• Tidak ada hasil yang ditemukan

The marketing system of arabica gayo coffee in Central Aceh and Bener Meriah Regencies, Aceh Province: Structure, Conduct, Performance (SCP) approach

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The marketing system of arabica gayo coffee in Central Aceh and Bener Meriah Regencies, Aceh Province: Structure, Conduct, Performance (SCP) approach"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN ACEH TENGAH DAN BENER MERIAH,

PROVINSI ACEH: PENDEKATAN

STRUCTURE, CONDUCT,

PERFORMANCE

(SCP)

MEGA AMELIA PUTRI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Mega Amelia Putri

(4)

MEGA AMELIA PUTRI. Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP). Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan NUNUNG KUSNADI.

Kopi Arabika Gayo merupakan komoditas utama di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sebagian besar (86%) produksi kopi Arabika Gayo diekspor ke pasar dunia dan tergolong kopi spesialti yang telah bersertifikat organik, fairtrade dan raintforest. Program sertifikasi telah mampu meningkatkan nilai jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia yang biasa disebut sebagai harga premium. Namun, tingginya harga jual kopi belum dirasakan oleh petani. Hal ini ditunjukkan dari pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2006 sampai 2012, di tingkat petani pola pergerakan harga kopi mengalami laju penurunan sebesar 1.73 persen per tahun, sedangkan pola pergerakan harga di tingkat eksportir mengalami laju peningkatan sebesar 17.18 persen per tahun. Masalah mendasar bagi mayoritas petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses penentuan harga. Kondisi pasar yang tidak bersaing akan mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran berupa penentuan dan pembentukan harga. Namun, seberapa cepat perubahan harga tersebut direspon oleh setiap lembaga pemasaran akan diketahui melalui analisis kinerja pasar.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan analisis sistem pemasaran melalui pendekatan SCP yaitu structure, conduct, performance. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, 2) menganalisis pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan harga kopi di tingkat petani, dan 3) merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan harga. Analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan kuantitatif dengan pendekatan SCP. Pengolahan data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.

Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur pasar (market structure) yang dihadapi petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah bersifat oligopsoni. Hal ini dikarenakan kondisi pasar di ditingkat eksportir terkonsentrasi dengan tingkat persaingan kecil (CR4=71.12%). Selain itu, adanya hambatan masuk pasar dikarenakan oleh ikatan yang terjalin antar petani dengan eksportir dalam memenuhi standar kopi bersertifikat. Kondisi struktur pasar demikian memungkinkan perusahaan (eksportir) untuk melakukan kolusi harga. Besarnya market power yang dimiliki eksportir akan mempengaruhi perilaku lembaga pemasaran di tingkat lebih rendah.

(5)

petani-kolektor. Besarnya ketergantungan petani terhadap kolektor disebabkan keterbatasan petani dalam memperoleh akses permodalan, informasi pasar dan alternatif saluran pemasaran. Hal ini menyebabkan posisi tawar petani (bargaining position) lemah dalam proses penentuan harga.

Kondisi petani yang menghadapi struktur pasar oligopsoni dan posisi tawar petani yang lemah dalam proses penentuan harga akan mempengaruhi kinerja pasar. Hal ini terlihat dari share harga kopi yang diterima petani masih rendah

(≤30%) dengan marjin yang relatif tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh besarnya ketergantungan petani kepada kolektor dan terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki petani sehingga sebagian besar petani tidak melakukan perubahan nilai tambah (value added) kopi yang dipasarkan. Di sisi lain, analisis integrasi pasar vertikal menunjukkan bahwa pasar kopi di tingkat petani tidak terintegrasi dengan pasar kopi di tingkat kolektor, koperasi maupun eksportir, artinya perubahan harga kopi Arabika Gayo di tingkat kolektor, koperasi dan eksportir saat ini dan waktu sebelumnya tidak mempengaruhi harga kopi di tingkat petani. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun jangka panjang petani cenderung sebagai penerima harga (price taker).

Pendekatan SCP telah menunjukkan bahwa pola pergerakan harga kopi ditingkat petani tidak mengikuti pola pergerakan harga kopi di tingkat eksportir. Kondisi ini menggambarkan bahwa sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah belum efisien. Sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani yaitu melalui pembentukan kelompok-kelompok tani dan pemberdayaan kelompok-kelompok tani secara berkelanjutan. Selain itu, peran pemerintah dalam menjamin berbagai infrastruktur yang dibutuhkan petani kopi, menyediakan sarana dan prasarana, pengawasan harga yang sesuai dengan mutu kopi, dan menginformasikan perkembangan harga pasar (lokal dan dunia) serta memfasilitasi adanya kemitraan langsung antara petani dengan eksportir. Walaupun saat ini kerjasama yang dibangun petani dengan koperasi telah ada. Namun, diharapkan ada perubahan yang dapat memberikan kepastian harga bagi petani. Upaya ini dapat dilakukan melalui perbaikan sistem manajemen koperasi yang profesional sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan harga.

(6)

MEGA AMELIA PUTRI. The Marketing System of Arabica Gayo Coffee in Central Aceh and Bener Meriah Regencies, Aceh Province: Structure, Conduct, Performance (SCP) Approach. Supervised by ANNA FARIYANTI and NUNUNG KUSNADI.

Arabica Gayo coffee is the main commodity from Central Aceh and Bener Meriah regencies. Most (86%) of Arabica Gayo coffee production is exported to the world market and the specialty coffee that has been classified as certified organic, fairtrade and raintforest. The certification program has been able to increase the sales value of Arabica Gayo coffee in the world market which is commonly referred to as the premium price. In the Arabica Gayo coffee market,

volatility prices at exporter’s level is not followed by volatility prices at farmer’s

level. The fundamental problem for the majority of coffee farmers in Central Aceh and Bener Meriah is weak bargaining position of farmers in the pricing process. Competitive market conditions will affect the behavior of a marketing agency and the determination of price. However, how quickly do price changes which are responded by marketing agencies will be identified through analysis of market performance. Based on these problems, it is necessary to analyze the marketing system through the SCP approach i.e structure, conduct, performance. The aims of this study are to 1) analyze the structure, conduct and performance of Arabica Gayo coffee markets in Central Aceh and Bener Meriah, 2) analyze the influence of the structure, conduct and performance of the market to the formation of coffee prices at the farm level, and 3) formulate policies that can enhance bargaining position of farmers in the pricing process. The analysis used are the descriptive and quantitative analysis of the SCP approach. Quantitative data processing use Microsoft Excel 2007 and Eviews 6.

(7)

market. It is proved by the share price of coffee received by farmer still low (≤

30%) with a relatively high margin. This condition is caused by the dependence of farmers to collectors and limited facilities and infrastructure owned by farmers with the result that most of farmers do not changed the value added of coffee market. so that farmers owned most of the farmers do not make changes to the value added which marketed coffee. On the other hand, vertical market integration analysis showed that coffee at the farmers market is not integrated with the coffee market at the collector level, cooperatives and exporters, meaning Arabica Gayo coffee price changes in the level of collector, cooperatives and exporters at this time and the previous time does not affect the price of coffee in the farm level. This suggests that farmers tend to be price taker in the short term and long term.

