• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Pendidikan Islam di Asia Tenggar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Pendidikan Islam di Asia Tenggar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Pendidikan Islam di Asia Tenggara

Robert W. Hefner, Making Modern Muslims: The Politics of Islamic

Education in Southeast Asia, USA: University of Hawaii Press, 2009, pp. 237.

Masayu Mashita Maisarah

Email: masayumashita91@gmail.com

Abstrak: Buku “Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia” ini merupakan kompilasi hasil proyek penelitian yang dibiayai oleh National Bureau of Asian Research (NBR) di Seattle, Washington, diawali pada bulan dari bulan Desember 2004 hingga January 2007. Penelitian ini pada dasarnya dilakukan untuk memotret trend baru pendidikan Islam di era kontemporer serta memberikan pencerahan terhadap ragamnya pertumbuhan politik pendidikan Islam di Asia Tenggara. Karya ini berhasil membuktikan: pertama, perkembangan pendidikan Islam berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh letak geografis, budaya masyarakat, hingga politik yang memengaruhi adanya perbedaan tersebut. Kedua, perkembangan sekolah khususnya di Indonesia dipahami sebagai social movement yang tidak hanya berhasil mendidik siswa, namun juga membentuk jaringan ideologi sosial yang kelak akan berpengaruh terhadap transformasi sosial, bahkan pembangunan nasional. Disinilah sumbangsih penting dari buku ini.

(2)

Buku ini secara garis besar menggambarkan perkembangan politik pendidikan Islam di Asia Tenggara, khususnya negara yang mayoritas Muslim, seperti di Malaysia (60%) dan Indonesia (87,8%); di tambah dengan negara minoritas Muslim, seperti di Thailand Selatan, Philipina, dan Kamboja.

Latar belakang munculnya gagasan penelitian di awali dari dampak terorisme yang mengakibatkan Asia Tenggara di labeli sebagai tangan kanan Al-Qaeda.1 Terorisme yang dilakukan oleh Abu Bakar

Ba’asyir yang merupakan lulusan pondok pesantren Al-Mukmin, dan pelaku terror bom lainnya menyebabkan pendidikan Islam di Asia Tenggara menjadi lembaga pelatihan jihad melawan Barat di bawah lembaga Jemaah Islamiyah (JI).2 Persepsi Barat ini semakin diperkuat

dengan penemuan buku tentang al-Qaeda di dua sekolah Islam di Thailand Selatan dan di negara mayoritas maupun minoritas Muslim lainnya di Asia Tenggara.3 Khususnya di Malaysia dan Indonesia,

kekhawatiran semakin menguat ketika mereka berprasangka bahwa para pendidik mulai menggabungkan spirit jihadisme ke dalam kurikulum sekolah.

Berdasarkan isu tersebut, maka National Bureau of Asian

Research (NBR) menyediakan dana penelitian untuk meneliti

mengenai budaya politik sekolah Islam di Asia Tenggara. Beberapa langkah yang ditempuh oleh Hefner dan kawan-kawan4dalam upaya

1Al-Qaeda merupakan organisasi sosial Islam yang paling kontroversial dan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, baik dari segi pemikiran teoritis maupun aplikasi praktis. Sejak terjadinya peristiwa tragedi penyerangan gedung WTC di New York pada tahun 2009, nama al-Qaeda menjadi terkenal di seluruh dunia sebagai organisasi teroris yang mendalangi terjadinya peristiwa tersebut. As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, Jakarta: LP3ES, 2014, xii.

2Jemaah Islamiyah merupakan organisasi yang oleh sebagian kalangan di sebut sebagai gerakan jihad dibawah pimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.

Di Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah konon merupakan “Al-Qaeda”nya, walaupun

mereka tidak pernah mendeklarasikan hal tersebut. As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, 139.

