BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan multikultural merupakan salah satu upaya untuk membangun
multikulturalisme di Indonesia1
Pendidikan multikultural merupakan urgensi bagi pendidikan di
Indonesia.Kemajemukan adalah fakta yang tidak dapat dikesampingkan oleh siapa
pun.Berangkat dari kemajemukan sudah selayaknya negara Indonesia menjadi
negara yang harus demokratis.Untuk menjadi negara yang demokratis salah satu
prasyaratnya adalah menghargai kemajemukan.Di dalam masyarakat majemuk
atau multikultural seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri kemajemukan tersebut
menjadi salah satu dasar dan penyebab adanya konflik dan tindakan .Fakta sosial empiris yang ada menunjukkan
bahwa sebagai masyarakat multikultural, bangsa Indonesia dihadapkan kepada
tantangan yang bersifat lokal maupun global.Masyarakat dihadapkan beragam
masalah mulai dari kekerasan horisontal maupun vertikal, korupsi, inequalities
dalam beberapa bidang kehidupan, disintegrasi bangsa, yang semuanya mengarah
pada krisis kehidupan berbangsa.Tantangan akibat dinamika global adalah
kenyataan bahwa intensitas tinggi masuknya budaya global, mulai mengancam
budaya lokal.Konteks ke-Indonesia-an saat ini, mulai dari fakta sejarah
kebangsaan, kebijakan politik, dan fakta globalisasi, mengharuskan genarasi muda
(didalamnya termasuk semua sekolah) dibekali dengan pendidikan multikultural.
1
diskriminasi.Indonesia negara multicultural tetapi pada masyarakat Indonesia
sebagian besar tidak menanamkan ideologi multikulturalisme.Hal ini dilihat dari
banyaknya kasus-kasus yang tidak berpihak terhadap penghargaan keberagaman
itu sendiri.
Pada peristiwa bentrok antar suku di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Dua suku yang tinggal sekampung di Hero Koe Desa Ruang Kecamatan Satar
Mese Barat terlibat baku bunuh di lokasi pemakaman umum Langke Norang,
Rabu, 13 April 2011. Peristiwa berdarah itu pecah lantaran hal sepele yaitu satu
suku menggelar upacara adat di lokasi pemakaman umum tanpa melibatkan suku
yang lain. Suku Ruang yang tinggal sekampung dengan suku Hero Koe merasa
tersinggung karena suku Hero Koe menggelar acara secara sepihak.Suku Ruang
yang kalap, di bawah pimpinan Sius Step dibantu tujuh rekannya, langsung
menyerang suku Hero Koe saat upacara adat berlangsung2
Di Cirebon terjadi penutupan Gedung Gratia milik umat Kristiani,
intimidasi terhadap kegiatan siaran Radio Gratia, pelarangan pendirian rumah
duka milik masyarakat Tionghoa dan kasus penggusuran tanah makam milik umat
Kristen oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon
.
3
.
Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk meredam, dan
menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi.Bahkan lebih jauh lagi seharusnya
negara bertanggung jawab untuk menanamkan paham-paham multikulturalisme
kepada setiap warganegara.Dalam kenyataannya negara menjadi aktor yang tidak
berpihak terhadap keberagaman itu sendiri.Aksi ini dilancarkan dengan
dikeluarkannya berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan
daerah yang anti keberagaman.Kebijakan negara yang anti keberagaman dapat
kita lihat seperti PNPS NO 1 1965 tentang Penyegahan penyalahgunaan
dan/penodaan agama pasal 1 dan masih ada beberapa peraturan-peraturan
pemerintah dan daerah lainnya tentang tindakan diskriminasi terhadap kaum
minoritas yang tertindas.
Medan adalah kota yang memiliki masyarakat yang sangat beragam baik
keberagaman suku, agama, adat dan budaya. Keberagaman suku diantaranya suku
Melayu, Jawa, Karo, Toba, Simalungun, Minang, Pakpak, Tamildan lain
sebagainya. Dari tiap suku tersebut membawa budaya yang berbeda-beda dan
sangat menarik oleh sebab ini menjadi kan kota Medan sangat unik. Tidak hanya
suku, agama juga beraneka ragam di kota Medan mulai dari agama resmi seperti
Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, Khonghucu. Terdapat
juga aliran kepercayaan lainnya seperti Parmalim, Pemena, Ahmadiyah, Saksi
Jahowa, dan lain sebagainya. Dengan adanya keberagaman tersebut penulis
menemukan kasus yang tidak menghargai adanya keberagaman yang terjadi di
Kota Medan khususnya yang berhubungan dengan agama maupun aliran
Aliansi Sumut Bersatu4
Tahun 2012 terjadi pengrusakan rumah ibadah, Gereja Pentakosta di
Indonesia (GPdI) Dolok Masihul serta ancaman terhadap pendetanya, akibat
ancaman tersebut pendeta kehilangan rasa aman, pendeta tersebut mengaku tidak
memiliki masalah dengan pihak lain. Gereja tersebut dirusak oleh orang yang
tidak dikenal dengan menggunakan linggis dan benda tajam.