The SCP approach has shown that volatility prices at exporter’s level is not

followed by volatility prices at farmer’s level. This condition illustrates that Gayo Arabica coffee marketing system in Central Aceh and Bener Meriah inefficient. In an effort to improve the bargaining position of farmers is through the formation of farmer groups and empowerment of farmer groups continuously. In addition, the government's role in ensuring the necessary infrastructure coffee farmers, which according to the price monitoring of quality coffee, and inform the development of the market price (local and global) and to facilitate the direct partnerships between farmers and exporters. Although there has been cooperation between farmers and cooperative. It is expected that there is a change providing price certainty for farmers. This can be done through a professional cooperative of management system to improve the bargaining position of farmers in the pricing process.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

DI KABUPATEN ACEH TENGAH DAN BENER MERIAH,

PROVINSI ACEH :PENDEKATAN

STRUCTURE, CONDUCT,

PERFORMANCE

(SCP)

MEGA AMELIA PUTRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ratna Winandi, MS

(11)

dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP)

Nama : Mega Amelia Putri NIM : H451110351

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Ketua

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Sistem Pemasaran Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP)dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr Ir Dwi Rachmina, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan

kolokium proposal penelitian dan Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis sekaligus Dosen Penguji Perwakilan Program Studi pada ujian tesis dan Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.

5. Dinas Perkebunan Aceh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

6. Teman-teman seperjuangan Angkatan II pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

7. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ir Chairunas, MS dan Asmawarni, serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya.

8. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Andi Taufik, ST dan anak Ahmad Hilmi yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, Juli 2013

(14)

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam

Sistem Pemasaran Komoditas Pertanian 7

Mekanisme Pasar dan Posisi Tawar Petani 10

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual 11

Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan

Perkembangannya 12

Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran 14

Hubungan antara Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Produk

Pertanian dalam Proses Pembentukan Harga di Tingkat Petani 28

Kerangka Pemikiran Operasional 31

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Jenis dan Sumber Data 33

Metode Pengambilan Sampel 33

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 34

5 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN

KARAKTERISTIK RESPONDEN KOPI ARABIKA GAYO

Lokasi Perkebunan Kopi Petani di Daerah Penelitian 39 Aktivitas Pengolahan dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo 42 Program Sertifikasi Produk dalam Pemasaran Kopi Arabika Gayo 45 Perkembangan Harga Kopi Arabika Gayo di Tingkat Petani 47

Kondisi Infrastruktur dan Akses Permodalan 48

Karakteristik Responden di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah 51

6 ANALISIS STRUCTURE, CONDUCT, PERFORMANCE (SCP) PASAR KOPI ARABIKA GAYO

Analisis Struktur Pasar (Market Structure) 57

Analisis Perilaku Pasar (Market Conduct) 63

Analisis Kinerja Pasar (Market Performance) 81 Pengaruh Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar terhadap

(15)

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 99

Saran 99

DAFTAR PUSTAKA 101

LAMPIRAN 106

DAFTAR TABEL

1 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk 15 2 Kondisi kebun dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di Kabupaten

Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2011 42

3 Cacat fisik dan cita rasa kopi akibat kesalahan pengolahan 42 4 Beberapa perbedaan jenis sertifikasi produk kopi 46 5 Statistik transportasi Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2011 49 6 Jumlah lembaga keuangan di Kabupaten Aceh Tengah dan

Bener Meriah, tahun 2011 51

7 Lokasi penelitian dan jumlah petani kopi Arabika Gayo di

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2013 52 8 Identitas petani responden kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah dan Bener Meriah, tahun 2013 53

9 Sertifikasi produk kopi Arabika Gayo pada KBQB 55 10 Tenaga kerja pada KBQB selama tahun 2007-2009 55 11 Pangsa pasar dan konsentrasi pasar 10 eksportir kopi Arabika

Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2012 58 12 Minimum Efficiency Scale (MES) pasar kopi Arabika Gayo di

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, tahun 2007-2012 60 13 Rata-rata modal, sumber modal, dan lama melakukan perdagangan

menurut golongan pedagang, tahun 2013 60

14 Bentuk hambatan bagi pesaing baru untuk memasuki pasar kopi

Arabika gayo pada setiap lembaga pemasaran 61

15 Karakteristik dan struktur pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten

Aceh Tengah dan Bener Meriah 62

16 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden 65 17 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat petani responden 66 18 Aktivitas penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat kolektor responden 67 19 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat kolektor responden 68 20 Profil koperasi responden di Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah 68 21 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat koperasi responden 71 22 Daftar perusahaan ekspor kopi Arabika Gayo yang melakukan

pengurusan SPEK di Kabupaten Aceh Tengah, tahun 2012 72 23 Fungsi-fungsi pemasaran dan kerjasama di tingkat eksportir 73 24 Sumber informasi dan proses penentuan harga kopi Arabika Gayo

pada setiap lembaga pemasaran 79

25 Sistem Pembayaran pada setiap lembaga pemasaran 81 26 Analisis integrasi pasar vertikal pada setiap lembaga pemasaran 91

(16)

28 Hasil estimasi persamaan model Ravallion 93 29 Alternatif kebijakan sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani

dalam proses penentuan harga kopi Arabika Gayo 98

DAFTAR GAMBAR

1 Luas areal dan produksi kopi Indonesia, tahun 2000-2012 1 2 Perkembangan volume ekspor kopi Indonesia, tahun 2008-2012 2 3 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan

daerah produksinya tahun 2012 2

4 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo di Provinsi Aceh,

tahun 2007-2013 3

5 Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dan

eksportir, tahun 2006-2012 5

6 The Structure-Conduct-Performance Paradigm 13 7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve 17 8 Pembentukan harga di tingkat petani, pedagang dan pasar produk

pertanian dalam struktur pasar monopsoni 20

9 Marjin pemasaran 24

10 Hipotesis hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pasar

dalam proses pembentukan harga di tingkat petani 29

11 Kerangka pemikiran operasional 32

12 Tanaman kopi Arabika Gayo 41

13 Bentuk kopi Arabika Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan 43 14 Sistem pengolahan kopi di Dataran Tinggi Gayo 44 15 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayo ke negara tujuan utama,

tahun 2003-2012 47

16 Perkembangan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani, tahun 2012 48 17 Statistik panjang jalan Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011 49 18 Kondisi jalan di Kabupaten Bener Meriah, tahun 2011 50 19 Perkembangan jumlah anggota dan luas areal kopi pada

Koperasi Serba Usaha (KSU) Permata Gayo, tahun 2006-2012 56 20 Aktivitas pemasaran kopi arabika gayo oleh KSU.Permata Gayo

dari Kabupaten Bener Meriah menuju Sumatera Utara, Medan 70 21 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 75 22 Saluran pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener Meriah 77 23 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 1, tahun 2012 83

24 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 2, tahun 2012 84

25 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 3, tahun 2012 84

26 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah pada saluran 4, tahun 2012 85

27 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener

Meriah pada saluran 1, tahun 2012 86

(17)

Meriah pada saluran 2, tahun 2012 87 29 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener

Meriah pada saluran 3, tahun 2012 87

30 Sebaran marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Bener

Meriah pada saluran 4, tahun 2012 88

31 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Aceh

Tengah, tahun 2012 89

32 Farmer share pada setiap saluran pemasaran di Kabupaten Bener

Meriah, tahun 2012 90

33 Pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pembentukan

harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani 95

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kondisi lahan kopi Arabika Gayo 106

2 Perusahan kilang kopi dan bubuk kopi di Kabupaten Aceh Tengah

dan Bener Meriah 107

3 Data penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat petani responden 108 4 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat

pedagang pengumpul (kolektor) 110

5 Data pembelian dan penjualan kopi Arabika Gayo di tingkat

koperasi dan eksportir 111

6 Analisis marjin pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh

Tengah dan Bener Meriah 113

7 Hasil output analisis integrasi pasar vertikal 115

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Nopember 1986 dari Bapak Chairunas dan Ibu Asmawarni. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di TK Dolog dari tahun 1991-1992. Kemudian penulis melanjutkan studi di SD Negeri 24, Banda Aceh dan lulus tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SLTP 06 Banda Aceh dan pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU 03 Banda Aceh. Pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan lulus pada tahun 2008. Tiga tahun kemudian penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis melalui Beasiswa Unggulan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2011.