3Dalam bukunya As’ad dikemukakan bahwa pada dasarnya pandangan Al

-Qaeda terhadap Asia Tenggara mendua. Di satu sisi wilayah ini dihuni oleh mayoritas umat Islam. sehingga amat tidak layak kalau Asia Tenggara dijadikan wilayah atau target operasi utama. Di sisi lain, terdapat sejumlah kepentingan Amerika dan Israel di Asia Tenggara. Selain itu, alasan yang cukup signifikan adalah tertindasnya minoritas Muslim di Philipina Selatan dan Thailand Selatan. As’ad Said Ali, Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya, 195.

(3)

membuktikan hasil riset mereka, yakni pertama, menggambarkan pola keberagaman sekolah Islam di Asia Tenggara; dan menguatkan asumsi bahwa Timur Tengah memiliki hubungan dan pengaruh terhadap perkembangan sejarah pendidikan Islam di Asia Tenggara. Kedua, melihat peranan umat Islam dalam sejarah perkembangan hubungan antara negara dan masyarakat sejak zaman kolonial. Ketiga, melihat dinamika peranan pendidikan dalam upaya meng-Islamisasi yang menghasilkan berbagai bentuk pola masyarakat yang terus berlansung hingga kini. Dan keempat, menganalisa tipologi pendidikan Islam kontemporer diberbagai kawasan Asia Tenggara, dan upaya umat Islam dalam menghadapi isu terrorisme dengan tetap mempertahankan dan mengajarkan ajaran agama dalam menghadapi era modern.

Selanjutnya, Hefner dan kawan-kawan membagi tugas sesuai dengan minat kawasan dan keahlian masing-masing. Para peneliti yang berlatar belakang sebagai antropolog, pendidikan Islam dan politik ini menghasilkan beberapa temuan. Menurut mereka, perkembangan pendidikan Islam di berbagai negara di Asia Tenggara memiliki latar belakang sosio-historis yang erat antara satu sama lain.

Misalnya Kraince5 dalam mengkategorikan pendidikan Islam di

Malaysia. Menurutnya, tipologi pendidikan Islam di Malaysia menurut bisa dikategorikan menjadi dua macam, (1) pendidikan Islam tradisional yang sangat dan lebih mendominasi, dan (2) madrasah yang dikembangkan secara modern. Pada mulanya, sistem pendidikan yang digunakan memiliki persamaan dengan pesantren di Indonesia. Para tokoh Islam Malaysia memiliki kecenderungan untuk berpihak dan melaksanakan sistem pendidikan kaum Tua yang bersifat tradisionalis. Bahkan mereka menghindari dan melarang mata pelajaran umum jika tidak ada izin tertulis dari Sultan. Namun setelah Perang Dunia I, para elit Malaysia mulai berpindah haluan dan bergabung pada kelompok kaum Muda yang lebih modernis. Hal ini dikarenakan para tokoh elit mulai menyadari bahwa pendidikan yang diselenggarakan oleh Inggris bisa memberikan peluang yang besar dan perkembangan sekolah Islam. Beberapa waktu kemudian, negara menjadi penyelenggara utama pendidikan moral dan agama. Sehingga seluruh siswa di Malaysia harus mengambil kelas agama Islam. Adapun bagi warga non-muslim, kewajibannya harus mengambil mata pelajaran pendidikan moral.

Blengsli (Cambodia), Joseph Chinyong Liow (Singapore), Richard G. Kraince (Ohio University), dan Thomas M. McKenna (California).

5Richard G. Kraince, “Reforming Islamic Education in Malaysia: Doctrine or

(4)

Kemudian di Thailand Selatan, tipologi pendidikan Islam menurut Liow6 dikategorikan menjadi dua macam juga, yaitu (1)

Center for Islamic Learning atau pusat pembelajaran Islam, dan (2) Pondok Educational Improvement Program. Sebanyak 20 hingga 40 sekolah Islam di Thailand Selatan menggunakan sistem pembelajaran Wahabi. Salafi wahabi ini tidak membedakan antara sarjana tradisionalis atau sarjana reformis. Sistem ini akhirnya berpengaruh pada bertumbuh pesatnya organisasi Islam Tablighi Jamaah. Namun jika dibandingkan dengan Malaysia atau Indonesia, pendidikan Islam yang diselenggarakan di Thailand Selatan ini berada di negara yang

‘kurang aman’. Sehingga tidak bisa dikatakan juga bahwa sekolah bukanlah menjadi penyebab adanya kekerasan politik diskrminatif terhadap umat. Namun pendidikan Islam tetap menjadi alat utama bagi penduduk melayu di Thailand Selatan sebagai media untuk membedakan adanya perbedaan identitas keagamaan. Juga sebagai upaya untuk mengatasi krisis permasalahan yang sedang melanda konflik kawasan di Thailand.

