• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pertolongan Persalinan pada Masyarakat Suku Melayu di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Pertolongan Persalinan pada Masyarakat Suku Melayu di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara Tahun 2015"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Perilaku Kesehatan

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan: berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasannya perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dan lingkungannya, khususnya yang menyakut pengetahuan, sikap tentang kesehatannya dan tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.

Menurut L.W. Green, faktor penyebab masalah kesehatan adalah faktor perilaku dan non perilaku. Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu:

(2)

2. Faktor pemungkin (enabling factors), adalah faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, yang termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, misal: dana, trasportasi, fasilitas, kebijakan, pemerintah dan sebagainya.

3. Faktor pendorong (reinforcing factors), adalah faktor yang meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

Perilaku dapat dibatasi sebagian jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan sebagainya) (Notoadmodjo, 1999). Untuk memberikan respon terhadap situasi diluar objek tersebut. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan).

Bentuk operasional dari perilaku menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui situasi dan rangsangan.

(3)

3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit berupa perbuatan terhadap situasi dan rangsangan dari luar.

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (ever behavior). Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan masalah yang dihadapi.

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan optimal.

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know)

(4)

yang spesifik dari seluruh bagian yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, mendefenisikan, mengatakan.

2. Pemahaman (Comprehension)

Diartikan sebagai kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah memahami terhadap objek atau materi atau harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyampaikan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan buku, rumus, metode, prinsip dalam konteks, atau situasi lain. Misalnya adalah dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian dan dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah kesehatan dari kasus-kasus yang diberikan.

4. Analisis (Analysis)

(5)

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sistesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dan formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan-kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.

2.1.2. Sikap

(6)

Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu. Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih dan sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang. Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap sesorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Allport dalam Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu :

a. Kepercayaan (kenyakinan), ide dan konsep terhadap suatu obyek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

(7)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu yang mengajak ibu yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Ciri-ciri sikap adalah :

(8)

2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa.

4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang (Saifudin, 2010).

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :

a. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula menjadi

milik bersama.

(9)

penilaian-penilaian terhadap perangsang itu. Jadi antara perangsang dan reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan sebagainya.

c. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.

(10)

2.1.3. Tindakan

Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwijudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoadmodjo, 1993).

Tindakan terdiri dari empat tindakan, yaitu: 1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan prakek tingkat pertama.

2. Respon dan terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

4. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

(11)

pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang dilaksanakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Ilyas, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut:

1. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan alasan antara lain; (a) Bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. (b) Bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya. (c) Fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tempatnya sangat jauh, petugasnya tidak simpatik, judes dan tidak ramah. (d) Takut dokter, takut disuntik jarum dan karena biaya mahal.

2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dpat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian obat keluar tidak diperlukan.

(12)

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk tukang-tukang jamu.

5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.

6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarkan oleh dokter praktek (private medicine). (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Alan Dever dalam “Determinants of Healthy Service Utilization”, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan adalah :

a. Faktor Sosiokultural yang terdiri dari : (1) norma dan nilai social yang ada di masyarakat, dan (2) teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. b. Faktor Organisasi yang terdiri dari : (1) ketersediaan sumber daya. Yaitu sumber

daya yang mencakupi baik dari segi kuantitas dan kualitas, sangat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. (2) keterjangkauan lokasi. Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan. (3)keterjangkauan social. Dimana konsumen memperhitungkan sikap petugas kesehatan terhadap konsumen. (4) karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ada yang mempunyai struktur organisasi yang formal misalnya rumah sakit.

(13)

Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan pelayanan kesehatan. Kebutuhan dipengaruhi oleh : (1)fator sosiodemografi,yaitu umur, sex, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga dan status sosial ekonomi, (2) faktor sosio psikologis, yaitu presepsi sakit, gejala sakit, dan keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter, (3) faktor epidemiologis, yaitu mortalitas, mordibitas, dan faktor resiko.

2. Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan yang terdiri dari : (1) faktor ekonomi, yaitu adanya barang substitusi, serta adanya keterbatasan pengetahuan konsumen tentang penyakit yang di deritanya, (2) karakteristik dari petugas kesehatan yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas dan fasilitas yang dipunyai pelayanan kesehatan tersebut. Menurut Anderson (2009), ada tiga faktor-faktor penting dalam mencari pelayanan kesehatan yaitu:

1. Mudahnya menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia.

2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada. 3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan.