(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kopi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai sumber perolehan devisa maupun sebagai sumber penghidupan petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Kenyataan ini ditunjukkan oleh luas areal kopi sebesar 1.2 juta hektar, terdiri atas perkebunan rakyat sebesar 96 persen dan sisanya masing-masing sebesar 2 persen untuk perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta (Kementan 2013). Sumbangan sub sektor perkebunan terhadap devisa negara mencapai USD25.2 miliar pada tahun 2011 atau setara dengan 15.97 persen dari total devisa negara. Kopi menyumbang sebesar USD 0.8 miliar yangberada diurutan keempat setelah kelapa sawit (USD13.5 miliar), karet (USD9.4 miliar) dan kakao (USD 1.5 miliar) (Kemenperindag 2012).

Dinamika produksi kopi Indonesia selama periode 2000 sampai 2012 dapat dilihat dari perkembangan luas areal kopi dan produksi kopi beberapa tahun terakhir. Pada Gambar 1 terlihat selama tahun 2000, luas areal kopi di Indonesia sebesar 1.3 juta hektar dengan produksi sebesar 555 ribu ton. Pada tahun 2002 sempat mengalami peningkatan menjadi 1.4 juta hektar dengan produksi sebesar 682 ton. Namun, beberapa tahun berikutnya luas lahan kopi cenderung menurun sebesar 1.13 persen per tahun. Hingga pada tahun 2012 luas areal menjadi 1.2 juta hektar dengan produksi sebesar 657ton (Kementan 2013). Penurunan ini salah satunya disebabkan semakin banyaknya lahan kopi yang rusak dan tua sehingga lahan menjadi kurang produktif. Di sisi lain proses peremajaan dan penanaman tanaman kopi memerlukan waktu yang relatif lama (5-7 tahun) untuk mencapai usia produktif.

Gambar 1 Luas areal dan produksi kopi Indonesia, tahun 2000-2012 Sumber : Kementan (2013)

Di Indonesia kopi dikenal sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor. Hal ini disebabkan hingga tahun 2012 sebesar 71.11 persen produksi kopi yang dihasilkan dipasarkan ke pasar kopi dunia. Pada Gambar 2 terlihat bahwa selama tahun 2012, sekitar 73 persen dari total kopi yang diekspor merupakan kopi

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(21)

robusta, 14 persen kopi olahan dan sisanya sebesar 13 persen merupakan kopi arabika. Peluang kopi arabika Indonesia di pasar dunia masih menjanjikan. Hal ini dikarenakan sebagian besar (86%) ekspor kopi arabika Indonesia di pasarkan ke segmen kopi spesialti yang berkualitas tinggi, seperti kopi Java dari Jawa Timur, kopi Mandheling dari Sumatera Utara, kopi Toraja dari Sulawesi Selatan, kopi Kintamani dari Bali dan kopi Gayo dari Provinsi Aceh (AEKI 2013).

Gambar 2 Perkembangan volume ekspor kopi Indonesia, tahun 2008-2012 Sumber : Kementan (2013)

Salah satu produsen utama kopi arabika di Indonesia adalah Provinsi Aceh. Pada Gambar 3 terlihat bahwa selama tahun 2012 ekspor kopi arabika yang berasal dari Provinsi Aceh mencapai 28.32 persen dari total ekspor kopi arabika Indonesia (67 ribu ton) (Kementan 2013). Seluruh lahan kopi di Provinsi Aceh merupakan perkebunan rakyat dan sebagian besar (83%) luas lahan kopi di daerah ini ditanami kopi arabika sebesar 101 ribu hektar, sisanya sebesar 17 persen (20 ribu hektar) ditanami kopi robusta (Disbun Provinsi Aceh 2013).

Gambar 3 Proporsi jumlah ekspor kopi arabika di Indonesia berdasarkan daerah produksinya tahun 2012

Sumber : Kementan (2013)

(22)

agribisnis kopi arabika. Saat ini kopi arabika di DTG ditanam di tiga Kabupaten, yaitu Aceh Tengah (48 ribu hektar), Bener Meriah (45 ribu hektar), dan Gayo Lues (4 ribu hektar) (BPS Provinsi Aceh 2012). Pengembangan kopi Arabika Gayo sebagai komoditi unggulan daerah memiliki prospek yang menjanjikan (Disbun Provinsi Aceh 2013).

Pada Gambar 4 terlihat selama tahun 2007 sampai 2012, perkembangan ekspor kopi arabika mengalami peningkatan rata-rata sebesar 11.3 persen per tahun, sedangkan nilai ekspor meningkat sebesar 43.44 persen per tahun. Tingginya peningkatan nilai ekspor kopi Arabika Gayo disebabkan oleh meningkatnya harga jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia (Disperindagkop dan UKM Aceh 2013). Harga kopi Arabika Gayo mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perkembangan harga di pasar dunia (Saputra 2012). Menurut Suyamto, Noordwijk dan Lusiana (2004) perubahan tingkat produksi dan konsumsi yang terjadi di pasar dunia berdampak terhadap harga di pasar domestik.

Gambar 4 Perkembangan ekspor kopi Arabika Gayodi Provinsi Aceh, tahun 2007-2013

Sumber : Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Prov.Aceh (2013)

Selain itu, perubahan harga dapat pula ditentukan oleh struktur pasar, perilaku pasar, dan akan tercermin pada kinerja suatu pasar (Baye 2010). Struktur pasar akan menggambarkan tipe atau jenis pasar yang dihadapi, perilaku pasar menekankan kepada aktivitas-aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku pemasaran, interaksi antara struktur dan perilaku pasar akan tercermin pada kinerja pasar yang ditunjukkan oleh tingkat efisiensi dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran. Pendekatan stucture (struktur), conduct (perilaku), performance (kinerja) selanjutnya disingkat SCP ini bersifat dinamis dan saling terkait satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa SCP dalam suatu waktu berada pada sistem ketika S (Stucture) dan C (Conduct) adalah faktor penentu P (Performance) dan di lain waktu S dan C ditentukan oleh P. Konsep ini dikenal sebagai paradigma SCP (Waldman dan Jensen 2007). Keuntungan pendekatan ini adalah dapat menganalisis kondisi sistem pemasaran secara lebih komprehensif berdasarkan empiris dan menjawab permasalahan pemasaran dalam suatu sistem yang saling terkait.

(23)

Menurut SCAA (Specialty Coffee Association of America) kopi Arabika Gayo tergolong kopi spesialti. Aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks dan kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Arabika Gayo sebagai kopi berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia (ICCRI 2008). Selain itu, sekitar 70 persen kopi Arabika Gayo di kedua Kabupaten ini telah mendapatkan sertifikat produk yang berprinsip pada sistem pertanian berkelanjutan seperti Organic certified, Fairtrade dan Raintforest (Disbun Provinsi Aceh 2012). Berbagai atribut produk yang telah melekat pada kopi Arabika Gayo memberikan keuntungan besar bagi pengembangan agribisnis kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terutama pada subsistem pemasaran.

