• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KECENDERUNGAN ADIKSI JEJARING SOSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN KECENDERUNGAN ADIKSI JEJARING SOSI"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1 facebook and twitter in explaining self regulated learning in adolescents. This research sample is adolescents ages 15-18 years, male and female, have an account on social networking facebook and twitter. Data retrieval techniques with purposive sampling. Social networking addiction variabel and self regulated learning measured using likert scale. Analys of the data used isi simple regression test using F test and T test. The result is social networking addiction has a role againts self regulated learning with significance 0,000. Hypothesis test conducted showed R² values of the data obtained, which amounted to 33,9% addiction is the role of social networking (Facebook and Twitter) againts self regulated learning, while the rest 66,1% may caused by the other factor.

Keyword : social networking addiction, self regulated learning, adolescents, facebook or twitter

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kecenderungan adiksi terhadap facebook atau twitter dalam menjelaskan self regulated learning pada remaja. Sampel penelitian ini adalah remaja usia 15 – 18 tahun, laki – laki dan perempuan, memiliki akun jejaring sosial facebook atau twitter, serta bersekolah di SMAK Gracia Surabaya. Teknik pengambilan data dengan purposive sampling. Variabel adiksi jejaring sosial dan self regulated learning diukur menggunakan skala likert. Analisis data yang digunakan adalah uji regresi sederhana dengan menggunakan uji F dan uji T. Hasilnya adiksi jejaring sosial memiliki peran terhadap self regulated learning dengan nilai signifikansi 0,000. Uji hipotesis yang dilakukan menunjukkan nilai R² sebesar 33,9%, yang berartiperan kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) memberikan sumbangan efektif terhadap self regulated learning sebesar 33,9%,sedangkan sisanya 66,1% mungkin disebabkan oleh faktor lainnya yang tidak diteliti oleh peneliti.

(2)

PENDAHULUAN

Perkembangan internet di Indonesia semakin berkembang pesat diiringi dengan

berbagai infrastruktur seperti adanya ponsel, laptop dan biaya internet yang terjangkau.

Tingkat antusiasme masyarakat Indonesia khususnya remaja dalam memanfaatkan teknologi

internet ini pun semakin berkembang, baik dengan menggunakan ponsel maupun komputer

(Listiyono, 2013). Jejaring sosial merupakan bagian dari internet yang digunakan sebagai

situs menambah pertemanan. Sebagai gambaran, sekitar 62,5 % pengguna aktif internet di

seluruh dunia yang berusia 16 hingga 54 tahun memiliki akun jejaring sosial (Elia, 2009).

Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang

umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi

spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dll. Situs jejaring sosial yang dalam bahasa

Inggris disebut social network sites merupakan sebuah web berbasis pelayanan yang

memungkinkan penggunanya untuk membuat profil, melihat daftar pengguna yang tersedia,

serta mengundang atau menerima teman untuk bergabung dalam situs tersebut. Tampilan

dasar situs jejaring sosial ini menampilkan halaman profil pengguna, yang di dalamnya terdiri

dari identitas diri dan foto pengguna Contoh situs jejaring sosial adalah Facebook, Twitter,

Friendster, Hi5, MySpace, dll (Juditha, 2011).

Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Friendster dan yang sejenisnya seakan

sudah menjadi suatu keharusan bagi remaja Indonesia untuk memilikinya. Bahkan jika tidak

memilikinya akan dianggap kurang pergaulan dan akan dikucilkan dari komunitasnya

(Listiyono, 2013). Menurut data dari PopSurvey (2012), Indonesia menjadi negara kedua

dengan persentase mencapai 87,5% pengguna jejaring sosial dari total pengakses internet

setelah Brazil dengan persentase mencapai 87,6%, sedangkan data menurut Antara News di

tahun 2012 menyebutkan jumlah pengguna situs jejaring sosial Facebook di Indonesia

(3)

Komunikasi dan Informatika, total ada 43,06 juta orang yang menggunakan situs jejaring

sosial Facebook sedangkan untuk pengguna Twitter, Indonesia berada di urutan tertinggi

kelima di dunia, dengan 19,5 juta pengguna (Supratiwi, 2012).

