• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Multikulturalisme (Studi Etnografi Mengenai Strategi Pendidikan Multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan multikultural merupakan salah satu upaya untuk membangun

multikulturalisme di Indonesia1

Pendidikan multikultural merupakan urgensi bagi pendidikan di

Indonesia.Kemajemukan adalah fakta yang tidak dapat dikesampingkan oleh siapa

pun.Berangkat dari kemajemukan sudah selayaknya negara Indonesia menjadi

negara yang harus demokratis.Untuk menjadi negara yang demokratis salah satu

prasyaratnya adalah menghargai kemajemukan.Di dalam masyarakat majemuk

atau multikultural seperti Indonesia, tidak dapat dipungkiri kemajemukan tersebut

menjadi salah satu dasar dan penyebab adanya konflik dan tindakan .Fakta sosial empiris yang ada menunjukkan

bahwa sebagai masyarakat multikultural, bangsa Indonesia dihadapkan kepada

tantangan yang bersifat lokal maupun global.Masyarakat dihadapkan beragam

masalah mulai dari kekerasan horisontal maupun vertikal, korupsi, inequalities

dalam beberapa bidang kehidupan, disintegrasi bangsa, yang semuanya mengarah

pada krisis kehidupan berbangsa.Tantangan akibat dinamika global adalah

kenyataan bahwa intensitas tinggi masuknya budaya global, mulai mengancam

budaya lokal.Konteks ke-Indonesia-an saat ini, mulai dari fakta sejarah

kebangsaan, kebijakan politik, dan fakta globalisasi, mengharuskan genarasi muda

(didalamnya termasuk semua sekolah) dibekali dengan pendidikan multikultural.

1

(2)

diskriminasi.Indonesia negara multicultural tetapi pada masyarakat Indonesia

sebagian besar tidak menanamkan ideologi multikulturalisme.Hal ini dilihat dari

banyaknya kasus-kasus yang tidak berpihak terhadap penghargaan keberagaman

itu sendiri.

Pada peristiwa bentrok antar suku di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Dua suku yang tinggal sekampung di Hero Koe Desa Ruang Kecamatan Satar

Mese Barat terlibat baku bunuh di lokasi pemakaman umum Langke Norang,

Rabu, 13 April 2011. Peristiwa berdarah itu pecah lantaran hal sepele yaitu satu

suku menggelar upacara adat di lokasi pemakaman umum tanpa melibatkan suku

yang lain. Suku Ruang yang tinggal sekampung dengan suku Hero Koe merasa

tersinggung karena suku Hero Koe menggelar acara secara sepihak.Suku Ruang

yang kalap, di bawah pimpinan Sius Step dibantu tujuh rekannya, langsung

menyerang suku Hero Koe saat upacara adat berlangsung2

Di Cirebon terjadi penutupan Gedung Gratia milik umat Kristiani,

intimidasi terhadap kegiatan siaran Radio Gratia, pelarangan pendirian rumah

duka milik masyarakat Tionghoa dan kasus penggusuran tanah makam milik umat

Kristen oleh Pemerintah Daerah Kota Cirebon

.

3

.

(3)

Negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk meredam, dan

menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi.Bahkan lebih jauh lagi seharusnya

negara bertanggung jawab untuk menanamkan paham-paham multikulturalisme

kepada setiap warganegara.Dalam kenyataannya negara menjadi aktor yang tidak

berpihak terhadap keberagaman itu sendiri.Aksi ini dilancarkan dengan

dikeluarkannya berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan

daerah yang anti keberagaman.Kebijakan negara yang anti keberagaman dapat

kita lihat seperti PNPS NO 1 1965 tentang Penyegahan penyalahgunaan

dan/penodaan agama pasal 1 dan masih ada beberapa peraturan-peraturan

pemerintah dan daerah lainnya tentang tindakan diskriminasi terhadap kaum

minoritas yang tertindas.

Medan adalah kota yang memiliki masyarakat yang sangat beragam baik

keberagaman suku, agama, adat dan budaya. Keberagaman suku diantaranya suku

Melayu, Jawa, Karo, Toba, Simalungun, Minang, Pakpak, Tamildan lain

sebagainya. Dari tiap suku tersebut membawa budaya yang berbeda-beda dan

sangat menarik oleh sebab ini menjadi kan kota Medan sangat unik. Tidak hanya

suku, agama juga beraneka ragam di kota Medan mulai dari agama resmi seperti

Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, Hindu, Khonghucu. Terdapat

juga aliran kepercayaan lainnya seperti Parmalim, Pemena, Ahmadiyah, Saksi

Jahowa, dan lain sebagainya. Dengan adanya keberagaman tersebut penulis

menemukan kasus yang tidak menghargai adanya keberagaman yang terjadi di

Kota Medan khususnya yang berhubungan dengan agama maupun aliran

(4)

Aliansi Sumut Bersatu4

Tahun 2012 terjadi pengrusakan rumah ibadah, Gereja Pentakosta di

Indonesia (GPdI) Dolok Masihul serta ancaman terhadap pendetanya, akibat

ancaman tersebut pendeta kehilangan rasa aman, pendeta tersebut mengaku tidak

memiliki masalah dengan pihak lain. Gereja tersebut dirusak oleh orang yang

tidak dikenal dengan menggunakan linggis dan benda tajam.

mencatat berbagai kasus intoleransi yang terjadi

melalui pemantauan lima (5) media lokal, pada tahun 2011 tercatat ada sebanyak

63 kasus, sedangkan di tahun 2012 naik menjadi 75 kasus. Adapun jenis kasus

intoleransi yang terjadi mulai dari tindakan diskriminatif, pernyataan negative

terhadap kehidupan beragama, tuntutan ormas terhadap pemerintah, tindakan

lokalisasi, pengrusakan dan permasalahan rumah ibadah, penistaan dan

penyalahgunaan symbol agama dan kekerasan terhadap pemuka agama.