2.2.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

(14)

mengelompokkan faktor determinan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan ke dalam tiga kategori utama, yaitu :

1. Karakteristik predisposisi (Predisposing Characteristics)

Karakteristik ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda yang disebabkan karena adanya ciri-ciri individu yang digolongkan ke dalam tiga kelompok :

a. Ciri-ciri demografi, seperti : jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.

b. Struktur sosial, seperti : tingkat pendidikan, pekerjaan, hobi, ras, agama, dan sebagainya.

c. Kepercayaan kesehatan (health belief), seperti keyakinan penyembuhan penyakit.

2. Karakteristik kemampuan (Enabling Characteristics

Karakteristik kemampuan adalah sebagai keadaan atau kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan. Andersen (1975)

membaginya ke dalam 2 golongan, yaitu :

(15)

b. Sumber daya masyarakat, seperti : jumlah sarana pelayanan kesehatan yang ada, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia dalam wilayah tersebut, rasio penduduk terhadap tenaga kesehatan, dan lokasi pemukiman penduduk. Menurut Andersen semakin banyak sarana dan jumlah tenaga kesehatan maka tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan suatu masyarakat akan semakin bertambah.

2. Kebutuhan (Need Characteristics)

Karakteristik kebutuhan merupakan komponen yang paling langsung berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Andersen (1975) menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari kebutuhan. Penilaian individu ini dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu :

a. Individu (perceived need), merupakan penilaian keadaan kesehatan yang paling dirasakan oleh individu, besarnya ketakutan terhadap penyakit dan hebatnya rasa sakit yang diderita.

b. Penilaian klinik (Evaluated need), merupakan penilaian beratnya penyakit dari dokter yang merawatnya, yang tercermin antara lain dari hasil pemeriksaan dan penentuan diagnosis penyakit oleh dokter (Ilyas, 2003)

(16)

2.2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Telah dilakukan beberapa penelitian yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain sebagai berikut :

1. Pengetahuan

Di dalam menggunakan pelayanan kesehatan, seseorang dipengaruhi oleh perilakunya yang terbentuk dari pengetahuannya. Seseorang cenderung untuk bersikap tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan disebabkan karena adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan kesehatan tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, demikian juga sebaliknya. Wibowo juga menyebutkan bahwa pengetahuan ibu tentang pelayanan antenatal berhubungan dengan pemanfaatan antenatal pada bidan (Silitonga, 2001).

2. Jarak

(17)

pencarian pengobatan (Hediyati, 2001). Hal serupa juga dijelaskan oleh Mechanic (1996) bahwa dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan faktor. 3. Persepsi Sakit

Rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang lain juga disebabkan persepsi dan konsep masyarakat sendiri tentang sakit (Notoatmodjo, 2003). Persepsi sakit merupakan pengalaman yang dihasilkan melalui pancaindra. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati objek yang sama. Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa persepsi berhubungan dengan motivasi individu untuk melakukan kegiatan, bila persepsi seseorang telah benar tentang sakit maka ia cenderung memanfaatkan pelayanan kesehtan bila mengalami sakit. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (1992) menunjukkan bahwa makin banyak ibu yang mempunyai keluhan/gangguan kesehatan sebelum hamil akan makin sering memanfaatkan pelayanan antenatal. (Hediyati, 2001).

4. Kualitas Pelayanan

(18)

tersebut. Hasil penelitian Bintang (1989) menyebutkan bahwa sikap petugas berpengaruh terhadap pemanfaatan poliklinik Depkeu RI (Hediyati, 2001).

2.3. Persalinan

2.3.1. Defenisi Persalinan

Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar dengan presentasi belakang

kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi, dan pada umumnyaberlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam (Prawirohardjo, 1997)

Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin,2006).

(19)

Persalinan adalah suatu proses yang dimulai dengan adanya kontraksi uterus yang menyebabkan terjadinya dilatasi progresif dari serviks, kelahiran bayi, dan kelahiran plasenta, dan proses tersebut merupakan proses alamiah. (Rohani, 2011)

2.3.2. Permasalahan dalam Persalinan

Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.