mencatat berbagai kasus intoleransi yang terjadi
melalui pemantauan lima (5) media lokal, pada tahun 2011 tercatat ada sebanyak
63 kasus, sedangkan di tahun 2012 naik menjadi 75 kasus. Adapun jenis kasus
intoleransi yang terjadi mulai dari tindakan diskriminatif, pernyataan negative
terhadap kehidupan beragama, tuntutan ormas terhadap pemerintah, tindakan
lokalisasi, pengrusakan dan permasalahan rumah ibadah, penistaan dan
penyalahgunaan symbol agama dan kekerasan terhadap pemuka agama.
5
Pada tanggal 24 Juli 2013, telah terjadi pemecatan terhadap seorang siswi
sekolah dasar yang bernama Dini Kemala Wulandari di SD Negeri 040462 Jl.
Udara Berastagi, karena menggunakan Jilbab. Pemecatan tersebut dilakukan oleh
Kepala Sekolah Sabarita br. Sembiring.Ibu Dini menemui Ibu Sabarita untuk
meminta izin agar Dini dapat bersekolah menggunakan jilbab. Ibu Sabarita
menyarankan agar Ibu Dini mencarikan sekolah yang mengizinkan memakai
jilbab atau sekolah khusus untuk Islam, karena di sekolah 040462 tidak ada siswi
4
AliansiSumutBersatu (ASB) adalahorganisasimasyarakatsipilatau LSM yang sejaktahun 2006
melakukan
yang menggunakan jilbab. Kekawatiran Ibu Sabarita apabila Dini diberikan
kesempatan menggunakan jilbab, akan muncul permintaan lain dari pelajar
lainnya6
Melihat beberapa peristiwa yang telah terjadi di Indonesia maupun di
Medan tidak dipungkiri bahwa betapa pentingnya adanya penerapan mengenai
pendidikan multikultural.Dalam UU SISDIKNAS No 20 tahun2003 Bab III (pasal
4, ayat 1) dikatakan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” .
7
Biasanya, melalui pendidikan multikultural siswa yang datang dari
golongan etnis yang berbeda dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka
serta mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak yang sama.
Apa pun dan bagaimanapun bentuk dan model pendidikan multikultural, mestinya
tidak dapat lepas dari tujuan umum pendidikan multikultural, yaitu
mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan system
dan menyediakan pelayan pendidikan yang setara serta menghubungkan .Dalam hal ini ada
usaha-usaha dalam bidang pendidikan untuk mempertahankan kemajemukan
dimana masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur.Pendidikan
multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyrakat majemuk untuk
mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik
Buchori (2007).
6
Harian Waspada 24-25 Juli 2013
7
kurikulum dengan karakter guru, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah
guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang setara”. Namun antara
yang diidealkan dengan realitas, seringkali tidak sama. Penerapan pendidikan
multikultural sudah ada berlangsung dan berhasil diterapkan.
SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh sebagai sekolah boarding yang
mengahruskan anak-anak untuk tinggal di asrama sekolah. Di sini banyak peserta
didik berasal dari berbagai daerah yang ada di Aceh, bahkan ada yang dari luar
Aceh, dengan membawa berbagai perbedaan kultur dan adat istiadat.
Pembelajaran di SMA Negeri 10 Fajar Harapan dapat berjalan dengan harmonis,
tidak terjadi diskriminasi, dan siswapun tidak terkotak-kotak dalam pembelajaran
di asrama.Pendidikan Multikultural di SMA Negeri 10 Fajar Harapan sudah lama
diaplikasikan dalam pembelajaran.Ini terbukti dalam penilaian para peserta didik
seadanya tanpa memperhatikan anak siapa, berasal dari daerah mana, baik
laki-laki maupun perempuan.Semua berkesempatan meraih berbagai prestasi8
Di Sumut pendidikan multikultural masih sangat jarang sekali, pendidikan
multikultural dapat dijumpai di LSM, Kuliah, Pelatihan-pelatihan yang
berhubungan mengenai keberagaman, Organisasi yang mengangkat isu-isu
tentang keberagaman, dan salah satunya adalah sekolah di Yayasan Perguruan
Sultan Iskandar Muda Medan.Ketertarikan penulis dalam mengangkat lokasi
penelitian di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan, karena melihat
visi, misi, dan tujuan sekolah yang mencerminkan kurikulum sekolah yang
berbasis multicultural.
.
