• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi setiap manusia yang merupakan investasi

untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu, diselenggarakan

pembangunan kesehatan secara menyeluruh agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat setinggi-tingginya secara adil dan merata tanpa adanya diskriminasi.

Kesehatan merupakan faktor yang sangat penting dalam tahapan hidup manusia.

Dengan kondisi yang sehat, manusia dapat melakukan aktivitas sehari-harinya

dengan baik, tanpa terganggu oleh kesehatan tubuh yang kurang optimal

(Kemenkes RI, 2010).

Permasalahan kesehatan terjadi karena munculnya suatu kondisi yang

berisiko menjadi penyebab terjadinya gangguan kesehatan, seperti perilaku

orientasi seksual yang berisiko mengakibatkan terjadinya infeksi menular seksual

(IMS) yang berisiko tinggi terjadi penularan pada hubungan seksual yang bersiko,

seperti hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, tidak memakai

kondom, dan hubungan seksual sesama jenis/homoseksual (Widoyono, 2011).

Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya

program penanggulangan IMS yang efektif semakin dirasakan semenjak

dibuktikan bahwa IMS merupakan faktor resiko independen untuk penularan HIV

(2)

ternyata dapat memperbesar resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The

United Nations High Commissioner for Refugee, 2010).

IMS sering juga disebut penyakit kelamin yaitu penyakit yang sebagian

besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin baik hubungan

heteroseksual maupun homoseksual. Sebelum dikenal sebagai IMS, jenis penyakit

ini sudah cukup lama dikenal dengan sebutan penyakit kelamin (venereal

disease). Saat ini penyakit kelamin yang dikenal oleh banyak orang baru sifilis

(syphilis) dan gonore (gonorrhea), padahal masih banyak lagi jenis IMS yang

lainnya. IMS dikenal juga dengan sebutan Penyakit Akibat Hubungan Seksual

(PHS) atau Sexually Transmitted Disease (STD) (Dirjen PP & PL Kemenkes,

2013).

Pada dasarnya setiap orang yang sudah aktif secara seksual dapat tertular

IMS. Namun yang harus diwaspadai adalah kelompok beresiko tinggi terkena

IMS yaitu orang yang suka berganti-ganti pasangan seksual dan perilaku seksual

sejenis (homoseksual). Orang yang mengidap IMS memiliki resiko yang lebih

besar untuk terinfeksi HIV yang ditularkan melalui hubungan seks. Penderita IMS

mempunyai resiko 2-9 kali lebih besar untuk tertular HIV dibandingkan bukan

penderita. Oleh karena itu program penanggulangan IMS meliputi pengamatan

penyakit, penemuan kelom, pengobatan dan pencegahan ditingkatkan disemua

daerah (KPA Nasional, 2013).

Menurut WHO (2009), memperkirakan 340 juta kasus baru penyakit

menular seksual (Sifilis, Gonore, Klamidia dan Trikhomonas) terjadi setiap

(3)

komplikasi akibat infeksi menular seksual diperingkat lima teratas kategori

penyakit lain yang membutuhkan perawatan. Infeksi dengan IMS dapat

menyebabkan gejala akut, infeksi kronik, infertilitas, kehamilan ektopik, kanker

leher rahim dan kematian mendadak bayi dan orang dewasa (BKKBN, Kemenkes

RI, USAID, 2012).

Semua jenis infeksi yang menyebabkan gangguan pada saluran reproduksi

perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan kepada masyarakat, sehingga akan

sangat membantu dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat. Dimana

setiap tahunnya ada sekitar 30.000 orang menderita infeksi menular seksual,

sebagian besar (>50%) tidak menyadari dirinya terinfeksi, dan sekitar 24%

ditularkan oleh pelaku homoseksual (Yulifah, 2009).

