MEDAN: STUDI KASUS PADA KURNIA
DAN KAHFI DENGAN PENDEKATAN
PARADIGMA KONSTRUKTIVIS
Syafruddin Pohan
Departemen Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Sumatera Utara.
�
[email protected]Latar Belakang
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasiikasikan sebagai low functioning autism.
Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classiication of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.
Permasalahan Penelitian
Penelitian komunikasi yang memfokuskan dirinya pada kajian komunikasi manusia yang menyangkut disabilitas anak seperti anak autis di Indonesia masih sangat jarang mendapat perhatian. Beberapa permasalahan penelitian yang menjadi perhatian utama adalah:
1. Bagaimana komunikasi antar pribadi yang dilakukan orang tua terhadap anaknya yang menyandang autis?
2. Bagaimana peran komunikasi guru dan sekolah dalam membimbing dan mengarahkan potensi anak muridnya yang menyandang autis? 3. Bagaimana konsep diri anak autis dalam berkomunikasi dengan
lingkungannya?
Tujuan Penelitian
Sebagaimana permasalahan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini menggunakan domain taksonomi Bloom (kognitif, afektif dan psikomotor) sebagai berikut:
1. Untuk mengevaluasi komunikasi antar pribadi yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.
2. Untuk memetakan karakterisasi gaya hidup anak autisme.
3. Untuk mengeksplorasi penemuan hasil kreasi dan ciptaan murid autis.
Metodologi Penelitian
waktu yang telah ditentukan (Cresswell, 2010 : hal. 20). Secara lebih spesiik penelitian studi kasus ini memfokuskan pada “konteks”, yang menurut Denzin dan Lincoln bahwa kasusnya b tunggal (satu orang) tapi bersifat mendalam misalnya tentang produksi, pemasaran, dan penjualan). Kasus yang dipilih bersifat kontekstual, unik, dan kompleks dalam konteks isik, ekonomi, etika, estetika, dan lainnya (Denzin dan Lincoln, 2000: 441-440).
Penelitian ini menggunakan paradidma konstruktivisme atau komunikasi berbasis diri. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak hanya sekadara alat untuk memahami realitas objektif dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya (Ardianto, 2007: 153-154)
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam dengan Kurnia dan sejumlah orang yang dekat dengannya seperti ayah dan ibu serta gurunya (Siti Rahmah, informan kunci). Wawancara dengan Kurnia dilakukan dengan bantuan guru dan orang tuanya karena ada kalanya Kurnia tidak bisa memahami dengan baik apa yang ditanyakan peneliti. Wawancara juga dilakukan terhadap orang tua Kahi, karena Kahi sedang ada kegiatan yang tidak bisa diganggu. Selain wawancara, penelitian ini juga menggunakan observasi di sekitar rumahnya dan di SLB TPI Medan Amplas. Sedangkan untuk Kahi peneliti tidak melakukan observasi kepadanya melainkan kepada ayahnya saja. Kedua teknik ini –wawancara dan observasi—dimaksudkan sebagai upaya untuk memperoleh data yang lebih baik dalam rangkaian teknik triangulasi data.
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif yang bersifat kualitatif. Dalam hal ini data penelitian akan dideskripsikan secara mendalam dan menyeluruh. Langkah berikutnya hasil data penelitian yang didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan teori -teori komunikasi yang relevan.
Hasil Penelitian
di SD Muhammadiyah menunjukkan kesenangannya pada pelajaran Matematika dan Kesenian. Dua bidang itu makin terasah dengan baik dan sering mendapat nilai yang tinggi. Pada awalnya menurut ayahnya, mungkin saja gurunya kasihan atau berempati dengan kondisi autis yang dihadapi Kurnia sehingga diberi nilai bagus, khususnya pelajaran Matematika dan Kesenian. Model pembelajaran berhitung matematika Kurnia bertumpu pada kemampuan menghitung perkalian dan pembagian dengan menggunakan jari-jarinya (manual) dan dilakukan berulang-ulang (pervasif). Cara ini menjadi kebiasaannya dan Kurnia tidak mau diajarkan gurunya dengan cara yang umum dilakukan oleh murid yang normal.