Subsistem pemasaran merupakan subsistem penting dalam agribisnis selain subsistem lainnya, seperti subsistem hulu, on farm, hilir dan penunjang (Saragih 2010). Aktivitas pemasaran kopi Arabika Gayo melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang besar, pengolah, eksportir, industri dan lainnya. Harga dan fungsi pemasaran yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran menjadi faktor penentu berjalannya suatu sistem pemasaran. Fungsi pemasaran merupakan kegiatan yang meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohls dan Uhl 2002). Selain itu, harga memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh petani, para pedagang dan organisasi bisnis kopi pada umumnya (Umar, Otitolaiye dan Opaluwa 2011).

Sejauh ini penelitian sistem pemasaran dengan pendekatan SCP untuk komoditas perkebunan telah banyak dilakukan seperti komoditas gula di Provinsi Lampung (Rosiana 2012), kakao di Indonesia (Sitorus 2011) dan kopi gayo di Kabupaten Bener Meriah (Jamilah 2008). Namun, beberapa hasil penelitian belum menunjukkan bagaimana pengaruh struktur, perilaku, kinerja pasar saling berinteraksi dalam menentukan pola pembentukan harga di tingkat petani. Oleh karena itu, pentingnya penelitian ini dilakukan dengan menekankan kepada pengintegrasian antara elemen-elemen penyususun yang terdapat didalam model SCP, sehingga melalui pendekatan ini akan terlihat pengaruhnya terhadap pola pembentukan harga di tingkat petani.

Perumusan Masalah

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah merupakan daerah terbesar penghasil kopi arabikadi Provinsi Aceh. Menurut Dinas Perkebunan Provinsi Aceh (2013), luas areal perkebunan kopi di kedua Kabupaten ini mencapai 80 persen (96 ribu hektar) dari total luas lahan di Provinsi Aceh (121 ribu hektar). Perkebunan kopi yang ada seluruhnya merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah petani mencapai 77 ribu Kepala Keluarga (KK). Luas lahan yang dimiliki sekitar 0.5 sampai 1 ha per KK (BPS Aceh Tengah 2012; BPS Bener Meriah 2012). Menurut ICRRI (2008), sumbangan kopi Arabika Gayo terhadap pendapatan keluarga bervariasi antara 50 sampai 90 persen. Hal ini menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagian besar bertumpu pada sektor perkebunan.

(24)

saat ini sertifikasi produk kopi yang telah dimiliki antara lain Organic Certified, Fairtrade dan Raintforest. Program sertifikasi ini telah mampu meningkatkan nilai jual kopi Arabika Gayo di pasar dunia yang biasa disebut sebagai harga premium (ICRRI 2008). Harga premium memiliki nilai jual lebih tinggi 30 sampai 40 cent US$/lb dari harga kopi arabika dunia atau setara dengan Rp6 377 sampai Rp8 502 per kg. Namun, tingginya harga jual kopi yang dibayarkan oleh konsumen (importir) belum dirasakan oleh petani. Gambar 5 menunjukkan pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo selama tahun 2006 sampai 2012, di tingkat petani pola pergerakan harga kopi mengalami laju penurunan sebesar 1.73 persen per tahun, sedangkan pola pergerakan harga di tingkat eksportir mengalami laju peningkatan sebesar 17.18 persen per tahun.

Gambar 5 Pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani dan eksportir, tahun 2006-2012

Sumber : Disbun Prov. Aceh (2013); Disperindag dan UKM Prov. Aceh (2013)

Masalah mendasar bagi mayoritas petani kopi yang mengikuti program sertifikasi produk di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah posisi tawar (bargaining position) petani lemah dalam proses penentuan harga (Saputra 2012). Saat terjadi oversupply, petani menghadapi tekanan harga yang lebih kuat. Keterbatasan sarana dan prasarana, akses permodalan serta akses terhadap informasi pasar menyebabkan petani tidak bisa mengontrol perkembangan harga secara berkelanjutan dan transmisi harga menjadi tidak seimbang (imbalance transmission) (Giroh et al. 2010; Kizito 2011).

Di sisi lain, peran koperasi dalam upaya meningkatkan daya tawar petani belum dirasakan manfaatnya. Sebagai anggota koperasi, petani hanya mendapatkan penyuluhan atau pelatihan teknis terkait program sertifkasi produk dan secara informal petani menyetujui menjual hasil panennya kepada koperasi. Informal yang dimaksud adalah petani tidak memiliki ikatan tertulis dalam bentuk kesepakatan jumlah maupun harga. Padahal kopi merupakan salah satu dari lima komoditas paling penting di pasar dunia (Taylor2005; Ponte 2004). Seharusnya, peran koperasi memberikan dampak yang berarti bagi kesejahteraan petani.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa petani cenderung menghadapi struktur pasar yang tidak bersaing. Hal ini tergambar dari harga yang terjadi ditingkat konsumen tidak ditransmisikan oleh pedagang ke petani (Sallatu

-2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(25)

2006; Shumeta et al. 2012). Kondisi petani yang tidak mengetahui perkembangan harga, memungkinkan marjin pemasaran antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen menjadi sangat tinggi. Fenomena pasar ini menurut Kohls dan Uhl (2002) telah menyebabkan mekanisme pasar tidak bekerja dengan sempurna dan akibatnya sistem pemasaran menjadi tidak efisien. Pada kondisi pasar yang tidak efisien maka sulit diharapkan terjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan di tingkat petani. Oleh karenanya, dalam sistem pemasaran kopi Arabika Gayo perlu analisis lebih lanjut sejauhmana struktur, perilaku dan kinerja pasar dapat mempengaruhi pola pembentukan harga kopi di tingkat petani. Pendekatan ini tepat digunakan karena mampu menangkap kompleksitas permasalahan pada sistem pemasaran kopi Arabika Gayo. Adapun pemasalahan yang dikaji pada penelitian ini yaitu :

1. Mengapa pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani tidak mengikuti pola pergerakan harga kopi Arabika Gayo di tingkat eksportir? 2. Bagaimana kondisi struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di

Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah?

3. Bagaimana pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pola pembentukan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah

2. Menganalisis pengaruh struktur, perilaku dan kinerja pasar terhadap pola pembentukan harga kopi Arabika Gayo di tingkat petani

3. Memberikan rekomendasi kebijakan dari hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja pasar kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai upaya meningkatkan posisi tawar petani dalam proses penentuan harga

Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu :

1. Bagi pelaku pemasaran kopi, hasil penelitian ini merupakan alat penunjang keputusan dalam mengembangkan agribisnis kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan petani kopi.

3. Bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya

(26)

Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran kopi gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang mengikuti program sertifikasi produk. 2. Komoditi kopi Gayo yang diteliti adalah kopi arabika organik yang berasal

dari Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

3. Penelitian ini mencakup analisis struktur pasar (pangsa pasar, konsentrasi pasar dan hambatan masuk pasar), perilaku pasar (lembaga dan fungsi pemasaran, mekanisme penentuan harga dan sistem pembayaran), kinerja pasar (marjin pemasaran, farmer’s share dan integrasi pasar vertikal.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pada Bab 2 akan diuraikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam sistem pemasaran komoditas pertanian. Produk pertanian yang dikaji berasal dari produk domestik maupun luar negeri. Pendekatan SCP mencakup keterkaitan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap pola pembentukan harga di tingkat petani. Hasil kajian akan melihat beberapa persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Selain itu, dalam Bab 2 akan dijelaskan beberapa hasil penelitian terdahulu terkait mekanisme pasar yang terjadi pada komoditi perkebunan khususnya komoditi kopi yang memiliki pengaruh terhadap posisi tawar petani.

Pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam Sistem Pemasaran Komoditas Pertanian

Penelitian yang menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance) dalam sistem pemasaran komoditi pertanian telah banyak dilakukan. Pada subsektor perkebunan, holtikultura, tanaman pangan dan komoditi lainnya. Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam sistem pemasaran hampir sama diantaranya (1) marjin pemasaran yang relatif tinggi (2) hubungan harga yang diterima petani dengan biaya produksi dan risiko yang harus dihadapinya (3) kemungkinan fasilitas pemasaran yang belum memadai untuk memperlancar arus komoditi. Semua masalah ini saling terintegrasi satu sama lainnya. Beberapa peneliti menggunakan pendekatan SCP sebagai upaya mengatasi permasalahan di dalam sistem pemasaran antara lain Hukama (2003), Sallatu (2006), Jamilah (2008), Bosena et al. (2011) dan Rosiana(2012).

Struktur Pasar Komoditas Pertanian

(27)

hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4) berada diantara 50 sampai 75 persen dengan nilai HHI sebesar 1 000 sampai 1 800 yang menggambarkan bahwa pasar cenderung terkonsentrasi dengan tingkat persaingan yang kecil (Rifin et al. 2011; Putra 2009; Bosena et al. 2011). Selain itu, Bosena et al (2011) juga melihat faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan masuk pasar komoditi Kapas di Ethiopia diantaranya yaitu permodalan, fluktuasi harga dan lisensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permodalan merupakan syarat utama yang harus dimiliki perusahaan untuk masuk kedalam industri kapas. Rosiana (2012) menganalisis hambatan masuk pasar dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES). Analisis dilakukan untuk melihat banyaknya lembaga pemasaran yang dapat masuk dan bersaing merebut pangsa pasar. Hasil analisis menunjukkan bahwa MES industri gula di Provinsi Lampung sebesar 27.61 pada tahun 2006 sampai 2010 artinya terdapat hambatan masuk pada pemasaran gula di Provinsi Lampung.

Pada analisis struktur pasar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar yang dihadapi oleh petani adalah struktur pasar oligopsoni (Hukama 2003; Sallatu 2006; Ngigi 2008; Bosena et al. 2011). Menghadapi struktur pasar oligopsoni petani cenderung sebagai price taker dan pedagang yang mengontrol harga petani. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap perilaku pasar yang terjadi, penentuan harga akan didominasi oleh perusahaan/pedagang yang memiliki pangsa pasar terbesar. Hal yang sama ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan World Bank (2008) dalam struktur pasar tanaman pangan, jumlah pembeli sedikit mengakibatkan pembeli memiliki market power, sedangkan petani sebagai produsen tidak memiliki akses untuk kredit dan cenderung memiliki posisi tawar yang lemah.

Perilaku Pasar Komoditas Pertanian

Analisis perilaku pasar dapat dilihat dengan menggambarkan dan menjelaskan hubungan antara pembeli dan penjual, seperti proses pembelian dan penjualan, sumber produk, eksistensi secara formal atau informal kelompok pemasaran yang akan mempengaruhi posisi daya tawar, saluran pemasaran yang digunakan, penentuan dan pembentukan harga, serta praktek fungsi-fungsi pemasaran (Bosena et al. 2011; Yuprin 2009; Rosiana 2012). Hasil penelitian telah banyak menunjukkan bahwa rendahnya harga yang diterima petani disebabkan lahan petani yang sempit (0.5-1 hektar) yang hanya berproduksi dalam jumlah kecil dan terbatas, daerah penanaman yang jauh sehingga memerlukan biaya transportasi yang tidak murah. Oleh karenanya, petani sering menjualnya langsung tanpa harus dilakukan proses pengolahan (grading, packing, penjemuran dan sebagainya) karena bagi petani hal tersebut akan menambah biaya dan waktu untuk pengembalian modal mereka. Sehingga, peran ini sering diambil oleh pedagang pengumpul atau pengolah yang memanfaatkan keterbatasan petani dalam menyalurkan hasil produksinya dan mengambil peluang untuk memperoleh keuntungan (Jamilah 2008).

(28)

keterbatasan penelitian ini adalah sulit untuk menganalisa isu-isu kunci terkait desain sistem informasi pasar dari lingkungan secara keseluruhan pada saat petani beroperasi.

Kinerja Pasar Komoditas Pertanian

Acharya (1998) melakukan analisis kinerja pasar dengan pendekatan SCP pada pasar produk pertanian di India. Penekanannya pada keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistem pemasaran produk pertanian. Sistem pemasaran diyakini memegang peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen, kemudian kinerja sistem ini ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar. Variabel-variabel yang diteliti adalah pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran, harga yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan kebijakan ekonomi makro. Hasil penelitian menunjukkan seluruh variabel yang diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisir atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisir dengan konsekuensi timbulnya potensi pasar monopoli atau oligopoli. Sehingga, peneliti menyarankan perlu adanya linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastuktur perdesaan dan perlunya perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.

Menurut Ngigi (2008) dan Bosena et al (2011) hal penting yang menjadi perhatian adalah kondisi kelembagaan yang melibatkan petani sebagai anggotanya. Perlu wadah yang mampu membina dan mengarahkan petani, sehingga dapat menciptakan kerjasama yang mensinergikan antara produksi dan kebutuhan pasar yang ada (World Bank 2008). Petani harus diuntungkan dalam kerjasama yang dihasilkan. Artinya, kinerja pasar yang dihasilkan harus menunjukkan kondisi yang efisien dimana, besaran marjin yang diperoleh terdistribusi merata pada setiap pelaku pemasaran, share harga yang diterima petani tinggi dan integrasi pasar tercipta dengan baik. Hal ini akan berdampak terhadap kontinuitas produksi petani. Kesejahteraan petani dan keberlangsungan produksi akan memberikan manfaat besar bagi seluruh pelaku yang terlibat dalam pemasaran.

(29)

Mekanisme Pasar dan Posisi Tawar Petani

Mekanisme pasar bebas yang berlaku dewasa ini mempengaruhi posisi petani di Indonesia. Selama ini kalangan petani produsen masih memiliki ketidakmampuan tawar-menawar dengan pembeli untuk memperoleh harga produk yang wajar. Penelitian terkait lemahnya posisi tawar petani telah dilakukan pada berbagai komoditas pertanian, baik di subsektor tanaman pangan, holtikultura dan perkebunan. Komoditi perkebunan (kelapa sawit, coklat, kopi dan karet) tergolong komoditi strategis yang diperdagangkan dalam pasar dunia. Banyak negara-negara produsen melakukan ekspor dengan volume besar. Kondisi ini akan berdampak terhadap dinamika perubahan harga. Perubahan harga kopi di pasar domestik sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan harga kopi yang terjadi di pasar dunia (Kustiari 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan harga yang terjadi di di tingkat konsumen tidak tertransmisi ke tingkat petani (Herman 2002; Sallatu 2006; Yantu et al. 2010; Rosiana 2012). Artinya, terdapat disparitas informasi harga dan mengindikasikan kedua pasar tidak terintegrasi. Salah satu faktor penyebab adalah struktur pasar yang terjadi cenderung monopsonistik atau oligopsonistik serta terbatasnya teknologi pascapanen yang ada. Akibat yang timbul petani harus segera menjual produksinya agar tidak terjadi kontaminasi jamur, penyusutan, busuk dan sebagainya. Sehingga, petani tidak mampu menentukan harga. Oleh karena itu, dapat disimpulkan penyebab lemahnya posisi tawar petani antara lain karena faktor keterbatasan sarana dan prasarana, akses permodalan serta akses terhadap informasi pasar.