Angka kejadian IMS saat ini cenderung meningkat di Indonesia. Ini bisa

dilihat dari angka kesakitan IMS di Indonesia pada Tahun 2007 adalah sebanyak

11.141 kasus kejadian IMS. Angka kesakitan ini mengalami peningkatan bila

dibandingakan dengan hasil survei pada Tahun 2008 yaitu sebanyak 16.110 kasus

kejadian IMS, sedangkan pada Tahun 2009 sebanyak 19.973 kasus Kejadian IMS

di Indonesia. Penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah

dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang

sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya

(Kemenkes RI, 2009).

Angka prevalensi IMS di Indonesia cukup tinggi, misalnya penelitian pada

312 pelaku LSL di Jakarta (2009): angka prevelensi 24,7% dengan infeksi

(4)

0,3%. Penelitian di Surabaya pada 199 pelaku LSL didapatkan infeksi virus

Herpes simpleks sebesar 9,9%, Klamidia 8,2%, Trikomonas 4,8%, Gonore 0,8%

dan Sifilis 0,7%. Suatu survey di 3 Puskesmas di Surabaya pada 194 pada

pengunjung klinik IMS diperoleh proporsi tertinggi infeksi trikhomonas 6,2%,

sifilis 4,6% dan klamidia 3,6% (Kemenkes, 2009).

Perkembangan epidemi IMS telah menyebabkan infeksi tersebut menjadi

masalah global dan semakin nyata menjadi masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Dalam rangka mempercepat upaya penanggulangan IMS di Indonesia,

sangatlah penting untuk memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,

dukungan serta pengobatan dimana keduanya merupakan komponen penting dan

saling melengkapi. Kurang disadarinya resiko penularan IMS oleh kelompok

beresiko termasuk pelaku LSL (Lelaki Seks Lekali) serta masih rendahnya

kesadaran untuk mengetahui resiko terinfeksi IMS yang dimilikii. Keadaan ini

menyebabkan tingginya kasus kejadian IMS merupakan isu strategis yang

digunakan sebagai sasaran respon pengendalian epidemik IMS dan AIDS (Komisi

Penanggulangan AIDS, Family Health International, 2009).

Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS/IMS-AIDS ditingkat

pelayanan dasar masih ditujukan kepada kelompok beresiko termasuk kelompok

LSL yang berupa upaya pencegahan dan penanggulangan IMS dengan

pendekatan pelayanan kesehatan khusus. Saat ini masih ditemui hambatan

sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam pengobatannya,

sehingga menyebabkan laju epidemi IMS meningkat terutama melalui hubungan

(5)

Jumlah kasus infeksi menular seksual (IMS) di Indonesia, mencapai angka

22869 kasus dengan kasus positif AIDS terbaru sebanyak 1876 kasus. Sebanyak

5419 kasus baru IMS (23,67%) disebabkan oleh hubungan seksual beresiko yang

dilaukukan oleh LSL dengan pasangan seksual sejenisnya. Berdasarkan

karakteristik umur bahwa sebagian besar IMS terjadi pada rentang usia yang

produktif yakni 8352 kasus (36,52%)terjadi pada penderita dengan rentang usia 20

– 29 tahun dan 5890 kasus IMS baru (25,76%) terjadi pada penderita dengan

rentang usia 30 – 39 tahun (KPAN, 2015).

Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi penanggulangan AIDS (KPA)

Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2014 terhadap jumlah estimasi LSL, di

Sumatera Utara terdapat 20.156 orang LSL, di kota Medan sendiri terdapat 1.860

orang LSL berdasarkan estimasi data terbaru pemetaan Desember 2015, fenomena

gunung es juga berlaku pada komunitas ini, dalam kenyataannya di masyarakat

komunitas ini terselubung dan lebih tertutup keberadaannya, hal ini sangat

menjadi kekhawatiran akan dapat meningkatnya risiko seseorang yang

berhubungan seks dengannya terkena Infeksi Menular Seksual (IMS).