8
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25
Agustus 1987.Sekolah tersebut terdiri atas beberapa jenjang pendidikan mulai dari
Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama
(SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK).Yayasan Perguruan Sultan
ISkandar Muda juga diperkuat 126 tenaga pengajar lulusan D3, S1, S2 dan
Pegawai. Jumlah siswa berkisar 2.200 orang beragam etnis, 600 orang diantaranya
adalah anak asuh yang bebas biaya sekolah, anak yang akan diberikan subsidi
silang dan penerimaan beasiswa9
Kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan
adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan
dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam
lingkungan social budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak
akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi
pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai
praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang
. Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji
bagaimana strategi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dalam menerapkan
dan memberikan pendidikan multikultural terhadap peserta didik pada tingkat
sekolah menengah atas (SMA), dan melihat hasil yang dicapai dalam penerapan
system pendidikan multikultural.
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1. Antropologi Pendidikan
dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan Oleh
praktek-praktek pendidikan (Imran Manan,1989). Dengan mempelajari metode
pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana
para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena
kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar
untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif.
Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan
sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dapat dilihat melalui kajian-kajian mengenai
masalah enkulturasi, sosialisasi dan transmisi kebudayaan. Mengenai soal apa
yang ditransmisi Fortes (dalam koentjaraningrat 1990:229) ada empat bidang
yaitu :
1. Unsur-unsur yang menyangkut proses fisiologi, reflex-refleks,
gerak-gerak, reaksi-reaksi, serta penyesuaian fisik yang diperlukan untuk
bertahan dalam masyrakat dan kebudayaan.
2. Sikap psikologi serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud yang
sama.
3. Berbagai adat-istiadat sosial yang perlu untuk dapat berinteraksi dan
bergaul dalam masyarakat.
4. Berbagai konsep, nilai budaya, adat istiadat, dan pandangan umum dalam
kebudayaan.
Koentjaraningrat (1990:231) tanggapan yang baik serta permintaan yang
1. Pendekatan antropologi menggunakan berbagai teknik wawancara yang
mendalam, yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data
mengenai berbagai masalah sosial-budaya yang melatarbelakangi
pendidikan sekolah masa kini.
2. Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah
transmisi kebudayaan pada umumnya.
3. Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai cara
mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda.
4. Metode cross-cultural yang dikembangkan oleh antropolog dianggap dapat
membantu ilmu pendidikan yang komparatif.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan
yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam
perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan
sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing
masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari
media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di
lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi
nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran
1.2.2. Pendidikan, Multikulturalisme, Pendidikan Multikultural
1.2.2.1.Pendidikan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar
“didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai
pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses
perluasan, dan cara mendidik.
Pendidikan merupakan sebuah agen untuk melakukan perubahan sosial
guna membentuk masyarakat yang baru.Pendidikan bisa didapatkan melalui
keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.Berbagai lembaga jasa pendidikan,
dituntut untuk menyesuaikan diri agar kurikulum dan fasilitas pendidikan yang
disediakan dapat memfasilitasi lahirnya sumber daya manusia yang memiliki
keunggulan. Menurut H.A.R. Tilaar (2004), ada dua jenis manusia unggul,
pertama, manusia yang memiliki keunggulan individualistik, dan kedua manusia
yang mempunyai keunggulan partisipatori.
Freire (2004 : ix-x) merumuskan gagasan-gagasan tentang hakekat
pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dn pembaharu,
pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif,
tapi harus kedua-duanya.Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak
mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya
yang objektif. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus
dalam hubungan dialektisnya yang konstan, yaitu (1) Pengajar, (2) Pelajar atau
anak didik, (3) Realitas dunia.
1.2.2.2. Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan
hubungan setiap manusia dengan melihat keberadaan setiap kebudayaan dan
dipandang secara setara, dengan demikian muncul suatu gagasan yang normative
mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing
kebudayaan suatu bangsa. Menurut Blum (2001 : 2) konsep multikulturalisme
adalah sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang,
serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis tertentu.
Dengan kata lain, multikulturalisme merupakan penilaian terhadap budaya-budaya
orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya
tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya asli
mengekspresikan nila-nilai bagi anggotanya sendiri.
Jock Youn (dalam Piliang, 2003) ada dua sikap yang berbeda dalam
melihat perubahan dan transformasi dalam kaitannya dengan multikulturalisme,
antara lain:
1. Multikulturalisme Plural, yaitu pandangan yang mengedepankan
“absolutism identitas”. Identitas dipandang sebuah kepastian yang
kebudayaan luar. Multikulturalisme seperti ini lebih menempatkan
kelompok etnis, ras, daerah, agama, sebagai entitas yang berbeda dan
terpisah secara absolute. Sehingga menfikkan kemungkinan
persilangan interaksi dan identifikasi antar budaya.
2. Multikulturalisme transformative, yaitu menekankan potensi
pertukaran budaya secara terbuka, persilangan norma dan nilai-nilai
peleburan batas-batas, serta eklektisisme dalam berbagai bentuk
ekspresi sosial politik dan budaya.