Selanjutnya di Kamboja. Menurut Blengsli7, pendidikan Islam di

Kamboja hanya dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu (1) pondok, dan (2) madrasah. Pendidikan Islam di Kamboja ini muncul dari pengaruh ulama yang datang dari Malaysia dan Thailand Selatan. Muslim Kamboja memiliki perkampungan khusus untuk mengahafal al-Qur’an. Namun, mereka hanya memiliki sedikit sekolah yang bisa mengajarkan Islamic Sciences untuk jenjang menengah ke atas. Sehingga munculah ide gagasan untuk mendirikan pondok sebagai upaya membentuk lembaga pendidikan yang mengajarkan juga Islamic

Sciences dengan menggunakan kurikulum dan buku teks. Namun

beberapa tahun kemudian, munculah tantangan baru dari kalangan modernis yang menginspirasi perlunya reformasi pendidikan Islam. sehingga dibentuklah madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menggabungkan pendidikan umum dan pendidikan agama.

Kemudian di Philipina, tipologi pendidikan Islam menurut McKenna dan Abdula8 di kategorikan menjadi dua, (1) Pandhita

6Joseph Chinyong Liow, “Islamic Education in Southern Thailand: Negotiating Islam, Identity and Modernity”, Nanyang Technological University Singapore dalam

Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 141.

7Bjørn Atle Blengsli, “Muslim Methamorphosis: Islamic Education and Politics

in Contemporary Cambodia”, dalam Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 172.

(5)

School, dan (2) Madrasah. Kebanyakan sekolah Islam di Philipina ini dipengaruhi oleh politik agar menjadi radikalis. Banyak bukti yang mengindikasi bahwa konflik yang terjadi di daerah selatan ini tidaklah menjadi upaya radikalisasi pendidikan Islam. Hingga pada akhir abad ke-20, Philipina belum memiliki lembaga pendidikan Islam untuk tingkat menengah ke atas jika di bandingkan dengan pesantren atau pondok. Namun Autonomous Region of Muslim Mindanao (ARMM) mengambil tindakan sebagai upaya memperkuat pendidikan Islam di Philipina dengan mengenalkan kurikulum terpadu yang menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum. Muslim Mindanao pun semakin antusias bersemangat mereformasi pendidikan Islam. Perubahan pun semakin terlihat dengan banyaknya Muslim Mindanao yang pulang dari Mekah setelah menunaikan ibadah haji, kemudian berlomba-lomba membangun masjid dan madrasah. Sehingga pendidikan Islam ini bisa dikatakan sebagai pengikat erat hubungan antara Philipina dan Timur Tengah.

Adapun pada kasusnya di Indonesia, Hefner mengklasifikasi tipologi lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu: (1) pengajian al-Qur’an9, dikhususkan untuk membaca dan menghafal

al-Qur’an, namun belum kepada pemahaman; (2) pondok pesantren10,

lembaga untuk mengkaji dan mendalami paham keIslaman, dan (3) Madrasah sebagai sekolah modern yang sudah dilengkapi dengan fasilitas, seperti adanya kelas, meja, papan tulis, dan lain sebagainya. Kategorisasi ini menggambarkan bahwa perkembangan pendidikan di Indonesia sangat kompleks dan dinamis daripada negara Muslim lainnya di Asia Tenggara. Hal ini di awali dari kurikulum Kitab Kuning yang lebih berkembang di Indonesia; munculnya dualisme

Philipines, dalam Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, 205.