Di sisi lain kondisi kelembagaan petani di Indonesia belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra 2008). Petani Indonesia yang sebagian besar adalah rumah tangga miskin, luas lahan yang terbatas dan modal kerja yang minim menjadi tantangan tersendiri dalam proses pengembangannya. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan posisi tawar petani adalah (1) konsolidasi petani dalam satu wadah untuk menyatukan aktivitas ekonomi dalam setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. (2) kolektifitas produksi, yaitu perencanaan secara kolektif. Terakhir (3) kolektifitas dalam pemasaran produk pertanian (Akhmad 2007; Rosiana 2012). Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya pemasaran dengan efisiensi skala besar dan menaikkan posisi tawar petani dalam pemasaran produk pertanian.

(30)

petani dalam memperoleh informasi harga, penyuluhan teknis, proses sertifikasi, jaminan harga, akses pasar dan permodalan sebagai upaya meningkatkan kinerja petani sehingga petani dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya (Hue 2001).

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh keseriusan Pemerintah Colombia dalam mendukung kesejahteraan petaninya. Sejak tahun 2002 mereka telah menjalankan program kemitraan perdesaan, dimana pemerintah menyediakan dana yang besar bagi asosiasi petani di perdesaan. Tujuannya antara lain untuk menyesuaikan penerapan teknologi produksi petani dengan permintaan pasar, seperti halnya sertifikasi organik dan kepedulian terhadap kesehatan. Lebih dari 5 tahun, sebanyak 300 organisasi telah dimunculkan. Organisasi ini mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 20 persen dan menciptakan lapangan kerja sebesar 10 persen. Lebih dari itu, besarnya efek multiplier yang dihasilkan terhadap lingkungan di sekitarnya. Di Indonesia, penguatan kelembagaan di tingkat petani harus terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan pasokan produk-produk pertanian dimasa yang akan datang (World Bank2008). Oleh karenanya, berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu. Maka melalui penelitian ini akan dilihat sejauhmana keterlibatan petani sebagai anggota koperasi dan bagaimana peran koperasi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam proses penguatan posisi tawar petani. Diharapkan dengan adanya studi terdahulu dapat dijadikan sebagai indikator dan pembanding untuk perbaikan kondisi petani kopi Arabika Gayodi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam proses penentuan harga kopi.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Konseptual

Sistem pemasaran merupakan salah satu subsistem penting dalam pengembangan agribisnis. Menurut Pambudy (2010) paradigma agribisnis merupakan suatu model yang mencakup sistem dari kegiatan pra dan budidaya, panen, pasca panen dan pemasaran serta sektor-sektor penunjangnya sebagai suatu sistem yang saling terintegrasi kuat satu dan lainnya serta sulit dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Saragih (2010) yang menyatakan bahwa pemasaran termasuk dari cakupan subsistem hilir dalam agribisnis yang memiliki peran penting dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Salah satu prinsip pembangunan melalui pengembangan agribisnis adalah berorientasi pasar (market oriented). Hal ini menunjukkan bahwa menempatkan pendekatan supply-demand sebagai pertimbangan utama menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses produksi dan distribusi untuk mengatasi kegagalan pasar yang bisa merugikan produsen (petani) maupun konsumen. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa sistem pemasaran memiliki peran strategis untuk mencapai pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

(31)

barang dan jasa melalui transaksi. Kohls dan Uhl (2002) menambahkan dalam menganalis pemasaran dapat digunakan beberapa pendekatan antara lain pendekatan fungsi (the functional approach), pendekatan kelembagaan (the institutional approach), dan pendekatan sistem (the system approach). Keseluruhan pendekatan ini akan menganalisis keseluruhan sistem pemasaran dari aspek makro, mulai dari pendekatan fungsi, kelembagaan, pengolah/ pabrikan, organisasi fasilitas, dan sistem merupakan suatu kajian empiris dan deskriptif dalam aliran atau rantai pemasaran dari produsen primer sampai ke konsumen akhir. Seluruh pendekatan tersebut merupakan bagian yang terkait dalam sistem pemasaran dengan pendekatan SCP (structure,conduct dan performance).

Paradigma SCP merupakan pendekatan yang umumnya digunakan untuk mengkaji hubungan dinamika persaingan suatu industri dengan kinerjanya (Waldman dan Jensen 2007). Namun dalam perkembangannya paradigma SCP telah banyak digunakan untuk mengkaji aspek pemasaran khususnya pemasaran komoditas pertanian. Permasalahan umum yang terjadi dalam pemasaran komoditas pertanian berhubungan dengan efisiensi pemasaran. Efisiensi ini dapat berupa lemahnya infrastruktur dan informasi pasar kepada produsen maupun konsumen, tingginya biaya transaksi dan dapat pula terkait kebijakan pemasaran yang belum tepat (Dahl dan Hammond 1977; Kohls dan Uhl 2002). Pada Bab 3 akan disajikan konsep SCP dan perkembangannya, keterkaitan komponen-komponen penyususn SCP dan penerapannya dalam sistem pemasaran. Kajian terakhir akan diuraikan tentang hubungan struktur, perilaku dan kinerja terhadap proses pembentukan harga.

Konsep SCP (Structure, Conduct, Performance) dan Perkembangannya

Menurut Carlton dan Perloff (2000) pada awalnya paradigma SCP merupakan salah satu pendekatan dalam mengkaji pembentukan organisasi industri. Namun dalam perkembangannya kerangka SCP telah menjadi kerangka umum pendekatan kajian organisasi industri. Pendekatan SCP pertama kali diperkenalkan oleh Edward S. Mason dan dikembangkan oleh muridnya Joe S. Bain dari Harvard University pada tahun 1940-an dan 1950-an dalam bukunya

Industrial Organization” (Purcell 1979). Model-model mikroekonomi digunakan untuk menjelaskan berbagai interaksi yang kompleks antar komponen dalam kerangka SCP. Model mikroekonomi yang berlaku dapat berbeda antara satu industri dengan industri lainnya sehingga model mana yang berlaku lebih merupakan masalah empiris (Fahmi 2012). Pendekatan SCP yang dikenal dengan nama pendekatan strukturalis pada awalnya mempunyai postulat bahwa kinerja (P) secara linear ditentukan oleh perilaku (C) perusahaan yang berada dalam suatu industri dan perilaku kemudian ditentukan oleh struktur pasar (S) dimana perusahaan itu berada. Namun dalam perkembangannya, pendekatan ini kemudian mengalami perubahan (evolusi), dimana suatu waktu berada pada sistem dimana S (Stucture) dan C (Conduct) adalah faktor penentu P (Performance) dan di lain waktu S dan C dapat ditentukan oleh P.

(32)

Market Stucture (Struktur Pasar)

Allocative Efficiency, Production Efficiency, Rate of Technologycal Advance, Quality and Service, Equity

MARKET BASIC CONDITION

Demand Condition and Supply Condition

Number of sellers and buyers Product differentiation Barriers to entry and exit Market Concentration Technology

Market Conduct (Perilaku Pasar)

Pricing Strategy, Product Strategies

Advertising, Plant Investment, Collution, Mergers,

Research and Development

Market Performance (Kinerja Pasar)

Government Policy

perilaku pasar akan menentukan kinerja pasar (market performance). Sedangkan, kebijakan pemerintah dalam pasar persaingan tidak sempurna (imperfect competitive market) dapat mempengaruhi struktur, perilaku dan kinerja pasar. Tanda panah putus-putus menunjukkan adanya hubungan timbal balik, dimana kinerja pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan perilaku pasar. Sebaliknya perilaku pasar suatu waktu dapat mempengaruhi struktur dan kinerja pasar yang terjadi.

