• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Doktrin dan Peradaban Jurnal (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam Doktrin dan Peradaban Jurnal (1)"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

Islam, Doktrin dan Peradaban

Yayasan Paramadina

(2)

Kolofon

Tulisan ini diambil dari artikel yang dimuat di situs media.isnet.org tanpa seijin dari pengelola dan menurut situs tersebut, tulisan ini pernah diterbitkan oleh:

Yayasan Paramadina

Digitalisasi dengan menggunakan aplikasi Adobe® InDesign® CS6 for Mac® OS X yang dibuat oleh Adobe® Systems Inc. Typeface yang dipergunakan disini adalah: Myriad Pro, Adobe® Naskh dan Adobe® Garamond Pro yang dibuat oleh Adobe®

(3)

Islam, Doktrin dan Peradaban

Yayasan Paramadina

(4)
(5)

Daftar Isi

Kolofon ii

1. Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam

1

(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)

Pertumbuhan Ilmu Kalam 2 Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah 4 Plus-Minus Ilmu Kalam 8

2. Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di Dalamnya

15

Pertumbuhan 16 Neoplatonisme 21 Aristotelianisme 22 Penutup 24

3. Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan)

29

(6)

4. Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah

43

Imam al-Asy'ari 44 Beberapa Inti Pokok Paham Asy'ari 46 Alur Argumen Kalam Asy'ari 50 Masalah Perilaku Manusia 54

5. Disiplin Keilmuan Islam Tradisional: Tasawuf

59

(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)

Tasawuf Sebagai Gerakan Oposisi 61 Tarik-menarik Antara Syari'ah dan Thariqah 63 Tasawuf Sebagai Olah Ruhani 65 Masalah Keabsahan Tasawuf 68

6. Menangkap Kembali Dinamika Islam Klasik: Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat Etika

73

Golongan Salaf 74 Masyarakat Salaf Sebagai Masyarakat Etik 79

7. Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan:

(7)

1

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam:

Ilmu Kalam

(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)

I

lmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan

sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.

(8)

Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.

Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang

kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).

(9)

1

Pertumbuhan Ilmu Kalam

Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Af'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara hariah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah,

kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara hariah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".

(10)

terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.

Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh

atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekairan. Dan kekairan, apalagi kemurtadan (menjadi kair setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekairan? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekairan, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal

perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung

kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:

Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap

netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.(1)

(11)

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kair karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip).(2)

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusiistik, kaum Khawarij akhirnya

2 Ibid, hh. 12-13.

boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:

Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Raidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... (3)

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.(4) Maka salah satu ciri pemikiran

Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah

seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru

(12)

penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai

hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).(5)

Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya

(13)

Ahli Kalam dan Falsafah.(6)

Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.(7) Salah satu masalah

yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?(8) Khalifah al-Ma'mun dan kaum

6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185. 7 Minhaj, jil. 1, h. 344.

8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna hariah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti

Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.(9) Pemenjaraan Ahmad ibn

"orang yang banyak bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).

(14)

Hanbal adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim.

dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi halib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Raidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.

Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."(10)

10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme" Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara hariah berarti kurang lebih "kaum sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.

Plus-Minus Ilmu Kalam

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di

(15)

pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.

Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn

'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.(11)

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh

(16)

tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa' id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa ' l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).

Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari

merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan ilsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu

kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:

(17)

Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara

(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.

Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).

Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:

... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.(12)

(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).

12 Ibid., hh. 149-151.

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

(18)

Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah —sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah— dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa

mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).(13)

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"(14) Ibn

Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syaii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling

13 Minhaj, jil. 1, h. 172. 14 Ibid., h. 170.

aneh dalam Ilmu Kalam.(15)

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.(16) Berkenaan dengan masalah ini,

metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomoris (tajsim) —menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan

15 Ibid.

(19)

merupakan unsur kesuksesan sistemnya. Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur ilsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).(17) Demikian pula konsep-konsep

Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran"

(Al-17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.

haqiqah i al-ayan, la i al-adzhan).(18)

Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah ithrah-nya: dengan ithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.(19) Fithrah yang merupakan asal kejadian

manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "ithrah yang diturunkan" (al-ithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.(20)

Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan ithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui itrah-nya, dan hanya

18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245. 19 Ibid., hh. 281 dan 291.