5

Pada tanggal 24 Juli 2013, telah terjadi pemecatan terhadap seorang siswi

sekolah dasar yang bernama Dini Kemala Wulandari di SD Negeri 040462 Jl.

Udara Berastagi, karena menggunakan Jilbab. Pemecatan tersebut dilakukan oleh

Kepala Sekolah Sabarita br. Sembiring.Ibu Dini menemui Ibu Sabarita untuk

meminta izin agar Dini dapat bersekolah menggunakan jilbab. Ibu Sabarita

menyarankan agar Ibu Dini mencarikan sekolah yang mengizinkan memakai

jilbab atau sekolah khusus untuk Islam, karena di sekolah 040462 tidak ada siswi

4

AliansiSumutBersatu (ASB) adalahorganisasimasyarakatsipilatau LSM yang sejaktahun 2006

melakukan

(5)

yang menggunakan jilbab. Kekawatiran Ibu Sabarita apabila Dini diberikan

kesempatan menggunakan jilbab, akan muncul permintaan lain dari pelajar

lainnya6

Melihat beberapa peristiwa yang telah terjadi di Indonesia maupun di

Medan tidak dipungkiri bahwa betapa pentingnya adanya penerapan mengenai

pendidikan multikultural.Dalam UU SISDIKNAS No 20 tahun2003 Bab III (pasal

4, ayat 1) dikatakan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan

berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,

nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa” .

7

Biasanya, melalui pendidikan multikultural siswa yang datang dari

golongan etnis yang berbeda dibimbing untuk saling mengenal cara hidup mereka

serta mengakui dan menghormati bahwa tiap golongan memiliki hak yang sama.

Apa pun dan bagaimanapun bentuk dan model pendidikan multikultural, mestinya

tidak dapat lepas dari tujuan umum pendidikan multikultural, yaitu

mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses menciptakan system

dan menyediakan pelayan pendidikan yang setara serta menghubungkan .Dalam hal ini ada

usaha-usaha dalam bidang pendidikan untuk mempertahankan kemajemukan

dimana masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur.Pendidikan

multikultural merupakan upaya kolektif suatu masyrakat majemuk untuk

mengelola berbagai prasangka sosial yang ada dengan cara-cara yang baik

Buchori (2007).

6

Harian Waspada 24-25 Juli 2013

7

(6)

kurikulum dengan karakter guru, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah

guna membangun suatu visi “lingkungan sekolah yang setara”. Namun antara

yang diidealkan dengan realitas, seringkali tidak sama. Penerapan pendidikan

multikultural sudah ada berlangsung dan berhasil diterapkan.

SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh sebagai sekolah boarding yang

mengahruskan anak-anak untuk tinggal di asrama sekolah. Di sini banyak peserta

didik berasal dari berbagai daerah yang ada di Aceh, bahkan ada yang dari luar

Aceh, dengan membawa berbagai perbedaan kultur dan adat istiadat.

Pembelajaran di SMA Negeri 10 Fajar Harapan dapat berjalan dengan harmonis,

tidak terjadi diskriminasi, dan siswapun tidak terkotak-kotak dalam pembelajaran

di asrama.Pendidikan Multikultural di SMA Negeri 10 Fajar Harapan sudah lama

diaplikasikan dalam pembelajaran.Ini terbukti dalam penilaian para peserta didik

seadanya tanpa memperhatikan anak siapa, berasal dari daerah mana, baik

laki-laki maupun perempuan.Semua berkesempatan meraih berbagai prestasi8

Di Sumut pendidikan multikultural masih sangat jarang sekali, pendidikan

multikultural dapat dijumpai di LSM, Kuliah, Pelatihan-pelatihan yang

berhubungan mengenai keberagaman, Organisasi yang mengangkat isu-isu

tentang keberagaman, dan salah satunya adalah sekolah di Yayasan Perguruan

Sultan Iskandar Muda Medan.Ketertarikan penulis dalam mengangkat lokasi

penelitian di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan, karena melihat

visi, misi, dan tujuan sekolah yang mencerminkan kurikulum sekolah yang

berbasis multicultural.

.

8

(7)

Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25

Agustus 1987.Sekolah tersebut terdiri atas beberapa jenjang pendidikan mulai dari

Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama

(SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK).Yayasan Perguruan Sultan

ISkandar Muda juga diperkuat 126 tenaga pengajar lulusan D3, S1, S2 dan

Pegawai. Jumlah siswa berkisar 2.200 orang beragam etnis, 600 orang diantaranya

adalah anak asuh yang bebas biaya sekolah, anak yang akan diberikan subsidi

silang dan penerimaan beasiswa9

Kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan

adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan

dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam

lingkungan social budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak

akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi

pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai

praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang

. Untuk itu penulis tertarik untuk mengkaji

bagaimana strategi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dalam menerapkan

dan memberikan pendidikan multikultural terhadap peserta didik pada tingkat

sekolah menengah atas (SMA), dan melihat hasil yang dicapai dalam penerapan

system pendidikan multikultural.

1.2. Tinjauan Pustaka

1.2.1. Antropologi Pendidikan

(8)

dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan Oleh

praktek-praktek pendidikan (Imran Manan,1989). Dengan mempelajari metode

pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana

para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena

kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar

untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif.

Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan

sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.