Lebih lanjut Azraa (dalam Pujaastawa 2006:75) mengatakan
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang dapat
diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman atau pluralitas dalam kehidupan
bermasyarakat.
Untuk memperkokoh negara kesatuan Republik Indonesia selain konsep
heteronomi maka konsep multikulturalisme adalah salah satu strategi yang bisa
diambil untuk mengatasi konflik yang bersifat horizontal di Indonesia. Untuk
membangun multikulturalisme di Indonesia menurut Suputra (2006:67) ada
beberapa upaya yang mesti dilakukan antara lain:
1. Melalui pendidikan multikultural baik yang diselenggarakan melalui
lembaga pendidikan formal ataupun nonformal.
2. Melalui prinsip lintas budaya (transcultural) yakni semacam garis
3. Melalui prinsip keterbukaan yang kritis, yaitu keterbukaan terhadap
kebudayaan luar serta proses interaksi pertukaran yang dimungkinkan
didalamnya, harus disertai sikap kritis. Oleh karena itu, ada semacam
mekanisme saringan budaya (culturalfilter) dapat meminimalisasi
ekses-ekses dari keterbukaan tersebut.
Bikhu Parekh (2001) istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen,
yakni, pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan; kedua, konsep ini merujuk
kepada pluralitas kebudayaan; dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu
untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu multikulturalisme bukanlah doktrin
politik pragmatic melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideology dalam
kehidupan manusia. Alfonso Taryadi (dalam Ata Ujan 2011:14-15) mengatakan
bahwa ada lima jenis multikulturalisme :
1. Multikulturalisme isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai
tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup
mandiri dan terlibat dalam saling interaksi minimal sebagai syarat yang
niscaya untuk hidup bersama.
2. Multikulturalisme akomodatif: mengacu pada visi masyarakat yang
bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian
dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas.
3. Multikulturalisme mandiri: mengacu pada visi masyarakat dimana
kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya
dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam satu kerangka
4. Multikulturalisme kritis atau interaktif: merujuk pada misi masyarakat
sebagai tempat kelompok-kelompok cultural kurang peduli untuk
menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam menciptakan satu
budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka
yang berbeda-beda.
5. Multikulturalisme cosmopolitan: mengacu pada visi masyarakat yang
berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi
para individu yang kini tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas
bergiat dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan
satu budaya milik mereka sendiri.
Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah terbangunnya
system pendidikan multikultural untuk mewujudkan suatu perdamaian dan
kesetaraan.Pendekatan dan pendidikan multikultural tidak sekedar mengenal,
menghargai, dan menyambut perbedaan, tetapi harus ditandai dengan keterlibatan,
mempertanyakan dan mempelajari perbedaan (Fay, 2002).Pendidikan
multikultural memberikan alternative melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan berbasis pada keragaman di tengah masyarakat, khususnya yang ada
pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,
dan lain-lain.
1.2.2.3. Pendidikan Multikultural
Menurut James Bank (dalam Nurdin 2011:85) pendidikan multikultural
multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang
ideal bagi bangsanya, ada lima dimensi yang saling berkaitan dalam pendidikan
multikultural, yaitu:
1. Conten Integrasi, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok
untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam
mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The knowledge contruction process, membawa siswa untuk memahami
implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.
3. An Equity Paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara
belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang
beragam baik dari segi ras, budaya, gender, ataupun sosial.
4. Prejudice Reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan
menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan ekstra
kurikuler (seni budaya, olahraga, keagamaan, maupun kegiatan lain)
agar mampu berinteraksi antara peserta didik maupun pendidik (guru)
dalam menciptakan budaya akademik.
Sutijono (2010:60) mengusulkan standar kompetensi pendidikan
yangberdasarkan pada paham multikulturalisme itu adalah untuk menghasilkan
warga negara yang dapat hidup rukun satu sama lain terlepas dari agama, ras,
bahasa, budaya dan sosial, menghormati hak-hak satu sama lain, memberikan
kesempatan bagi semua kelompok untuk mengembangkan budaya mereka, dan
standar kompetensi ini, selanjutnya Sutijono juga menguraikan tujuan dari
kompetensi dasar tersebut untuk menghasilkan warga negara yang :
1. Dapat menerima perbedaan etnis, agama, bahasa, budaya, status sosial,
gender dalam masyarakat.
2. Dapat bekerja sama dalam konteks etnis, kultur, dan
multi-agama untuk pengembangan ekonomi dan penguatan negara.
3. Dapat menghormati hak-hak orang lain terlepas dari etnis, agama,
bahasa dan budaya mereka diberbagai aspek kehidupan.
4. Dapat memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara lain untuk
mengekspresikan pendapatnya dan aspirasinya dalam institusi
pemerintahan, baik dalam badan legislative maupun eksekutif.
5. Dapat mengembangkan tindakan yang adil terhadap semua warga
negara terlepas dari etnis, agama, bahasa dan budayanya.
1.2.3Sejarah Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural pertama sekali dikembangkan di
Amerika Serikat sebagai bagian dari pergerakan hak asasi manusia pada tahun
1960an dan 1970an yang dilakukan oleh sekelompok etnis minoritas yang merasa
tertindas dan terdiskriminasi.Perubahan yang signifikan ini berasal dari
pergerakan etnis berkulit hitam Afrika di Amerika untuk mendapatkan
penghargaan yang setara dengan etnis mayoritas di Amerika yang berkulit putih
di bidang akomodasi public, perumahan, lapangan kerja dan pendidikan
Banks(2010:5).
Dibidang pendidikan secara spesifik kelompok yang keberadaanya
berawal dari imigrasi ini pun mendesak agar sekolah dan istitusi pendidikan
merubah kurikulumnya sehingga pengalaman, sejarah, kultur dan perspektif
mereka juga menjadi bahan pembelajaran dikelas. Mereka juga meminta
peningkatan pengrekrutan guru-guru dan pengurus sekolah yang berkulit hitam
dan coklat untuk dijadikan role model bagi anak-anak Afrika Amerika tersebut
(Banks, 2010).
Di negara lain seperti di Inggris, pendidikan multikultural atau sering juga
dikenal sebagai pendidikan anti-rasisme juga muncul pada tahun 1970an sebagai
bentuk penolakan terhadap diskriminasi rasial yang dirasakan oleh imigran yang
berkulit hitam dan coklat dari Asia Afrika. Sama seperti di Amerika, di Inggis
pergerakan perlawanan dan kebijakan dan kultur yang membeda-bedakan kaum
perempuan juga dilakukan oleh sekelompok feminist (Banks, 2010).
Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik
kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhineka Tunggal Ika,
yang memiliki makna keragaman dalam kesatuan ternyata yang ditekankan
hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat
Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukkan relasi masyarakat terhadap praktk
hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan
identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang selama Orde Baru telah ditindas
praksis pendiddikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan
kekayaan kebhinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan
kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi10
10
H.A.R. Tilaar, “Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi .
Berbeda dengan Negara AS, Inggris dan Negara-negara di Eropa, dimana
pada umumnya multicultural bersifat budaya antar bangsa, keragaman budaya
datang dari luar bangsa mereka.Adapun multicultural di Indonesia bersifat budaya
antaretnis yang kecil, yaitu budaya antar suku bangsa.Keragaman budaya datang
dari dalam bangsa Indonesia sendiri.Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat
menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan multicultural
di Indonesia.Semangat sumpa pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk
mempersatukan warga Negara Indonesia yang berbeda budaya.
Di Indonesia, wacana mengenai pendidikan multikultural mulai dikenal
pada masa otonomi dan desentralisasi (Saifuddin, 2002). Berakhirnya rezim orde
baru dan turunnya Suharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia mengawali
era demokratisasi dan reformasi di Indonesia.Pendidikan multikultural ini dilihat
sebagai konsep pendidikan yang sesuai untuk pada zaman desentralisasi
(Saifuddin, 2002, Mahfud, 2009). Seperti yang diungkapkan oleh Mahfud (2009),
berakhirnya system pemerintahan yang bersifat sentralistik pada tahun 1998 yang
memaksakan konsep mono-kulturalisme dan uniformitas dapat memunculkan
reaksi balik yang negative bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang pada
1.2.4. Pembelajaran Bermuatan Multikultural
Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan
multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan
memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa
siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi
yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong
siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran. The Center for Research on
Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California,
Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan
pembelajaran untuk siswa multikultur :
a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity)
Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran,
khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda.
Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah
proyek.Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok
berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam
kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa
serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah
atau sebuah proyek.
b. Perkembangan Bahasa (Language Development)
Pengembangan bahasa dalam kurikulum bertujuan meningkatkan
kompetensi guru dalam menyampaikan pengajaran.Melek huruf adalah
dimana semua guru harus menolong siswa untuk menjadi melek huruf.
Guru harus menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan
mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam
proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa
ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis,
membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan
kemampuan literasi.
c. Kontekstualisasi (Contextualisation)
Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan
kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi
siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan
pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam
komunitas sekolah dan dengan orangtua siswa, guru dapat
mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan
pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru.
d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation)
Pengajaran melalui percakapan melibatkan siswa dalam dialog.Berbagi
pengetahuan dan mengajukan pertanyaan mengenai ide-ide atau gagasan
merupakan komponen penting dalam percakapan instruksional antara guru
dan siswa. Jadi dalam metode ini, guru menggunakan dialog antara guru
dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi
topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan
pengalaman dan pengetahuan mereka terdahulu untuk menolong mereka
belajar.
e. Aktifitas Menantang (Challenging Activities)
Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk
mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak
memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status
sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin
sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka
atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman
mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan
tugas-tugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru
harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu
siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Kunci untuk
menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan
budaya dan pengalaman nyata siswa.Siswa harus dapat melihat diri
mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna
dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka.Sebaliknya,
mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena
dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya
mereka.Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di
1.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka
penulis menyimpulkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana Bentuk Pendidikan Multikultural pada Sekolah
Menengah Atas yang dilakukan di Yayasan Perguruan Sultan
Iskandar Muda Medan.