Pengaruh positif penggunaan jejaring sosial diantaranya adalah banyak para remaja

yang menggunakan jejaring sosial untuk memasarkan iklannya seperti yang dilakukan oleh

salah seorang mahasiswa pembuat keripik pedas yang memasarkan produknya

ke Twitter dan Facebook yang ber merk “Maicih” dan akhirnya asekarang menjadi sebuah

kripik yang sudah tersebar hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Ada juga jejaring

sosial yang digunakan sebagai sarana bertukan informasi, pengetahuan dan untuk berdiskusi

dalam pembuatan komunitas (Listiyono, 2013).

Jejaring sosial juga dapat mempererat tali persaudaraan dimana seseorang dapat tetap

saling berkomunikasi walaupun jaraknya jauh. Jejaring sosial juga dapat digunakan untuk

mencari seorang kerabat, bahkan dalam berita yang ditulis VivaNews, ada suatu kisah seorang

ibu dapat bertemu kembali dengan anaknya setelah 12 tahun berpisah (Firman, 2011).

Jejaring Sosial juga memberikan dampak yang negatif bagi para remaja. Kejahatan

melalui Facebook, khususnya yang menimpa remaja putri semakin mengkhawatirkan.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang 2013, ada 37 kasus

kejahatan akibat perkenalan di jejaring sosial Facebook. Terakhir adalah kasus seorang siswi

sekolah menengah pertama (SMP) di Depok, diperkosa secara bergilir oleh teman prianya

yang baru dikenal via Facebook (Sugandi, 2013).

Banyak para remaja yang kecanduan untuk menggunakan jejaring sosial tanpa

mengenal waktu sehingga menurunkan produktifitas dan rasa sosial diantara remaja pun

berkurang. Banyak para remaja yang lebih suka berhubungan lewat jejaring sosial dibanding

(4)

susah untuk berkomunikasi dengan yang lain. Para pelajar juga lebih sering menggunakan

waktu mereka untuk bermain game yang ada pada salah satu jejaring sosial (Listiyono, 2013).

Dilansir CNN (Mustofa, 2013), sebuah penelitian dilakukan oleh IDC untuk

menghitung seberapa sering pengguna Facebook mengecek akun mereka dalam satu hari.

Dari hasil penelitian tersebut, terkuak fakta bahwa rata-rata para pengguna smartphone

tersebut memeriksa akun Facebook mereka sebanyak 14 kali setiap harinya. Setiap kali

memeriksa akun Facebook tersebut, tiap orang rata-rata menghabiskan waktu sekitar 2 menit.

Kecanduan akan jejaring sosial Facebook ini bukan tidak menimbulkan efek apa-apa.

Menurut penelitian beberapa psikolog, kecanduan Facebook ternyata dapat membuat

psikologis penggunanya sedikit terganggu.

Data dari Mashable (Mustofa, 2013), melaporkan jika pengguna Facebook yang

mengakses akun Facebook-nya secara rutin sampai timbul rasa kecanduan, memiliki resiko

jika kemungkinan di kemudian hari sisi psikologis pengguna tersebut akan terganggu.

Menurut pakar, apabila tingkatan penggunanya sudah mencapai tahap adiksi maka sulit untuk

menghilangkan tingkat kecanduan tersebut. Dibutuhkan proses dan waktu yang cukup lama

untuk menyembuhkannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cecilie Schou Andreassen, Torbjorn Torsheim,

Geir Scott Brunborg, dan Stale Pallesen dari Department of Psychosocial Science University

of Bergen, Norway yang ditulis dalam Psikologi Zone (2012) mengatakan bahwa siswa yang

berusia lebih muda memiliki potensi lebih besar mengalami kecanduan jejaring sosial seperti

Facebook dibandingkan dengan pelajar yang usianya lebih tua, sedangkan berdasarkan jenis

kelamin, wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria. Penelitian ini mengamati

tanda-tanda perilaku adaptif saat pelajar menggunakan Facebook.

Menurut dosen Psikologi UI, Indiyanti (Usman, 2010) besar pengguna jejaring sosial

(5)

masih sangat labil dan mudah terpengaruh. Selain rentan pengaruh buruk, remaja tanpa sadar

dapat terjangkit kecanduan jejaring sosial jika tidak ada tindakan kontrol sedini mungkin.

Indiyanti mengatakan usia remaja sangat rentan akan godaan di internet, terutama terkait

dengan jejaring sosial. Kecenderungan remaja untuk ingin mengikuti trend dan hal-hal lain

yang yang dilakukan teman-temannya begitu besar.