Antropologi pendidikan dapat dilihat melalui kajian-kajian mengenai

masalah enkulturasi, sosialisasi dan transmisi kebudayaan. Mengenai soal apa

yang ditransmisi Fortes (dalam koentjaraningrat 1990:229) ada empat bidang

yaitu :

1. Unsur-unsur yang menyangkut proses fisiologi, reflex-refleks,

gerak-gerak, reaksi-reaksi, serta penyesuaian fisik yang diperlukan untuk

bertahan dalam masyrakat dan kebudayaan.

2. Sikap psikologi serta berbagai perasaan yang perlu untuk maksud yang

sama.

3. Berbagai adat-istiadat sosial yang perlu untuk dapat berinteraksi dan

bergaul dalam masyarakat.

4. Berbagai konsep, nilai budaya, adat istiadat, dan pandangan umum dalam

kebudayaan.

Koentjaraningrat (1990:231) tanggapan yang baik serta permintaan yang

(9)

1. Pendekatan antropologi menggunakan berbagai teknik wawancara yang

mendalam, yang dianggap sangat berguna untuk memperoleh banyak data

mengenai berbagai masalah sosial-budaya yang melatarbelakangi

pendidikan sekolah masa kini.

2. Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah

transmisi kebudayaan pada umumnya.

3. Pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai cara

mendidik murid-murid dengan latar belakang kebudayaan yang

berbeda-beda.

4. Metode cross-cultural yang dikembangkan oleh antropolog dianggap dapat

membantu ilmu pendidikan yang komparatif.

Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan

yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam

perspektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan

sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing

masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari

media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di

lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi

nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran

(10)

1.2.2. Pendidikan, Multikulturalisme, Pendidikan Multikultural

1.2.2.1.Pendidikan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar

“didik” (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran pimpinan)

mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai

pengertian proses pengubahan dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam

usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses

perluasan, dan cara mendidik.

Pendidikan merupakan sebuah agen untuk melakukan perubahan sosial

guna membentuk masyarakat yang baru.Pendidikan bisa didapatkan melalui

keluarga, sekolah dan lingkungan sosial.Berbagai lembaga jasa pendidikan,

dituntut untuk menyesuaikan diri agar kurikulum dan fasilitas pendidikan yang

disediakan dapat memfasilitasi lahirnya sumber daya manusia yang memiliki

keunggulan. Menurut H.A.R. Tilaar (2004), ada dua jenis manusia unggul,

pertama, manusia yang memiliki keunggulan individualistik, dan kedua manusia

yang mempunyai keunggulan partisipatori.

Freire (2004 : ix-x) merumuskan gagasan-gagasan tentang hakekat

pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dn pembaharu,

pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan

dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif,

tapi harus kedua-duanya.Kebutuhan objektif untuk merubah keadaan yang tidak

(11)

mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya

yang objektif. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus

dalam hubungan dialektisnya yang konstan, yaitu (1) Pengajar, (2) Pelajar atau

anak didik, (3) Realitas dunia.

1.2.2.2. Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan

hubungan setiap manusia dengan melihat keberadaan setiap kebudayaan dan

dipandang secara setara, dengan demikian muncul suatu gagasan yang normative

mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masing

kebudayaan suatu bangsa. Menurut Blum (2001 : 2) konsep multikulturalisme

adalah sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang,

serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis tertentu.

Dengan kata lain, multikulturalisme merupakan penilaian terhadap budaya-budaya

orang lain bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya

tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya asli

mengekspresikan nila-nilai bagi anggotanya sendiri.

Jock Youn (dalam Piliang, 2003) ada dua sikap yang berbeda dalam

melihat perubahan dan transformasi dalam kaitannya dengan multikulturalisme,

antara lain:

1. Multikulturalisme Plural, yaitu pandangan yang mengedepankan

“absolutism identitas”. Identitas dipandang sebuah kepastian yang

(12)

kebudayaan luar. Multikulturalisme seperti ini lebih menempatkan

kelompok etnis, ras, daerah, agama, sebagai entitas yang berbeda dan

terpisah secara absolute. Sehingga menfikkan kemungkinan

persilangan interaksi dan identifikasi antar budaya.

2. Multikulturalisme transformative, yaitu menekankan potensi

pertukaran budaya secara terbuka, persilangan norma dan nilai-nilai

peleburan batas-batas, serta eklektisisme dalam berbagai bentuk

ekspresi sosial politik dan budaya.

Lebih lanjut Azraa (dalam Pujaastawa 2006:75) mengatakan

multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang dapat

diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang

penerimaan terhadap realitas keragaman atau pluralitas dalam kehidupan

bermasyarakat.

Untuk memperkokoh negara kesatuan Republik Indonesia selain konsep

heteronomi maka konsep multikulturalisme adalah salah satu strategi yang bisa

diambil untuk mengatasi konflik yang bersifat horizontal di Indonesia. Untuk

membangun multikulturalisme di Indonesia menurut Suputra (2006:67) ada

beberapa upaya yang mesti dilakukan antara lain:

1. Melalui pendidikan multikultural baik yang diselenggarakan melalui

lembaga pendidikan formal ataupun nonformal.

2. Melalui prinsip lintas budaya (transcultural) yakni semacam garis

(13)

3. Melalui prinsip keterbukaan yang kritis, yaitu keterbukaan terhadap

kebudayaan luar serta proses interaksi pertukaran yang dimungkinkan

didalamnya, harus disertai sikap kritis. Oleh karena itu, ada semacam

mekanisme saringan budaya (culturalfilter) dapat meminimalisasi

ekses-ekses dari keterbukaan tersebut.