(20)

dengan adanya itrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.(21)

Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman ... pangkal ilmu.(22)

21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.

(21)

2

Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme

di Dalamnya

D

i antara empat disiplin keilmuan Islam tradisional: iqh, kalam, tasawuf dan falsafah, yang disebutkan terakhir ini barangkali adalah yang paling sedikit dipahami, bisa juga berarti paling banyak disalahpahami, sekaligus juga yang paling kontroversial. Sejarah pemikiran Islam ditandai secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar isi, subyek bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para failasuf. Karena itu pembahasan tentang falsafah dapat diharapkan menjadi pengungkapan secara padat dan mampat tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara sekalian mereka yang terlibat.

Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah

orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious), sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang dipunyai oleh kalangan ortodoks.(1) Dan tidak mungkin menilai bahwa

falsafah Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme.(2)

Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah" sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan menjadi "ilsafat" atau, akhir-akhir ini, juga "ilosoi" (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih "asli", cabang ilmu tradisional

1 R.T. Wallis, Neo Platonism (London: Gerlad Duckworth & Company Limited, 1972), h. 164.

(22)

Islam ini disebut 'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau, lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom" (Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani "philosophos", pelaku ilsafat), disebut juga "al-hakim" (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak "al-hukama".

Dari sepintas riwayat kata "ilsafah" itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.(3)

3 Istilah "Hellenisme" pertama kali diperkenalkan oleh ahli sejarah dari Jerman, J. G. Droysen. Ia menggunakan perkataan "Hellenismus" sebagai sebutan untuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani kuna dan dunia Kristen. Droysen lupa akan peranan Roma dalam agama Kristen (dan membatasi seolah-olah hanya Yunani saja yang berperan). Namun ia diakui telah berhasil mengidentiikasi suatu kenyataan sejarah yang amat penting. Biasanya yang disebut zaman Hellenik yang merupakan peralihan itu ialah masa sejak tahun 323 sampai 30 S.M. atau dari saat kematian Iskandar Agung sampai penggabungan Mesir kedalam

Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitab" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuna yang "pagan" atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi (salah seorang

pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah. Tetapi sebelum membahas lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu dibahas pertumbuhan falsafah dalam sejarah pemikiran Islam.

kekaisaran Romawi. Sebab dalam periode itu muncul banyak kerajaan di sekitar Laut Tengah, khususnya pesisir timur dan selatan seperti Syria dan Mesir, yang diperintah oleh bangsa Makedonia dari Yunani. Akibatnya, mereka ini membawa berbagai perubahan besar dalam banyak bidang di kawasan itu, antara lain bahasa (daerah-daerah itu didominasi Bahasa Yunani) dan pemikiran (ilmu pengetahuan Yunani, terutama ilsafatnya, diserap oleh daerah-daerah itu melalui berbagai cara). (Lihat Britannica. s.v. "Hellenic Age").

Pertumbuhan

Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan

(23)

sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.

Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu, kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami Kristenisasi. Bahkan sebenarnya daerah-daerah Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina. Daerah-daerah itu, dibawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai. Bahkan daerah-daerah Kristen itu tidak hanya mengalami proses Islamisasi, tetapi juga Arabisasi, disamping adanya daerah-daerah yang memang sejak jauh sebelum Islam secara asli merupakan daerah suku Arab tertentu seperti Libanon

