
21
Hasil wawancara dengan Ibu S, tanggal 18 oktober 2016, Pkl.10.07 WITA
22
Hasil wawancara dengan Ibu RL, tanggal 19 oktober 2016, Pkl. 10.32 WITA
23
56
Demikian juga dengan Ibu SW yang terjerat kasus Korupsi (TiPiKor), Ibu SW
mengatakan
“Saya cuma bawahan di kantor punya jabatan sebagai bendahara, saya hanya ikut perintah atasan saya. Namanya juga bawahan, jadi saya harus mengikuti perintah atasan, tetapi menurut UU (Undang-Undang) saya dianggap turut serta melakukan kesalahan tersebut sehingga saya juga dihukum, tetapi secara pribadi saya merasa saya adalah korban.”24
Ibu RL, Sdr. MP dan Ibu SW merasa bahwa hukuman yang mereka dapat
merupakan sesuatu yang tidak seharunya mereka jalani, menurut mereka tidak
semua orang masuk ke dalam LP karena mereka benar-benar bersalah, tetapi
terkadang juga merupakan korban dari ketidakadilan dalam proses persidangan.
Ada juga Warga Binaan Perempuan yang sadar bahwa yang mereka lakukan
adalah sebuah kesalahan tetapi merasa tidak ikhlas dengan masa hukuman yang
diberikan. Seperti yang dirasakan oleh Ibu HS yang dihukum karena kasus
pembunuhan, ibu HS mengatakan:
“Bukan saya yang melakukan pembunuhan itu, saya tidak bunuh suami saya, saya punya cs yang bunuh. Dia bunuh pakai saya punya parang di rumah, saya lihat kejadiannya karena saat itu saya ada di situ juga, saya ada di situ juga. saya sadar saya salah karena sembunyikan kasus ini selama 1 bulan lebih, waktu kasus pembunuhan ini terbongkar saya dituduh terlibat dalam pembunuhan berencana. Saya merasa bahwa masa hukuman yang diberikan tidak adil untuk saya, saya tidak melakukan pembunuhan tetapi saya dihukum selama 17 tahun.”25
Ibu HS menyadari kesalahannya karena menyembunyikan kasus
pembunuhan, tetapi dia masih belum bisa menerima masa hukuman yang begitu
lama diberikan kepadanya, di tambah lagi keluarga Ibu HS yang tinggal berbeda
Pulau dengan dia yaitu di Pulau S, dia tidak memiliki kenalan di Kota Kupang dan
tidak ada yang menjenguknya sehingga hal tersebut semakin membuat dia merasa
sedih.
24
Hasil wawancara dengan Ibu SW, tanggal 21 oktober 2016, Pkl. 09.12 WITA
25
57
Demikian juga Ibu EV yang harus menjalani masa hukuman selama 19 tahun
karena kasus narkoba, Ibu EV mengatakan
”Saya belum bisa sepenuhnya ikhlas dengan hukuman yang diberikan kepada saya. 19 tahun itu waktu yang sangat lama. Keluarga dan anak saya yang berusia 2 tahun ada di Kota L dan mereka belum tahu kalau saya di penjara, saya sengaja merahasiakannya karena tidak mau mereka khawatir. Saya harusnya bisa lebih hati-hati karena hal ini bukan hal baru bagi saya, waktu itu saya hanya kurang beruntung.”26
Ibu EV merupakan seorang pecandu dan juga pengedar Narkoba, dia
menyesali hukuman 19 tahun yang harus dijalani apalagi untuk kasus khusus seperti
kasus Narkoba tidak mendapatkan redmisi. Ibu EV lebih menunjukkan
penyesalannya tentang lamanya hukuman yang diberikan dan juga menyesal karena
dia kurang hati-hati sehingga dia tertangkap dibandingkan menunjukkan penyesalan
atas kesalahan yang dilakukannya.