Bikhu Parekh (2001) istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen,

yakni, pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan; kedua, konsep ini merujuk

kepada pluralitas kebudayaan; dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu

untuk merespon pluralitas itu. Oleh sebab itu multikulturalisme bukanlah doktrin

politik pragmatic melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideology dalam

kehidupan manusia. Alfonso Taryadi (dalam Ata Ujan 2011:14-15) mengatakan

bahwa ada lima jenis multikulturalisme :

1. Multikulturalisme isolasionis: mengacu pada visi masyarakat sebagai

tempat kelompok-kelompok budaya yang berbeda, menjalani hidup

mandiri dan terlibat dalam saling interaksi minimal sebagai syarat yang

niscaya untuk hidup bersama.

2. Multikulturalisme akomodatif: mengacu pada visi masyarakat yang

bertumpu pada satu budaya dominan, dengan penyesuaian-penyesuaian

dan pengaturan yang pas untuk kebutuhan budaya minoritas.

3. Multikulturalisme mandiri: mengacu pada visi masyarakat dimana

kelompok-kelompok budaya besar mencari kesetaraan dengan budaya

dominan dan bertujuan menempuh hidup mandiri dalam satu kerangka

(14)

4. Multikulturalisme kritis atau interaktif: merujuk pada misi masyarakat

sebagai tempat kelompok-kelompok cultural kurang peduli untuk

menempuh hidup mandiri, dan lebih peduli dalam menciptakan satu

budaya kolektif yang mencerminkan dan mengakui perspektif mereka

yang berbeda-beda.

5. Multikulturalisme cosmopolitan: mengacu pada visi masyarakat yang

berusaha menerobos ikatan-ikatan kultural dan membuka peluang bagi

para individu yang kini tidak terikat pada budaya khusus, secara bebas

bergiat dalam eksperimen-eksperimen antarkultur dan mengembangkan

satu budaya milik mereka sendiri.

Salah satu wacana penting mengenai multikulturalisme adalah terbangunnya

system pendidikan multikultural untuk mewujudkan suatu perdamaian dan

kesetaraan.Pendekatan dan pendidikan multikultural tidak sekedar mengenal,

menghargai, dan menyambut perbedaan, tetapi harus ditandai dengan keterlibatan,

mempertanyakan dan mempelajari perbedaan (Fay, 2002).Pendidikan

multikultural memberikan alternative melalui penerapan strategi dan konsep

pendidikan berbasis pada keragaman di tengah masyarakat, khususnya yang ada

pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender,

dan lain-lain.

1.2.2.3. Pendidikan Multikultural

Menurut James Bank (dalam Nurdin 2011:85) pendidikan multikultural

(15)

multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang

ideal bagi bangsanya, ada lima dimensi yang saling berkaitan dalam pendidikan

multikultural, yaitu:

1. Conten Integrasi, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok

untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam

mata pelajaran/disiplin ilmu.

2. The knowledge contruction process, membawa siswa untuk memahami

implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran.

3. An Equity Paedagogy, menyesuaikan metode pengajaran dengan cara

belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang

beragam baik dari segi ras, budaya, gender, ataupun sosial.

4. Prejudice Reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan

menentukan metode pengajaran mereka.

5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan ekstra

kurikuler (seni budaya, olahraga, keagamaan, maupun kegiatan lain)

agar mampu berinteraksi antara peserta didik maupun pendidik (guru)

dalam menciptakan budaya akademik.

Sutijono (2010:60) mengusulkan standar kompetensi pendidikan

yangberdasarkan pada paham multikulturalisme itu adalah untuk menghasilkan

warga negara yang dapat hidup rukun satu sama lain terlepas dari agama, ras,

bahasa, budaya dan sosial, menghormati hak-hak satu sama lain, memberikan

kesempatan bagi semua kelompok untuk mengembangkan budaya mereka, dan

(16)

standar kompetensi ini, selanjutnya Sutijono juga menguraikan tujuan dari

kompetensi dasar tersebut untuk menghasilkan warga negara yang :

1. Dapat menerima perbedaan etnis, agama, bahasa, budaya, status sosial,

gender dalam masyarakat.

2. Dapat bekerja sama dalam konteks etnis, kultur, dan

multi-agama untuk pengembangan ekonomi dan penguatan negara.

3. Dapat menghormati hak-hak orang lain terlepas dari etnis, agama,

bahasa dan budaya mereka diberbagai aspek kehidupan.

4. Dapat memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara lain untuk

mengekspresikan pendapatnya dan aspirasinya dalam institusi

pemerintahan, baik dalam badan legislative maupun eksekutif.

5. Dapat mengembangkan tindakan yang adil terhadap semua warga

negara terlepas dari etnis, agama, bahasa dan budayanya.

1.2.3Sejarah Pendidikan Multikultural

Konsep pendidikan multikultural pertama sekali dikembangkan di

Amerika Serikat sebagai bagian dari pergerakan hak asasi manusia pada tahun

1960an dan 1970an yang dilakukan oleh sekelompok etnis minoritas yang merasa

tertindas dan terdiskriminasi.Perubahan yang signifikan ini berasal dari

pergerakan etnis berkulit hitam Afrika di Amerika untuk mendapatkan

penghargaan yang setara dengan etnis mayoritas di Amerika yang berkulit putih

(17)

di bidang akomodasi public, perumahan, lapangan kerja dan pendidikan

Banks(2010:5).

Dibidang pendidikan secara spesifik kelompok yang keberadaanya

berawal dari imigrasi ini pun mendesak agar sekolah dan istitusi pendidikan

merubah kurikulumnya sehingga pengalaman, sejarah, kultur dan perspektif

mereka juga menjadi bahan pembelajaran dikelas. Mereka juga meminta

peningkatan pengrekrutan guru-guru dan pengurus sekolah yang berkulit hitam

dan coklat untuk dijadikan role model bagi anak-anak Afrika Amerika tersebut

(Banks, 2010).