(keturunan suku Bani Ghassan Yang Kristen, satelit Romawi). Namun berkat politik keagamaan para penguasa Muslim berdasarkan konsep toleransi Islam, sampai sekarang masih banyak kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang tetap bertahan dengan aman. Karena adanya konsep Islam tentang kontinuitas agama-agama (yaitu, bahwa agama Nabi Muhammad adalah kelanjutan agama para nabi sebelumnya, khususnya Nabi-nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub atau Isra'il, Musa dan Isa-Yahudi dan Kristen),(4) orang-orang

Muslim menyimpan rasa dekat atau ainitas tertentu kepada mereka itu. Dan rasa dekat itu ikut melahirkan adanya sikap-sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka. (Toleransi dan sikap akomodatif Islam ini ternyata kelak menimbulkan situasi ironis di zaman moderen, akibat adanya kolonialisme

(24)

Barat, seperti adanya hubungan tidak mudah antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi di Palestina, dengan kaum Maronite di Libanon, dan dengan kaum Koptik di .Mesir).

Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam dalam melihat kaum agama lain, khususnya Ahli Kitab tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang positif di kalangan mereka, dengan sedikit sekali kemasukan unsur prasangka yang berlebihan. Disamping itu, dan sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan kita tentang Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lalu, kelebihan orang-orang Muslim Arab itu ialah kepercayaan kepada diri sendiri yang sedemikian mantap. Kemantapan itu kemudian memancar pada sikap-sikap mereka yang positif kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya lain, dengan kesediaan yang besar untuk menyerap dan mengadopsinya sebagai milik sendiri. Posisi psikologis yang menguntungkan itu berada tidak hanya dalam hubungannya dengan kaum Ahli Kitab yang memang dekat dengan orang-orang Muslim, tetapi juga dengan kelompok-kelompok keagamaan lain seperti kaum Majusi (orang-orang Persi pengikut ajaran Zoroaster) dan kaum Sabean dari Harran, di utara

Mesopotamia. Sebab sekalipun ilmu pengetahuan Yunani merupakan bagian paling penting ilmu pengetahuan yang diserap orang-orang Muslim Arab, namun mereka ini juga dengan penuh kebebasan dan kepercayaan diri menyerap dari orang-orang Majusi dan Sabean tersebut tadi, bahkan juga dari orang-orang Hindu dan Cina. Karena futuhat, bangsa-bangsa non-Muslim itu berada dibawah kekuasaan politik orang-orang Arab Muslim. Tetapi biarpun orang-orang Arab itu memiliki keunggulan militer dan politik, mereka tetap menunjukkan sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut (kutipan yang penting untuk memahami pembahasan):

(25)

learning became accessible in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a steady low of works on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu mathematics and astronomy poured into Arabic.(5)

(...Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penterjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad-abad kesembilan dan kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu kedokteran, isika, astronomi, matematika, dan ilsafat dari Yunani, sastra dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa Arab).

5 Abraham S, Halkin, "he Judeo-Islamic Age, he Great Fusion" dalarn Leo W. Schwarz, ed., Great Ages & Ideas of the Jewish People (New York: he Modern Library, 1956), hh. 218-219.

Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan karya-karya keilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim.

Suatu hal yang patut sekali mendapat perhatian lebih besar di sini ialah suasana kebebasan

intelektual di zaman klasik Islam itu. Interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dengan kalangan bukan-Muslim itu dapat terjadi hanya dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan. Sebab meskipun orang-orang Arab itu mempunyai ajaran agamanya yang sangat tegas dan gamblang, dengan penuh lapang dada membiarkan semua kegiatan intelektual di pusat-pusat yang ada sejak sebelum kedatangan dan pembebasan oleh mereka. Seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:

(26)

were subjugated by the Muslims. This indicates not only the intellectual freedom that prevailed under Muslim rule in those days, but also testiies to the Muslims' love of knowledge and the respect they paid to the scholars irrespective of their religion."(6)

(...pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh orang-orang Kristen terus berfungsi tanpa terusik bahkan setelah mereka itu ditaklukkan oleh orang-orang Muslim. Ini menunjukkan tidak saja kebebasan intelektual yang terdapat di mana-mana di bawah pemerintahan Islam zaman itu, tetapi juga membuktikan kecintaan orang-orang Muslim kepada ilmu dan sikap hormat yang mereka berikan kepada para sarjana tanpa mempedulikan agama mereka).