SLB TPI terletak di Jalan Sisingamangaraja KM 7 Medan Amplas yang menempati areal seluas 6.000 meter persegi. Sekolah ini didirikan tahun 1986 oleh sejumlah dermawan Islam di Kota Medan yang bernaung dalam Perhimpunan Taman Pendidikan Islam yang diketuai oleh Prof. H. Ismet Danial Nasution, Ph.D . Para murid yang bersekolah di SLB TPI dibagi berdasarkan ketunaan yang terdiri dari : Tuna Rungu (bisu/tuli), Tuna Grahita (cacat mental), Tuna Netra (buta) dan Autis. Menurut Nurasiah, Kepala Sekolah SLB TPI, para murid diberi pelajaran dalam dua bidang yakni: ilmu pengetahuan di kelas dan keterampilan di luar kelas. Di kelas, murid autis belajar secara individual/personal—seperti les privat—di mana setiap murid sebelumnya sudah diberikan jadwal bergantia dan bukan bersifat kelas seperti sekolah biasa. Pelajaran keterampilan diberikan di luar kelas dalam bidang tataboga, merangkai papan bunga dan keterampilan membuat perabot (kursi) dan cendera mata.
Sejumlah hasil karya ditunjukkan kepada peneliti di ruang tamu Kepala Sekolah antara lain kursi tamu berikut meja yang terbuat dari bambu yang kami gunakan untuk berbincang-bincang. Selain itu ada beberapa hiasan dinding dan tempat tisu yang terbuat dari bambu yang cukup rapi dan artistik. Ketika wawancara ini dilakukan, Kurnia sedang merangkai papan bunga berukuran besar yang dipesan seseorang untuk keperluan pesta. Menurut Kepala Sekolah, hasil kegiatan merangkai papan bunga, perabot kursi tamu dan hiasan dinding terbuat dari bambu tersebut dijual kepada toko atau telah memesan sebelumnya.
dengan kelompok tuna rungu dan tuna netra karena Kurnia dinilai murid autis yang bisa berinteraksi dengan mereka. Sedangkan 11 murid autis lainnya belajar secara individual seperti belajar privat dan mereka tidak dibaurkan dengan tuna rungu dan tuna netra. Begitu juga Kurnia diperlakukan secara khusus dan diperbolehkan mengikuti pelajaran setingkat SMP sesuai dengan perkembangan kognitif dan behavioralnya. Dari ukuran kemampuan dan daya intelektualitas, Kurnia yang paling baik di antara murid autis lainnya. Kurnia mengikuti bobot pelajaran setingkat SD dan SMP sekaligus. Menurut Kepala Sekolah, karena kebutuhan belajar Kurnia yang begitu tinggi, tidak jarang Kurnia dibaurkan dengan setingkat SMA pada murid tunarungu.
Kurnia pergi ke sekolah dengan cara diantar dan dijemput oleh anggota keluarga. Sedangkan murid autis lainnya diantar, ditunggu sampai selesai pelajaran dan pulang bersama anggota keluarga. Menurut Saniah, salah seorang guru di sana, sebenarnya Kurnia bisa pergi dan pulang sekolah sendiri tanpa didampingi keluarga. Tetapi atas pertimbangan sekolah, Kurnia disarankan untuk diantar jemput mengingat sekolah tersebut terletak dikawasan stasiun dan terminal bus Medan Amplas yang hiruk pikuk di jalan lintas Sumatera. Di sekolah, Kurnia dapat bergaul dan berinteraksi dengan murid lain bahkan dengan murid normal yang sekolahnya terletak dalam satu kompleks.
Kurnia dan Fenomena Autis
Kurnia diketahui ibunya secara pasti mengidap autis ketika ia berumur 4 (empat) tahun. Waktu itu Kurnia dimasukkan ke sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Di TK itu Kurnia selalu menutup diri, tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Sekitar delapan bulan berada di TK, kedua orangtuanya memutuskan Kurnia untuk berhenti di TK itu. Meski begitu kegiatan belajar Kurnia sama seperti murid yang lain, mengikuti kegiatan bernyanyi dan belajar. Dari pengamatan dan informasi yang diketahui ibunya dan dari berbagai sumber, salah satu yang berbeda dengan ketiga saudaranya yang semuanya laki-laki menunjukkan Kurnia waktu bayi sering mencret. Ternyata setiap bayi autis awalnya ditandai sering buang air besar dengan ciri-ciri mencret.