2. Bagaimana strategi penerapan pendidikan multikultural yang
diterapkan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan
pada tingkat SMA.
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan
bagaimana bentuk penerapan pendidikan multikultural beserta strategi yang
digunakan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat
kampanye pentingnya pendidikan multicultural. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan menjadi pemikiran baru bagi masyarakat ataupun institusi pendidikan
lain untuk menerapkan pendidikan multicultural, baik dalam lembaga pendidikan
formal maupun non formal. Penelitian ini juga diharapkan menajadi pendorong
bagi pemerintah untuk merancang kurikulum pendidikan nasional yang berbasis
multikulturalisme.
1.5.Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif
berupa metode etnografi yang berdasarkan pada kenyataan lapangan di Yayasan
Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan dan apa yang dialami oleh informan
dengan penerapan sistem Pendidikan Multikultural. Metode etnografi digunakan
untuk meneliti perilaku-perilaku manusia terkait dengan perkembangan teknologi
komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu.Spradley (1997:3)
mengungkapkan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu
kebudayaan yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti dalam melakukan
penelitian agar mendapat data-data dilapangan adalah:
• Teknik observasipartisipasi
Teknik yang dilakukan adalah Mengamati kegiatan yang dilakukan oleh
para siswa dan staff pengajar serta keterlibatan langsung peneliti dalam
kegiatan di lapangan dengan cara ikut serta dalam beberapa kegiatan di
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.
• Teknik wawancara
Di tengah-tengah kegiatan tersebut peneliti melakukan wawancara secara
mendalam atau indept Interview dilakukan dengan alat bantu seperti
pedoman wawancara sesuai dengan topic penelitian, tujuannya untuk
mendapatkan informasi, persepsi, opini dari permasalahan penelitian.
keterangan untuk tujuan penelitian dan dengan cara tanya jawab sambil
bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang
diwawancarai dan tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara
ini dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat menjawab
pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang apa yang dialami, dihadapi,
dan dirasakannya. Penulis menentukan informan yang diambil dari staff
pengajar SMA dan siswa SMA. Kriteria informan dari staff pengajar
berdasarkan dari lamanya mengabdi di YPSIM. Kriteria informan dari
siswa berdasarkan perwakilan setiang kelas mulai dari kelas X, XI, XII,
dan masing-masing kelas diambil berdasarkan jenis kelamin yaitu setiap
kelas laki-laki dan perempuan.
• Pengembangan Rapport
Membangun Rapport ( hubungan baik) merupakan cara yang sangat
bermanfaat dalam penelitian ini, tujuannya agar tercipta hubungan baik
dengan informan baik siswa atau pun staff pengajar tingkat Sekolah
Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan
sehingga data yang dihasilkan mampu mendekati data dilapangan.
• Analisis data
Analisis data dilakukan untuk menganalisis makna yang ada di balik data,
informasi yang telah diperoleh dari informan yang telah di peroleh dari
Sekolah Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
Medan .Data ini berasal dari naskah wawancara peneliti dengan informan
pribadi dan dokumen penting lainnya. Semua itu dikumpulkan untuk
menjadi kunci terhadap apa yang telah diteliti. Menurut Spradley(1997)
semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.
Semua kata yang digunakan oleh informan dalam menjawab pertanyaan
penelitian adalah symbol-simbol.Symbol yang dimaksud adalah
istilah-istilah yang digunakan oleh informan.
1.6. Pengalaman Penelitian
Penulis melakukan penelitian di Sekolah Menengah Atas Yayasan
Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.Penulis mulai melakukan penelitian
setelah surat izin untuk terjun ke lapangan di keluarkan pada tanggal 22 Desember
2014. Kemudian penulis pergi ke sekolah tersebut tetapi tanpa disadari penulis
pihak sekolah sudah melaksanakan libur natal dan tahun baru selama 2
minggu.Penulis kembali mendatangi sekolah pada tanggal 6 Januari karena
bertepatan secara umum sekolah-sekolah sudah aktif kembali. Penulis tiba di
sekolah pukul 08.00 WIB pagi, penulis melihat ada satpan yang duduk di depan
pintu masuk sekolah dan penulis bertanya kepada satpam untuk bertemu Kepala
Sekolah SMA. Prosedur yang digunakan pihak sekolah ialah apabila ada tamu
yang datang harus meminta izin terlebih dahulu ke satpam kemudian satpam akan
memberikan izin masuk jika tamu memberikan penjelasan identitasnya.
