• Tidak ada hasil yang ditemukan

Globalisasi dan Masyarakat Aceh dalam pe (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Globalisasi dan Masyarakat Aceh dalam pe (1)"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Globalisasi dan Masyarakat Aceh dalam pandangan Hubungan internasional Oleh: Danil Akbar Taqwadin (Nov 2014)

Tsunami 2004 membawa perubahan yang drastic dalam kehidupan masyarakat Aceh. Lahirnya perjanjian damai MoU Helsinki 2005 dan ‘dahsyat’-nya bantuan yang masuk ke Aceh mentransformasikan masyarakat Aceh seperti yang disebut oleh Daniel Bell (1973) sebagai masyarakat informasi. Hal ini tidak lepas dari peran kondisi perpolitikan Indonesia pasca Soeharto dan Aceh pasca conflict yang menerima dengan tangan terbuka “kebebasan dan kesetaraan” yang telah lama dirindukan. Kebebasan dan kesetaraan ini pula berbalut dengan globalisasi yang menyebar ke seantero negeri.

Globalisasi merupakan fenomena global yang begitu kentara dirasakan saat ini. Globalisasi, dalam arti sempit bermakna proses meningkatnya interkoneksi antara masyarakat, dimana sebuah peristiwa yang terjadi di sebuah tempat dapat memberikan dampak kepada masyarakat lainnya. Dunia yang semakin global adalah dimana aspek politik, ekonomi, social dan budaya semakin terhubung dengan cepat, tepat dan akurat sehingga menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap actor negara atau non-negara. Dampak ini menciptakan image menyempitnya, mengecilnya dan terintegrasinya masyarakat dunia.

Globalisasi bukan hal baru yang baru dalam kehidupan manusia. Proses globalisasi sendiri telah terjadi sejak munculnya hubungan antar entity manusia dengan manusia lainnya. Namun hubungan ini semakin dirasa lekat dan erat seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi, transportasi yang dirasakan selama ini. Sehingga tidak heran, apabila khalayak ramai menganggap bahwa masyarakat dunia telah mencapai tahap masyarakat modern.

Dalam pandangan teori hubungan internasional, terjadi perdebatan para ahli terutama seputar pertanyaan, apakah globalisasi membawa dampak yang positif atau negative dalam masyarakat atau interaksi antar masyarakat? Perdebatan ini umumnya dimeriahkan oleh pemikir liberalist dan strukturalist. Wajar, keduanya dalam pandangan teori orthodox menempatkan individu, masyarakat dan kelas social dalam unit analysisnya. Berbeda dengan pemikir realist yang semata-mata focus pada negara.

Menurut pandangan liberalist, globalisasi sesungguhnya memberikan jalan bagi integrasi masyarakat dunia yang pada dasarnya terkotak-kotak sesuai dengan identitasnya masing-masing. Semakin dinamisnya integrasi ini, semakin besar pula peluang untuk menciptakan dunia yang lebih damai. Integrasi yang berawal dari hubungan komunikasi, bersandar pada pemahaman liberalist sayap kiri bahwa munculnya saling pengertian antar masyarakat memberikan ruang besar bagi perdamaian. Hal ini pada dasarnya adalah tujuan studi hubungan internasional.

Namun, pandangan liberalist ini mendapat tentangan dari kaum strukturalist non-barat. Pemahaman yang berakar dari Marxist ini menganggap globalisasi merupakan produk kaum barat, yang berisikan kepentingan barat, yang dibungkus dengan kemasan ciamik bernama

(2)

“modernism, kebebasan dan moralitas.” Bagi mereka, sesungguhnya globalisasi merupakan factor utama dalam membentuk masyarakat semakin ter-dis-integrasi, semakin terkotak-kotak, dan semakin lupa akan jati dirinya sendiri. Karena globalisasi dengan mudah membawa masyarakat terintegrasi dengan budaya barat dan melupakan budayanya sendiri. Raini (Des 2012) dengan santai mengungkapkan bahwa segala yang berbau barat dianggap lebih keren dan lebih menarik. Pada akhirnya timbul konflik antara masyarakat yang modernis ala barat dan masyarakat traditional. Perdebatan antara kedua ‘lensa’ ini menyiratkan bahwa globalisasi merupakan fenomena yang jelas-jelas berpengaruh terhadap masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.

Globalisasi dan masyarakat Aceh

Raini (Des 2012) menyatakan bahwa globalisasi dapat menimbulkan pergeseran budaya, tata nilai, adat istiadat dan perubahan lain dari ciri mandiri kehidupan masyarakat. Masyarakat sendiri menurut Macliver (1961) merupakan suatu system hubungan yang ditata. Miriam Budiarjo (2008) menambahkan, biasanya anggota masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah geografis memiliki kebudayaan dan lembaga yang identik atau cenderung sama. Sama halnya dengan pandangan di atas, dalam konteks masyarakat Aceh, Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (KBA) (2012) juga mengartikan bahwa system masyarakat Aceh ‘ditata’ oleh sebagian kelompok untuk melindungi kepentingannya dan kemudian diadopsi menjadi nilai-nilai dan pada akhirnya diaplikasikan dalam masyarakat. Agaknya ‘masyarakat’ dalam konteks Aceh lebih cenderung dekat dengan pemahaman Hobbesian atau sering dikaitkan dengan budaya ke-Timur-an. Tidak salah memang!