Pada usia TK itu Kurnia di rumah sangat super aktif sehingga keluarganya harus mengawasi secara ketat. Demikian super aktifnya, Kurnia kerap meninggalkan rumah kalau tidak diawasi keluarganya. Kurnia meloloskan diri dengan memanjat atap rumah setinggi empat meter yang memungkinkan untuk melarikan diri. Untuk mengantisipasi kejadian yang seperti itu, kedua orang tuanya sering berkomunikasi dengan tetangga dan berkeliling kampung. Tujuannya adalah meminta bantuan kalau sekiranya suatu hari menemukan Kurnia tersesat agar dapat diantarkan ke rumahnya. Perilaku Kurnia yang super aktif ini tentu saja memusingkan kepala orangtuanya.
“Kalau 3x4...sebentar pak saya hitung (Kurnia terlihat menghitung dengan tatapan mata yang tajam ke arah jari-jari tangannya). Ya, dua belas pak... benar kan pak. Kurnia hitung lagi ya... supaya benar...”
Data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya menbenai fenomena autisme di Indonesia menurut Widodo Judarwanto, dokter dan pakar autis di pediatrician clinical and editor in chief dari http:// www.klinikautis.com menduga seperti halnya di belahan dunia lainnya terjadi peningkatan yang luar biasa penderita autis di Indonesia. Prediksi penderita autis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, tahun 2000 meningkat menjadi satu per 500 anak”. Diperkirakan tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015 diperkirakan satu per 250 anak. Perkiraan di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme atau 134.000 penyandang spektrum Autis di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 200 juta lebih, kira-kira berapa orang yang dicurigai mengalami gangguan spektrum autisme (https://klinikautis.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia/.).
Setelah tidak lagi bersekolah di TK, Kurnia menjalai terapi dengan dokter spesialis Simbolon, spesialis anak autis /hiperaktif yang beralamat Jl Ampera. Di tempat praktik dokter ini selama dua tahun Kurnia diterapi dan dilatih untuk berkomunikasi selama dua jam sebanyak lima kali dalam seminggu. Menurut orangtuanya, selama menjalani terapi tersebut, dokter Simbolon memperlakukan Kurnia layaknya sekolah privat. Teknik dan cara komunikasi yang dikembangkan dokter tersebut sangat memberikan efek positif dalam bidang kognitif, afektif dan behavioral. Sejak itu kurnia tidak perlu dikurung di rumah dan tidak lagi berkeinginan untuk melarikan diri dari rumah. Kurnia juga mulai menyenangi menghafal surat-surat pendek dalam Al Quran dan menggemari hal-hal yang bersifal hafalan.
Al-Quran, Puisi dan Desain Komunikasi Visual
Kemampuan intelektualitas dan interaksi sosial Kurnia jika dibandingkan dengan murid autis yang berjumlah 14 orang di SLB TPI Medan Amplas terbilang menonjol. Dari siswa penyandang autis yang lain, pada umumnya mereka hanya memiliki satu kemampuan tertentu misalnya melukis, menyanyi atau menggambar. Studi penelitian ini menunjukkan bahwa Kurnia memiliki bakat dan kemampuan di bidang yang bersifat kategoris: membaca dan menghafal Al-Quran, membaca Puisi, dan membuat rancangan Desain Komunikasi Visual.
Sejak bersekolah di SD Muhammadiyah dan SLB TPI Medan Amplas, Kurnia diketahui sudah menunjukkan kegemarannya membaca Al-Quran. Kegemaran membaca Al-Quran ini juga disertai menghapal surat-surat pendek. Menurut kedua orangtuanya, hingga saat ini Kurnia telah berhasil menghatam Al-Quran sebanyak tiga kali, suatu kemampuan yang sangat terpuji. Di kalangan murid-murid sekolah SD dan SMP yang dalam keadaan normal saja barangkali jarang yang bisa menyamai kemampuan “halam Quran”. Perlu ditambahkan bahwa kemampuan Kurnia membaca Al-Quan, termasuk melafalkannya tentu tidak sama kualitas kefasihan pengucapannya dengan orang normal.
membacakan puisi. Sekolahnya juga tercatat beberapa kali mengirim Kurnia ke tempat acara-acara tertentu untuk membacakan puisi.