9Sebelum tahun 1900, pengajian di Jawa dan seluruh kepulauan di Indonesia mengajarkan pengajian al-Qur’an dan pengajian Kitab. Yang membedakan hanya nama

kitabnya, seperti kitab Alif-Ba-Ta dan Juz Amma, di Jawa namanya kitab Turutan. Ada juga kitab Perukunan, barzanji, qasidah dan lagu-lagu Arab juga di pelajari. Namun menurut Mahmud Yunus, keadaan pendidikan Islam pendeknya sebelum tahun 1900 M mengalami kemunduran akibat penjajahan Belanda. Lihat Mahmud Yunus,

Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyah, 2008, 253.

(6)

ideologi antara Kaum Muda yang reformis, dan Kaum Tua yang tradisionalis, yang berdampak pada munculnya lembaga pendidikan sesuai dengan ideologi masing-masing.

Pelaksanaan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia ini menurut Hefner berimplikasi pada berubahnya beberapa tatanan aspek pendidikan Islam, seperti mulai muncul pendidikan untuk wanita, mengadopsi pendidikan umum, dan berakhirnya sistem pendidikan dikotomik.

Pesantren di Indonesia merupakan lambang keberhasilan pendidikan Islam di Asia Tenggara yang mampu mempertahankan sistem pendidikannya. Salah satu sebab yang mampu mempertahankan pesantren dari dinamika perubahan adalah keinginan untuk tetap mempertahankan komitmen untuk mengkaji teks-teks klasik.11

Namun sekitar tahun 1910an, pesantren mulai mengalami perubahan dengan mengadopsi sistem pendidikan sekolah. Hal ini mulai terlihat di beberapa lembaga pendidikan pesantren mulai memperkenalkan penggunaan kelas dan tingkatan, juga terselenggaranya pendidikan untuk perempuan.

Selain itu, beberapa pesantren di Sumatera Barat dan Jawa mulai memperkenalkan beberapa mata kuliah ‘sekuler’ dalam kurikulum

pengajarannya, seperti pelajaran matematika, sejarah, Bahasa Inggris, dan sains. Selanjutnya, sekitar tahun 1950an, pesantren mulai bersaing mengenalkan pendidikan non-agama dalam kurikulum pengajarannya dengan membangun madrasah di dalam pesantren.

Perubahan pendidikan Islam terus berlanjut hingga berakhirnya dualisme sistem pendidikan. Pada tahun 1975, melalui ketetapan SKB Tiga Menteri, pendidikan agama di Indonesia di setarakan dengan pendidikan umum. Artinya, siswa tidak hanya mempelajari pendidikan agama, namun juga pendidikan umum. Perbandingan presentase 30% agama dan 70% umum berpengaruh terhadap perubahan kurikulum, baik di sekolah Islam maupun sekolah umum. Penerapan Ketetapan SKB Tiga Menteri ini mengusung satu tujuan, yakni lulusan sekolah Islam harus memiliki kapabilitas dan hak yang sama untuk

11Pengajran kitab-kitab klasik menjadi salah satu tradisi agung di Indonesia dalam pengajaran agama Islam. Jumlah teks klasik yang diterima sebagai ortodoks ( al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang diajarkan dianggap sudah bulat dan tidak dapat ditambah, hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Kekakuan tradisi ini tentu menuai banyak kritik baik oleh peneliti asing, maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan,

(7)

melanjutkan pendidikannya ke pendidikan yang lebih tinggi (universitas).

Namun tidak seluruh pesantren di Indonesia mengikuti amandemen undang-undang yang merekomendasikan untuk melakukan pembaharuan sistem pendidikan yang menerapkan kurikulum gabungan. Beberapa pesantren, misalnya Lirboyo di Kediri, masih menerapkan kurikulum tersendiri dalam sistem pendidikannya. Inilah yang memunculkan pembagian pesantren antara pesantren salaf yang khusus mengajarkan pendidikan agama, dan pesantren khalaf yang menggabungkan kurikulumnya dengan kurikulum nasional.