Dalam kaitannya antara globalisasi dan masyarakat Aceh, nilai-nilai kebudayaan, adat istiadat ataupun ciri mandiri yang merupakan identitas unik dari masyarakat Aceh semakin tergerus dan bergeser seiring dengan pengaruh globalisasi ini. Gempuran globalisasi yang cenderung kebarat-baratan, sedikit banyak memberikan dampak yang hebat dalam masyarakat Aceh yang ‘ketimuran’, sehingga system kebudayaan dan lembaga yang ditata dalam masyarakat Aceh juga akan bergeser pastinya.

Modernisasi sebagai salah satu fitur dari globalisasi berperan besar dalam mengefisienkan kehidupan masyarakat dunia saat ini, termasuk masyarakat Aceh. KBA (2012) menganalogikan hal ini dengan revolusi jari telunjuk yang mana hanya dengan se-util jari telunjuk dapat memudahkan segala jenis pekerjaan apabila dipadukan dengan perkembangan teknologi, produk dari ‘pabrik’ modernisasi. Raini (2012) secara gamblang juga berkomentar bahwa peralatan komunikasi canggih, produk fashion barat, makanan cepat saji, budaya music pop, kongkouw di mall telah menyatu dengan kehidupan sebagian besar masyarakat urban, terutama masyarakat aceh yang tinggal di perkotaan. Hal ini dengan cepat mempengaruhi masyarakat aceh yang pada dasarnya kosmopolis (terutama sebelum era konflik yang berturut-turut sejak 1873 hingga 2005). Budaya tradisional yang dianggap kuno semakin ketinggalan zaman dan pada akhirnya dilengserkan. Hidup modern ala barat dianggap lebih simple, nyaman dan berkelas.

(3)

Salah satu contoh yang dapat diangkat adalah filosofi ‘kenduri.’ Dalam masyarakat Aceh, kenduri dilaksanakan dalam acara perkawinan, sunat rasul, aqiqah atau apapun jenisnya. Namun dalam konteks masyarakat yang sudah terpengaruh globalisasi - dimana simple, nyaman dan berkelas yang dinilai - , kata ‘kenduri’ digantikan oleh kata yang lebih keren ‘Resepsi, Pesta, Party.’ Bukan hanya kata, maknanya juga berubah. Kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dsb. Makna kenduri sendiri merupakan sebuah mekanisme social untuk merawat keutuhan, dengan cara memulihkan keretakan, dan meneguhkan kembali cita-cita bersama. Hematnya, kenduri merupakan institusi social yang menampung dan merepresentasikan banyak kepentingan. Persiapannya (masak-masak dan perlengkapan) dan kenduri sendiri dilaksanakan di rumah, di koordinir oleh ‘orang rumah’ dan dibantu oleh saudara, tetangga, dan masyarakat sekitar. Dalam persiapan ini interaksi social antar anggota masyarakat yang menjadi inti dari kenduri tersebut. Namun kata beserta makna ‘kenduri’ lambat laun digantikan dengan ‘resepsi, pesta, ataupun party’ dengan kesan lebih modern dan mewah, daripada menggunakan kata ‘kenduri’ yang terkesan kuno, usang, not updated. Acaranya pun tidak dilaksanakan di rumah, tetapi di gedung yang sebagian besar makanan di cater, tanpa perlu masak-masak dan repot-repot, ‘cukup jari telunjuk’ kata KBA (2012). Undangan yang hadir pun terkesan ‘TANGAN SAPU’ - daTANG, makAN, SAlam, PUlang.” Sehingga nilai-nilai social dari sebuah kenduri juga perlahan akan menghilang.

Refleksi

Di akhir cerita, globalisasi, jelas memberikan dampak yang buruk terhadap identitas sebuah masyarakat. Namun di lain hal, tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi memberikan jalan ampuh bagi anggota masyarakat untuk mencapai kemakmuran, kesuksesan dan kebahagiaan. Nilai efektifitas dari globalisasi menjadi kunci penting dalam kehidupan manusia saat ini dan tidak dapat dielakkan. Wali Nanggroe dan masyarakat Aceh umumnya, perlu melihat secara lebih jelas dan mengerti akan makna penting nilai social ke-Aceh-an. Globalisasi mungkin tidak perlu dianggap sebuah ancaman, namun perlu dipilah dan diambil yang positifnya. Salah satu alternative jalan keluar adalah memahami konsepsi melihat ke timur (look east concept) seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Malaysia, atau seperti yang disebut oleh KBA (2012) sebagai ‘glokalisasi’ yaitu menikmati produk globalisasi tanpa menghilangkan nilai-nilai budaya sendiri. Atau saran yang tersirat dalam karya Huntington (1996) bahwa “modern toh tak mesti kebarat-baratan”.

Danil Akbar Taqwadin

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UNSYIAH Email: danylabay@ymail.com

Referensi

Dokumen terkait

coli yang mempunyai karakter permukaan kering, memiliki kapsul polisakarida yang tipis, hemaglutinasi positif, dan hidrofobik mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menempel

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental dengan membandingkan pengaruh kadar bahan desintegran poliplasdon terhadap mutu fisik tablet ekstrak umbi

[r]

Hal tersebut diakibatkan pada uji persepsi yang pertama target modifikasi belum berterima semuanya pada penutur Jawa Surabaya, oleh karena itu dilakukan modifikasi

Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif tipe make a match dalam mata pelajaran Aqidah Akhlak .... Penelitian Terdahulu

Melalui buku ini diharapkan dapat membantu tercapainya kelancaran proses akademik sehingga terwujudnya peningkatan kinerja semua jajaran yang terkait dengan proses

Pada Tugas Akhir ini, akan dirancang sebuah layout VLSI ( Very Large Scale Integration ) untuk komponen unit kontrol yang berguna untuk mengatur datapath dengan mengirimkan

Tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak direncanakan sebelumnya dan keadaan sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap kejadian post partum blues