Penelitian Iskandar, dkk (1996) Faktor-faktor menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).

(20)

persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya karena penanganan yang kurang baik tepat tetapi juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga.

Umumnya, terutama di daerah pedesaan, keputusan terhadap perawatan medis apa yang akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua; atau keputusan berada di tangan suami yang seringkali menjadi panik melihat keadaan krisis yang terjadi.

Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tak dapat.

(21)

tidak menjamin menurunkan kesakitan dan kematian ibu. Sementara itu ibu hamil yang membutuhkan operasi seringkali harus menunggu waktu, bahkan terkadang operasi untuk menyelamatkan si ibu tidak bisa dilakukan karena tidak mendapat izin keluarga. Kasus-kasus yang dirujuk banyak yang tidak tertolong karena sangat buruk pronosisnya. Pada kasus persalinan normal, bantuan bidan sudah memadai. Pada persalinan yang tidak normal diperlukan ketrampilan lebih tinggi semacam operasi yang harus ditangani dokter kebidanan dan kandungan.

Menurut Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Koesno (2003), bidan yang bertugas di desa-desa jumlahnya semakin sedikit karena beberapa hal, diantaranya adalah gaji yang tidak dibayarkan secara tetap. Jumlah bidan desa saat ini hanya sekitar 20.000 dari 80.000 bidan di Indonesia. Kekurangan bidan desa mengurangi kemampuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi.

(22)

Dalam Kesehatan Ibu dan Anak (Depkes RI, 2002), tenaga penolong persalinan dibedakan dalam dua tipe, yaitu :

1. Tenaga profesional, meliputi : dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat kebidanan.

a. Dokter spesialis kebidanan, berperan dalam memberikan pelayanan kebidanan spesialistik, juga berperan sebagai pembina terhadap jaminan kualitas pelayanan dan tenaga pelatih, karena keahliannya dibidang kebidanan dan kandungan, mereka juga berperan sebagai tenaga advokasi kepada sektor terkait di daerahnya. (Depkes RI, 2002). Keberadaan dokter spesialis sangat diharapkan, karena tanpa mereka rumah sakit sulit untuk dapat memberikan pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal secara komprehensif (PONEK), sehingga perlu upaya pemerataan penempatannya di rumah sakit kabupaten/kota, juga diharapkan lebih berperan dalam pembinaan kualitas pelayanan dan tenaga advokasi. (Depkes RI,2002).

(23)

c. Bidan dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 900 Tahun 2002, bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku (Depkes,2002). Bidan merupakan tenaga andalan dalam upaya menurunkan AKI di Indonesia, untuk mempercepat penurunan AKI maka ditempatkan 54.120 bidan di desa, sehingga diharapkan semua desa mempunyai seorang bidan, untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsiya secara baik, dalam menjalankan tugasnya, bidan diberikan kewenangan yang cukup besar untuk memberikan pelayanan KIA, termasuk pertolongan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal (Depkes RI, 2002). Dalam menjalankan tugasnya bidan di desa sering mendapatkan hambatan baik berupa hambatan teknis ataupun bukan teknis, yang diakibatkan kurangnya pengalaman dalam memberikan pelayanan KIA dan kurangnya kemampuan dalam memberikan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) terhadap dukun, untuk hambatan bukan dari sisi teknis adalah dikarenakan usia bidan desa yang relatif muda (19-21 tahun) yang secara psikologis belum matang yang terkadang dianggap kurang mampu oleh masyarakat. Selain itu citra bidan di desa dianggap komersial karena tarif bidan lebih tinggi dan datang ke rumah ibu bila di panggil, dengan cara pendekatan hanya sesaat. Ini merupakan kendala yang cukup besar terhadap pemanfaatan pertolongan oleh tenaga kesehatan.

2. Tenaga bukan Profesional penolong persalinan tradisional

(24)

keterampilannya didapat secara turun-temurun dari ibu ke anak atau dari keluarga dekat lainnya, cara mendapatkan keterampilan melalui magang atau pengalaman sendiri saat melahirkan.

Dukun bayi adalah seseorang dengan jenis kelamin wanita yang dapat dan mampu membantu persalinan dan merawat bayi yang telah mendapatkan pelatihan sehingga memilikipengetahuan dan ketrampilan dalam menolong persalinan secara normal, minimal tentang kebersihan dalam menolong persalinan (Koesno, 2003).