Respon yang sama juga diberikan oleh seorang Warga Binaan berstatus
residivis dengan kasus pencurian, yaitu Ibu SST. Ini merupakan kali ke-3 ibu SST
masuk ke dalam LP karena kasus yang sama, Ibu SST mengatakan,
“beta pencuri karena beta terdesak, kalau beta sonde curi waktu itu mungkin beta pung rumah su kena sita. Karena btea punya mama gadai rumah untuk beli bapa punya peti mati. Beta sedih dan sempat mau bunuh diri minum vixal, tapi itu hari beta punya kawan tahan beta. Kenapa waktu beta pencuri untuk foya-foya dia punya hukuman sonde lama, tapi ini kali b pencuri karena memang beta mau bantu keluarga hukuman talalu lama.” (Saya mencuri karena saya terdesak, kalau saya tidak mencuri waktu itu mungkin saya punya rumah orang sudah sita, karena saya punya mama gadai rumah untuk beli peti mati kasih bapa. Saya sedih dan sempat coba bunuh diri juga, saya hampir minum vixal (cairan pembersih wc) tetapi waktu itu ada yang lihat dan cegat saya. Waktu saya mencuri untuk senang-senang hukumannya tidak lama, tetapi ini kali saya mencuri karena
benar-benar butuh untuk tolong keluarga saya hukumannya sangat lama.”) 27
Ibu SST merasa tidak puas dengan hukuman yang dia dapatkan karena
hukuman yang dia dapatkan kali ini jauh lebih lama dari hukuman
26
Hasil wawancara dengan Ibu EV, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 11.03 WITA
27
58
sebelumnya dengan kasus yang sama, pertama kali masuk LP Ibu SST dihukum
selama 1 tahun 6 bulan, kedua kalinya dihukum selama 4 bulan saja, sedangkan
yang ketiga kalinya yaitu kali ini dia dihukum selama 2 tahun 5 bulan, menurut ibu
SST dia mencuri kali ini dengan niat yang baik untuk menolong keluarga tetapi
dihukum dengan sangat lama, sedangkan ketika sebelumnya dia mencuri hanya
untuk keperluan bersenang-senang hukumannya tidak selama ini.
Penolakan-penolakan dari dalam diri sendiri yang dirasakan oleh warga binaan
terhadap proses hukuman yang harus dijalani menjadi masalah utama yang harus
mereka hadapi. Perasaan tidak puas, tidak siap, tidak ikhlas dengan hasil putusan
persidangan semakin menambah beratnya beban dalam menjalani masa hukuman. Di
samping itu juga mereka harus membiasakan diri dengan lingkungan yang baru,
orang-orang yang baru dan dengan rutinitas yang baru di balik tembok dan jeruji LP.
b) Masalah bersumber dari luar diri (Keluarga dan masyarakat)
Selain masalah yang bersumber dari dalam diri sendiri, Warga Binaan Juga
menghadapi masalah-masalah yang bersumber dari luar dirinya yang datang dari
berbagai arah, baik itu keluarga maupun masyarakat tempat dia berasal.
Menurut Ibu HS salah satu yang menjadi beban pikirannya adalah masalah
anak-anaknya yng selalu mendapatkan hasutan-hasutan dari beberapa kerabat
dekatnya yang mengatakan kalau ibu mereka adalah seorang pembunuh, padahal dia
berusaha untuk merahasiakan hal tersebut dari anak-anaknya, Ibu HS mengatakan,
”Ada beberapa keluarga dari suami saya yang sering bilang ke anak-anak saya kalau „kau punya mama yang makan (bunuh) kau punya bapa‟. waktu mereka cerita lewat telepon, saya hanya bisa menangis diam-diam, saya selama ini berusaha merahasiakan dari anak-anak saya karena saya tidak mau mereka malu dan pikiran, nanti mereka tidak bisa belajar dengan baik.”28
28
59
Demikian juga Ibu SST yang sudah berulang kali masuk LP, dia mengatakan:
Julukan mantan napi b su sering dengar dari waktu bta bebas pertama kali, ketong su dapa hukum di penjara, pas bebas harus kena hukum lai, dapa hina dari tetangga deng sodara dong, b pung sodara dong ju bikin beta, dong larang mama telpon beta, kalo mama hubungi beta dong sonde mau kasih uang di mama. Tapi mama selalu hibur beta. Sekarang b masuk penjara lai dong pasti tambah hina lai, tapi b hanya inga mama deng b pung anaka sa. Kalo b pu anak dng telpon b slalu bilang mama ada kerja cari uang di Bali. b sonde mau dong tau b di penjara, kasian dong masih kici-kici” (Julukan „mantan napi‟ sudah sering saya dengar sejak bebas dari