Di negara lain seperti di Inggris, pendidikan multikultural atau sering juga

dikenal sebagai pendidikan anti-rasisme juga muncul pada tahun 1970an sebagai

bentuk penolakan terhadap diskriminasi rasial yang dirasakan oleh imigran yang

berkulit hitam dan coklat dari Asia Afrika. Sama seperti di Amerika, di Inggis

pergerakan perlawanan dan kebijakan dan kultur yang membeda-bedakan kaum

perempuan juga dilakukan oleh sekelompok feminist (Banks, 2010).

Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik

kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhineka Tunggal Ika,

yang memiliki makna keragaman dalam kesatuan ternyata yang ditekankan

hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat

Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukkan relasi masyarakat terhadap praktk

hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan

identitasnya sebagai masyarakat bhineka yang selama Orde Baru telah ditindas

(18)

praksis pendiddikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan

kekayaan kebhinekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan

kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi10

10

H.A.R. Tilaar, “Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi .

Berbeda dengan Negara AS, Inggris dan Negara-negara di Eropa, dimana

pada umumnya multicultural bersifat budaya antar bangsa, keragaman budaya

datang dari luar bangsa mereka.Adapun multicultural di Indonesia bersifat budaya

antaretnis yang kecil, yaitu budaya antar suku bangsa.Keragaman budaya datang

dari dalam bangsa Indonesia sendiri.Oleh sebab itu, hal ini sebenarnya dapat

menjadi modal yang kuat bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan multicultural

di Indonesia.Semangat sumpa pemuda dapat menjadi ruh yang kuat untuk

mempersatukan warga Negara Indonesia yang berbeda budaya.

Di Indonesia, wacana mengenai pendidikan multikultural mulai dikenal

pada masa otonomi dan desentralisasi (Saifuddin, 2002). Berakhirnya rezim orde

baru dan turunnya Suharto sebagai presiden kedua Republik Indonesia mengawali

era demokratisasi dan reformasi di Indonesia.Pendidikan multikultural ini dilihat

sebagai konsep pendidikan yang sesuai untuk pada zaman desentralisasi

(Saifuddin, 2002, Mahfud, 2009). Seperti yang diungkapkan oleh Mahfud (2009),

berakhirnya system pemerintahan yang bersifat sentralistik pada tahun 1998 yang

memaksakan konsep mono-kulturalisme dan uniformitas dapat memunculkan

reaksi balik yang negative bagi rekontruksi kebudayaan Indonesia yang pada

(19)

1.2.4. Pembelajaran Bermuatan Multikultural

Gollnick & Chinn (2013) menyatakan bahwa, di dalam pendidikan

multikultural, guru harus memperhatikan bahwa setiap siswa belajar dengan

memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa. Guru harus mengenali beberapa

siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan berbagai strategi

yang tepat bagi setiap siswa. Guru harus mencoba berbagai cara untuk menolong

siswa untuk belajar dan menghargai pembelajaran. The Center for Research on

Education, Diversity, and Excellence (CREDE) pada University of California,

Berkeley, telah mengidentifikasi lima standar penting untuk meningkatkan

pembelajaran untuk siswa multikultur :

a. Aktifitas Produktifitas Bersama (Joint Productivity Activity)

Guru dan siswa menghasilkan kerjasama yang memudahkan pembelajaran,

khususnya ketika guru dan siswa berasal dari kelompok budaya berbeda.

Untuk tujuan ini, guru dan siswa harus bekerjasama untuk sebuah

proyek.Dalam sebuah proyek, guru membagi siswa ke dalam kelompok

berdasarkan kriteria yang berbeda, seperti minat, ragam budaya, ragam

kemampuan. Guru mengawasi dan mendorong interaksi diantara siswa

serta dengan dirinya, selama bekerjasama untuk memecahkan masalah

atau sebuah proyek.

b. Perkembangan Bahasa (Language Development)

Pengembangan bahasa dalam kurikulum bertujuan meningkatkan

kompetensi guru dalam menyampaikan pengajaran.Melek huruf adalah

(20)

dimana semua guru harus menolong siswa untuk menjadi melek huruf.

Guru harus menghargai bahasa ibu dan dialek semua siswa dan

mendorong mereka untuk tetap menggunakan bahasa ibu mereka dalam

proses pembelajaran. Guru menolong siswa untuk menghubungkan bahasa

ibu dengan pelajaran yang diajarkan melalui kegiatan berbicara, menulis,

membaca, dan mendengar yang menolong siswa mengembangkan

kemampuan literasi.

c. Kontekstualisasi (Contextualisation)

Dalam hal ini, guru menghubungkan pengajaran dan kurikulum dengan

kehidupan siswa, sehingga setiap pengajaran itu memberikan makna bagi

siswa. Guru perlu menghubungkan informasi yang baru dengan

pengalaman siswa, bukan dengan pengalaman guru. Dengan terlibat dalam

komunitas sekolah dan dengan orangtua siswa, guru dapat

mengembangkan dasar pengetahuan mereka mengenai budaya dan

pengalaman siswa mereka, yang mungkin sangat berbeda dari guru.

d. Percakapan Instruksional (Instructional Conversation)

Pengajaran melalui percakapan melibatkan siswa dalam dialog.Berbagi

pengetahuan dan mengajukan pertanyaan mengenai ide-ide atau gagasan

merupakan komponen penting dalam percakapan instruksional antara guru

dan siswa. Jadi dalam metode ini, guru menggunakan dialog antara guru

dan siswa dengan suatu tujuan akademis yang jelas untuk mengeksplorasi

topik dan konsep tertentu dibanding hanya sekadar ceramah di depan

(21)

pengalaman dan pengetahuan mereka terdahulu untuk menolong mereka

belajar.

e. Aktifitas Menantang (Challenging Activities)