Interaksi intelektual itu memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini sekali sejarah Islam. Disebut-sebut bahwa al-Harits ibn Qaladah, seorang Sahabat Nabi, sempat mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia, tempat berkumpulnya beberapa failasuf yang dikutuk gereja Kristen karena dituduh telah melakukan bid'ah. Disebut-sebut juga bahwa Khalid ibn Yazid (ibn Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq sempat mendalami alkemi (al-kimya)

6 Qadir, op. cit., h. 34.

yang menjadi cikal-bakal ilmu kimia moderen.(7)

Bahkan seorang khalifah Bani Umayyah, Marwan ibn al-Hakam (683-685 M), memerintahkan agar buku kedokteran oleh Harun, seorang dokter dari Iskandaria Mesir, diterjemahkan dari bahasa Suryani (Syriac) ke bahasa Arab.(8)

Harus diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan zaman itu, baik ilmu kedokteran maupun alkemi, sebagaimana juga metaisika, matematika, astronomi, bahkan musik dan puisi, dan seterusnya, termasuk falsafah. Sebab istilah falsafah itu, dalam pengertiannya yang luas, mencakup bidang-bidang yang sekarang bisa disebut sebagai "ilmu-pengetahuan umum", yakni, bukan "ilmu pengetahuan agama", yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris. Ini penting disadari, antara lain untuk dapat dengan tepat melihat segi-segi mana dari sistem falsafah itu yang kontroversial karena dipersoalkan oleh kalangan ortodoks. Umumnya mereka ini, seperi

7 Drs. Hasyim Asy'ari MA, Bahasa Arab dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan (makalah dalam seminar tentang Bahasa Arab, Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, 15-16 Oktober 1988).

(27)

Ibn Taymiyyah dan lain-lain, menolak yang bersifat penalaran murni dan deduktif, dalam hal ini khususnya metaisika (al-falsafah al-ula), karena

dalam banyak hal menyangkut bidang yang bagi mereka merupakan wewenang agama. Tetapi mereka membenarkan yang induktif dan empiris.

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan

atau "Kenyataan Mutlak."(9) Untuk memahami

sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentiikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai

(28)

model karyanya. Disamping membentuk dunia isik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi. Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik

dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.(10)

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.(11)

10 Paul Edwards, ed., he Encyclopedia of Philosophy, s.v. "Plotinus".

11 I.R. Netton, Muslim Neoplatonists (London: George Allen & Unwin, 1982), h. 34.

Aristotelianisme

Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai

(29)

al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.

Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.(12)

Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.

Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.(13)

Sebenarnya Neoplatonisme sebagai ilsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang

12 Edwards, loc. cit. 13 Qadir, op. cit., h. 32.

berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme.(14)

Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,

The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important details which may be supplied from the sequel: irst, the manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as well.(15)

(Versi Arab tentang datangnya karya-karya

14 Netton, op. cit., h. 33.

(30)

Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).

Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam

Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" ilsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, ilsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metaisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, kalam thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.(16)

16 Ibid., h. xx-xxxi (Introduction).

Penutup

Sebagaimana telah diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran Aristoteles

(31)

unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh kepada falsafah Islam itu, karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sui. Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).(17)

17 Pembahasan tentang kelompok ini yang cukup lengkap ialah yang dilakukan Netton. op. cit.

Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar

(32)

menggunakan sistem ilmu mantiq.

Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan

keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.(18)

Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru dalam ilmu kalam orisinalitas

18 Qadir, op. cit., h. 28.

kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William Lane Craig,

... the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past events could be actually ininite.(19)

(...argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).