Penulis kemudian diberikan izin masuk dan memasuki kantor staff
pengajar SMA. Penulis melaporkan ke bagian resepsionis untuk diberikan izin
Universitas.Menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan inilah yang
dirasakan penulis dengan waktu hampir 30 menit penulis baru mendapat
panggilan dan dipersilahkan masuk menjumpai kepala sekolah SMA. Penulis
menerangkan maksud dan tujuan datang ke sekolah dan memberikan surat izin ke
lapangan dengan mengatakan akan melakukan penelitian sebagai pelengkap
data-data pada skripsi yang sedang di kerjakan oleh penulis.
Kepala Sekolah memeberikan izin penulis untuk melakukan penelitian dan
mengatakan besok sudah bisa melakukan penelitian.Kamis 7 Januari 2015 pukul
08.00 WIB penulis mendatangi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
Medan.Hari ini adalah hari pertama penulis melakukan penelitian.Pada saat itu
waktu belajar mengajar sedang berlangsung, penulis menunggu siswa istirahat
dari kelas.Posisi penulis pada saat itu di kantin sekolah.Siswa mulai berdatangan
karena waktu istirahat sudah tiba, penulis mendatangi salah seorang siswa
P.Sidabutar (siswa laki-laki berusia 17 tahun) kelas XI IPS dan penulis
memperkenalkan identitas penulis. P.Sidabutar dengan sambutan senyuman
kepada penulis menandakan ia setuju untuk di wawancarai.
Dalam perbincangan dengan P.Sidabutar penulis mendapatkan banyak
informasi terkait sekolah yang memiliki sistem pendidikan multicultural.Ia pada
awalnya tidak mengetahui bagaimana penerapan pendidikan keberagaman.
Dengan rasa tidak percaya bagaimana bisa agama-agama yang berbeda dapat
berdampingan dengan baik dalam sebuah sekolah.P.Sidabutar menceritakan
keberagaman. Setelah ia masuk di YPSIM P.Sidabutar merasakan lingkungan
yang berbeda dimana antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak ada
pembedaan. P.Sidabutar juga belajar menghargai setiap perbedaan yang terdapat
di lingkungan sekolah. Antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak
membeda-bedakan teman baik dari segi agama, suku, ras, ekonomi dan gender.
Mereka juga saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Pada saat
itu jam istirahat terlalu singkat dan pembicaraan kami selasai. Bel tanda masuk
kelas pun berbunyi, P.Sidabutar meminta izin untuk masuk ke ruangan kelas.
Pukul 11.00 WIB Penulis kemudian mendatangi salah seorang siswa
jurusan akuntansi yang sedang berada di kantin berhubung siswa tersebut masuk
siang pada pukul 01.00 WIB. Siswa itu benama Asma siswa kelas XII Akutansi.
Asma (siswa perempuan 17 tahun) siswa SMA di Yayasan Sultan Iskandar Muda
Medan yang beragama Islam dan bersuku Jawa. Mengobrol dengan Asma sangat
asyik karena Asma mampu memberikan keterangan mengenai sekolahnya. Asma
juga menjelaskan bagaimana diterapkannya sistem pendididkan keberagaman.
Sebelum masuk kesekolah ini Asma sudah tahu bahwa sekolah ini tidak
membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya dai segi agama suku ras
dan gender. Asma mendapatkan ilmu multikultural disekolah ini dan
diimplementasikannya di tengah-tengah masyarakat.
Asma juga menjelaskan bahwa teman-teman yang satu dengan yang
lainnya berteman dengan baik tidak membeda-bedakan. Jika ada seorang teman
yang melakukan tindakan yang membeda-bedakan teman atau misalnya menjauhi
mendapatkan teguran dari masing-msing teman atau teguran dari guru untuk tidak
melakukannya kembali. Dari kepribadian Asma sendiri mengatakan ia tidak
membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya semua teman disama
ratakaan olehnya. Kegiatan yang sering mereka lakukan juga selalu membaur dan
membantu teman yang satu dengan yang lainnya tanpa ada membedakan dan
terkecuali. Sistem tolong menolong juga diterapkannya dalam membantu
membersihkan tempat-tempat ibadah atau kegiatan seremonial keagamaan. Tidak
terasa saat penulis asyik mengobrol Asma, bel tanda masuk untuk siswa di pukul
01.00 sudah berbunyi menandakan Asma harus kembali mengikuti belajar
mengajar di kelas. Siang itu Pukul 01.10 WIB Penulis mengahiri penelitian dan
kembali pulang.