Mengajarkan pemikiran kompleks menantang siswa untuk

mengembangkan kompleksitas kognitif. Beberapa guru mungkin tidak

memberikan kesempatan yang sama bagi siswa-siswa yang memiliki status

sosial ekonomi rendah, disabilitas, karena anggapan mereka mungkin

sudah memiliki berbagai tantangan di dalam pengalaman hidup mereka

atau dianggap tidak dapat menghadapi tantangan yang sama dengan teman

mereka yang lain. Seringkali, siswa-siswa tersebut justru diberikan

tugas-tugas yang berulang, latihan yang tidak menarik dan membosankan. Guru

harus memberikan standar yang menantang semua siswa, yang memicu

siswa untuk semakin memahami suatu topik pembelajaran. Kunci untuk

menolong siswa belajar adalah dengan menghubungkan kurikulum dengan

budaya dan pengalaman nyata siswa.Siswa harus dapat melihat diri

mereka sendiri dalam kurikulum yang diajarkan untuk memberikan makna

dari setiap hal yang diajarkan dalam kehidupan mereka.Sebaliknya,

mungkin saja mereka bisa menolak pembelajaran yang ditawarkan karena

dipandang sebagai budaya dominan yang kurang sesuai dengan budaya

mereka.Peneliti di CREDE telah menggunakan dan menguji standar ini di

(22)

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka

penulis menyimpulkan rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana Bentuk Pendidikan Multikultural pada Sekolah

Menengah Atas yang dilakukan di Yayasan Perguruan Sultan

Iskandar Muda Medan.

2. Bagaimana strategi penerapan pendidikan multikultural yang

diterapkan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan

pada tingkat SMA.

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan

bagaimana bentuk penerapan pendidikan multikultural beserta strategi yang

digunakan di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alat

kampanye pentingnya pendidikan multicultural. Selain itu penelitian ini juga

diharapkan menjadi pemikiran baru bagi masyarakat ataupun institusi pendidikan

lain untuk menerapkan pendidikan multicultural, baik dalam lembaga pendidikan

formal maupun non formal. Penelitian ini juga diharapkan menajadi pendorong

bagi pemerintah untuk merancang kurikulum pendidikan nasional yang berbasis

multikulturalisme.

(23)

1.5.Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif

berupa metode etnografi yang berdasarkan pada kenyataan lapangan di Yayasan

Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan dan apa yang dialami oleh informan

dengan penerapan sistem Pendidikan Multikultural. Metode etnografi digunakan

untuk meneliti perilaku-perilaku manusia terkait dengan perkembangan teknologi

komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu.Spradley (1997:3)

mengungkapkan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu

kebudayaan yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut

pandang penduduk asli.

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti dalam melakukan

penelitian agar mendapat data-data dilapangan adalah:

• Teknik observasipartisipasi

Teknik yang dilakukan adalah Mengamati kegiatan yang dilakukan oleh

para siswa dan staff pengajar serta keterlibatan langsung peneliti dalam

kegiatan di lapangan dengan cara ikut serta dalam beberapa kegiatan di

Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.

• Teknik wawancara

Di tengah-tengah kegiatan tersebut peneliti melakukan wawancara secara

mendalam atau indept Interview dilakukan dengan alat bantu seperti

pedoman wawancara sesuai dengan topic penelitian, tujuannya untuk

mendapatkan informasi, persepsi, opini dari permasalahan penelitian.

(24)

keterangan untuk tujuan penelitian dan dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang

diwawancarai dan tanpa menggunakan pedoman wawancara. Wawancara

ini dilakukan dengan cara terbuka agar para informan dapat menjawab

pertanyaan dan bercerita panjang lebar tentang apa yang dialami, dihadapi,

dan dirasakannya. Penulis menentukan informan yang diambil dari staff

pengajar SMA dan siswa SMA. Kriteria informan dari staff pengajar

berdasarkan dari lamanya mengabdi di YPSIM. Kriteria informan dari

siswa berdasarkan perwakilan setiang kelas mulai dari kelas X, XI, XII,

dan masing-masing kelas diambil berdasarkan jenis kelamin yaitu setiap

kelas laki-laki dan perempuan.

• Pengembangan Rapport

Membangun Rapport ( hubungan baik) merupakan cara yang sangat

bermanfaat dalam penelitian ini, tujuannya agar tercipta hubungan baik

dengan informan baik siswa atau pun staff pengajar tingkat Sekolah

Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan

sehingga data yang dihasilkan mampu mendekati data dilapangan.

• Analisis data

Analisis data dilakukan untuk menganalisis makna yang ada di balik data,

informasi yang telah diperoleh dari informan yang telah di peroleh dari

Sekolah Menengah Atas di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda

Medan .Data ini berasal dari naskah wawancara peneliti dengan informan

(25)

pribadi dan dokumen penting lainnya. Semua itu dikumpulkan untuk

menjadi kunci terhadap apa yang telah diteliti. Menurut Spradley(1997)

semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.

Semua kata yang digunakan oleh informan dalam menjawab pertanyaan

penelitian adalah symbol-simbol.Symbol yang dimaksud adalah

istilah-istilah yang digunakan oleh informan.

1.6. Pengalaman Penelitian

Penulis melakukan penelitian di Sekolah Menengah Atas Yayasan

Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.Penulis mulai melakukan penelitian

setelah surat izin untuk terjun ke lapangan di keluarkan pada tanggal 22 Desember

2014. Kemudian penulis pergi ke sekolah tersebut tetapi tanpa disadari penulis

pihak sekolah sudah melaksanakan libur natal dan tahun baru selama 2

minggu.Penulis kembali mendatangi sekolah pada tanggal 6 Januari karena

bertepatan secara umum sekolah-sekolah sudah aktif kembali. Penulis tiba di

sekolah pukul 08.00 WIB pagi, penulis melihat ada satpan yang duduk di depan

pintu masuk sekolah dan penulis bertanya kepada satpam untuk bertemu Kepala

Sekolah SMA. Prosedur yang digunakan pihak sekolah ialah apabila ada tamu

yang datang harus meminta izin terlebih dahulu ke satpam kemudian satpam akan

memberikan izin masuk jika tamu memberikan penjelasan identitasnya.