Peran dukun bayi tidak berbeda jauh dengan peran bidan dalam kehidupan masyarakat, yang membedakan hanya latar belakang dan jenis pendidikan formal yang pernah diperoleh, disamping itu dukun bayi berada langsung dibawah pengawasan pimpinan puskesmasatau bidan koordinator di puskesmas, dengan demikian seluruh tugas dan kegiatan yang dilakukannya langsung dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada pimpinan puskesmas atau bidan koordinator di puskesmas (Koesno, 2003)

Pada saat fasilitas pelayanan kesehatan belum mampu menjangkau masyarakat secara luas seperti saat seperti saat ini yang dilakukan melalui program pembangunan di bidang kesehatan. Masyarakat di daerah pedesaan umumnya memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bersifat tradisional, pelayanan kesehatan tersebut tidak terbatas pada penyembuhan penyakit tetapi juga pertolongan persalinan (Suprihatini, 2003).

(25)

ekonomi, masalah sosial budaya yang ditradisikan oleh nenek moyang, maupun faktor lainnya (Suprihatini, 2003).

Oleh mayarakat dukun bayi dipercaya memiliki keterampilan secara turun- temurun dalam menolong persalinan. Dukun bayi memiliki kelebihan-kelebihan yang sering kali tidak dimiliki oleh bidan, misalnya mengerjakan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, memijat, mengurut ibu hamil dan bersalin, sebagai warga setempat yang sudah “dianggap tokoh “ dukun bayi lebih komunikatif, berwibawa, telaten, sabar dan biayanya relatif murah.

Keuntungan lain ditolong oleh dukun bayi yaitu pasien bersalin di rumahnya sendiri dalam suasana yang sudah di kenal dengan biaya yang sangat murah . Pada umumnya upah yang diberikan kepada dukun bayi tergantung pada kemampuan melahirkan, di kota upah itu dapat lebih tinggi daripada di desa, dimana kemampuan orang lebih rendah, maka dukun rela diberikan apa saja, kadang-kadang hanya untuk membeli kapur sirih, kalau pasiennya tidak mampu sama sekali, dan membutuhkan pertolongan, maka dukun rela memberikan kainnya sendiri. (Sapoerna,dkk, 1997).

(26)

1. Keluarga Berencana

Keluarga berencana (famili planning) adalah gerakan untuk mewujudkan keluarga kecil sejahtera dan bahagia melalui penurunan tingkat kelahiran secara bermakna. keluarga berencana merupakan upaya meningkatkan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan keluarga kecil yang bahagia sejahtera (undang- undang No. 10/ 1992)

Keluarga berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga.(WHO, Expert Committe, 1970)

2. Safe Motherhood (Gerakan Sayang Ibu)

Pada dasawarsa terakhir ini, dunia internasional nampaknya benar- benar terguncang. Bagaimana tidak jika setiap tahun hampir sekitar setengah juta warga didunia harus menemui ajalnya karena persalinan. Dan nampaknya hal ini menarik perhatian yang cukup besar sehingga di lakukannya berbagai usaha untuk menanggulangi masalah kematian ibu ini.

Usaha tersebut terlihat dari beberapa program yang dilaksanakan oleh organisasi internsional misalnya program menciptkan kehamilan yang lebih aman (making pregnanci safer program) yang dilksanakn oleh WHO (World Health Organisation),

(27)

yang juga bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu seperti Internasional Conference on Population and Development, di Cairo, 1994 dan the World Conference on Women, di Beijing, 1995. (Rahima; Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak- hak perempuan, 2001).

Pemerintah Indonesia dan UNICEF telah membuat kesepakatan untuk menurunkan tingkat kematian ibu di indonesia yang merupakan prioritas nomer satu dalam persetujuan kerjasamanya. Aus AID mendanai program Safe Motherhood di empat provinsi dengan tingkat kematian ibu yang tinggi dan tidak dapet ditolerir, yaitu Jawa Barat, Banten, Sumatera Utara, Maluku, dan Papua.