(33)

Ilmu kalam adalah unik dalam pemikiran umat manusia. Ia merupakan sumbangan Islam dalam dunia keilsafatan yang paling orisinil. Argumen-argumen yang dikembangkan dalam ilmu kalam menerobos dunia pemikiran Barat, sebagaimana banyak pikiran-pikiran Islam yang lain, meskipun hanya sedikit dari orang-orang Barat yang mengakuinya. Berkenaan dengan ini, Craig mengatakan lebih lanjut:

The Jewish thinkers fully participated in the intellectual life of the Muslim society, many of them writing in Arabic and translating Arabic works into Hebrew. And the Christians in turn read and translated works of these Jewish thinkers. The kalam argument for the beginning of the universe became a subject heated debate, being opposed by Aquinas, but adopted and supported by Bonaventure. The falsafa argument from necessary and possible being was widely used in various forms and eventually became the key Thomist argument for God's existence. Thus it was that the cosmological argument came to the Latinspeaking theologians of the West, who receive in our Western culture a credit for originality that they do not fully deserve, since

they inherited these arguments from the Arabic theologians and philosophers, whom we tend unfortunately to neglect.(20)

(Para pemikir Yahudi berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan intelektual masyarakat Muslim, banyak di antara mereka yang menulis dalam Bahasa Arab dan menterjemahkan karya-karya Arab ke dalam Bahasa Ibrani. Dan orang-orang Kristen kemudian membaca dan menterjemahkan karya-karya para pemikir Yahudi itu. Argumen kalam bagi permulaan adanya alam raya menjadi perdebatan yang panas, karena ditentang oleh Aquinas namun digunakan dan didukung oleh Bonaventure. Argumen falsafah dari wujud pasti (wajib) dan wujud mungkin (mumkin) banyak digunakan dalam berbagai bentuk dan akhirnya menjadi kunci argumen homis untuk adanya Tuhan. Begitulah, bahwa argumen kosmologis itu sampai ke para teolog berbahasa Latin, yang dalam budaya Barat kita mereka itu menerima pengakuan untuk orisinalitas, yang mereka sendiri tidak sepenuhnya berhak, karena mereka mewarisi argumen-argumen itu dari para teolog dan failasuf Arab, yang sayangnya cenderung kita lupakan).

(34)

Sebagaimana telah menjadi pokok

pembicaraan buku William Craig yang dikutip itu, argumen-argumen kosmologis kalam ternyata kini banyak mendapatkan dukungan temuan-temuan ilmiah moderen. Teori big bang dari Chandrasekhar (pemenang hadiah Nobel), dan dikatakan dengan temuan-temuan astronomi moderen, begitu pula konsep waktu dari Newton dan Einstein, semuanya itu, menurut Craig, mendukung argumen

kosmologi ilmu kalam tentang adanya Tuhan dan "personal", yang telah menciptakan alam raya ini:

We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation. This ia a central core of what theists mean by "God"...The kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe..."(21)

(Dengan begitu kita telah menyimpulkan adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, yang ada tanpa berubah dan berdiri sendiri sebelum penciptaan alam dan dalam waktu sesudah penciptaan itu. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum teist dimaksudkan dengan "Tuhan"...

21 Ibid., h. 152.

Argumen kosmologi kalam membimbing kita ke arah adanya Khaliq yang bersifat pribadi alam raya...)

(35)

3

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional:

Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna

Kesejarahan)

D

ari empat disiplin Ilmu Keislaman Tradisional yang mapan yaitu ilmu iqh ('ilm al-iqh), ilmu kalam ('ilm al-kalam), ilmu tasawuf ('ilm al-tashawwuf) dan falsafah (al-falsafah atau al-hikmah),(1) iqh adalah yang paling kuat

1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat diidentiikasikan sebagai berikut: ilmu iqh merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan keagamaan. Para ahli iqh juga disebut ahl al-dhawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada ilsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari ilsafat yang diterima hampir universal di kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles,

mendominasi pemahaman orang-orang Muslim akan agama mereka sehingga, karenanya, paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka. Kenyataan ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan masyarakat Muslim masa lalu, juga kepada sebagian dari inti semangat ajaran agama Islam sendiri.

Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik.(2) Ada indikasi bahwa

yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah, menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.

(36)

ekspansi militer ke luar Jazirah Arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri.(3) Tetapi dinamika

gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo amat singkat orang-orang Muslim menguasai sepenuhnya

melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia saat itu.

3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.

"daerah beradab" (Oikoumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuna), yang membentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur. Sebuah kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan wilayah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.

Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari semula, khususnya dikalangan kaum Sunni, agama Islam dengan erat terkait dengan kemapanan politik. Di antara sekian banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekali disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya. Ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara.

Pangkal Pertumbuhan Fiqh

Dari suatu segi, ilmu iqh, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika "iqh" dibatasi hanya kepada pengertiannya

(37)

beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah), khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.(4)

Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan. Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad s.a.w. membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembabaruan dan perbaikan (ishlah)(5) kehidupan

masyarakat. Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi keruhanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan

4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah irman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.

5 Ini bisa dipahami dari irman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapatdapatku."

hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan waktu). Tetapi peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata. Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah

sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadits yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya.(6) Demikian pula sebuah

irman Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadits itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para "Spesialis" ini dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat.(7) Maka suatu masyarakat tumbuh

6 Hadits yang terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (iqh) dalam agama."

(38)

menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlaq (ethical society).(8)

Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad s.a.w. dengan kecenderungan suci yang lapang (al-haniiyyat al-samhah). Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa "Agama yang paling disukai Allah ialah al-haniiyyat al-samhah." Kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari'at al-jami'ah). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda: hal-hal parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat:

... Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti

simpul-golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.

8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."

simpul kepercayaan 'aqa'id) dan peribadatan (al-'ibadat), maka diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (mashalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang, maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa, dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wali al-amr, pemegang kekuasaan, yakni, pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.(9)

Maka ilmu iqh dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu. Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering

(39)

menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir

Muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.

Masa-masa Perkembangan Formatif

Melalui masa-masa perkembangan formatifnya, ilmu iqh memperoleh batasnya yang jelas. Sejalan dengan yang telah dikemukakan di atas, batasan itu kurang lebih adalah:

... Fiqh ialah ilmu tentang masalah-masalah syara'iyah secara teoritis. Masalah-masalah iqh itu berkenaan dengan perkara akhirat seperti hal-hal peribadatan (ibadat) atau berkenaan dengan perkara dunia yang terbagi menjadi munakahat (tentang pernikahan), mu'amalat (tentang berbagai transaksi dalam masyarakat) dan 'uqubat (tentang hukuman)

...Demi terpeliharanya keadilan dan ketertiban antara sesama manusia serta menjaga mereka dari kehancuran maka diperlukanlah ketentuan-ketentuan yang diperkuat oleh syari'at berkenaan dengan perkara perkawinan, dan itulah bagian munakahat dari ilmu iqh; kemudian berkenaan dengan perkara peradaban dalam bentuk gotong-royong dan kerjasama, dan itulah bagian mu'amalat dari ilmu iqh; dan untuk memelihara perkara peradaban itu agar tetap pada garisnya

ini diperlukan penyusunan hukum-hukum pembalasan, dan inilah bagian 'uqubat dari ilmu iqh.(10)

Dari deinisi dan penjelasan tentang hakikat ilmu iqh itu nampak dengan jelas titik berat orientasi iqh kepada masalah pengaturan hidup bersama manusia dalam tatanan sosialnya, yang inti kerangka pengaturan itu ialah masalah hukum. Bahkan meskipun masalah-masalah ibadat juga termasuk ke dalam ilmu iqh —justru merupakan yang pertama-tama dibahas— namun cara pandang ilmu iqh terhadap ibadat pun tetap bertitikberatkan orientasi hukum. Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib mandub, mubah, makruh dan haram. Disamping itu terdapat cara penilaian kepada sesuatu sebagai sah atau batal, yaitu dilihat dari kenyataan apakah semua syarat dan rukunnya terpenuhi atau tidak.(11)