Penulis kemudian diberikan izin masuk dan memasuki kantor staff

pengajar SMA. Penulis melaporkan ke bagian resepsionis untuk diberikan izin

(26)

Universitas.Menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan inilah yang

dirasakan penulis dengan waktu hampir 30 menit penulis baru mendapat

panggilan dan dipersilahkan masuk menjumpai kepala sekolah SMA. Penulis

menerangkan maksud dan tujuan datang ke sekolah dan memberikan surat izin ke

lapangan dengan mengatakan akan melakukan penelitian sebagai pelengkap

data-data pada skripsi yang sedang di kerjakan oleh penulis.

Kepala Sekolah memeberikan izin penulis untuk melakukan penelitian dan

mengatakan besok sudah bisa melakukan penelitian.Kamis 7 Januari 2015 pukul

08.00 WIB penulis mendatangi Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda

Medan.Hari ini adalah hari pertama penulis melakukan penelitian.Pada saat itu

waktu belajar mengajar sedang berlangsung, penulis menunggu siswa istirahat

dari kelas.Posisi penulis pada saat itu di kantin sekolah.Siswa mulai berdatangan

karena waktu istirahat sudah tiba, penulis mendatangi salah seorang siswa

P.Sidabutar (siswa laki-laki berusia 17 tahun) kelas XI IPS dan penulis

memperkenalkan identitas penulis. P.Sidabutar dengan sambutan senyuman

kepada penulis menandakan ia setuju untuk di wawancarai.

Dalam perbincangan dengan P.Sidabutar penulis mendapatkan banyak

informasi terkait sekolah yang memiliki sistem pendidikan multicultural.Ia pada

awalnya tidak mengetahui bagaimana penerapan pendidikan keberagaman.

Dengan rasa tidak percaya bagaimana bisa agama-agama yang berbeda dapat

berdampingan dengan baik dalam sebuah sekolah.P.Sidabutar menceritakan

(27)

keberagaman. Setelah ia masuk di YPSIM P.Sidabutar merasakan lingkungan

yang berbeda dimana antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak ada

pembedaan. P.Sidabutar juga belajar menghargai setiap perbedaan yang terdapat

di lingkungan sekolah. Antara siswa yang satu dengan yang lainnya tidak

membeda-bedakan teman baik dari segi agama, suku, ras, ekonomi dan gender.

Mereka juga saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Pada saat

itu jam istirahat terlalu singkat dan pembicaraan kami selasai. Bel tanda masuk

kelas pun berbunyi, P.Sidabutar meminta izin untuk masuk ke ruangan kelas.

Pukul 11.00 WIB Penulis kemudian mendatangi salah seorang siswa

jurusan akuntansi yang sedang berada di kantin berhubung siswa tersebut masuk

siang pada pukul 01.00 WIB. Siswa itu benama Asma siswa kelas XII Akutansi.

Asma (siswa perempuan 17 tahun) siswa SMA di Yayasan Sultan Iskandar Muda

Medan yang beragama Islam dan bersuku Jawa. Mengobrol dengan Asma sangat

asyik karena Asma mampu memberikan keterangan mengenai sekolahnya. Asma

juga menjelaskan bagaimana diterapkannya sistem pendididkan keberagaman.

Sebelum masuk kesekolah ini Asma sudah tahu bahwa sekolah ini tidak

membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya dai segi agama suku ras

dan gender. Asma mendapatkan ilmu multikultural disekolah ini dan

diimplementasikannya di tengah-tengah masyarakat.

Asma juga menjelaskan bahwa teman-teman yang satu dengan yang

lainnya berteman dengan baik tidak membeda-bedakan. Jika ada seorang teman

yang melakukan tindakan yang membeda-bedakan teman atau misalnya menjauhi

(28)

mendapatkan teguran dari masing-msing teman atau teguran dari guru untuk tidak

melakukannya kembali. Dari kepribadian Asma sendiri mengatakan ia tidak

membeda-bedakan teman yang satu dengan yang lainnya semua teman disama

ratakaan olehnya. Kegiatan yang sering mereka lakukan juga selalu membaur dan

membantu teman yang satu dengan yang lainnya tanpa ada membedakan dan

terkecuali. Sistem tolong menolong juga diterapkannya dalam membantu

membersihkan tempat-tempat ibadah atau kegiatan seremonial keagamaan. Tidak

terasa saat penulis asyik mengobrol Asma, bel tanda masuk untuk siswa di pukul

01.00 sudah berbunyi menandakan Asma harus kembali mengikuti belajar

mengajar di kelas. Siang itu Pukul 01.10 WIB Penulis mengahiri penelitian dan

kembali pulang.

Pada Senin, 12 Januari 2015 pagi pukul 09.45 penulis kembali melakukan

penelitian ke Yayasan Perguruan Sultan Iskndar Muda Medan. Pagi itu penulis

mendatangi siswa SMA kelas XI IPS yang bernama CR (tidak ingin disebutkan

namyanya, laki-laki berumur 16 tahun). Penulis menjelaskan maksud dan tujuan

terlebih dahulu. Ternyata kebahagian tersendiri bagi CR bisa mengobrol dengan

penulis. CR merasakan bagaimana pengalamannya disekolahnya. CR

mendapatkan mutu pendidikan multikultural atau keberagaman disekolahnya

yaitu sekolah berbasis keberagaman Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan.