Menaggapi tingginya tingkat kematan ibu melahirkan di provinsi- provinsi tersebut, program safe motherhood ditujukan untuk memperkuat kapasitas masyarakat dan dinas- dinas pemerintah di tingkat kabupaten dan yang lebih rendah, sehingga dapat mengurangi tingkat kematian ibu, bayi dan balita.

3. Making Pregnancy Safer (MPS)

Di Indonesia angka kematian maternal dan neonatal saat ini masih tinggi maka dicanangkan making pregnancy safer (MPS) dan menigkatkan dalam pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan. Pemeriksan kehamilan sangat penting untuk memantau kehamilan dan mendeteksi secar dini adanya resiko dalam kehamilan, sehingga di harapkan adaya pengetahuan dalam pemeriksaan kehamilan.

(28)

mempromosikan hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan cara mengurangi beban global dari kesakitan, kecatatan dan kematian sebagai akibat dari kehamilan,persalinan dan nifas. Namun making pregnancy safer WHO mengutamakan upaya sektor kesehatan, dengan memfokus pada intervensi yang efektif berdasarkan bukti- bukti ilmiah.

Making pregnancy safer merupakan program pemerintah dalam peningkatan jumlah kelahiran yang dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistem rujukan dalam penanganan komplikasi kehamilan, persiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong kelahiran yang semuanya itu bertujuan untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi. Peningkatan kesehatan ibu dan bayi di Indonesia adalah salah satu komitmen Departemen Kesehatan melalui penerapan Rencana Pengurangan Angka Kematian dan Kesakitan Ibu dan Bayi. 4. PIK KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja)

(29)

2.4 Suku Melayu

Suku melayu di Sumatera Utara berdomisili di pesisir timur Provinsi Sumatera Utara. Di pesisir timur Sumatera Utara daerah hunian masyarakat melayu adalah sepanjang daerah pantai sehingga pada zaman dahulu orang Belanda menyebutnya dengan “de Doskusters”. Kawasan hunian merupakan daerah-daerah yang pada sejarah lampau terdapat kerajaan-kerajaan (Sinar, 2002)

Suku melayu mempunyai beragam budaya. Kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan, dan bertindak yang membentuk pola perilaku dan struktur sosial masyarakat. Bahasa merupakan hasil dari kebudayaan, karena bahasa merupakan hasil karya manusia, karya tersebut dipakai terus-menerus sampai sekarang dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan.

Pada umumnya masyarakat melayu banyak mendiami daerah pesisir pantai, dan mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah nelayan. Masyarakat melayu selalu hidup tolong-menolong, bekerja berkelompok, dan bekerja sama. Hidup saling membantu masih menjadi budaya dalam kehidupan mereka. Dari kehidupan mereka yang seperti itu, muncul satu pepatah “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”, relevan dengan pepatah Dayak Ngaju “Beberat sama metue, mahiang sama mimbing” (Iper, 1997).

(30)
(31)

2.6. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green (1980) bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu, faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factor) meliputi: pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan lain-lain. Faktor pemungkin

(enabling factor) meliputi: ketersediaan sumber daya kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan, dan lain-lain. Faktor penguat (reinforcing factor) meliputi: sikap dan perilaku petugas kesehatan, keluarga, teman, tokoh masyarakat yang berkaitan dengan mendorong atau melemahnya perilaku kesehatan.

(32)

2.7. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian PEMUNGKIN

• Keberadaan Tenaga Penolong Persalinan • Akses Palayanan

Kesehatan

PENDORONG

Keluarga Teman

Pertolongan Persalinan PREDISPOSISI

(33)

Keterangan :

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Teori Perilaku Green
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dalam membangun website ini, menggunakan metode penelitian yang dilakukan melalui 2 cara yaitu studi pustaka dengan membaca buku tentang PHP, MySQL serta dengan study lapangan

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Pada penulisan ini, Penulis mencoba menguraikan beberapa langkah untuk membangun Intranet Server dengan menggunakan sistem operasi Linux. Yang dijelaskan dalam penulisan ini

[r]

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK.. KANTOR WILAYAH JAWA

[r]

Dengan ini menyatakan bahwa proses pelelangan umum dengan pasca kualifikasi untuk pekerjaan tersebut diatas GAGAL, karena jumlah peserta yang memasukkan dokumen penawaran kurang