penjara pertama kali. Kita sudah dihukum di penjara waktu keluar harus dapat hukuman lain lagi, dapat hina dari tetangga-tetangga, saudara-saudara kandung saya juga kucilkan saya, mereka larang mama untuk kontak saya, kalo mama kontak mereka tidak mau kasih mama uang. Tapi saya punya mama yang selalu hibur saya. Sekarang saya masuk lagi pasti mereka tambah hina lagi, tapi saya hanya ingat saya punya mama dengan saya punya anak, kalau ada telepon saya selalu kasih tau saya punya anak kalau
sekarang “mama ada kerja di Bali” saya tidak mau mereka tau saya ada di
penjara, kasian mereka masih kecil-kecil.)29
Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu S,
“Alasan saya sampai masuk ke dalam dunia narkoba untuk bisa mencari uang tambahan untuk menghidupi keluarga (anak dan orang tua), suami tidak ada lagi. Kalo cuma andalkan kerja sebagai penyanyi saat ada event-event mana cukup untuk makan dan keperluan lainnya. Tapi saya juga malu kalau sampai anak-anak saya tau saya seperti ini, bagaimana mereka. saya juga dengar dari cerita ibu saya kalau teman-teman saya, tetangga saya sering menggosipkan saya yang masuk penjara, tapi saya berusaha cuek saja, walaupun sedih apalagi saya sampai masuk ke sini juga karena dijebak teman.”30
Dengan alasan faktor ekonomi dan berstatus single parent (orang tua tunggal)
bagi anak-anak mereka, Ibu SST dan Ibu S memilih jalan pintas untuk menghidupi
keluarga, ketika mereka berada di dalam LP tentunya kelangsungan hidup keluarga
di luar menjadi beban pikiran bagi mereka, ditambah lagi dengan status
”Narapidana” yang menjadi pembicaraan bagi teman-teman dan bahkan keluarga
cukup mengganggu pikiran ketika mereka harus menjalani hukuman.
29
Hasil wawancara dengan Ibu SST, tanggal 20 oktober 2016, Pkl. 09.24 WITA
30
60
Menyandang status „Narapidana‟ atau „mantan narapidana‟ telah menjadi aib
tersendiri bagi para warga binaan, status yang akan selalu melekat pada diri mereka
selama sisa hidup mereka di dunia, mendapatkan pandangan “sebelah mata” dari
masyarakat tentunya akan menjadi kendala ketika mereka dibebaskan dan ingin
memulai hidup yang baru. Tekanan psikologis ini menjadi sangat berat ketika warga
binaan tersebut masih merasa ada penolakan dari dalam diri sendiri dan merasa
bahwa dirinya tidak bersalah.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SW,
“Untuk kembali menjadi PNS ketika bebas nanti saya sudah trauma, masuk kedalam LP ini juga saya sudah trauma, saya tau bahwa masuk penjara dan jadi narapidana merupakan hal yang memalukan, dan pasti itu akan sangat mengganggu aktivitas saya dan keluarga saya nanti ketika saya bebas. Bahkan saat ini juga mungkin saya sudah menjadi bahan gosip dari orang-orang yang tidak mengerti posisi saya yang sebenarnya. Itu salah satu yang menjadi beban saya, yah berusaha mempersiapkan mental saja dan fokus ke keluarga saja, karena mereka yang selalu mendukung saya dan lebih mengenal saya.”31
Demikian juga dengan ibu RL, ibu RL mengatakan,
“Saya sakit hati kalo mereka bilang saya penjahat, padahal mereka tidak tau cerita sebenarnya. Saya masuk di LP, dapat status „napi‟ dihukum 7 tahun padahal saya tidak buat apa-apa. Saya niat baik mau tolong orang. saya kalau ingat itu saya menangis. Tapi begiu sudah, orang di luar hanya bisa komentar berdasarkan apa yang mereka liat. Saya hanya berusaha kasih kuat diri, saya punya anak-anak dan suami juga dukung saya selalu. Saya percaya ada banyak penjahat di luar sana ta pi tidak semua jalani hukuman seperti di dalam sini, saya tidak bersalah tapi dikasih kesempatan jalani hukuman di sini, mungkin ada maksud Tuhan, supaya saya ingat Tuhan, lebih dekat dengan Tuhan.”32
ibu RL mengakui bahwa menyandang status narapidana tentu harus siap untuk
mendapat pandangan negatif dari orang lain tetapi dia berusaha menguatkan diri
dengan berpikir yang poitif dan juga dukungan keluarga yang membuat dia kuat.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Sdr.MP, sdr. MP mengatakan,
31
Hasil wawancara dengan Ibu SW, tanggal 21 oktober 2016, Pkl. 09.12 WITA
32
61
”Ini sangat memalukan bagi saya, saat masuk di LP yang saya pikirkan bagaimana orang-orang akan nilai saya, orang tua saya juga awalnya menolak saya, keluarga besar saya juga begitu, bagaimana dengan teman-teman, apa yang saya punya teman-teman akan bilang kalau tau saya
”SAYA tidak pusing dengan komentar orang di luar sana, bukan mereka yang kasih makan saya dan keluarga saya, saya hanya pikir bagaimana keluarga saya, karena mereka belum tau saya di sini. Bagaimana orang tua saya kalau mereka tau saya di sini, saya juga rindu anak saya, dia masih usia 2 tahun, saya dihukum disini 19 tahun tanpa redmisi, saya tidak bisa melihat perkembangan anak saya, itu yang saya pikirkan.”34
Respon yang diberikan oleh keluarga, kerabat dan masyarakat tempat WBP
berasal bermacam-macam tetapi pada umumnya masyarakat memberikan pandangan
yang „negatif‟ terhadap status „narapidana‟, dan hal ini menjadi salah satu masalah
bagi warga binaan yang harus digumuli selama menjalani masa hukuman di dalam
LP dan dalam mempersiapkan diri untuk kembali ke dalam masyarakat ketika
dibebaskan nantinya. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu LP bagian pembinaan
bahwa “saya rasa yang penting bagi WBP adalah mereka harus siap mental, karena
ketika mereka bebas nanti sudah tentu pandangan negatif dari masyarakat akan
banyak mereka terima.”35
Kesimpulan
Kehidupan warga binaan perempuan sangat kompleks dengan masalah, baik masalah
yang bersumber dari diri warga binaan itu sendiri atau juga masalah yang bersumber dari luar
33
Hasil wawancara dengan Sdr. MP, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 10.11 WITA
34
Hasil wawancara dengan Ibu EV, tanggal 23 oktober 2016, Pkl. 11.03 WITA
35
62
dirinya, yaitu dari lingkungan keluarga maupun masyarakat tempat dia berasal. Di samping
itu mereka juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di lingkungan yang baru yang
tidak bebas, mereka harus berhadapan dengan berbagai orang dengan berbagai karakter dan
latar belakang masalah yang beragam. Dalam membina dan memberdayakan Warga Binaan
untuk menjadi manusia yang bermakna dan memiliki kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya, LP Wanita Klas III Kupang memberikan pembinaan kepada Warga Binaan
Perempuan melalui dua kegiatan pembinaan antara lain:
1. Pembinaan Kemandirian yang meliputi kegiatan pelatihan keterampilan
a. Dalam Pembinaan Kemandirian Warga Binaan Perempuan dibekali
pengetahuan keterampilan melalui berbagai kegiatan pelatihan yang ada
dengan harapan agar ketika mereka dibebaskan nanti mereka mampu untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat dan membantu mereka untuk
menemukan sumber penghasilan hidup yang positif.
b. Kegiatan pelatihan keterampilan bagi Warga Binaan Perempuan menolong
mereka untuk mengurangi rasa bosan dalam menjalani masa hukuman di
dalam LP.
c. Kendala yang dihadapi saat ini adalah keterbatasan dana dalam menyediakan
alat dan bahan untuk kegiatan pelatihan keterampilan yang ada, demikian
juga saat Warga Binaan Perempuan dibebaskan nanti cukup sulit untuk
63
2. Pembinaan Kepribadian yang di dalamnya termasuk pembinaan kerohanian.
a. Pembinaan kepribadian melalui pembinaan rohani dilakukan agar Warga
Binaan Perempuan memiliki mental dan moral yang baik.
b. Kegiatan pembinaan rohani khususnya konseling dibatasi oleh waktu
sehingga pembina rohani tidak memiliki waktu yang cukup untuk
benar-benar menyentuh masalah konseli (Warga Binaan Perempuan) secara
pribadi.
c. Dalam memberikan konseling kepada warga binaan, konselor belum
memiliki materi/bahan/tahapan konseling yang khusus terutama dalam