Telah dikemukakan bahwa situasi yang

10 Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M, cetakan kelima), h. 15

(40)

mendesak orang-orang Muslim untuk

menjabarkan melalui penalaran unsur-unsur dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah pengaturan masyarakat ialah adanya kekuasaan politik yang sangat riil. Kekuasaan itu tidak saja secara geograis meliputi daerah oikoumene yang amat luas, tetapi juga secara demograis mencakup berbagai bangsa dan agama yang beraneka ragam. Desakan kepada penalaran itu kemudian juga kodiikasinya sesungguhnya sudah ada semenjak masa Dinasti Umawiyah (40-131 H [661-750 M].(12)

Tetapi para penguasa Umawiyah di Damaskus itu agaknya kurang tanggap terhadap desakan itu. Namun masa Umawiyah telah sempat melahirkan usaha cukup penting ke arah penyusunan sistematik ilmu iqh dan kodiikasinya, dalam konteks Syria dan sistem pemerintahan Umawi, khususnya oleh tokoh al-Awzd'i (wafat 155 H [774 M]). Dan baru pada masa dinasti Abbasiyah

(131-12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.

415 H [750-974 M]) usaha penyusunan sistematik ilmu iqh itu dan kodiikasinya berkembang menjadi seperti yang sebagian besar bertahan sampai sekarang.(13)

Pada masa peralihan dari dinasti Umawiyah ke dinasti Abbasiyah itu hidup seorang sarjana iqh yang terkenal, Abu Hanifah (79-148 H [699-767 M]). Aliran pikiran (madzhab, school of thought) Abu Hanifah terbentuk dalam lingkungan Irak dan suasana pemerintahan Abbasiyah. Tetapi dari masa dinasti Abbasiyah itu yang paling formatif bagi pertumbuhan ilmu iqh, seperti juga bagi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain, ialah masa pemerintahan Harun al-Rasyid (168-191 H [786-809 M]). Pada masa pemerintahannya itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang hebat, Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim (113-182 H [732-798 M]). Harun al-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis baginya buku tentang al-kharaj

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, setelah didapat daerah aktif yang meliputi luas daerah aktif, kelas magnet, kelas sunspot, dan jumlah sunspot, data tersebut dibuat grafik jumlah

Tentang identitas Maryam, Alquran memberitahukan kepada kita bahwa ayahnya bernama Imran, dan ulama muslim klasik menerima secara bulat bahwa ia adalah keturunan dari

Ide yang baik tanpa teknik yang mantap tidak akan menghasilkan komposisi yang baik, sebaliknya dengan teknik yang mantap setidaknya akan menghasilkan komposisi

Lembaga Pengembangan Fraud Auditing (LPFA) cq PT Cahaya Fraudita Expert didirikan untuk menjawab tuntutan publik yang menginginkan terwujudnya Good Government dan Good

Berdasarkan hasil penelitian kelompok ansambel kontrabas BASSAURUS di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, tata kelola konser yang dilakukan oleh kelompok ansambel

Tugas staff ATM dan IT adalah melaksanakan pelayanan kepada nasabah menyangkut penggunaan ATM, dan menjaga agar system jaringan online, dan senantiasa ada untuk melayani kebutuhan

Streptococcus pyogenes khas memproduksizona beta-hemolisis yang besar, gangguan eritrosit sempurna dan pelepasan hemoglobin, sehingga kemudian disebut Streptococcus

Pernyataan ilmiah yang kita gunakan dalam tulisan kita harus mencakup beberapa hal. Pertama kita harus mengidentifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut. Kedua, kita