Pada perkembangan sekolah Islam di Indonesia menurut Hefner, sejak tahun 1900an memiliki kesamaan dengan dengan teori politik

“gerakan sosial”. Gerakan sosial ini tidak hanya mendidik siswa, tetapi

juga membentuk jaringan ideologi sosial yang kelak akan berpengaruh terhadap transformasi sosial, bahkan negara. Hal ini tampak dari adanya penambahan materi program vokasi dalam kurikulum yang diselenggarakan. Sebagai contoh, gerakan sosial pada sekolah binaan PKS dan Hidayatullah yang memiliki pengaruh terhadap kurikulum ajaran masing-masing lembaga.

Hal yang perlu digarisbawahi menurut Hefner adalah, semenjak tahun 1990, masih ada beberapa sekolah yang masih menerapkan sistem tradisional dan jauh dari perkembangan dan campur tangan politik dan masyarakat. Dan hanya sedikit dari mereka yang mengikuti contoh dari figur Abu Bakar Ba’asyir yang berambisi untuk merevolusi negara dan masyarakat. Generasi sekolah Islam yang berkembang bahkan kebanyakan lebih mengajarkan tentang apa yang lebih dibutuhkan untuk membangun negara dan masyarakat yang damai. Sebagai contoh, pada akhir-akhir tahun ini muncul sekolah Islam modern yang dikenal dengan Sekolah Islam Terpadu yang menjadi salah satu sekolah Islam modern yang mengalami perkembangan yang sangat cepat pasca era Soeharto.

(8)

dari sejarah munculnya Darul Islam (DI)12 yang berpegang teguh dan

ingin membangun negara Islam di Indonesia.

Pesantrennya Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu

pesantren yang menerapkan paham tersebut. Sehingga kurikulum yang digunakan pun bersifat radikal. Namun Ba’asyir dan Sungkar pada

dasarnya bukan penganut radikal, tetapi konservatif modernis. Hal ini karena mereka merupakan lulusan dari pesantren Gontor yang menganut kurikulum modern, dan pesantren al-Mukmin yang konservatif. Namun menurut Hefner, lulusan pesantren Ngruki dan al-Mukmin ini tidak seluruhnya bersikap radikalis dan menentang nasionalisme. Dari hasil penelitiannya pada tahun 2003, dari tujuh siswa lulusan pesantren tersebut, lima di antaranya tidak bersikap radikal dan tidak tertarik untuk bergabung pada kelompok yang ingin menegakkan negara Islam.

Kelompok lain yang tidak setuju dengan nasionalisme namun tidak masuk campur dalam urusan negara adalah gerakan Salafi-Wahabi.13 Sekolah binaan mereka tersebar di seluruh pelosok Indonesia

namun memiliki batasan dalam gerakan sosial. Sekolah ini memiliki hubungan dan dibiayai langsung oleh Salafi-Wahabi di Saudi Arabia. Berbeda dengan Arab Saudi, di Indonesia gerakan ini terinspirasi oleh salafi Saudi yang gerakannya bukan berambisi untuk menegakkan negara Islam, namun lebih kepada penerapan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya terlihat dari cara berpakaian yang konservatif dan memiliki batasan gender. Misalnya untuk wanita dicirikan dengan menggunakan niqab jika sedang berada di tempat umum, sedangkan untuk pria dicirikan dengan menggunakan turban putih, jalabiyya, dan isbal sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, berkomitmen untuk menggunakan jalabiyya dan niqab lebih utama daripada mengambil bagian dalam politik.

12 Pondok Pesantren Az-Zaytun, salah satu ponpes termegah di Asia Tenggara

merupakan ma’had milik NII KW XI yang dipimpin oleh Abu Toto. Menurut mantan

anggotanya, ponpes ini konon menjadi sentra perjuangan sebagai langkah awal pembinaan kader, guna menyongsong berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Majalah Garda, No.56 Edisi II 30 Maret-5 April 2001, 22.