Data dari Puskesmas Teladan didapatkan untuk tahun 2015 dari 93 kasus

IMS yang terjadi diwilayah kerja Puskesmas Teladan diketahui bahwa terdapat

penderita Sifilis 15 orang (16,13%), Gonore 48 orang (51,61%), Uretritis 2 orang

(2,15%), Servicitis 2 orang (2,15%), Suspec GO 19 orang (20,43%) dan lain-lain

7 orang (3,57%). Pada tahun 2015 dari 270 kasus IMS terdapat penderita Sifilis

62 orang (22,96%), Herpes genital 5 orang (1,85%), Urethritis 5 orang ( 1,85%),

Gonore 36 orang ( 13,3% ), Kandidiasis 16 orang (5,92%), Servicitis 44 orang (

(6)

lain-lain 46 orang (8,53%). Dari data dapat kita lihat pada kenyataannya terjadi

peningkatan dari jumlah kasus yang mengalami IMS tersebut (Laporan Tahunan

Puskesmas Teladan, 2015).

Menurut Fitriana (2012), fenomena peningkatan dan penyebaran kasus

infeksi menular seksual yang terjadi demikian cepat menyebabkan bahwa

penyakit infeksi menular seksual yang sangat berpotensi meningkatkan risiko

penularan HIV melalui hubungan seksual, terutama hubungan seksual yang

beresiko seperti hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan dan hubungan

seskual sesama jenis atau homoseksual terlebih pada LSL (Lelaki Seks Lelaki)

sehingga sangat membutuhkan perhatian dalam pencegahan dan

penanggulangannya. Upaya tersebut tentunya harus didukung dari tingkat

pelayanan yang diberikan secara komprehensif.

Pemerintah kota Medan pada saat ini sudah membuat program

penanggulangan penyakit menular seksual termasuk IMS/AIDS dikabupaten/kota,

dimana untuk Puskesmas Teladan sudah ada beberapa program saja yang sudah

dilaksanakan, diantaranya program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

sebagai upaya komunikasi perubahan perilaku (KPP) atau Behavior Change

Communication (BCC), Program penanganan IMS, Konseling dan Testing

Sukarela (VCT) yang merupakan layanan khusu IMS dan AIDS yang disedikan

Puskesmas Teladan Medan.

Berdasarkan standar minimum klinik IMS, maka setiap klinik IMS harus

melakukan hal-hal seperti kegiatan pencegahan, target pelayanan bagi kelompok

(7)

pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS, program penapisan,

program penatalaksanaan mitra seksual, sistem monitoring dan surveilen yang

efektif (Kemenkes RI, USAID, Family Health International,2007).

Dibentuknya klinik IMS di Puskesmas Teladan, bukan berarti pemerintah

kota Medan melegalkan keberadaan prostitusi atau hubungan seks bebas, sehingga

harus menfasilitasi pembentukan sebuah klinik. Akan tetapi lebih didorong atas

pesan moral pada individu. Setelah pesan moral dilakukan dengan memberikan

penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan oleh hubungan seks yang beresiko,

pencegahan infeksi penyakit dan yang terakhir langkah pengobatan. Langkah

terakhir itu harus dilakukan pemerintah terkait dengan fungsi sosialnya yaitu

menyediakan tempat kesehatan secara khusus dan bukan berbentuk klinik umum

lagi. Ini dimaksudkan agar orang lebih mudah mengenali dan terarah. Klinik IMS

diharapkan mampu mencegah penularan penyakit PMS seperti IMS/AIDS

(Raharjo dalam Mardin Purba, 2009).

Puskesmas Teladan merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan

dasar yang dipilih di kota Medan sebagai wujud dalam membantu upaya

pencegahan dan penanggulangan penyakit menular seksual yang bekerja sama

dengan dinas kesehatan kota Medan. Pelayanan yang diberikan diantaranya

konseling, terapi obat, sosialisasi kondom dan sebagainya, sedangkan bagi pasien

yang gejala kemungkinan IMS maka dilakukan rujukan pemeriksaan lebih lanjut

ke Rumah Sakit Pemerintah.