Gambar 6 The Structure-Conduct-Performance Paradigm Sumber : Mason (1940) dalam Waldman dan Jensen (2007)

(33)

keputusan untuk research and development. Kinerja pasar (market performance) pada akhirnya akan menggambarkan hasil dari perilaku perusahaan yang dimungkinkan oleh struktur pasar yang terbentuk (Waldman dan Jensen 2007).

Secara teoritis struktur pasar yang relatif terkonsentrasi akan menimbulkan kekuatan pasar bagi perusahaan dominan untuk menetapkan harga dan menghambat masuk calon pesaing. Jika kekuatan pasar ini dimanfaatkan, maka perusahaan yang dominan akan memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan pesaingnya. Oleh karenanya, kinerja pasar dapat tergambar dari tingkat keuntungan dan social welfare yang akan diterima industri dalam suatu pasar sebagai efek dari terbentuknya suatu struktur, perilaku dan kinerja pasar. Pada struktur pasar tidak bersaing, kebijakan pemerintah baik berupa intervensi langsung maupun secara tidak langsung akan mempengaruhi lingkungan bisnis dimana industri beroperasi. Bentuk kebijakan pemerintah dapat berupa regulasi pada berbagai tingkatan mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri. Aspek yang diatur dapat bekenaan langsung dengan industri yang bersangkutan seperti penetapan tingkat pajak dan subsidi, anti persaingan yang tidak sehat dan insentif investasi serta pajak.

Pendekatan SCP dalam Sistem Pemasaran

Menurut Dahl dan Hammond (1977) analisis sistem pemasaran dapat dikaji menggunakan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance). Keuntungan pendekatan ini antara lain mampu menganalisis kondisi sistem pemasaran secara komprehensif dan dinamis. Pendekatan SCP dapat menangkap respon produsen atau perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya hubungan timbal balik antar komponen SCP.

1. Struktur Pasar (Market Structure)

Struktur pasar menunjukkan bagaimana kekuatan pasar dalam suatu sistem pemasaran. Struktur pasar (market structure) merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari banyaknya jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar, diferensiasi produk dan kondisi keluar masuk pasar (Kohls dan Uhl2002). Perbedaan setiap elemen akan membedakan cara masing-masing lembaga pemasaran berperilaku, dan akan menentukan perbedaan kinerja pasar yang terjadi. Struktur pasar yang terbentuk dapat menentukan pola pembentukan harga suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran.

(34)

Tabel 1 Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah

Perusahaan Sifat Produk

Dari Sudut Penjual

Dari Sudut Pembeli Banyak Standar/ homogen Persaingan murni Persaingan murni Banyak Differensiasi Persaingan

monopolistik

Persaingan monopsonistik Sedikit Standar Oligopoli murni Oligopsoni murni Sedikit Differensisasi Oligopoli

differensiasi

Oligopsoni differensiasi

Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber : Dahl dan Hammond (1977)

Menurut Kohls dan Uhl (2002) sisi ekstrim pasar bersaing tidak sempurna adalah pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli ciri utamanya adalah penjual tunggal, sedangkan pasar monopsoni pembeli tunggal. Oligopoli adalah pasar dengan beberapa penjual, sedangkan oligopsoni adalah pasar dengan beberapa pembeli. Untuk pasar persaingan monopolistik adalah situasi diantara bersaing sempurna dan oligopoli, yaitu terlalu banyak perusahaan namun pasar tidak cukup kriteria tersebut menjadi pasar bersaing sempurna. Masing-masing perusahaan berusaha agar produk atau jasanya unik dan berbeda dari perusahaan lain.

a. Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar merupakan hal penting dalam aspek pemasaran. Peningkatan pangsa pasar mengindikasikan terjadinya peningkatan persaingan bagi suatu perusahaan dalam sebuah industri. Menurut Jaya (2001) pangsa pasar merupakan besarnya bagian atau luasnya total pasar yang dapat dikuasai oleh suatu perusahaan yang biasanya dinyatakan dalam persentase. Pangsa pasar dapat diukur dari 0 sampai 100 persen. Menurut Besanko et al. (2010) pangsa pasar dapat dihitung dengan menggunakan penerimaan penjualan atau kapasitas produksi. Pangsa pasar menggambarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dari hasil penjualannya.

MSi = � x 100 (1)

dimana :

MSi = pangsa pasar perusahaan i (%)

Si = penjualan atau kapasitas produksi perusahaan i (rupiah) Stot = total penjualan atau produksi seluruh perusahaan (rupiah)

(35)

persaingan. Menurut Charles et al. (2001) besarnya pangsa pasar setiap saat akan berubah sesuai dengan perubahan selera konsumen atau berpindahnya minat konsumen dari suatu produk ke produk lain. Menurut Jaya (2001) apabila setiap perusahaan memiliki pangsa pasar yang rendah maka akan tercipta persaingan yang efektif.

b. Konsentrasi Pasar (Market Concentration)

Konsentrasi pasar memiliki keterkaitan yang erat dengan pangsa pasar. Konsentrasi pasar merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis dimana mereka menyadari adanya saling ketergantungan (Jaya 2001). Menurut Waldman dan Jensen (2007) terdapat beberapa indeks yang dapat digunakan dalam mengukur konsentrasi pasar, yaitu rasio konsentrasi (concentration ratio atau CR) dan Herfindahl Hirchman Index (HHI). Rasio konsentrasi menghitung persentase penjualan (sales) di pasar dari jumlah absolut beberapa perusahaan besar yang ada di pasar. Konsentrasi pasar menunjukkan pangsa pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar .

Menurut Baye (2010) rasio konsentrasi dapat digunakan untuk mengukur structural power karena melibatkan jumlah absolut perusahaan dan ukuran distribusi. Contohnya perhitungan CR4 yaitu mengukur konsentrasi dari empat perusahaan terbesar yang ada dalam suatu pasar. Nilai CR berada diantara 0 sampai 100. Untuk pasar persaingan sempurna CR sama dengan 0 dan untuk monopoli CR sama dengan 100.

CRx = Σ MSi; (x = 1,2,3,…, n) (2)

dimana :

CRx = Konsentrasi rasio dari x perusahaan terbesar dalam suatu pasar

MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i

Keterbatasan pengukuran CR adalah hanya mencakup sebagian kecil perusahaan yang menguasai sebagian besar pasar sehingga pengukuran ini belum menunjukkan besarnya distribusi antar perusahaan. Keunggulannya adalah pengukuran menjadi lebih mudah karena didukung oleh data-data. HHI diciptakan oleh Orris Herfindahl dan Albert Hirchman. HHI mengukur jumlah pangkat dari ukuran perusahaan di pasar dimana ukuran di hitung dari persentase total penjualan di pasar (Baye 2010).

= � � 2 ; (i = 1,2,3,…,n) (3)

dimana :

HHI = Herfindahl Hirchman Index

MSi = Persentase pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i n = Jumlah perusahaan di pasar

(36)

pasar perusahaan dalam suatu pasar. Keunggulannya adalah kemampuannya dalam melihat ketidakseimbangan yang ada karena menghitung semua perusahaan yang terlibat.

c. Hambatan Masuk (Barriers to Entry)

Hambatan masuk merupakan segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru. Menurut Bain dalam Waldman dan Jensen (2007) terdapat empat hambatan struktural dalam memasuki suatu pasar yaitu skala ekonomi, biaya modal, keuntungan biaya absolut dan keunggulan dalam melakukan diferensiasi produk. Kondisi ini sangat menentukan tingkat persaingan (degree of competition) baik yang aktual maupun yang potensial sehingga dapat mempengaruhi struktur pasar yang terjadi. Pesaing potensial adalah perusahan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Hai 2002).