(9)

Melalui fenomena gerakan sosial ini menurut Hefner para pendidik Muslim di hadapkan pada beragam pertanyaan yang berhubungan demokrasi, pluralisme, non-muslim dan permasalahan perempuan. Perasaan dilemma pun muncul semakin antara mempertahankan semangat nasionalisme cinta tanah air dengan menegakkan syariat Islam dengan mendirikan negara Islam. Sebagai upaya menjawab kegelisahan para pendidik ini, Hefner bekerja sama mengadakan survei dengan Center for Study Islam and Society (PPIM). Hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak 71,6% masyarakat umum dan 85,9% pendidik setuju bahwa demokrasi merupakan landasan terbaik untuk negara Indonesia. Mereka pun menyetujui bahwa negara harus didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah dan menerapkan syari’at hukum Islam. Namun jika dihubungkan dengan negara Islam, hanya kurang dari 30% yang mendukung partai politik Islam. Menurut Hefner, hal ini menyiratkan bahwa masyarakat Islam

Indonesia memang meyakini bahwa syari’at Islam merupakan petunjuk

dari Tuhan yang perlu ditegakkan, namun jika dihubungkan dengan golongan radikalis dan penerapan hukum Islam secara keseluruhan, masih banyak di antara mereka yang memilih menggunakan politik hukum demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diberi kesimpulan mengenai persamaan latar sosio-historis di berbagai negara Islam di Asia Tenggara ini menjadi semakin memperkuat peranan Kaum Tua dan Kaum Muda, yakni awal mula gagasan munculnya modern day school (madrasah) merupakan ide gagasan Kaum Muda yang menentang taqlid (Kaum Tua) dan mendahulukan ijtihad.

Madrasah merupakan tipologi sekolah Islam terbaru yang muncul pada abad ke-20 di tanah Melayu. Sekolah Islam ini mengadopsi sistem pendidikan modern, seperti adanya kurikulum, sistem kelas, dan adanya ujian. Adapun contoh madrasah yang pertama muncul adalah Madrasah al-Iqbal pada tahun 1907 di Singapura, yang kemudian menyebar ke semenanjung Malaka pada tahun 1930an.14

Selain itu, gerakan-gerakan pembaharuan dalam pendidikan Islam ini tersosialisasikan di kalangan kaum Muslimin pada mulanya di Timur Tengah pada waktu berlangsungnya musim haji. Mekkah kala itu merupakan tempat berkumpulnya berbagai ide yang datanag dari seluruh penjuru dunia Islam. Maka Mekkah menjadi pusat penyebaran

(10)

ide yang amat dominan, juga sebagai area melting pot, yang mempertemukan pertukaran beragam ide dan sharing pendapat.

Maka jika memandang dari sudut hubungan antara Asia Tenggara dengan Timur Tengah ini memang sudah lama terjadi. Hubungan ini juga dijelaskan dalam buku Daulay15 yang membagi

antara Asia Tenggara dan Timur Tengah kepada tiga jalur. Pertama, hubungan ibadah, yakni Mekkah merupakan tempat untuk menyelenggarakan ibadah haji. Kedua, hubungannya dari segi Mekkah sebagai tempat menuntut ilmu, maka sejak abad ke-16 telah banyak orang dari Asia Tenggara melanjutkan studinya ke Mekkah dan bermukim bertahun-tahun di sana dan setelah itu kembali ke Asia Tenggara. Ketiga, hubungan itu dilihat dari sudut banyaknya ulama Timur Tengah yang datang ke Asia Tenggara yang bertindak sebagai mubaligh, pendidik dan pengajar.

Meskipun buku ini merupakan kumpulan hasil riset di berbagai negara di Asia Tenggara yang tentunya memiliki perbedaan latar kultur dan geografis yang berbeda, namun buku ini memiliki benang merah yang mampu menghubungkan dan menggambarkan relevansi sosio-historis antarnegara di Asia Tenggara. Dalam bidang pendidikan Islam, Asia Tenggara pada masa kontemporer kini mengalami perkembangan dan memunculkan warna baru dalam praktek pendidikan Islam. Contohnya di Indonesia yang tidak hanya di kenal dengan adanya pesantren, pendidikan Islam juga mulai berkembang dengan adanya Madrasah dan Sekolah Islam yang juga berlomba-lomba memberikan yang terbaik guna mencetak siswa yang sejalan dengan syariat Islam. Maka dampak modernisasi dalam pendidikan Islam sangat memiliki pengaruh dan peranan penting pada pembangunan nasional.