Penapisan terhadap pasien IMS khususnya pelaku LSL (Lelaki Seks

(8)

atau komunitas mereka tidak membolehkan melakukan pemeriksaan dan

pengobatan secara terpadu di fasilitas layanan kesehatan. Lelaki Seks Lelaki

(LSL) tersebut juga merasa takut diketahui oleh orang kalau ia mengalami

penyakit infeksi menular seksual dan adanya rasa malu dari LSL tersebut untuk

memperoleh pelayanan dan pengobatan tentang IMS. Kondisi demikian

disebabkan oleh lingkungan dan kehidupan adat istiadat yang kental serta

masyarakat yang akan mengucilkannya dalam berinteraksi secara sosial, sehingga

pelayanan diklinik IMS tersebut belum dapat menjaring para LSL yang beresiko

mengalami IMS dalam melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan

IMS.

Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba (2009), faktor-faktor yang

memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran IMS adalah kurangnya akses

penderita IMS ke fasilitas pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang

tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain

atau klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negatif

terhadap kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan .

Hasil penelitian Agustina (2013) mengenai hubungan pelayanan klinik

infeksi menular seksual dengan upaya pencegahan dan penanggulangan IMS pada

wanita usia subur beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh menunjukkan

bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya untuk menjadikan inndividu yang

beresiko memanfaatkan pelayanan klinik IMS adalah kesadaran/ minat

masyarakat. Hal ini didukung oleh kebiasaan masyarakat yang lebih cenderung

melakukan pengobatan sendiri atau secara tradisional dalam mengobati IMS dan

(9)

perasaan malu serta takut jika diketahui orang kalau mengalami IMS, dan

ketidakpercayaan akan petugas kesehatan yang mampu menjaga rahasia dengan

baik apabila berkunjung ke klinik IMS untuk melakukan pemeriksaan kesehatan.

Hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan signifikan antara

kesadaran/minat dengan pencegahan dan penanggulangan IMS.

Berdasarkan jumlah data kunjungan layanan IMS oleh LSL pada sepuluh

puskesmas di Kota Medan yang memiliki layanan IMS dan VCT yaitu :

Puskesmas Veteran 595 orang, Puskesmas Teladan 256 orang, Puskesmas Padang

Bulan 163 orang, Puskemas Bastari 72 orang, Puskesmas Sering 10 orang,

Puskesmas Helvetia 8 orang, Puskesmas Medan Deli 3 orang, dan sementara itu

Puskesmas Belawan, Puskesmas Medan Area Selatan, Puskesmas Bromo,

selebihnya tidak ada seorang LSL datang mengunjungi layanan IMS tersebut

(KPA kota Medan, 2014).

Penelitian Malau (2015) mengenai hubungan perilaku pencegahan

terhadap kejadian HIV pada kalangan LSL di Klinik IMS dan VCT Veteran

Medan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan

layanan tes HIV di klinik IMS ialah persepsi kerentanan dan keseriusan LSL

terhadap resiko terkena penyakit IMS, persepsi hambatan dan manfaat dalam

menggunakan layanan kesehatan yang disediakan, isyarat untuk bertindak dan

kemampuan untuk bertindak dan memanfaatkan layanan kesehatan di klinik IMS.

Dari hasil survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, Menurut hasil

Laporan Bulanan dari bulan Januari – Desember 2015 menyebutkan bahwa secara

(10)

IMS terjadi di kelompok-kelompok yang beresiko tinggi, yaitu Wanita Pekerja

Seks (WPS) (3,7%), Waria (14,4%), IDU (1,6%), Pelayan Pekerja Seks (PPS)