Pada Senin, 12 Januari 2015 pagi pukul 09.45 penulis kembali melakukan
penelitian ke Yayasan Perguruan Sultan Iskndar Muda Medan. Pagi itu penulis
mendatangi siswa SMA kelas XI IPS yang bernama CR (tidak ingin disebutkan
namyanya, laki-laki berumur 16 tahun). Penulis menjelaskan maksud dan tujuan
terlebih dahulu. Ternyata kebahagian tersendiri bagi CR bisa mengobrol dengan
penulis. CR merasakan bagaimana pengalamannya disekolahnya. CR
mendapatkan mutu pendidikan multikultural atau keberagaman disekolahnya
yaitu sekolah berbasis keberagaman Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan.
Sebagai siswa CR mengikuti tata tertib dan panduan yang diajarkan oleh pihak
sekolah. Dengan demikian CR paham bagaimana keberagaman, misalnya tidak
boleh mebedakan teman dengan yang satu dan yang lainnya yaitu dalam kategori
boleh juga perempuan. Menurutnya dengan belajar keberagaman ini kita bisa
menghargai teman-teman yaitu antara laki-laki dan perempuan. Apa lagi dengan
teman yang berbeda dari segi agama, ras, suku, dan lainnya.
Penulis memiliki kendala dalam melakukan penelitian ini dimana penulis
harus mewawancarai informan saat jam istirahat dan proses belajar mengajar tidak
berlangsung. Kemudian penulis mendatangi salah seorang staff pengajar ED
(yang tidak ingin disebutkan namanya). Penulis kembali menyampaikan maksud
dan tujuan, ED menyambut penulis dengan baik dan mempersilahkan penulis
memintai keterangan dari ED. ED menjelaskan sistem pembelajaran gender
kepada siswa. Di mana materi diajarkan walau masih dasar yaitu tidak
mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Semua siswa di lakukan setara,
karena memang sekolah juga mengajarkan demikian. Sebagai pengajar ED juga
harus memahami makna keberagaman dan kesetaraan. ED merasa hidup dengan
keberagaman yang saling berdampingan adalah kekeyaan bangsa yang luar biasa.
ED sudah lama mengajar di yayasan tersebut dan mengajarkan keberagaman
kepada siswa sangat menarik sekali, itulah yang dirasakannya. Karena
menurutnya guru juga adalah sosok teladan yang akan dicontoh.
Setelah selesai mengobrol dengan salah satu staff pengajar penulis permisi
untuk pulang karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan penulis, saat
itu pukul 12.45 WIB.Penulis juga mengalami kendala saat-saat libur hari besar
keagamaan yang di laksanakan oleh pihak sekolah yang jarang di lakukan oleh
sekola-sekolah lainnya.Di sekolah lainnya biasanya hari libur keagamaan hanya
Iskandar Muda Medan libur yang di lakukan lebih dari satu hari dari libur
nasional bisa sampai dua atau tiga hari.
Selasa 20 Januari 2015 tepat pukul 11.00 WIB penulis kembali ke sekolah
yang berbasis multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.
Penulis sebelumnya sudah membuat janji dengan informan yang akan dijumpai
penulis yaitu AR (seorang laki-laki yang tidak ingin disebutkan namanya 22
tahun). AR adalah salah seorang pegawai di bagian penyimpanan database
sekolah secara online di Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan. AR sudah lama
bekerja sama dengan pihak Yayasan dan juga sebagai teman dekat pendiri
Yayasan. AR mengatakan jika ingin bertemu dengannya harus membuat janji
terlebih dahulu karena AR memiliki kesibukan.Setelah beberapa menit penulis
menunggu dan membuat janji untuk bertemu di kantin sekolah.
Kantin sekolah tidak hanya dipergunakan sebagai pemadam kelaparan
tetapi juga disediakan tempat-tempat duduk untuk berdiskusi.AR tiba di kantin
sekolah dan memohon maaf atas keterlambatannya menemui penulis.AR banyak
sekali menyampaikan informasi terkait sekolah dan memberikan data-data kepada
penulis terkait sekolah.Penulis sangat senang sekali berkenalan dan mengobrol
dengan AR karena memiliki kecerdasan di bidang IT dan berbagai pengalaman
yang dirasakannya di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.
Dari AR lah penulis mendapatkan banyak masukan terkait penulisan
skripsi dan pengumpulan data. AR menjelaskan secara detail bagaimana sistem
Medan. AR yang pada dasarnya sudah memiliki pemahaman multicultural jadi
merasa tidak asing untuk berada di sekolah tersebut.Program anak asuh berantai
dan bersifat silang ini menurut AR sangat bagus sekali karena program ini dapat
membantu anak-anak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan.Disela
berdiskusi dengan AR, AR sesekali memberikan candaan agar diskusi tidak terasa
tegang sekali.Di sekolah ini AR juga mengajarkan siswa-siswi bagaimana
mengoperasikan IT dengan mengadakan seminar terkait media.AR bahkan di
tahun berikutnya salah satu masuk kategori sebagai orang tua asuh di Yayasan
Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Setelah berbincangan dengan AR selesai