Skala ekonomis (economies of scale) dapat menjadi hambatan masuk pasar apabila perusahaan kalah bersaing karena adanya biaya rata-rata yang meningkat dibandingkan dengan perusahaan lain (pesaing). Apabila biaya rata-rata suatu perusahaan dalam jangka panjang (LRAC) lebih efisien artinya terjadi pertambahan volume produksi yang dapat mengakibatkan biaya produksi rata-rata menurun atau semakin kecil (economies of scale), maka perusahaan lain yang tidak dapat meningkatkan volume produksinya dengan biaya yang lebih kecil akan kalah bersaing (diseconomies of scale). Dengan kata lain, apabila perusahaan bergerak sepanjang kurva LRAC dari kiri sampai pada titik A (Minimum Efficiency Scale), berarti perusahaan telah menaikkan atau memperbesar kapasitas produksi untuk meningkatkan volume produksi. Semakin besarnya volume produksi, maka biaya produksinya per unit semakin menurun sehingga kegiatan produksi perusahaan akan menjadi efisien. Oleh karenanya, skala ekonomis akan membatasi perusahaan baru (entrant) untuk memasuki pasar dan melindungi market power perusahaan di pasar (incumbent). Pada Gambar 7 terlihat kondisi biaya jangka pendek dan jangka panjang yang dapat terjadi dalam perusahaan.

Economies of Scale Diseconomies of Scale

Gambar 7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve

Qa

LRAC A

Output Biaya (ATC)

Output AC4

AC3 AC2

(37)

Menurut Jaya (2001) salah satu cara yang digunakan untuk melihat hambatan masuk adalah dengan mengukur skala ekonomi yang dilihat melalui output perusahaan yang menguasai pasar. Nilai output ini kemudian dibagi dengan output total industri. Data ini disebut dengan MES (Minimum Efficiency Scale). MES merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan mengukur kemampuan masuknya pendatang baru kedalam suatu industri yang didekati melalui output perusahaan.

MES = ℎ x 100 % (4)

2. Perilaku Pasar (Market Conduct)

Menurut Kohls dan Uhl (2002) perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam menghadapi struktur pasar tertentu. Komponen ini mencakup berbagai strategi harga maupun produk yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri. Bentuk dan intensitas perilaku yang dapat dilakukan oleh masing-masing perusahaan sangat tergantung kepada struktur pasar dimana mereka beroperasi. Adapun elemen-elemen yang terdapat didalam perilaku pasar meliputi segala aktivitas dalam pemasaran (fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas), kondisi saluran pemasaran yang terangkum dalam sistem kelembagaan pasar serta penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan harga, perilaku curang dalam menimbang atau kolusi. Selain itu dalam perilaku pemasaran juga terlihat kondisi kerjasama antar lembaga pemasaran dalam praktek fungsi pemasaran yang dilakukan (Dahl dan Hammond 1977).

Pada pendekatan SCP, hubungan yang terjadi merupakan interaksi antara struktur, perilaku dan kinerja pasar. Perusahaan yang memiliki kekuatan pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga diatas harga kompetitif. Perusahaan akan berlaku sebagai pemimpin pasar. Pemimpin pasar (leader) biasanya akan menentukan harga dan output menurut pandangannya yang menguntungkan dan terhindar dari ancaman pemerintah dan persaingan pasar. Sebaliknya perusahaan-perusahaan kecil akan mengikuti harga yang telah disepakati oleh pemimpin pasar. Perusahaan-perusahaan kecil bebas menentukan pilihan apakah akan mengikuti keputusan pemimpin pasar atau menentukan harga jual sesuai keputusan sendiri, namun dengan konsekuensi yang diterima yaitu akan menghadapi ancaman kemungkinan keluar dari pasar (Carlton dan Perloff 2000).

a. Sistem Kelembagaan Pasar

Menurut Kohls dan Uhl (2002) kelembagaan pemasaran merupakan berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran (aktivitas bisnis). Adapun yang termasuk dalam istilah lembaga pemasaran antara lain:

(38)

(2) Agen perantara (agent middlemen) merupakan pihak yang hanya mewakili klien yang disebut principals dalam melakukan penanganan produk atau jasa. (3) Spekulator (speculative middlemen) adalah pedagang perantara yang

membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal)

(4) Pengolah dan pabrikan (processors and manufacturers) merupakan kelompok bisnis yang beraktivitas dalam menangani produk dan merubah bentuk bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.

(5) Organisasi (facilitative organization) berperan dalam memperlancar aktivitas pemasaran. Contohnya dalam membuat peraturan-peraturan kebijakan, pelelangan, asosiasi eksportir atau importir, pembiayaan dan peraturan pasar.

Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa pendekatan fungsional merupakan proses penyampaian barang dan jasa kepada konsumen yang dilakukan dengan proses yang lancar. Fungsi-fungsi pemasaran tersebut meliputi : 1. Fungsi pertukaran yaitu kegiatan yang memperlancar pemindahan hak milik dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran terdiri atas fungsi pembelian, fungsi penjualan dan fungsi pengumpulan.

2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu. Fungsi ini merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk/jasa serta turunannya. Fungsi ini meliputi fungsi penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan pengangkutan.

3. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi standardisasi, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, promosi, komunikasi dan fungsi informasi pasar.

b. Sistem Penentuan Harga

Harga merupakan faktor penting dalam sistem pemasaran. Menurut Dahl dan Hammond (1977) terdapat 2 cara yang digunakan dalam penentuan harga yaitu penentuan harga secara teori ekonomi (price determination) dan melalui aspek operasional atau mekanisme penemuan harga (price discovery). Hal ini sejalan dengan pendapat Kohls dan Uhl 2002 yang menyatakan bahwa dalam sistem pemasaran penentuan harga dapat dilihat secara teori ekonomi dengan pendekatan supply dan demand baik pada pasar kompetitif (pasar persaingan sempurna) dan pasar monopoli. Respon petani dalam menghadapi struktur pasar tertentu akan mempengaruhi tingkat harga yang diterimanya (Tomek dan Robinson 1990).

Gambar

Gambar 6  The Structure-Conduct-Performance Paradigm
Tabel 1  Struktur pasar berdasarkan jumlah perusahaan dan sifat produk
Gambar 7 Average cost (AC) and long run average cost (LRAC) curve
Gambar 8  Pembentukan harga di tingkat petani, pedagang dan pasar produk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pemanfaatan tambak bagi budidaya rumput laut di Kabupaten Lutra diperlukan upaya perbaikan tanah melalui remediasi, serta pengeringan tanah pada saat persiapan

Pada Gambar 7c, korelasi antara rentang waktu dan magnitudo, dengan metode polarisasi ditemukan bahwa pada magnitudo yang semakin besar, akan ditemukan anomali dengan

Berdasarkan hasil informasi yang didapat dari guru matematika kelas VII di SMP Luhur Baladika pada 12 November 2019, Bahwa salah satu materi yang dirasa sulit untuk

Further, in absence of a geospatial infrastructure, responsible agencies lack integrated decision supports to process incoming data and information into sound knowledge for

Masalah yang terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis, pasien merasakan cemas karena proses dialisis yang cukup panjang dan lama, sehingga pasien memerlukan

2) Alat perbaikan faktor daya beban rumah tangga dengan menggunakan switching kapasitor dan induktor yang dirancang dan dibuat pada penelitian ini, mampu

USG Boral tidak dapat menjangka semua keadaan yang mana maklumat ini dan produknya, atau produk pengilang-pengilang lain yang bergabung dengan produknya, boleh digunakan. Adalah

Rasio aktivitas ( activity ratio ) atau yang disebut rasio manajemen aset merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam menggunakan aktiva