DI SLB TPI Medan Amplas Kurnia juga sering diminta untuk dan juga membaca puisi dalam acara keagamaan. Dari pengakuan gurunya SR dan juga ketika mewawancarai Kepala Sekolah, Kurnia ada beberapa kali diundang Camat Medan Amplas untuk membaca Puisi pada kegiatan kantor kecamatan tersebut. Dari penuturan Nurasiah, Kepala Sekolah dan Saniah, gurunya yang lain SLB TPI Medan Amplas merupakan ikon dan kebanggaan Camat Medan Amplas. Sekolah ini kerap dikunjungi tamu-tamu Camat dan juga Yayasan Lions Club tercatat beberapa kali melakukan aktivitas sosial.
Potensi dan kemampuan Kurnia dalam hal membaca puisi telah dibuktikannya dengan mengikuti kompetisi di tingkat Kota Medan dan Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Tahun 2013 dia mendapat juara III untuk tingkat Kota Medan dengan puisi berjudul “Aku Harus Bisa” dan berhasil menempati juara ketiga. Tahun 2014 Kurnia mengikuti kompetisi membaca puisi Tingkat Provinsi Sumatera Utara. Puisi dengan judul “Wajah Kotaku” ini berhasil meraih peringkat kedua (juara dua). Untuk bisa mencapai juara Kurnia diberi motivasi oleh ibu Siti Rahmah sepeti wawancara berikut ini:
“Kurnia itu selalu saya beri motivasi, misalnya saya katakan nanti kamu dapat juara dan diberi piala atau medali. Nanti ibu carikan naskah puisinya ya. Terkadang dia merajuk juga, minta saya yang buatkan puisinya. Puisi ”Aku Harus Bisa” yang menang juara ketiga tingkat Kota Medan saya yang buat. Hahaha...”
“Saya suka ambil foto kereta api...saya pakai hp untuk ambil foto-foto kereta api di stasiun itu pak... saya pergi sendiri ke sana...uang jajan saya tabung dua ribu tiap hari...”
Dari hasil pemotretannya itu, Kurnia memindahkannya ke komputer. Dia tidak memiliki komputer di rumah, tetapi dengan menyewa pemakaian komputer yang ada di sekitar rumahnya. Setelah menemukan konsep desain yang sesuai dengan keinginannya, Kurnia mencetak konstruksi rangkaian gerbong dan lokomotif dengan desain visual tiga dimensi. Desain visual tiga dimensi dengan warna-warnanya itu kemudian digunting, ditempel dan dibentuk mirip seperti bentuk miniatur kereta api. Kurnia dengan bangga Uang jajan saya menunjukkan satu keranjang hasil karyanya kepada peneliti. Kedua orangtuanya mengatakan siapapun tidak boleh meminjam atau meminta koleksinya tersebut. Semua tersimpan rapi di kamarnya.
Muhammad Kahi
Muhammad Kahi (18) biasa dipanggil Kahi menurut Satrya (orangtua Kahi) dapat dikategorikan sebagai penyandang autisme tingkat tinggi (high level). Jika Kurnia mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa, Kahi justru mengikuti pendidikan di sekolah biasa dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) semuanya di lingkungan sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Kahi bergaul seperti siswa-siswa normal lainnya.
Selain bersekolah di tempat umum, Kahi juga berkesempatan menjalankan ibadah umroh ke tanah suci bersama ayah dan ibunya. Menurut ayahnya, Kahi mengungkapkan sendiri keinginannya untuk berangkat umroh. Semula istri Satrya, atau ibu Kahi, merasa tidak percaya atas keinginannya tersebut. Alasan istrinya di tanah suci jumlah manusia begitu banyak dan pasti bersinggungan atau berdesakan dengan orang lain.
sana. Demikian juga Kahi dapat mengerjakan berjalan dan berlari kecil dari Safa dan Marwah juga sebanyak tujuh kali perjalanan pulang-pergi sejauh kurang lebih 3 kilometer”. (ayah/orangtua Kahi)
Perilaku Kahi juga tidak menunjukkan sikap amarah dan merusak (destruktif) benda-benda atau barang-barang seperti yang dilakukan oleh banyak penyandang autis lainnya. Namun sifat yang hampir sama dengan perilaku autisme lainnya juga ada pada Kahi. Misalnya Kahi akan mengungkapkan apa yang diinginkannya secara spontan. Dia akan marah atau merajik kalau apa yang diinginkannya tidak dipenuhi. Jadi ciri-ciri umum autisme masih tetap ada pada Kahi meskipun kadarnya sangat kecil. Satrya tetap beranggapan Kahi masih tergolong penyandang autisme dengan ciri-ciri umum seperti hambatan dalam komunikasi, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menggerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu.
Para penyandang autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa di antaranya ada yang tidak ‘berbicara’ sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Model Komunikasi Kahi
diinginkannya terlebih dahulu dengan menggunakan isyarat tangan disertai kata-kata verbal yang terucap.
Menurut orang tua Kahi, model komunikasi visual (KOMVIT) tersebut sangat sesuai dan cocok diterapkan pada Kahi. Model komunikasi ini belum tentu cocok dengan penyandang autis lainnya. Dari pembentukan model komunikasi inilah Kahi terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga antara komunikasi verbal dan komunikasi non verbal bersifat saling melengkapi.
Daya Kreasi Kahi
Pada umumnya penyandang autisme kekhasannya adalah fokus pada apa yang dilakukannya berdasarkan apa yang dikehendakinya. Hal yang demikian juga ada pada diri Kahi seperti ketertarikannya akan desain rumah dan robot. Dua bidang itu menjadi minat dan bakatnya. Bahkan Kahi mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informatika. Kedua orangtuanya belum melakukan persetujuan akan keinginan Kahi ini karena menurut mereka diperlukan pendapat psikolog atau psikiater untuk mewujudkan keinginan Kahi ini.
Desain rumah dan robot yang dibuat Kahi tersimpan dengan cermat dalam arsip komputernya. Dari waktu ke waktu apa yang dihasilkannya tidak ingin diperagakannya kepada orang lain, hal ini lebih bersifat pribadi. Inilah salah satu menurut ayahnya diperlukan hasil kajian atau pendapat para ahli untuk menentukan apakah sudah tepat bidang studi yang inginkan Kahi. Selain itu dikhawatirkan ada sifat kebosanan atau jenuh Kahi nantinya, mengingat perbedaan antara sekolah di SMK dengan di perguruan tinggi yang masa pendidikannya lebih lama.
Di sekolah, ketika mengikuti ujian, Kahi menunjukkan keseriusannya dengan mengerjakan soal-soal ujian secara serius. Kahi tidak pernah keluar terlebih dahulu dari teman-temannya di SMK meskipun soal-soal ujiannya sudah selesai dikerjakan. Kahi akan memeriksa dengan teliti jawaban atas soal-soal yang diberikan.
Diskusi dan Pembahasan
Kemampuan Kurnia sangat menonjol dibandingkan teman-temannya sesama penyandang autis di SLB TPI Medan Amplas. Bidang-bidang yang digemarinya seperti desain komunikasi visual, khususnya desain kereta api dan kemampuannya membaca puisi dengan meraih juara dua dan tiga. Sikap Kurnia yang responsif kepada teman-teman dan gurunya, juga ditunjukkan Kurnia kepada peneliti ketika berkunjung ke rumahnya. Kemampuan kurnia yang lain adalah kesungguhannya membaca Al Quran dan di antaranya telah tiga kali menghatam Quran merupakan pencapaian yang tidak biasa.
Dari berbagai bidang yang digelutinya hingga kini membuktikan Kurnia memiliki bakat yang banyak (multi talenta) yang jarang dimiliki penyandang autis lainnya yang pada umumnya hanya menekuni satu bidang tertentu. Kurnia memiliki kemampuan untuk mengombinasikan logika berpikir deduktif dan induktif seperti aktivitas menghapal, mengerjakan soal-soal matematika dan dalam melahirkan karya-karya kreatif. Kurnia memiliki keterbatasan sarana dan prasarana untuk melahirkan hal-hal yang bersifat kreatif seperti membaca puisi dan desain komunikasi visual. Dalam pengamatan peneliti di rumah dan di sekolah Kurnia, peralatan untuk menunjang kreativitas Kurnia sangat terbatas sederhana. Misalnya komputer dan alat untuk memotret objek dan komputer yang dipakai Kurnia sebenarnya bukan produk yang canggih, melainkan peralatan yang sederhana.
Komunikasi berbasis diri yang dipergunakan Kurnia adalah dalam penggunaan saluran di dalam diri sebelum mengggunakan komunikasi antarpribadi dengan orangtuanya dan gurunya. Dari penelitian ini menunjukkan pola komunikasi berbasis diri yang dipergunakan Kurnia dalam konteks komunikasi antar pribadi adalah model komunikasi perpasif, persuasif dan koersif.
Model komunikasi antar pribadi yang bersifat persuasif dilakukan kepada Kurnia untuk memastikan dan meyakinkan dirinya untuk meraih sesuatu keinginan atau harapannya. Dalam hal ini Kurnia diberi motivasi atau bahkan dijanjikan sesuatu. Misalnya kalau selesai mengerjakan pekerjaan rumah, Kurnia akan diberikan uang tambahan untuk pergi ke stasiun kereta api keesokan harinya. Dengan cara persuasif yang seperti itu Kurnia akan mengerjakannya sampai selesai (tuntas). Ketika akan mengikuti acara atau lomba baca puisi ibu gurunya (Siti Rahmah) selalu memberi dorongan dan motivasi kepada Kurnia, tetapi bedanya dengan orang tuanya tidak berupa hukuman dan ganjaran (rewards and punishment).
Model komunikasi antar pribadi yang bersifat koersif hanya dapat dilakukan oleh ibu guru Siti Rahmah. Hal ini misalnya dilakukan ketika Kurnia berulah di rumah. Ada kalanya Kurnia terlalu fokus atau keasyikan dalam merancang desain kereta api hingga larut malam. Kalau sudah begitu, maka orang tuanya akan menghubungi sang ibu guru supaya Kurnia segera tidur. Siti Rahmah segera mengirim layanan pesan singkat memalui tetepon seluler yang berisi pesan supaya Kurnia segera tidur. Pesan itu segera direspons Kurnia dengan mematikan komputer dan lampu penerangan dan langsung tidur.
Masa-masa pubertas yang ada pada Kurnia merupakan salah satu perkembangan yang terjadi setahun belakangan ini. Salah satu kebiasaan Kurnia adalah mengintip orang di kamar mandi. Hal ini telah terjadi berulang-ulang di sekolah. Perilaku mengintip di kamar mandi bukan saja tertuju pada murid remaja perempuan sebayanya tetapi juga kepada perempuan dewasa. Untuk mengatasi hal ini peran Siti Rahmah selaku guru berperan penting. Menurut Siti Rahmah hal yang dilakukannya kepada Kurnia adalah dengan komunikasi yang terbuka secara terbuka dan bukan komunikasi koersif. Ibu guruya itu menyampaikan kepada Kurnia bahwa perbuatan yang seperti itu merupakan hal yang dimurkai Tuhan, tidak sopan dan berdosa. Kebiasaan buruk itu sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan Kurnia itupun kalau dilakukan dia mengaku takut berdosa.
Pola komunikasi antar pribadi yang diterapkan kepada Kurnia adalah komunikasi terstruktur. Dalam hal Kurnia sebelum melakukan sesuatu, selalu didahului dengan pesan terstruktur yang bersifat komunikasi perpasif, komunikasi persuasif dan komunikasi koersif yang disampaikan oleh guru (khususnya Siti Rahmah) dan juga oleh kedua orang tuanya. Kurnia terikat dengan pesan komunikasi yang bersifat terstruktur yang berulang-ulang (pervasif), bujukan (persuasif) dan perintah (koersif).
Mengacu pada pendapat Leon Festinger dalam teori disonansi kognitif (proses selektif), model dan pola perilaku komunikasi antar pribadi yang diterapkan pada kasus Kurnia terdiri dari selective exposure, selective retention, dan selective retention (Severin dan Tankard, 2000: 64-65). Selective exposure adalah kecenderungan seseorang untuk mengekspos diri sesuai dengan sikap dirinya; selective attention adalah kecenderungan seseorang untuk memeperhatikan bagian-bagian pesan yang diinginkannya; dan selective retention adalah kecenderungan seseorang mengingat kembali suatu informasi yang dipengaruhi oleh keinginan, kebutuhan dan faktor psikologis lainnya. Teori Festinger tersebut memiliki persamaan dengan teori Bandura dalm pembelajaran sosial yang menekankan pada aspek proses atensi (attentional processes), proses pengingatan (retention processes), proses reproduksi gerak (motor reproduction processes), dan proses motivasi (motivasional processes) (Tan, 204).
Aspek komunikasi yang tidak terlihat (invisible aspect of communication) pada dasarnya ada pada setiap manusia di dunia ini. Jadi pada hakekatnya perilaku berkomunikasi, selain perilaku yang terlihat (interaksi, simbol, dan media) aspek yang tidak terlihat juga adalah termasuk proses komunikasi. Aspek komunikasi yang sangat penting tetapi tidak terlihat oleh mata meliputi: arti, belajar, subjektivitas, negosiasi, budaya, konteks berinteraksi dan tingkat, referensi diri, dan keniscayaan (Ruben, 1992: 99-108).
Penutup
a. Kesimpulan
1. Kurnia memiliki potensi bakat yang bersifat multi talenta seperti membaca puisi, membuat desain komuniikasi visual dan merangai bunga papan. yang proses kreatifnya bertumpu pada komputer. Sementara Kahi, tidak memiliki multi talent tetapi simple talenta yaitu ketertarikannya hanya di bidang komputer dan teknologi informatika.
2. Model komunikasi antar pribadi yang dipergunakan guru dan orang tua Kurnia adalah komunikasi pervasif, komunikasi persuasif, dan komunikasi koersif yang terstruktur. Sementara Kahi lebih condong menggunakan model komunikasi visual (KOMVIT)
3. Proses komunikasi antar pribadi Kurnia bersifat selektif dalam mengekspos diri (selective exposure), hanya tertarik pada bagian-bagian yang diinginkan (selective attention), dan mengingat pesan dan informasi berdasarkan keinginan dan kebutuhan Kurnia (selective retention). Sementara proses komunikasi yang terjadi pada Kahi hanya tertarik pada hal-hal yang diinginkan saja (selective attention)
b. Saran
1. Potensi diri Kurnia dan Kahi sebenarnya masih bisa berkembang lebih maksimal apabila institusi pendidikan di sekolah mereka memberikan fasilitas menyediakan tenaga guru di bidang multi media beserta perangkat teknologinya.
2. Para penyandang autisme seperti Kurnia dan Kahi perlu melibatkan Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra untuk bersama-sama mengembangkan masa depan anak-anak autis yang berkebutuhan khusus.
c. Rekomendasi
1. Penelitian ini bersifat induktif dengan dua subjek penyandang autisme melalui pendekatan studi kasus yang bersifat kualitatif. Penelitian sejenis dan juga yang bersifat kuantitatif (deduktif) sehingga penelitiannya bersifat melengkapi satu dengan yang lainnya.
Datar Pustaka
Altman, Irwin & Dalmas A. Taylor.1973. Social Penetration: he Development of Interpersonal Communication. New York: Hollt, Rinehart and Winston, Inc.
Ardianto, dan Bambang Q-Anees (2007). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Astutik, Puji Itsnaini. Penerapan Metode ABA (APPLIED BEHAVIOR ANALYSIS) Dengan Media Kartu Bergambar dan Benda Tiruan Secara Simultan Untuk Meningkatkan Pengenalan Angka Pada Siswa Kelas II Di SDLB AUTIS HARMONY Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas 11Maret Surakarta.
Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay. 2010.
Berger, Charles R. & Stevan H. Chafee. 1987. Handbook of Communication Science. (editors). Book One. Newburry Park, California: Sage Publications, Inc.
Cresswell, John W. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Ketiga. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Denzin, Norman K., & Yvonna S. Lincoln. (2000). Handbook of Qualitative Research.Second Edition. London-New Delhi: Sage Publications, Inc.
Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis (Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Cerdas dan Sehat). Yogyakarta: Katahati.
Ruben, Brent D. 1992. Communication and Human Behavior. hird Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Green, Gina. 2008. Autism and ABA. Jakarta: Gramedia.
Pamoedji, Gayatri. 2007. Seputar Autisme. Jakarta: Gramedia
Severin, Werner J. & James W. Tankard, Jr.(2000). Communication heories: Origins, Methods, and Uses in the Mass Media. New York & London : Longman.
Tan, Alexis S.1981. Mass Communication heories and Research. Colombus, Ohio: Grid Publishing, Inc.
Priherdityo, Endro. CNN Indonesia. http://www.cnnindonesia.com/ gaya- hidup/20160407160237-255-122409/indonesia-masih-gelap-tentang-autisme/. Diakses 12 Februari 2017.