Selain itu, dalam kasus di Indonesia, upaya lain yang berkembang khususnya dalam Sekolah Islam adalah munculnya Sekolah Islam Terpadu (SDIT) dari berbagai jenjang, mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah. Ada juga madrasah salafi yang memiliki corak wahabism, yakni dipelopori oleh salafi Wahabi dari Timur tengah yang memiliki kurikulum khas tersendiri. Sekolah-sekolah ini berupaya memadukan dua kurikulum yang berbeda, yakni kurikulum nasional dan kurikulum tersendiri melalui salah satu program unggulannya seperti adanya program tahfidz Qur’an.

Perkembangan sekolah Islam di atas semakin memperkuat bahwa dari sisi ideologis, Asia Tenggara memiliki hubungan erat dengan

(11)

Timur Tengah. Sehingga sekolah yang bermunculan pun mulai memberikan warna dan corak tersendiri melalui program-program unggulannya guna menarik animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Tidak hanya dari sisi ideologis, pada tataran politik pun sekolah menjadi objek untuk mengembangkan perannya sebagai gerakan sosial yang kelak akan menghasilkan generasi yang berkembang sesuai dengan ideologinya.

Karya ini tentunya memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi dunia pendidikan Islam karena mampu memetakan pengaruh ideologi politik yang tercerminkan pada perkembangan lembaga pendidikan Islam. Beragam bentuk lembaga pendidikan baru bermunculan, sedangkan lembaga pendidikan lama pun berupaya mempertahankan eksistensinya dalam era globalisasi. Inilah pengaruh politik pendidikan Islam di Asia Tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, As’ad Said. 2014. Al-Qaeda: Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan sepak terjangnya. Jakarta: LP3ES.

Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan. Daulay, Haidar Putra. 2009. Dinamika Pendidikan Islam di Asia

Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.

Hefner, Robert W. 2009. Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia. USA: University of Hawaii Press.

Hefner, Robert W. Zaman, Muhammad Qasim. 2007. Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Education. UK: Princeton University Press.

Kushimoto, Hiroko. “Islam dan Modern School Education in Journal

Pengasuh: Review of the Kaum Muda-Kaum Tua Dichotomy”.

Studia Islamika: Indonesia Journal for Islamic Studies. Vol.19 No.2 2012. pp. 207-249.

Majalah Garda No. 56 Edisi II 30 Maret-5 April 2001.

Steenbrink, Karel. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.

Wahid, Din. Disertasi: Nurturing The Salafi Manhaj: A Study of Salafi Pesantren in Contemporary Indonesia. Netherland: Utrecht University, 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung produktivitas menggunakan MPDM yang pada akhirnya dapat diketahui prosentase waste pekerja, indeks nilai koefisien produktivitas, dan

Bagi durkheim, masyarakat-prinsip asosiasi- adalah yang utama, dan karena masyarakat secara tidak terbatas mengungguli individu dalam ruang dan waktu, maka masyarakat berada pada

Berdasarkan aspek penilaian kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan soal analisis pada matakuliah Geometri Transformasi pada tabel 9 yaitu aspek penilaian

Hasil penelitian menunjukkan soal ujian nasional dengan stimulus paling banyak adalah dalam bentuk gambar yang berkategori sedang (52,5%) terdapat pada 21 butir

Dari hadis tersebut, kita bisa melihat besarnya dosa meghibah, meskipun hanya dengan isyarat.. Era millenial yang ditandai dengan adanya perkembangan pesat dari segi

Pada faktor prosedur, penyebab menurunnya kepuasan orang tua siswa adalah penanganan konsultasi tidak tercatat dengan baik karena konsultasi hanya disampaikan

Minyak atsiri rimpang jeringau ( Acoruscalamus L.) memiliki aktivitas antibakteri sehingga dapat digunakan sebagai bahan tambahan dalam sabun transparan.Tujuan

kasus pelaku yang mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi.. dalam keadaan hidup. Kasus tersebut dianalisis dengan Putusan Pengadilan. Negeri Medan dengan register