Sebagai siswa CR mengikuti tata tertib dan panduan yang diajarkan oleh pihak

sekolah. Dengan demikian CR paham bagaimana keberagaman, misalnya tidak

boleh mebedakan teman dengan yang satu dan yang lainnya yaitu dalam kategori

(29)

boleh juga perempuan. Menurutnya dengan belajar keberagaman ini kita bisa

menghargai teman-teman yaitu antara laki-laki dan perempuan. Apa lagi dengan

teman yang berbeda dari segi agama, ras, suku, dan lainnya.

Penulis memiliki kendala dalam melakukan penelitian ini dimana penulis

harus mewawancarai informan saat jam istirahat dan proses belajar mengajar tidak

berlangsung. Kemudian penulis mendatangi salah seorang staff pengajar ED

(yang tidak ingin disebutkan namanya). Penulis kembali menyampaikan maksud

dan tujuan, ED menyambut penulis dengan baik dan mempersilahkan penulis

memintai keterangan dari ED. ED menjelaskan sistem pembelajaran gender

kepada siswa. Di mana materi diajarkan walau masih dasar yaitu tidak

mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Semua siswa di lakukan setara,

karena memang sekolah juga mengajarkan demikian. Sebagai pengajar ED juga

harus memahami makna keberagaman dan kesetaraan. ED merasa hidup dengan

keberagaman yang saling berdampingan adalah kekeyaan bangsa yang luar biasa.

ED sudah lama mengajar di yayasan tersebut dan mengajarkan keberagaman

kepada siswa sangat menarik sekali, itulah yang dirasakannya. Karena

menurutnya guru juga adalah sosok teladan yang akan dicontoh.

Setelah selesai mengobrol dengan salah satu staff pengajar penulis permisi

untuk pulang karena ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan penulis, saat

itu pukul 12.45 WIB.Penulis juga mengalami kendala saat-saat libur hari besar

keagamaan yang di laksanakan oleh pihak sekolah yang jarang di lakukan oleh

sekola-sekolah lainnya.Di sekolah lainnya biasanya hari libur keagamaan hanya

(30)

Iskandar Muda Medan libur yang di lakukan lebih dari satu hari dari libur

nasional bisa sampai dua atau tiga hari.

Selasa 20 Januari 2015 tepat pukul 11.00 WIB penulis kembali ke sekolah

yang berbasis multikultural di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.

Penulis sebelumnya sudah membuat janji dengan informan yang akan dijumpai

penulis yaitu AR (seorang laki-laki yang tidak ingin disebutkan namanya 22

tahun). AR adalah salah seorang pegawai di bagian penyimpanan database

sekolah secara online di Yayasan Sultan Iskandar Muda Medan. AR sudah lama

bekerja sama dengan pihak Yayasan dan juga sebagai teman dekat pendiri

Yayasan. AR mengatakan jika ingin bertemu dengannya harus membuat janji

terlebih dahulu karena AR memiliki kesibukan.Setelah beberapa menit penulis

menunggu dan membuat janji untuk bertemu di kantin sekolah.

Kantin sekolah tidak hanya dipergunakan sebagai pemadam kelaparan

tetapi juga disediakan tempat-tempat duduk untuk berdiskusi.AR tiba di kantin

sekolah dan memohon maaf atas keterlambatannya menemui penulis.AR banyak

sekali menyampaikan informasi terkait sekolah dan memberikan data-data kepada

penulis terkait sekolah.Penulis sangat senang sekali berkenalan dan mengobrol

dengan AR karena memiliki kecerdasan di bidang IT dan berbagai pengalaman

yang dirasakannya di Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan.

Dari AR lah penulis mendapatkan banyak masukan terkait penulisan

skripsi dan pengumpulan data. AR menjelaskan secara detail bagaimana sistem

(31)

Medan. AR yang pada dasarnya sudah memiliki pemahaman multicultural jadi

merasa tidak asing untuk berada di sekolah tersebut.Program anak asuh berantai

dan bersifat silang ini menurut AR sangat bagus sekali karena program ini dapat

membantu anak-anak yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan.Disela

berdiskusi dengan AR, AR sesekali memberikan candaan agar diskusi tidak terasa

tegang sekali.Di sekolah ini AR juga mengajarkan siswa-siswi bagaimana

mengoperasikan IT dengan mengadakan seminar terkait media.AR bahkan di

tahun berikutnya salah satu masuk kategori sebagai orang tua asuh di Yayasan

Perguruan Sultan Iskandar Muda Medan. Setelah berbincangan dengan AR selesai

Referensi

Dokumen terkait

pengaruh latihan forehand drive dengan metode fixed target dan moving target terhadap kemampuan` forehand drive ( penelitian experimen pada Petenis klub phapros

Dasar dan Menengah Jl. Ujung Pandang No. Palm Raja No.. Tello Baru Kec. Petrus Rasul Stasi Nipa-Nipa Antang Paroki St. Paulus Tello Jl. Inspeksi PAM LR. Campagaya Utara Km.

Saat langkah bebas kopling terlalu jauh maka unit kopling tidak dapat merededam daya dari mesin bakar karena realese bearing tidak dapat menekan pegas diafragma dengan maksimal

28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, kembali Tim Badan Sertifikasi Asosiasi (BSA) HATTI akan mengadakan Sertifikasi Ahli Muda dan Ahli Madya

dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Senatb.

perguruan tinggi negeri lain sesuai dengan ketentuan..

Acara yang digagas untuk dilakukan rutin dan dalam suasana yang lebih santai ini diharapkan dapat bermanfaat pada peningkatan kualitas dan kesadaran akan perlunya

• Tindakan dari seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien