• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permainan Tradisional Anak-anak di Perkotaan” (Studi Etnografi pada Masyarakat Kota Medan, Kecamatan Medan Baru)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Permainan Tradisional Anak-anak di Perkotaan” (Studi Etnografi pada Masyarakat Kota Medan, Kecamatan Medan Baru)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kota merupakan suatu wilayah yang ditandai dengan kompleksitas aktifitas manusia, kehidupan di kota sangat jauh berbeda dengan kehidupan di desa baik dari segi sosial, ekonomi maupun IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Kota menjadi pusat perkembangan IPTEK, sehingga masyarakat desa berbondong-bondong melakukan urbanisasi1. Pada masa globalisasi2

Permainan modern yang berada di kota begitu banyak dan muncul dalam berbagai bentuk yang dimodifikasi semenarik mungkin untuk menarik perhatian khalayak ramai khususnya anak-anak. Permainan modern yang sering ditemukan di kota seperti game online di warung internet, playstation¸ beberapa games yang terdapat pada gadget, wahana permainan di mall dan sebagainya. Permainan modern, sekarang ini begitu banyak digandrungi oleh semua kalangan baik anak-anak, remaja, dewasa. Penggunaan permainan modern saat ini secara tidak langsung pengguna

proses perkembangan IPTEK terjadi begitu cepat terkhusus di daerah perkotaan. Perkembangan IPTEK menghasilkan berbagai jenis peralatan untuk membantu manusia dalam pekerjaannya dan membantu manusia dalam waktu bersantai dengan berbagai hiburan, salah satunya muncul dalam bentuk permainan modern.

(Diakses pada hari Jumat, tanggal 18/03/2016, pukul 18:11:14 WIB).

(2)

diperdaya untuk mengorbankan materi berupa uang yang dimiliki. Kemunculan permainan modern di perkotaan membawa pola interaksi kehidupan masyarakat berubah, khususnya bagi masyarakat pengguna permainan modern. Dengan demikian masyarakat yang secara perlahan meninggalkan budaya lokal atau tradisional dan lebih memilih budaya yang dianggap modern.

Permainan modern kadangkala memberikan kepuasan tersendiri bagi para penggunanya, sehingga tidak asing lagi jika ditemukan beberapa pengguna yang memiliki sifat candu. Kondisi seperti ini terlihat pada permainan modern game online di warung internet, beberapa pengguna sering sekali menggunakan waktunya hingga larut malam untuk bermain, dan tidak jarang ditemukan pengguna mengorbankan waktu istirahat malam untuk bermain game online di warung internet. Bahkan bagi para pengguna yang tidak bisa membatasi diri dari kecanduan game online, berani melakukan tindak kriminal seperti dalam kasus yang dialami oleh A.Y, kasus pencurian motor yang dilansir oleh Pos Kota (11/06/2012) A.Y telah mencuri motor sebanyak lima kali berturut-turut. Ia mengaku nekat melakukan pencurian motor untuk membiayai hidupnya dan bermain game online. Hal ini terjadi karena setelah kedua orang tuanya bercerai pada awal tahun, ia tidak pernah pulang kerumah dan selalu tinggal dari warnet ke warnet lain untuk bermain game online.3

Penggunaan beberapa permainan modern jika secara berlebihan akan memberikan dampak yang tidak bagus bagi para pengguna dan bahkan bagi orang

(3)

sekitar yang berada di dekat pengguna. Khususnya bagi anak-anak, anak harus dibatasi dalam penggunaan permainan modern karena tidak baik untuk perkembangan atau pembentukan kepribadian dan kesehatan fisik, kebiasaan anak bermain game yang terdapat di dalam gadget atau layar monitor komputer, secara perlahan-lahan akan menyebabkan kelelahan pada mata dan jika dilakukan secara terus-menurus maka akan menyebabkan rabun. Posisi seseorang bermain game online yaitu duduk berjam-jam di depan layar monitor, radiasi dari layar monitor yang menyebabkan mata lelah, selain itu dapat menyebabkan wasir atau ambeien, wasir atau ambeien merupakan konsekuensi dari duduk statis dalam waktu yang tidak sebentar sehingga peredaran darah tidak lancar serta mendesak pembuluh darah vena yang ada didaerah anus. Akibatnya pembuluh darah menjadi menonjol dan rasanya sakit serta panas4

Kemunculan permainan modern ditengah-tengah masyarakat, khususnya pada masyarakat kota membuat permainan tradisional semakin terpinggirkan. Masyarakat kota lebih senang menggunakan permainan modern dibandingkan dengan permainan tradisional, untuk mendapatkan dan merasakan kembali suasana permainan tradisional, masyarakat kota khususnya harus mengeluarkan biaya karena permainan tradisional sudah banyak dikemas dalam outbound oleh pihak-pihak tertentu. Permainan tradisional berubah menjadi jasa dan barang komersialisasi, sebagian besar anak-anak menghabiskan waktu di warnet ataupun game center yang berada disekitar tempat tinggal mereka, setelah pulang sekolah mereka bergegas ke tempat

(4)

permainan tersebut dan berjam-jam berada di depan layar monitor untuk bermain game online. Mereka lebih menyenangi permainan yang lebih efisien tanpa harus

bersusah payah untuk membuat peralatan bermain dan terkadang mereka tidak memperdulikan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli permainan tersebut. Keadaan ini membuat Dewi (28) koordinator tim penyusun buku Ensiklopedia Permainan Tradisional Anak Indonesia, prihatin dengan mengatakan :

“Pengalaman permainan tradisional terakhir saya saat duduk di kelas 4 SD tahun 1999, tetapi ketika naik ke kelas 5 dan 6 saya harus disibukkan dengan persiapan ujian, belajar dan lain-lain. Sementara keluarga, lingkungan sekolah dengan sistem pendidikan dan kurikulumnya tidak mendukung keberadaan tradisional. Padahal di dalam permainan tradisional anak mengandung nilai-nilai pendidikan selain dari sekedar keinginan bermain5

”.

Berbeda dengan permainan modern yang berasal dari perkembangan teknologi, permainan tradisional merupakan permainan yang sangat mudah ditemukan dan sangat mudah dimainkan oleh anak-anak karena bahan yang digunakan membuat permainan tradisional tidak sulit ditemukan tanpa disadari alam menyediakan alat-alat dalam permainan tradisional untuk itu permainan tradisional sangat dekat dengan alam. Menurut Achroni (2012 : 16) tidak hanya sekedar bermain, di dalam permainan tradisional pengguna terkhususnya anak-anak mendapat sejumlah pelajaran yang berguna bagi kehidupan anak kelak karena didalam permainan tradisional terkandung beberapa manfaat dan fungsi.

(5)

Permainan memiliki jenis yang berbeda-beda, hal inilah yang membuat para pengguna tidak pernah bosan dalam permainan, karena jika anak-anak bosan dengan satu permainan maka anak tersebut bisa menggantinya dengan permainan yang lain. Permainan tradisional memiliki beberapa jenis seperti lompat tali, petak umpet, layang-layang, kelereng, kasti, engklek, congklak, benteng, egrang, boi-boian, gatrik, ular naga, pletokan, bekel, gasing, main bola, monopoli, gobak sodor, memanjat kelapa, ABC lima dasar, permainan drama, petak umpet, sepeda, alip batalion, alip sembunyi, mixion-x dan masih banyak jenis permainan tradisional yang dimiliki setiap daerah namun jenis permainan tersebut sudah banyak yang terlupakan karena tidak pernah lagi dimainkan, menurut Hans Overbock (dalam Parwati 1993 : 1) jumlah permainan terdiri dari 690 permainan.

(6)

Medan merupakan salah satu kota terbesar nomor empat di Indonesia dan menjadi pusat perkembangan teknologi di Pulau Sumatera khususnya di Provinsi Sumatera Utara6

Beberapa dari mereka masih banyak yang belum mengenal isitlah permainan tradisional, permainan tradisional seolah-olah sudah tergeser dari kegiatan dan aktivitas anak-anak yang berada di Kota Medan. Anak-anak lebih menyenangi permainan modern. Namun beberapa daerah di kota Medan seperti di Kecamatan Medan Baru yaitu Kelurahan Padang Bulan dan Kelurahan Titi Rantai masih terdapat anak-anak yang menggandrunginya

. Dengan demikian, permainan modern banyak ditemukan di beberapa daerah di kota Medan. Pada umumnya jika diperhatikan secara seksama, masyarakat kota Medan khususnya anak-anak sudah beralih dari permainan tradisional ke permainan modern sehingga permainan tradisional di dalam dunia anak-anak kalah pamor dengan permainan modern yang berkembang saat ini.

7

dan menggunakan permainan tradisional. Ditengah-tengah maraknya permainan modern yang hadir di Kecamatan Baru, ternyata masih terlihat anak-anak yang menggunakan permainan tradisional di kesehariannya dalam waktu senggang dan menyenangi permainan tradisional. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengkaji “Permainan Tradisional di Perkotaan”.

(7)

1.2. Tinjuan Pustaka

Indonesia terkenal akan kekayaan sumber daya alam dan kebudayaan, setiap daerah di Indonesia memiliki kekayaan budaya dan kekayaan alam masing-masing sehingga tidak heran jika Indonesia terkenal akan istilah kemajemukan dan pluralisme. Indonesia memiliki jati diri yang beragam, menurut Ki Hajar Dewantara kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah8

Permainan

. Kebudayaan Indonesia banyak meliputi kesenian, bahasa, pakaian adat (suku), dan folklor.

Permainan merupakan bagian dari kebudayaan, hal ini dapat terlihat dari pengertian oleh Ralph Linton (dalam Setiadi dkk 2006 : 28) melihat kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya. Berdasarkan pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Ralph Linton (dalam Setiadi dkk 2006 : 28), bahwa permainan juga diciptakan oleh manusia, manusia khususnya anak-anak tidak bisa lepas dari permainan. Anak-anak yang akan melakukan permainan harus mempelajari aturan yang berlaku, agar permainan dipermainkan dengan benar secara seksama, pemain yang bisa mengikuti peraturan yang terdapat dalam permainan disenangi pemain-pemain yang lainnya.

Menurut Koentjaraningrat (1997 : 5) wujud kebudayaan ada tiga bagian yaitu 1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan

(8)

peraturan 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Koentjaraningtat (2002 : 188) melihat ketiga wujud kebudayaan, dalam kehidupan nyata tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun karya manusia menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang semakin lama mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir.

(9)

Permainan sudah lama dikenal manusia, dan diperoleh secara lisan sehingga permainan termasuk sebagai folklor9

9 Bagian dari kebudayaan yang disebarkan atau diwariskan secara tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai isyarat atau alat bantu pengingat

. Istilah lain dari permainan tradisional adalah permainan rakyat. Dalam bahasa Batak, permainan adalah marmeam, kata marmeam sebagai kata kerja yang berarti bermain dan dalam bahasa Inggris permainan adalah adalah games. Ada banyak pengertian dan batasan mengenai permainan, Huizinga memberikan pengertian mengenai permainan yaitu :

“Suatu perbuatan atau kegiatan sukarela, yang dilakukan dalam batas-batas ruang dan waktu tertentu yang sudah ditetapkan, menurut aturan yang telah diterima secara sukarela tapi mengikat sepenuhnya, dengan tujuan dalam dirinya sendiri, disertai oleh perasaan tegang dan gembira dan kesadaran “lain daripada kehidupan sehari-hari.” (1990 : 39)

Menurut Ferran (dalam Parwati 1993 : 7-8) permainan adalah suatu perbuatan yang bebas, tidak merupakan kewajiban atau paksaan dan tidak memperlihatkan suatu tujuan yang penting artinya sekadar main begitu saja. permainan diklasifikasikan menjadi beberapa golongan berdasarkan sifat atau aspek yang dimiliki, terdapat tiga kategori permainan yang diajukan dalam Kongres Internasional Ilmu-ilmu Antropologi dan Ethnologi yang diadakan di Paris pada tahun 1960, ialah : 1. Les jeux verbaux (permainan lisan), imitatifs et magiques (permainan tiruan dan magis

(10)

Berbeda dengan pemikiran Robert dkk (dalam Danandjaja 1984 : 171) bahwa berdasarkan sifatnya maka permainan tradisional dibagi menjadi dua bagian besar yaitu permainan untuk bermain (play) dan permainan untuk bertanding (game). Kedua permainan ini memiliki perbedaan, jika permainan untuk bermain bersifat untuk mengisi waktu senggang atau lebih tepatnya untuk rekreasi sedangkan permainan untuk bertanding lebih bersifat terorganisasi, perlombaan (competitive), harus dimainkan paling sedikit oleh dua orang peserta (dapat ditentukan peserta yang menang dan yang kalah), mempunyai peraturan permainan yang telah diterima bersama oleh pesertanya. Permainan untuk bertanding dibagi menjadi beberapa bagian yaitu permainan bertanding yang bersifat keterampilan fisik (game of physical), permainan bertanding yang bersifat siasat (game of strategy) dan

permainan bertanding yang bersifat untung-untungan (game of change).

Huizinga (1990 : 2-5) melihat bahwa manusia senang bermain, sehingga ia mengeluarkan istilah homo ludens yang artinya manusia bermain, manusia bisa mengingkari hampir semua yang abstrak seperti hukum, keindahan, kebenaran, kebaikan tetapi tidak untuk permainan. Ia melihat bahwa permainan itu lebih tua dari kebudayaan, hal ini didasarkan dari anak binatang/hewan yang ketika berumur beberapa hari seringkali bermain dengan yang lainnya.

(11)

namun mengenai keinginan untuk bermain setiap ahli memberikan pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda seperti :

1. Teori Klasik : Teori klasik muncul dari abad ke-19 hingga Perang Dunia I, pada masa ini teori evolusi sedang berkembang sehingga teori klasik banyak dipengarui oleh paham evolusi. Teori Klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu:

a). Teori surplus energi dan rekreasi. Teori surplus energi dikemukakan oleh Friedrich Schiller dan Herbert Spencer, mereka berpendapat bahwa keinginan untuk bermain muncul untuk mengeluarkan energi yang berlebih didalam tubuh, Schiller memandang bermain sebagai penutup/klep keselamatan pada uap, energi atau tenaga yang berlebih pada seseorang perlu dibuang/dilepaskan melalui bermain, kelebihan tenaga atau energi pada anak dan orang dewasa yang belum digunakan sebaiknya disalurkan dalam bentuk kegiatan bermain seperti berlari, berlompat, berguling dan sebagainya. Teori Rekreasi dikemukakan oleh Moritz Lazarus mengatakan keinginan bermain untuk memulihkan energi yang sudah terkuras saat bekerja karena bekerja menguras dan menyebabkan berkurangnya tenaga. Bermain adalah lawan dari bekerja merupakan cara yang paling ideal untuk memulihkan tenaga.

(12)

atavismeyaitu bahwa permainan anak ulangan daripada kehidupan nenek

moyang. Seperti contoh, kesenangan anak untuk bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek moyangnya yaitu spesies ikan yang suka bermain di dalam air dan kesenangan anak memanjat, berayun di pohon cerminan dari kebiasaan nenek moyangnya yaitu monyet yang suka bermain di pohon. Teori Praktis, toeri ini sering disebut dengan insting naluri yang diajukan oleh Karl Groos, ia meyakini bahwa bermain berfungsi untuk memperkuat insting yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang. Teori ini disebut teori teleologi, bahwa permainan mempunyai tugas pokok, maksudnya dengan bermain terjadi proses biologis atau proses berfungsinya organ-organ tubuh, maka disebut juga teori fungsi yaitu mengembangkan fungsi yang tersembunyi di dalam diri seseorang. Bayi yang baru lahir diwariskan sejumlah insting yang kurang sempurna terhadapnya dan insting itu perlu disempurnakan melalui bermain karena berguna untuk mempertahankan hidupnya. Bermain bertujuan untuk sarana latihan dan mengelaborasi keterampilan yang diperlukan saat dewasa.

2. Teori Modern : Teori modern muncul setelah Perang Dunia I, didalam teori modern dijelaskan manfaat bermain bagi perkembangan anak.

(13)

memproyeksikan harapan maupun konflik pribadi dan Freud menganggap bermain berperan dalam perkembangan emosi anak.

b). Teori Kognitif . Teori kognitif oleh Jean Piaget menjelaskan bahwa bermain membantu perkembangan intlektual anak. Anak menciptakan sendiri pengetahuan mereka tentang dunianya melalui interaksi anak, anak menciptakan sendiri pengetahuan tentang dunianya melalui interaksi, anak berlatih menggunakan informasi yang sudah didengar sebelumnya dengan menggabungkan infromasi baru. Bermain berperan mempraktikkan dan melakukan konsolidasi konsep-konsep serta keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya. Teori kognitif oleh Jerome Bruner, menurut Jerome bermain berperan memunculkan fleksibilitas perilaku dan berpikir, imajinasi dan narasi anak.

c). Teori Sutton Smith. Smith percaya bahwa transformasi simbolis yang muncul dalam kegiatan bermain khayal (misalnya menganggap balok sebagai kue), memudahkan transformasi simbolis kognisi anak sehingga dapat meningkatkan fleksibilitas mental. Bermain berperan mengatur kecepatan stimulasi dari dalam dan dari luar diri anak.

(14)

e). Teori Bateson, Bateson berpendapat bahwa bermain bersifat paradoksial karena tindakan yang dilakukan anak saat bermain tidak sama artinya dengan apa yang mereka maksudkan dalam kehidupan nyata. Saat bergelut misalnya, serangan yang dilakukan berbeda dengan tindakan memukul sebenarnya, bermain berperan memajukan kemampuan untuk memahami berbagai tingkatan makna.

Dalam kehidupan begitu banyak kegiatan yang dilakukan, khususnya kegiatan anak-anak tidak pernah berhenti, namun tidak semua kegiatan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bermain atau permainan. Menurut Mutiah (2012 : 137) terdapat batasan-batasan dari kegiatan bermain, yaitu :

1. Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik (muncul atas keinginan pribadi untuk kepentingan sendiri).

2. Perasaan yang muncul dalam kegiatan bermain diwarnai emosi positif, jika emosi tidak positif setidaknya kegiatan bermain memiliki nilai bagi anak. Kadang bermain diikuti oleh perasaan takut, misalnya saat meluncur dari ketinggian namun anak menikmatinya.

3. Menekankan pada proses daripada hasil akhir. Dalam kegiatan bermain tidak ada tekanan untuk mencapai prestasi sehingga bermain cenderung fleksibel.

4. Bebas memilih. Pleasure menjadi parameter untuk membedakan bermain dengan bekerja.

(15)

6. Memiliki kualitas pura-pura. Kegiatan bermain memiliki kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Misalnya anak pura-pura minum dari cangkir yang sebenarnya berwujud dari balok, menanggap kepingan gambar sebagai kue keju.

Parten (dalam Mutiah 2012 : 138) mengembangkan suatu klasifikasi permainan anak, yang didasarkan atas observasi pada anak-anak dalam permainan bebas di sekolah asuhan, yang kategorinya ialah :

1. Unoccupied play, yaitu anak hanya melihat anak lain bermain, tetapi tidak ikut bermain pada tahap ini hanya mengamati ke sekitar ruangan dan berjalan, tetapi tidak terjadi interaksi dengan anak yang bermain.

2. Solitary play, yaitu terjadi ketika anak bermain sendirian dan mandiri dari orang lain. Anak senang sendiri dan tidak peduli terhadap apa pun yang sedang terjadi. Anak usia 2-3 tahun sering terlibat dalam solitary play.

3. Onlooker play, yaitu terjadi ketika anak menonton orang lain bermain. Berbicara dan menanyakan tetapi tidak ikut dalam permainan.

4. Parallel play, yaitu anak bermain terpisah dari anak-anak lain dengan mainan yang sama dengan cara meniru cara mereka bermain.

(16)

6. Cooperative play, meliputi interaksi sosial dalam suatu kelompok yang memiliki suatu rasa identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisasi.

Komponen dari permainan adalah adanya tujuan, aturan, tantangan dan interaksi. Setiap komunitas memiliki permainan bagian dari kebudayaan, permainan tradisional menjadi ciri dan kekayaan budaya suatu komunitas sehingga permainan tradisional sejatinya adalah duta budaya. Lebih jauh lagi, beberapa cabang olahraga yang sekarang ada di olimpiade ataupun pada kejuaraan-kejuaraan olah raga lainnya, banyak yang bermula dari pemainan tradisional. Jenis dan bentuk permainan tradisional di Indonesia bisa dikatakan sangat beragam, hampir setiap daerah mempunyai permainan mereka sendiri.

(17)

perubahan yang memutar sesuai dengan perubahan musim dan tidak membawa unsur baru.

Permainan Tradisional menurut James Danandjaja adalah10

Bateson (dalam Danandjaja 1988 : 71 ) memberikan perhatian khusus pada masalah sifat khas bersama dalam suatu komunitas (community), yang mempunyai perbedaan stabil mengenai peran-peran sosial di antara para anggotanya. Bateson melohat adanya hubungan berpola diantara kelompok kelompok atau individu-individu yang berbeda. Hubungan ini tidak berubah dan berkutub dua (bipolar), seperti sifat menguasai (dominance) lawan sifat tunduk (submission), sifat gemar membantu (succorance) lawan sifat ketergantungan pasa orang lain (depence), sifat memamerkan diri (exhibitionism) lawan sifat menjadi penonton (spectatorship). permainan tradisional anak-anak merupakan bentuk folklor dimana peredarannya dilakukan secara lisan, berbentuk tradisional dan diwariskan secara turun-temurun. Oleh sebab itu, terkadang asal-usul dari permainan tradisional tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya dan darimana asalnya, karena penyebarannya yang berupa lisan. Terkadang permainan tradisional mengalami perubahan nama dan bentuk walaupun pada dasarnya sama. Seperti contoh, permainan congklak di Jawa Barat dengan permainan dakon di Jawa Tengah yang memiliki peraturan dan cara bermain yang sama, namun berbeda cara penyebutannya. Permainan tradisional yang merupakan pewarisan secara turun-temurun ini dilakukan untuk memperoleh kegembiraan.

(Diakses pada hari Rabu, tanggal

(18)

Apabila seorang anggota dari suatu kelompok bersifat menguasai, maka seorang anggota dari kelompok lain akan menunduk.

Kehidupan Kota

Sebuah kota seringkali ditandai dengan kehidupan yang ramai, wilayahnya yang luas, banyak penduduknya, dan hubungan yang kurang erat satu sama lain serta mata pencaharian yang beraneka ragam. Menurut Soerjono Soekanto (dalam Setiadi, dkk 2006 : 89)masyarakat kota dan desa memiliki perhatian yang berbeda, khususnya perhatian terhadap keperluan hidup. Di desa, yang diutamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan pokok dan fungsi-fungsi yang lainnya diabaikan berbeda dengan pandangan masyarakat kota, selain memperhatikan kebutuhan pokok mereka melihat pandangan masyarakat sekitarnya. Daldjoeni (1997 : 51) memberikan penjelasan mengenai ciri-ciri struktur sosial kota, sebagai berikut :

• Heterogenitas sosial : Kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan

dalam pemanfaatan ruang. Masyarakat dalam bertindak memilih yang paling menguntungkan sehingga tercapai spesialisasi, untuk mencapai dan menjaga karier masyarakat mengurangi jumlah anak dalam keluarga. Kota merupakan melting pot11

11 Kuali peleburan, merupakan istilah untuk masyarakat heterogen yang semakin menjadi

homogen. Anggota masyarakt yang terdiri dari berbagai sukubangsa melebur menjadi satu hidup berdampingan disuatu negara.

(19)

• Hubungan sekunder : Jika hubungan masyarakat desa disebut primer, maka

hubungan masyarakat kota disebut sekunder. Pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang hidup tertentu.

• Toleransi sosial : Masyarakat kota secara fisik tinggal berdekatan tetapi secara

sosial berjauhan. Seperti dalam hal, terdapat suatu keluarga yang sedang berpesta namun tetangganya sedang menangisi orang meninggal.

• Mobilitas sosial : Masyarakat kota menginginkan perubahan status yang tinggi,

selain itu yang memiliki status yang sama terjadi solidaritas kelas seperti terbentuk perkumpulan kelompok seprofesi seperti profesi guru, profesi wartawan, profesi pedagang, profesi dokter dan sebagainya.

Ikatan sukarela (voluntary assocation) : Secara sukarela individu

menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya seperti sport, aneka grup musik, klub filateli dan sebagainya. Meskipun sifatnya sukarela, terdapat gejala bahwa setiap perkumpulan bersaing menunjukan pamor masing-masing.

• Individualisasi : Masyarakat dapat memutuskan secara pribadi yang penting bagi

kehidupannya tanpa campur tangan orang lain. Setiap anggota masyarakat mendahulukan kepentingannya sendiri.

Segregasi keruangan (spatial segregation) : Dalam studi ekologi manusia (human

ecology), terjadi pemisahan (segregation) berdasarkan ras, sukubangsa. Misalnya

(20)

operasi pelacuran, pencopetan, kegiaan olahraga, hiburan, pertokoan dan pasar, kompleks kepegawaian tertentu.

Kehidupan di kota bisa menjadi trend setter12

- Tempat bermain semakin terbatas : laju pembangunan yang begitu tinggi membawa dampak berupa makin berkurangnya ruang publik lapangan hijau, lahan pertanian, halaman rumah yang luas atau lahan-lahan kosong yang sebelumnya menjadi tempat bermain anak-anak, kini telah berganti wajah perumahan, perkantoran, pasar modern, pusat perbelanjaan, hotel dan sebagainya.

bagi wilayah lainnya, banyak penduduk yang tergiur untuk pindah ke kota dengan berbagai alasan, mulai dari mencari nafkah hingga melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Menurut Achroni (2013 : 29-40) kehidupan kota saat ini kurang bersahabat dengan permainan tradisional, hal ini dikarenakan dengan sejumlah realita yang terjadi antara lain :

- Waktu bermain yang semakin sedikit : setelah seharian anak-anak berkutat pada mata pelajaran di sekolah, mereka harus sibuk dengan beragam aktivitas seperti kursus, les atau mengikuti kegiatan klub. Dengan kesibukan yang sangat padat, anak-anak hanya memiliki sedikit waktu untuk bermain. Waktu yang dimiliki nyaris habis untuk belajar dan menjalani berbagai aktifitas lainnya yang membutuhkan keseriusan serta disiplin tinggi hingga anak-anak kehilangan

(21)

kegembiraan bermain dan kebahagiaan masa kecil yang semestinya dapat dinikmati.

- Teknologi : tidak asing lagi jika kota menjadi tempat perkembangan teknologi, sehingga secara tidak disadari anak-anak begitu dekat dengan teknologi seperti gadget, play station, game online atau internet, televisi. Kehidupan anak tidak

dapat dipisahkan dari televisi, banyak anak menjadikan televisi menjadi hal yang pertama dilihat ketika bangun tidur dan menjadi hal terakhir yang dinikmati sebelum tidur. Berpuluh tahun yang lalu, anak-anak tumbuh dengan begitu alami, kehidupan sosial mereka bersama teman sebaya begitu menyenangkan, tidak ada pengaruh buruk yang dikhawatirkan karena saat itu teknologi telekomunikasi masih sedemikian terbatas. Anak-anak di kota begitu dikepung oleh teknologi yang digunakan tanpa pembatasan dan pengawasan oleh pihak terkait khususnya orangtua.

(22)

1.3. Rumusan Masalah

Pada masa perkembangan teknologi saat ini khususnya di kota begitu banyak permainan modern yang muncul dan anak bebas memilih permainan yang nyaman baginya. Kehadiran permainan modern, seolah-olah memberikan kesan permainan tradisional sudah kurang digandrungi anak yang tinggal di kota. Namun anak-anak di daerah Kecamatan Medan Baru khususnya kelurahan Padang Bulan dan Titi Rantai masih tetap menggandrungi permainan tradisional. Berdasarkan dari paparan uraian di atas, sangat perlu dikemukakan perumusan masalahnya agar fokus kajian dari tulisan memiliki arah yang jelas dan mudah untuk dipaparkan. Permasalahan dirinci dalam bentuk pertanyaan :

a. Bagaimana tanggapan anak-anak terhadap permainan tradisional?

b. Apa saja jenis permainan tradisional yang masih ditemukan di kehidupan kota?

c. Apakah terdapat perbedaan permainan antara anak laki-laki dan anak perempuan?

d. Apakah tanggapan keluarga mengenai permainan tradisional? 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan, maka tujuan dari penulisan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :

(23)

b. Jenis permainan tradisional yang masih ditemukan di kehidupan kota. c. Perbedaan permainan antara anak laki-laki dan anak perempuan? d. Pendapat keluarga mengenai permainan tradisional

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah :

a. Menambah kepustakaan Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dalam kajian mengenai budaya dan folklor tentang permainan tradisional anak-anak diperkotaan

b. Menambah wawasan keilmuan khususnya pada kajian folklor yang memberikan pemahaman bagi pembacara tentang kondisi permainan tradisional di perkotaan

c. Terbentuknya pemahaman bagi pembaca bahwsanya seiring perkembangan zaman, sudah semakin sedikit permainan tradisional yang dimainkan di lingkungan perkotaan, sehingga para pembaca bisa membangkitkan kembali permainan tradisional pada kalangan anak-anak di perkotaan

1.5 Metode Penelitian

1.5.1Pendekatan dan Jenis Penelitian

(24)

etnografi berarti belajar dari masyarakat (Spradley 1997 : 3). Melalui penelitian jenis etnografi, peneliti mampu melihat makna dibalik sesuatu yang tidak tampak.

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

- Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi (pengamatan) dan wawancara lapangan

a. Observasi (pengamatan)

Observasi (pengamatan) adalah suatu tindakan untuk melihat gejolak (tindakan atau peristiwa atau peninjauan dan langsung di lapangan atau lokasi penelitian dengan cara mengamati). Dalam hal ini, peneliti mencoba mengamati dan ikut terlibat juga secara langsung dengan objek yang diteliti. Teknik observasi yang dilakukan penulis guna melihat, mendengarkan dan mencatat kejadian serta aktifitas di lokasi penelitian. Seperti melihat bagaimana anak-anak bermain dengan permainan yang digunakanan secara seksama.

(25)

didaptkan oleh penulis dalam bermain permainan ABC Lima Dasar dan permainan yang tidak pernah dimainkan oleh penulis adalah permainan memanjat kelapa hal ini dikarenakan karena penulis takut dengan ketinggian dan jika anak-anak bermain permainan ini maka penulis hanya menikmati buah kelapa yang dipetik

Melalui observasi partisipasi yang dilakukan penulis, penulis dapat merasakan apa yang terjadi di lapangan sehingga penulis lebih mudah untuk mendapatkan yang dibutuhkan selain itu penulis lebih muda mengetahui apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh anak-anak dalam bermain. Dalam proses observasi partisipasi penulis banyak menemukan banyak hal seperti jenis permainan yang dimainkan, perilaku bermain, interaksi anak-anak ketika sedang bermain, kerjasama untuk memenangkan permainan, mengatasi perkelahian yang terjadi dan masih banyak lagi yang akan diuraikan penulis didalam bab selanjutnya.

(26)

lapangan merupakan jembatan bagi penulis untuk menghubungkan penulis dengan keadaan yang sebenarnya yang terjadi.

b. Wawancara

Wawancara adalah salah satu proses penelitian melalui tanyajawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai. Wawancara yang dilakukan untuk mendapatkan informasi dari para informan, pewawancara dengan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama sehingga menggunakan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dianggap lebih efisien untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai hal yang terjadi di lapangan terkait dengan permainan tradisional anak-anak dan kehidupan kota. Metode wawancara memberikan keleluasaan kepada penulis untuk bertanya tentang apa yang belum dipahami terkait penelitian yang dilakukan. Adapun jenis-jenis wawancara sebagai berikut13

- Wawancara berstruktur : hal-hal yang ditanyakan telah terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya secara terinci.

:

- Wawancara tidak berstruktur : hal-hal yang ditanyakan belum diretapkan secara rinci, rincian topik pertanyaan pada wawancara ini disesuaikan dengan pelaksanaan wawancara di lapangan. Didalam wawancara tidak berstruktur terdapat wawancara mendalam (indepth interview), wawancara mendalam adalah

(27)

wawancara yang berusaha menggali sedalam-dalamnya dan mendapat pengertian seluas-luasnya dari jawaban yang diberikan informan.

- Wawancara bebas/informal : wawancara yang dilakukan dengan topik bebas dan bisa diakukan dimana saja dan kapan saja, serta dapat pula secara sambil lalu.

Dalam menggali informasi dari informan untuk keperluan penelitian maka penulis melakukan wawancara mendalam, dalam wawancara mendalam peneliti berusaha memperoeh informasi yang dalam dan luas dari suatu topik tertentu dengan pertolongan beberapa pertanyaan utama sebagai penunjuk. Pertanyaan utama sebagai penunjuk ini digunakan sebagai arah, agar informasi yang di inginkan tentang topik tertentu dapat diperoleh.

Peneliti berusaha menjalin rapport14

Penulis hanya mewawancarai anak yang berumur 5-16 tahun, anak-anak ini berasal dari kalangan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMP). Adapun anak-anak yang diwawancarai oleh penulis untuk mendapatkan data peneltian antara lain Anyea berumur 13 tahun, Elsa berumur 13 tahun, Jesika berumur 12 tahun, Farida berumur 12 tahun, Senior berumur 7 tahum, Wahyu berumur 11 tahun, Rafael berumur 11 tahun, Fahmi berumur 14 tahun,

dengan informan agar informasi yang diperlukan peneliti dapat tergali secara maksimal. Pengembangan rapport dilakukan dengan cara hidup beradaptasi sehingga ketika melakukan wawancara, data yang diperoleh benar-benar atau mendekati fakta yang sesungguhnya.

(28)

Teofani berumur 9 tahun, Yoga bermur 16 tahun, Zadiken berumur 12 tahun, James berumur 5 tahun dan Fikri berumur 12 tahun. Selain anak-anak yang diwawncarai oleh penulis terdapat dua orangtua yang diwawancarai penulis antara lain Pak Perdana berumur 43 tahun dan bu Netty berumur 35 tahun, penulis mewawancari kedua orangtua ini hanya sekilas dengan wawancara yang singkat, karena yang menjadi fokus penelitian saya adalah anak-anak dan data yang dihasilkan ketika wawancara dengan orangtua sebagai bahan pelengkap dalam tulisan.

c. Pemilihan Informan

Dalam memperoleh data dilapangan, peneliti sangat membutuhkan informan, jenis usia informan beranekaragam. Adapun kategori umur yang ditentukan oleh Depkes RI tahun 2009, yaitu15

• Masa balita : 0 – 5 tahun

:

• Masa kanak-kanak : 5 – 11 tahun

• Masa remaja awal tahun : 12 – 16 tahun

• Masa remaja akhir : 17 – 25 tahun

• Masa dewasa awal : 26 – 35 tahun

• Masa dewasa akhir : 36 – 45 tahun

• Masa lansia awal tahun : 46 – 55 tahun

• Masa lansia akhir tahun : 56 – 65 tahun

• Masa manula atas : > 65 tahun

(29)

Dari sejumlah kategori umur yang telah diungkapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, maka sebelum kelapangan peneliti menetapkan informan dengan kategori usia masa kanak-kanak dengan usia 5 – 11 tahun, masa remaja awal tahun dengan usia 12 -16 tahun. Jumlah informan yang digunakan oleh penulis sebanyak 13 orang anak diantaranya empat orang anak perempuan dan sembilan orang anak laki-laki. Informan yang berasal dari kalangan orang dewasa yaitu masa dewasa akhir dengan usia masa dewasa akhir dengan usia 36 – 45 tahun.

* Data sekunder

Data sekunder adalah data yang bersifat tidak langsung, akan tetapi memiliki keterkaitan fungsi sebagai salah satu aspek pendukung bagi keabsahan suatu penelitian. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis berupa studi kepustakaan seperti buku dan sumber-sumber tetulis yang ada di dalam internet. Selama proses pengumpulan data peneliti akan mengggunakan instrumen atau alat penelitian seperti alat perekam baik suara maupun video dan catatan lapangan (fieldnote) untuk membantu mendokumentasikan hal-hal yang diteliti dan memperkecil kemungkinan ada bagian dari pengumpulan data yang terlewatkan.

1.6. Lokasi Penelitian

(30)

penelitian tulisan ini adalah dua kelurahan yaitu kelurahan Titi Rantai dan kelurahan Padang Bulan, dua kelurah ini hidup berdampingan.

1.7. Pengalaman Lapangan

(31)

perpustakaan UNIMED tidak mengizinkan orang dari luar meminjam buku yang berada di perpustakaan. Berbeda dengan Perpustakaan Daerah SUMUT, perpustakaan ini mengizinkan masyarakat umum meminjam buku yang ada di dalam perpustakaan dengan mengurus formulir pendaftaran anggota perpustakaan daerah SUMUT, pengurusan formulir pendaftaran tidak dikenakan biaya sama sekali (gratis). Selama beberapa hari penulis mengunjungi perpustakaan daerah Sumut karena didalam perpustakaan ini memiliki sejumlah koleksi buku yang berhubungan dengan judul tulisan yang diangkat oleh penulis. Sementara Perpustakaan UNIMED tidak menyediakan literatur buku-buku yang dibutuhkan penulis, sehingga penulis mengunjungi perpustakaan ini hanya sebanyak dua kali.

Seminggu kemudian, penulis membentuk pertemuan ketiga, penulis memaparkan sejumlah teori dan konsep kepada ketua departemen. Pemaparan yang diberikan penulis mungkin dikategorikan “cukup” bagi pemula, sehingga tanpa disadari penulis mendapatkan jawaban “terima”, ditambah lagi dosen pembimbing penulis yang disarankan oleh penulis di acc oleh ketua departeman, kesenangan yang diterima penulis berlipat ganda.

(32)

dengan pihak/instansi tertentu oleh karena itu penulis memutuskan tidak mengurus surat izin lapangan, sebab lokasi penelitian penulis tidak membutuhkannya dan semua orang bisa memasuki lokasi penelitian tersebut dan yang dibutuhkan ketika berada di lokasi penelitian bukanlah surat izin lapangan melainkan keahlian dan kepiawaian penulis menjalin rapport dengan anak-anak yang bermain disekitar lokasi penelitian.

Lokasi penelitian penulis tidak jauh dari tempat tinggal, hanya memakan waktu sekitar lima menit dengan berjalan kaki dan memakan waktu sekitar dua menit dengan menggunakan kendaraan. Lokasi penelitian ini sudah dikenal oleh penulis kurang lebih empat tahun sehingga penulis mudah mengenali lingkungannya, namun untuk mengenali aktor belum pernah dilakukan oleh penulis sebelumnya dan penulis akan memulainya dalam penulisan skripsi ini.

(33)

terjadi selama beberapa jam. Keadaan ini membuat penulis kesusahan untuk menjalin hubungan yang baik dengan mereka.

Sebenarnya ketika itu penulis ingin pulang, namun penulis lebih memilih diam dan kembali mengamati mereka. Penulis kembali duduk ditempat semula yang berada didekat pohon kelapa dengan memperhatikan anak-anak memanjat kelapa dan bermain layang-layang. Ketika penulis mengalami kesulitan mendekati anak-anak yang bermain layang-layang maka penulis beralih mendekati anak-anak yang memanjat pohon kelapa. Pertama sekali penulis mengobrol dengan anak-anak yang memanjat pohon kelapa, permulaan wawancara yang dilakukan penulis belum terlalu mendalam. Diawali dengan pertanyaan-pertanyaan kecil namun karena sejumlah pertanyaan yang dilontarkan oleh penulis bagi mereka tergolong cukup banyak, maka mereka (anak-anak) menanyakan maksud dan tujuan dari sejumlah pertanyaan tersebut.

(34)

Awal wawancara penulis belum membawa alat rekam atau alat dokumentasi tetapi penulis hanya membawa kertas dan pensil. Selama wawancara penulis belum melakukan penulisan, penulis lebih baik mengobrol dan berbincang biasa dengan mereka. Perlahan penulis meminta izin dari anak-anak untuk melakukan wawancara dua hari kemudian dengan membawa alat dokumentasi dan catatan kecil, hal ini disetujui oleh anak-anak. Selesainya penulis mengobrol dengan anak-anak yang memanjat pohon kelapa, penulis menghampiri kembali anak-anak yang bermain layang-layang, sama seperti kesan pertama mereka selalu menjauh. Ketika penulis mengajak mengobrol mereka hanya diam dan tertawa, jawaban inilah yang diperoleh oleh penulis ketika mengobrol dengan mereka. Namun penulis tidak menyerah, penulis selalu menghampirinya dan mendekatinya kembali, ketepatan saat itu layang-layang mereka sangkut diatas pohon, penulis dengan cepat mengambil kesempatan ini, dengan membantu mereka mengambil layang-layang yang menyangkut di atas pohon. Selama proses pengambilan layang-layang yang sangkut diatas pohon, penulis mencoba berkomunikasi dengan mereka namun penulis tetap mendapat jawaban “diam dan senyum”, kalau penulis mengajukan pertanyaan mereka hanya diam dan jika penulis mengungkapkan kalimat-kalimat humoris mereka hanya tersenyum. Keadaan ini membuat penulis merasa kurang berhasil pada penelitian lapangan pertama.

(35)

biasa, tampak ketidakyakinan terhadap janji penulis. Hal ini dilakukan penulis, agar dapat menjalin hubungan yang baik dengan mereka, hubungan yang baik akan menciptakan proses komunikasi yang baik, penulis harus rela mengorbankan beberapa materi untuk menjalin komunikasi yang baik.

Keesokan harinya, sebelum pergi untuk melakukan penelitian lapangan yang kedua kalinya, penulis mulai mempersiapkan alat-alat penelitian seperti alat dokumentasi berupa handphone, camera digital, kertas, pulpen dan tidak lupa penulis memenuhi janji yang sebelumnya diberikan kepada anak-anak yaitu membawakan layang-layang, layang-layang yang dipersiapkan penulis sebanyak dua buah, harga layang-layang masing-masing Rp 1.000,-. Penulis perlahan-lahan menuju lokasi penelitian yaitu lapangan sepak bola, di lapangan penulis menemukan sejumlah anak-anak yang bermain layang-layang. Penulis tidak menemukan anak-anak yang mengalami “layang-layang yang sangkut kemarin” sehingga penulis memberikan layang-layang kepada anak lainnya, pemberian layang-layang kepada seorang anak, menimbulkan kecemburuan sosial kepada anak lain sehingga mereka meminta penulis untuk membelikannya kepada mereka.

(36)

cukup membantu tulisan penulis. Selama proses komunikasi yang terjadi berlangsung, penulis tidak lupa menyediakan alat rekam, FGD yang terbentuk terjadi selama sepuluh menit, mereka tampak bosan dengan sejumlah pertanyaan yang diberikan, keadaan ini membuat penulis mengalami kesulitan akhirnya penulis mengakhiri FGD dan memberikan layang-layang kepada anak yang memberikan jawaban yang memuaskan. Penulis tidak lupa memberikan saran, agar mereka bisa datang esok hari kembali, penulis kembali berjanji membawa layang-layang dan permen kepada mereka.

Pembentukan FGD selama proses pengambilan data dikategorikan kurang berhasil, sehingga penulis kembali memikirkan kembali cara yang baik untuk berkomunikasi dengan mereka. Selesainya FGD saya membujuk salah seorang anak untuk berkomunikasi, awalnya dia tidak ingin namun setelah menjelaskan mengapa penulis melakukan ini maka hatinya tergerak untuk melakukan komunikasi dengan penulis. Beberapa anak yang ingin diwawancarai oleh penulis, sebelum memulai wawancara dengan mereka, penulis terlebih dahulu menjelaskan kepada mereka maksud dan tujuan penulis melakukan hal tersebut. Beberapa anak yang diwawancarai oleh penulis pada hari kedua, sudah memiliki hubungan dengan penulis.

(37)

diajak bicara merasakan badmood maka penulis harus bersabar membujuk mereka. Ketiga mereka bermain tidak hanya di tempat tersebut, kadang mereka bergerak kesana-kemari sehingga penulis mengikuti mereka, akhirnya selama mengobrol penulis bergerak kesana-kemari hal ini membuat penulis mengalami kesulitan untuk mencatatnya dan tidak lupa penulis selalu menyediakan alat rekam. Keempat diawal hubungan, penulis selalu menyediakan hadiah bagi beberapa anak-anak sehingga selesai proses mengobrol anak tersebut mengharapkan beberapa hadiah berupa permen, layang-layang bagi mereka, jika ini berlangsung terus-menerus maka akan merogoh kantong penulis. Kelima lapangan dipenuhi dengan lalang/rumput yang

tajam sehingga terluka dan gatal-gatal pada kulit menjadi lebih rentan. Selama melakukan wawancara, penulis mengalami beberapa kecelakaan kecil berupa goresan dikulit kaki dan gatal-gatal.

Setiap kali penulis melakukan wawancara, malam harinya penulis melakukan pemindahan data ke bentuk atau format yang lebih bagus dengan kalimat yang rampung dan mudah dimengerti. Jika penulis melakukan wawancara pada sore hari maka malam harinya penulis memindahkan hasil catatan dan hasil rekaman kedalam bentuk narasi yang mudah dimengerti dan pemindahan dilakukan dengan cepat oleh penulis untuk menghindari beberapa data yang mungkin akan terlupakan. Sehingga dalam penyususan tulisan ini penulis bisa melihat bentuk narasi yang lebih dengan demikian proses penyusunan tulisan ini bisa lebih mudah dilakukan.

(38)

menyebarkan kuisoner”, sebelum penulis kelapangan maka penulis menyebarkan kuisoner kepada pihak-pihak yang dikenal oleh penulis seperti teman kuliah, temam kos dan sebagainya, penulis menyebarkan kuisoner sebanyak 30 buah, dan kuisoner yang kembali sekitar 25 buah. Kuisoner yang berjumlah 25 buah yang dikumpulkan penulis, berisi jawaban-jawaban dari responden. Jawaban dari kuisoner tersebut tidak sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat penulis, penulis merasakan bahwa jawaban dari responden kurang memuaskan, ditambah lagi dengan responden memberikan jawaban dengan sembarangan sehingga penulis memutuskan untuk tidak menggunakan kuisoner. Kuisoner yang tersisa di kos-kosan dibuang, akhirnya penulis memutuskan untuk terjun kelapangan dan melakukan wawancara dengan anak-anak. Kejadian ini memberikan pelajaran dan pemahaman kepada penulis, bahwa terdapat perbedaan dalam pengumpulan data dengan menyebarkan kuisoner dan wawancara mendalam. Sehingga matakuliah Metode Penelitan Antropologi yang didapatkan di bangku kuliah, dapat dimengerti oleh penulis serta materi yang dimuat dalam buku Spradley dapat dirasakan penulis ketika melakukan proses wawancara dilapangan secara langsung.

(39)

dengan anak-anak, jika penulis tidak sabar dengan perlakukan dengan anak-anak maka mereka tidak akan menjalin komunikasi yang baik dengan penulis.

Penulis tidak hanya mewawancarai anak-anak dilapangan bola, melainkan di dalam rumah mereka. Anak-anak yang sering diwawancarai oleh penulis di rumah mayoritas adalah anak perempuan. Biasanya anak-anak perempuan hanya bermain di dalam, depan, halaman rumah, untuk wawancara yang dilakukan dirumah penulis harus mendapatkan izin dari orangtua mereka, sehingga diawal penulis harus menjelaskan kepada orangtua mereka mengenai maksud dan tujuan penulis ikut bermain dengan mereka dan berkomunikasi dengan mereka. Sebagian besar orangtua mereka mengizinkan penulis untuk bermain dengan anak mereka. Orangtua mereka berharap selama proses bermain dengan anak-anaknya, penulis bisa menjaga mereka dan menghindarkan mereka dari kecelakaan-kecelakaan yang kecil, seperti terjatuh ketika bermain, bertengkar dengan teman lain saat bermain dan sebagainya.

(40)

Selama dua bulan lebih penulis melakukan wawancara dengan anak-anak, ketika penulis mendapatkan jawaban yang sama dari sejumlah pertanyaan yang diajukan maka hal itu menandakan penulis berhenti melakukan proses wawancara dengan anak-anak. Tidak terasa sudah dua bualn penulis bersama mereka, penulis memiliki kenangan yang mungkin tidak bisa didapatkan kembali oleh penulis, sehingga untuk mengakhiri proses wawancara, penulis memberitahu kepada anak-anak bahwa pada hari itulah, hari terakhir penulis bertemu dengan mereka.

Ungkapan kata hari terakhir membuat ekspresi wajah mereka berubah dan menunjukkan ekpsresi sedih yang seolah-olah tidak rela berpisah dengan penulis, penulis juga merasakan hal yang sama dengan mereka, kebersamaan dan canda-tawa yang telah terukir selama dua bulan bersama akan berakhir. Kedekatan penulis dengan informan bukan hanya sebatas hubungan dalam pencarian data, rapport yang sudah terhubung dan terjalin dalam sudah merubah posisi dan status kami, anak-anak menganggap penulis sebagai kakak dan penulis memiliki sifat mengayomi seperti kakak bagi mereka. Kehidupan sehari-hari penulis dengan informan (anak-anak) selalu terjalin dengan baik, ketika berpapasan dijalan penulis menyempatkan diri untuk mengobrol dengan mereka dan kadangkala mereka datang bermain ke kosan penulis.

(41)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Widjdati (2014) yang menemukan bahwa status social orang tua memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

Penelitian bertujuan mengetahui hubungan kepemilikan sanitasi dasar dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian diare pada balita di Desa Jetak Kecamatan Wedung

Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien TB paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Kota Pekalongan dengan dilengkapi kajian

Perencanaan siklus II dilaksanakan pada Rabu, 27 April 2016. Peneliti dan guru mempersiapkan berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses pembelajaran

Karena perubahan perilaku adalah bukan sesuatu yang dapat terjadi dengan mudah bagi kebanyakan orang, unsur lain dari teori Health Belief Model adalah masalah hambatan

Ketujuh, faktor penyebab rendahnya kemampuan menulis teks pidato antara lain: referensi buku tata bahasa yang kurang; penguasaan kaidah yang tidak memadai; kurangnya