(0,5%), hubungan Pasutri (48,9%), LSL (15,8%), pelanggan PS (15,1%). Untuk

LSL sendiri data kunjungannya adalah 309 orang pasien. Penemuan kasus yang

lebih banyak pada kelompok LSL juga belum menunjukkan keadaan

sesungguhnya di masyarakat, mengingat pemeriksaan dilakukan hanya terhadap

individu yang secara sukarela datang ke klinik IMS dan VCT (Voluntary

Counselling and Testing) atau tidak secara menyeluruh.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian di Puskesmas Teladan kota Medan tentang faktor-faktor

yang memengaruhi pemanfaatan layanan klinik IMS Puskesmas. Hal ini perlu

dilakukan untuk mengetahui seberapa maksimal pelayanan yang dilaksanakan

Puskesmas Teladan kota Medan pada kelompok LSL dalam meningkatkan

pelayanan kesehatan di klinik IMS untuk menanggulangi penyakit IMS yang

menjadi masalah kesehatan di kelompok LSL, sehingga layanan di klinik IMS

Puskesmas Teladan tersebut banyak dikunjungi oleh LSL setelah Puskesmas

Veteran di kota Medan .

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan

(11)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang

memengaruhi pemanfaatan layanan puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di

klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran karakterik demografis responden yang meliputi

umur, pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan.

2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik LSL yang meliputi mulai menjadi

LSL, jumlah pasangan seksual yang dimiliki, dan intensitas hubungan seksual

dengan pasangan seksual.

3. Untuk mengetahui gambaran persepsi kerentanan, persepsi keseriusan,

persepsi manfaat dan hambatan, isyarat untuk bertindak, dan kemungkinan

mengambil tindakan bagi LSL untuk memanfaatkan layanan kesehatan di

Klinik IMS Puskesmas Teladan.

4. Untuk mengetahui gambaran pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di

Klinik IMS Puskesmas Teladan Medan Tahun 2016.

5. Untuk mengetahui pengaruh faktor persepsi kerentanan, persepsi keseriusan,

persepsi manfaat dan hambatan, isyarat untuk bertindak, dan kemungkinan

mengambil tindakan terhadap pemanfaatan layanan Puskesmas oleh LSL di

(12)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi institusi (Dinas Kesehatan Kota Medan, Komisi Penanggulangan

AIDS kota Medan, dan Puskesmas Teladan) sebagai bahan masukan untuk

mengembangkan metode terbaru dan pendekatan pendidikan kesehatan

yang aplikatif untuk meningkatkan perilaku pemanfaatan layanan

puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di klinik IMS Puskesmas

Teladan Kota Medan.

2. Bagi Universitas Sumatera Utara, sebagai literatur kepustakaan di bidang

penelitian mengenai faktor – faktor yang memengaruhi pemanfaatan

layanan puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di klinik IMS

Puskesmas Teladan Kota Medan tahun 2016.

3. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat digunakan sebagai perbandingan atau

bahan referensi bagi penelitian dengan objek yang sama di masa

Referensi

Dokumen terkait

Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kantor. Pelayanan Pajak Pratama Cirebon memutuskan Pelelangan ini

[r]

UNIVERSITAS GADJAH MADA SEKOLAH VOKASI.. PROGRAM DIPLOMA TEKNIK

Pada hari ini, Rabu tanggal Tiga Puluh Satu bulan Oktober tahun Dua Ribu Dua Belas, dimulai pukul 09.30 WIB (10.30 WITA), sampai dengan pukul 14.30 WIB (15.30 WITA) telah

Barang/asa Nomor 118/PAN-PL/!KG/DM/20L2 tanggal 20 November 2012 untuk Pekerjaan Pengadaan Peralatan Untuk Kelengkapan Klinik di RSGM Prof. Soedomo Fakultas

Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat kebersihan saat ini, naik pada peralatan, mesin ataupun lingkungan masih kurang baik sehingga perlu diperhatikan lagi untuk masalah

[r]

Dimana modul interaktif ini dapat memberi kemudahan kepada pengguna yang ingin memperdalam atau memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan lebih jauh tentang mata palajaran Biologi Kelas