Ditinjau dari faktor kognisi milik Piaget (Afianti, 2010), pada masa remaja, individu

mulai memasuki tahap perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu operasional formal.

Pada tahap operasional formal, remaja diharapkan mampu mengintegrasikan

pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat

rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada

kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai

dalam belajar (Afianti, 2010).

Kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin

dicapai dalam belajar merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang

memiliki self regulated learning. Santrock (Alsa & Komalasari, 2005) mengatakan self

regulated learning menyangkut self generation dan self monitoring pada pemikiran, perasaan,

dan perilaku untuk menjangkau tujuan. Pengaturan diri dalam belajar membuat para siswa

memiliki kontrol dan mendorongnya untuk memperhatikan metode belajarnya. Zimmerman

(Alsa & Komalasari, 2005) menyatakan bahwa self regulated learner adalah siswa yang

secara metakognitif, motivasional dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses

belajar mereka sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa self

regulated learning adalah upaya yang dilakukan individu untuk mengatur diri dalam

belajarnya dengan melibatkan kemampuan metakognitif, motivasional dan behavioral

(6)

Wolters dkk, (Pratiwi, 2009) menjelaskan bahwa metakognisi merupakan strategi

untuk mengontrol atau meregulasi kognisi yang meliputi macam-macam aktivitas kognitif

dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah

kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi

(organization) dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan proses belajarnya.

Selanjutnya, motivasi merupakan strategi untuk meregulasi motivasi yang melibatkan

aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk

memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau sesuai

tujuan. Terakhir adalah perilaku yang merupakan strategi untuk meregulasi perilaku sebagai

usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Bandura (Pratiwi, 2009)

menjelaskan bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self”

internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi dan afeksi. Regulasi perilaku meliputi

regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/study environment), dan

pencarian bantuan (help-seeking).

Menurut Santrock (Afianti, 2010), siswa yang mempunyai self regulated learning

menunjukkan sejumlah karakteristik. Pertama, mengatur tujuan belajar untuk

mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan motivasi. Kedua, menyadari hal - hal yang

mempengaruhi kondisi emosional dan mempunyai strategi untuk mengatur emosi agar tidak

mengganggu kegiatan belajar. Ketiga, memantau kemajuan yang mendekati target belajar

secara periodik, memeriksa strategi belajar yang didasarkan pada kemajuan yang dicapai,

mengevaluasi rintangan yang mungkin timbul, dan membuat adaptasi yang diperlukan.

Zimmerman (1990) mengatakan, self regulated learning menempatkan pentingnya

kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri,

terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi lain, self regulated learning

(7)

terjadi atas inisiatif sendiri. Siswa yang memiliki inisiatif menunjukkan kemampuan untuk

mempergunakan pemikiran - pemikirannya, perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah

lakunya untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan betapa efektifnya belajar

jika siswa memiliki keterampilan self regulated learning.

Istilah self regulated learning berkembang dari teori kognisi sosial Bandura (Latipah,

2010). Menurut teori kognisi sosial, manusia terbentuk dari aspek pribadi (person), perilaku

(behavior), dan lingkungan (environment). Ketiga aspek ini merupakan aspek – aspek

determinan dalam self regulated learning, karena saling berhubungan secara timbal balik,

dimana person berusaha untuk meregulasi diri sendiri (self regulated), hasilnya berupa

kinerja atau perilaku, dan perilaku ini berdampak pada perubahan lingkungan, dan demikian

seterusnya (Latipah, 2010).

Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial.

Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan dihadapkan pada seseorang secara

kebetulan. Lingkungan kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya

sendiri. Bandura (Latipah, 2010) menyatakan bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui

pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran

sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling

penting dalam pembelajaran terpadu (Latipah, 2010).

Berdasarkan uraian yang tercermin dari dinamika psikologis, maka peneliti

mengemukakan hipotesis sebagai berikut:

Ha1 : Kecenderungan Adiksi terhadap jejaring sosial berperan signifikan dalam

menjelaskan self regulated learning remaja SMA, dimana semakin tinggi kecenderungan

(8)

METODE Variabel Penelitiaan

Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah kecenderungan adiksi

jejaring sosial, sedangkan variabel dependen (terikat) dalam penelitian ini adalah self

regulated learning.

Subjek

Penelitian ini menggunakan 65 siswa SMAK Gracia Surabaya yang memiliki akun

facebook atau twitter. Siswa tersebut duduk dikelas X, XI, dan XII dengan kelas IPA dan IPS.

Penyebarannya dilakukan secara merata dan disebarkan kepada siswa laki – laki dan

perempuan.

Alat Ukur

Terdapat dua alat ukur dalam penelitian ini. Alat ukur yang pertama adalah Skala

Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter). Alat ukur yang kedua adalah

Skala Self regulated learning. Alat ukur tersebut berupa kuisioner yang telah dibuat oleh

peneliti dan disusun sedemikian rupa menjadi satu kesatuan alat ukur. Data ini disajikan

dalam rentangan tertentu dan subjek hanya harus memilih salah satu kategori yang sesuai

dengan yang dialami oleh subjek, dalam penelitian ini menggunakan skala likert untuk

rentang nilai.

Metode Analisis

Analisis yang dilakukan bertujuan untuk melakukan uji hipotesis. Berdasarkan

penelitian dan tujuan yang akan dicapai, peneliti menggunakan analisis regresi linier

(9)

HASIL

Teknik analisa dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi linier sederhana

dengan pemenuhan uji asumsi klasik/ sebelum dilakukan uji asumsi dan uji hipotesis, perlu

menganalisis deskriptif yang dapat dilihat dalam tabel 1:

Tabel 1. Kategori Skala Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter) dan Skala Self regulated learning

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa jumlah siswa dengan kecenderungan adiksi

jejaring sosial (facebook atau twitter) rendah, karena sebagian besar jumlah siswa memiliki

prosentasi sebesar 66,15 % dengan 43 siswa, sehingga dapat disimpulkan bahwa siswa

dengan kecenderungan adiksi jejaring sosial di SMAK Gracia Surabaya mengalami

kecenderungan adiksi jejaring sosial yang rendah, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa

ada pula yang mengalami kecenderungan adiksi berjejaring sosial. Penyajian tabel 1 juga

menjelaskan bahwa self regulated learning di SMAK Gracia Surabaya juga rendah dengan

prosentasi sebesar 92,3% dengan 60 siswa, self regulated learning pada siswa SMAK Gracia

Surabaya termasuk dalam kategori rendah, namun ada beberapa siswa yang termasuk dalam

kategori sedang.

Pencapaian pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan pemenuhan dari uji asumsi

(10)

Tabel 2. Uji Asumsi Variabel Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter (X) dan Self regulated learning (Y)

Uji Normalitas

Uji K-S Signifikansi Uji F Signifikansi Signifikansi ,955 ,321

38,063 0,00 0.752

Tabel 2 menjelaskan bahwa uji asumsi klasik yang dilakukan peneliti terhadap

peranan dari kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam menjelaskan

self regulated learning pada remaja dapat terpenuhi karena signifikansi uji normalitas bernilai

0,321 yang berarti bahwa data dari nilai residual variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial

(facebook atau twitter) dan self regulated learning berdistribusi normal, uji

heteroskedastisitas yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,752 yang berarti error dari

variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated

learning sama atau stabil. Uji linieritas menunjukkan nilai signifikansi yang lebih kecil dari

0,05 yaitu bahwa terdapat hubungan linearitas antara variabel kecenderungan adiksi jejaring

sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning.

Pengujian terhadap peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter)

dan self regulated learning perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan diantara

keduanya yang akan ditampilkan pada tabel 3.

Tabel 3. Uji Korelasi Pearson

variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam menjelaskan self regulated learning

Korelasi Pearson

Sig.

--0,582 0,000

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa nilai korelasi pearson yang dihasilkan oleh

peneliti bernilai negatif yaitu -0,582 dengan nilai signifikan 0,00. Artinya penelitian ini

(11)

kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) tinngi maka self regulated

learningnya rendah, sebaliknya jika kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau

twitter) rendah, maka self regulated learningnya tinggi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa

terdapat peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam

menjelaskan self regulated learning yang dapat ditinjau dari tabel 4.

Tabel 4. Uji Keberartian

Variabel F Sig. R2

variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning

32,312 0.000 0.339

Berdasarkan tabel 4 diperoleh nilai korelasi yang diperoleh berdasarkan nilai R2

senilai 0.339. Artinya, besarnya sumbangsih peran kecenderungan adiksi jejaring sosial

(facebook atau twitter) dalam menjelaskan self regulated learning adalah 33.9% dan besar

pengaruh lain diluar variabel kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan

self regulated learning sebesar 66.1%.

Berdasarkan tabel tabel 4 ini juga diketahui nilai Fhitung dari residual data sebesar

31,312 dengan signifikansi 0,000. Hasil nilai signifikan ini lebih kecil dari sama dengan 0,05,

oleh karena itu nilai signifikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi peran kecenderungan

adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam menjelaskan self regulated learning pada

remaja. Persamaan regresi linier sederhana untuk membantu dalam melakukan prediksi

mengenai korelasi peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dalam

menjelaskan self regulated learning pada remaja dapat tertinjau di tabel 5.

Tabel 5. Nilai a, b, dan Persamaan Regresi Linier

a 140,019

b 0,325

(12)

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai a sebesar 140,019 dan nilai b sebesar

sehingga dapat diperoleh persamaan regresi sederhana dari penelitian ini adalah Y =

140,019 0,325X. Makna dari tabel 5 adalah setiap kenaikan 1X (adiksi) maka akan

menurunkan Y (SRL) sebesar 0,33 %, dengan asumsi variabel lain dianggap konstan.

Sehingga self regulated learning dapat diketahui nilainya dengan penilaian terhadap

kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja. Penilaian yang digunakan untuk

mengetahui terdapat konflik pada kedua variabel peneliti yaitu kecendeungan adiksi jejaring

sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning, peneliti menggunakan uji t tes dari

hasil residual yang terjadi antara dua variabel tersebut dan tertuang pada tabel 6

Tabel 6. Uji t

Residual t Sig.

Peran kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning

20,181 0,000

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai thitung senilai 20,181 dan nilai signifikansi atau

probabilitas sebesar 0,000. Nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 menunjukkan tidak ada

konflik yang terjadi dan kedua variabel adalah ekuivalen. Makna tabel 6 menyatakan bahwa

variabel kecendeungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated

learning pada remaja tidak terjadi konflik, akan tetapi keduanya bersifat ekuivalen.

DISKUSI

Berdasarkan hasil dari penelitian lapangan yang dilakukan oleh peneliti di SMAK

Gracia Surabaya. Diketahui bahwa kecenderungan adiksi jejaring sosial yang dialami oleh

siswa dan siswi SMAK Gracia Surabaya termasuk dalam kategori rendah. Menurut Papalia

(2007), keinginan untuk memiliki hubungan dengan orang lain ini pada umumnya sangat

(13)

hubungan dengan orang lain, saat ini manusia telah sangat dimudahkan dalam hal

komunikasi.

Remaja memiliki ketertarikan yang luar biasa terhadap metode komunikasi yang baru

yaitu jejaring sosial. Keberadaan situs jejaring sosial memudahkan penggunanya untuk

berinteraksi secara mudah dengan orang‐orang dari seluruh belahan dunia dengan biaya yang

lebih murah dibandingkan menggunakan telepon (Aleman & Wartman, 2009). Dimana

batasan ruang dan waktu seakan tidak ada lagi.

Pola komunikasi Internet melalui situs pertemanan jejaring sosial seperti

Facebook,Twitter, friendster, dll pada tahap tertentu bisa menimbulkan adiksi yang mungkin

berpengaruh terhadap kehidupan nyata. Beberapa ciri‐ciri orang yang teradiksi terhadap

jejaring sosial, yaitu penggunaan yang berlebihan, kegelisahan ketika tidak mengakses

jejaring sosial dalam interval waktu tertentu, peningkatan toleransi terhadap adiksi jejaring

sosial itu sendiri, dan dampak negatif (termasuk isolasi sosial) (Juditha, 2011).

Facebook dan Twitter merupakan situs yang sederhana, mudah digunakan, dan

mempunyai efek mencandu. Efek mencandu itu bisa disebabkan oleh dua hal utama. Pertama,

karena senang memperoleh teman dan mendapat perhatian dari orang lain. Kedua, senang

menjadi orang yang dikenal dan diakui keberadaannya. Karena itu, akan semakin mudah

menjadi pecandu jejaring sosial di internet bila seseorang memiliki kebutuhan besar akan

perhatian, penghargaan diri, dan pengakuan akan eksistensi dirinya (Widiana & Hidayat,

2004).

Pengujian kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja menggunakan definisi

operasional dari Internet Addiction Test menurut Young (1996), dimana pengguna jejaring

sosial tidak dapat menghentikan keinginannya untuk online jejaring sosial sehingga

kehilangan kontrol dari penggunaan jejaring sosial. Dimensi yang mewakili dari skala adiksi

(14)

excessive use, neglect study. Salience merupakan aktivitas dimana penggunaan jejaring sosial

adalah hal paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu

(preokupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh), dan tingkah laku

(kemunduran dalam perilaku sosial). Excessive use lebih menjelaskan mengenai penggunaan

berlebihan pada jejaring sosial, sehingga dapat mengganggu aktivitas lain dari penggunnanya.

Indikator dalam excessive use meliputi, waktu berjejaring sosial yang terus bertambah,

kecenderungan tetap online melebihi waktu normal dan terganggunya waktu tidur untuk

melakukan aktivitas jejaring sosial. Neglect study merupakan aktivitas dimana pengguna

jejaring sosial mengabaikan tugas – tugas dan waktu belajar yang dimilikinya hanya untuk

berjejaring sosial. Indikator dalam dimensi neglect study meliputi menunda pengerjaan tugas,

penurunan prestasi dan perilaku berbohong untuk menutupi aktivitas berjejaring sosial.

Terdapat perilaku kecenderungan adiksi jejaring sosial (Facebook atau Twitter) pada

siswa SMAK Gracia tetapi berada dalam taraf yang rendah. Fakta ini didasarkan pada hasil

data di lapangan, diperoleh data sebanyak 43 siswa (66,15%) mengalami kecenderungan

adiksi jejaring sosial yang rendah, hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor lain yang

mengurangi kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja, misal siswa SMAK Gracia

belum memasuki tahap adiksi pada jejaring sosial, kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti serta

terpenuhinya tugas – tugas perkembangan remaja.

Kegiatan ekstrakurikuler yang disediakan oleh pihak sekolah juga dapat menjadi

faktor rendahnya kecenderungan adiksi jejaring sosial pada remaja. Kegiatan ekstrakurikuler

merupakan wadah bagi siswa untuk meningkatkan minat dan bakat yang dimiliki, misal

basket, dance, musik, dll. Keberadaan ekstrakurikuler juga dapat mengalihkan perhatian

siswa untuk mengaktifkan jejaring sosial yang dimilikinya, sehingga siswa memiliki kegiatan

(15)

Faktor lain yang dapat mempengaruhi remaja tidak mengalami kecenderungan adiksi

jejaring sosial menurut Monks, dkk salah satunya adalah remaja lebih banyak berada diluar

rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan

mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan

terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku (Sonia, 2009). Hal

ini juga dapat dilihat dari tugas perkembangan remaja yang diungkapkan Havigurst (Hurlock,

1990), yaitu memilih dan mempersiapkan karier pekerjaan, mengembangkan keterampilan

intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga negara, mencapai tingkah laku

yang bertanggung jawab secara sosial. Ada beberapa remaja yang menghabiskan waktunya

untuk bermain dan berkumpul bersama teman daripada bermain jejaring sosial. Beberapa

remaja lebih memilih menghabiskan waktu untuk hal positif dengan mengembangkan minat

dan potensi yang dimiliki seperti mengembangkan hobi untuk mempersiapkan dirinya

menuju fase kehidupan selanjutnya, dewasa awal.

Adanya fasilitas internet yang dapat diakses dengan mudah pada dunia akademik

dimaksudkan sebagai pendukung kegiatan akademik seperti penelitan dan kemudahan

mengakses perpustakaan internasional. Alasan tersebut mendasari diadakannya jasa internet

didalam lingkungan pendidikan (kampus, sekolah, lembaga bimbingan belajar).

Kenyataannya 58% siswa mengalami penurunan dalam kebiasaan belajar, penurunan ranking

, membolos atau mendapatkan masa percobaan disebabkan karena pengunaan internet yang

berlebihan (Widiana & Hidayat, 2004). Hal tersebut disebabkan karena siswa mengakses

aplikasi yang tidak relevan dengan pelajaran.

Selain itu, keberadaan facebook juga mendapat sorotan. Sebuah survey yang

dilakukan oleh Ohio University, menyebutkan bahwa mahasiswa yang kerap menggunakan

facebook ternyata menjadi malas dan bodoh. Menurut studi yang mengambil sampel 219

(16)

facebook, semakin sedikit waktu mahasiswa belajar dan semakin buruk nilai‐nilai mata

pelajaran mahasiswa. Seperti dikutip Daily Mail, para psikolog melakukan penelitian dan

mengungkap bahwa hasil ujian dari mereka yang belajar sambil main situs jejaring sosial itu

lebih kecil 20 persen dibandingkan rekan mereka yang belajar saja. (Juditha, 2011).

Melihat dari data dan fakta di atas terdapat kemunduran prestasi dalam diri remaja

sejak menggunakan jejaring sosial. Ditinjau dari faktor kognisi milik Piaget, pada masa

remaja, individu mulai memasuki tahap perkembangan kognitif pada level tertinggi, yaitu

operasional formal, dimana remaja diharapkan mampu mengintegrasikan

pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tantangan di masa kini dan mendatang, serta mampu membuat

rencana untuk masa depan. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat tercermin pada

kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin dicapai

dalam belajar (Afianti, 2010).

Kemampuan remaja untuk membuat rencana strategi belajar serta target yang ingin

dicapai dalam belajar merupakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh siswa yang

memiliki self regulated learning. Zimmerman (Akhmadi, 2008) mengatakan, Self regulated

learning menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur

dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugas-tugas yang sulit. Pada sisi

lain, self regulated learning menekankan pentingnya inisiatif, karena self regulated learning

merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif sendiri. Siswa yang memiliki inisiatif

menunjukkan kemampuan untuk mempergunakan pemikiran - pemikirannya,

perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan. Dengan demikian dapat

dikatakan betapa efektifnya belajar jika siswa memiliki keterampilan self-regulated learning

(Akhmadi, 2008).

Seharusnya dengan adanya fasilitas jejaring sosial pada internet, remaja dapat

(17)

mampu bersosialisasi dengan baik dengan oranglain. Namun berdasarkan fakta, banyak

remaja yang terlena dengan kemudahan jejaring sosial dan mengesampingkan tugas utama

sebagai seorang siswa yaitu belajar. Self regulated learning pada remaja dikategorikan dalam

tiga dimensi menurut aspek self regulated learning milik Zimmerman, yaitu metakognisi,

motivasi dan perilaku.

Metakognisi merupakan proses pengambilan keputusan yang meregulasi pilihan dan

menggunakan berbagai macam pengetahuan. Indikator dalam metakognisi meliputi strategi

pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization). Motivasi

merupakan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan

untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentu atau

sesuai tujuan. Indikator dalam dimensi motivasi Penguasaan motivasi diri sendiri (mastery

self-talk), peningkatan yang relevan (relevance enhancement), peningkatan minat situasional

(situational interest enhancement), dan konsekuensi diri (self consecuating), sedangkan

perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak.

Indikator dalam dimensi perilaku regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan

(time/ study environment), dan pencarian bantuan (help-seeking).

Berdasarkan data di lapangan, diperoleh bahwa siswa – siswi di SMAK Gracia

Surabaya termasuk kedalam siswa – siswi yang memiliki self regulated learning rendah. Hal

itu sesuai dengan range daerah keputusan kategori rendah yang berada pada notasi X < 116,7

yang ditentukan berdasarkan norma yang dibuat oleh Azwar (2012). Jumlah siswa kategori

rendah pada self regulated learning mendominasi sebanyak 60 siswa (92,3%) dari 65 siswa

yang dijadikan subjek penelitian. Sedangkan hanya 5 siswa (7,7%) berada dikategori sedang,

dan tidak ada satu siswa yang berada pada kategori tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa

siswa – siswa di SMAK Gracia Surabaya kurang memiliki self regulated learning, meskipun

(18)

diperoleh di lapangan, diperoleh hasil bahwa kecenderungan adiksi jejaring sosial dan self

regulated learning berada pada taraf rendah. Terdapat faktor yang mempengaruhi rendahnya

kedua variabel tersebut, seperti diketahui penelitian menggunakan data self reported dimana

rawan akan data palsu atau ketidak jujuran yang diberikan oleh responden.

Guna melihat hubungan yang terjadi antara variabel kecenderungan adiksi jejaring

sosial dan self regulated learning, maka penggunaan korelasi yang terjadi dapat dilihat

kembali pada tabel 22, yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi didalamnya dengan

melihat nilai signifikansi 0,000 lebih kecil dari nilai 0,05 dan korelasi yang terjadi sifatnya

negatif atau berarti kebalikannya. Maksudnya adalah semakin tinggi kecenderungan adiksi

jejaring sosial (facebook atau twitter) maka semakin rendah self regulated learning pada

remaja. Namun ketika kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) rendah,

maka self regulated learning pada remaja semakin tinggi. Hasil yang diperoleh ini juga

menunjukkan bahwa pendapat yang diajukan peneliti pada hipotesis alternatif dapat diterima,

yakni kecenderungan adiksi terhadap jejaring sosial berperan signifikan dalam menjelaskan

self regulated learning remaja SMA, dimana semakin tinggi kecenderungan adiksi jejaring

sosial maka semakin rendah tingkat self regulated learning remaja tetapi jika semakin rendah

kecenderungan adiksi jejaring sosial maka semakin tinggi tingkat self regulated learning

remaja.

Uji hipotesis yang telah dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan terdapat nilai R²

atau kebaikan model regresi yang artinya sumbangan efektif dari data yang diperoleh, yakni

sebesar 33,9%. yang mana kecenderungan peran adiksi jejaring sosial memberikan

sumbangan efektif sebesar 33,9% terhadap self regulated learning. Sedangkan sisanya

66,1% disebabkan oleh faktor lainnya yang tidak diteliti oleh peneliti.

Sifat dari linieritas pada penelitian ini maka, persamaan regresi linier sederhana untuk

(19)

diartikan jika terjadi kenaikan sebesar satu pada kecenderungan adiksi jejaring sosial, maka

dapat menurunkan self regulated learning sebesar 0,33%. Persamaan regresi linier sederhana

yang telah ditemukan ini, dapat membantu dalam memprediksikan besarnya self regulated

learning jika diketahui jumlah skor dari kecenderungan adiksi jejaring sosial.

Diharapkan setelah mengetahui hasil dari penelitian ini, akan memudahkan subyek

dan instansi terkait untuk mengetahui pentingnya meningkatkan dan memperhatikan self

regulated learning yang memiliki banyak manfaat bagi pencapaian kesuksesan dan tujuan

dalam mencapai tujuan dalam menyelesaikan sekolah.

KESIMPULAN

Analisa hasil perhitungan product moment pearson menunjukkan adanya korelasi

negatif dan hipotesis peneliti diterima, artinya penelitian ini memiliki korelasi antara variabel

kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) dan self regulated learning yang

mana semakin tinggi kecenderungan adiksi jejaring sosial (facebook atau twitter) maka

semakin rendah self regulated learning, sebalikanya semakin rendah kecenderungan adiksi

jejaring sosial (facebook atau twitter) maka semakin tinggi self regulated learning.

Sumbangan efektif sebesar 0,339 menunjukkan peran kecenderungan adiksi jejaring sosial

(faceboo k atau twitter)memberikan sumbangsih sebesar 33,9% dalam menjelaskan self

regulated learning pada siswa SMAK Gracia Surabaya.

SARAN

Saran peneliti terhadap peneliti selanjutnya, diharapkan agar menambahkan metode

kualitatif karena dianggap mampu mengungkap adiksi jejaring sosial lebih mendalam pada

subjek. Bagi pemilik akun jejaring sosial, baik facebook maupun twitter hendaknya memiliki

(20)

tidak muncul adiksi yang dapat merugikan diri sendiri. Bagi siswa, memiliki strategi belajar

dan target dalam sekolah diperlukan, dengan mencatat dan mengulang kembali dirumah

materi yang diberikan disekolah merupakan ciri dari adanya self regulated learning. Bagi

SMAK Gracia Surabaya, perlu adanya pengawasaan terhadap penggunaan internet terutama

jejaring sosial disekolah. Adanya wi-fi yang diaktifkan, hendaknya dapat dibatasi, seperti

menutup akses untuk mengaktifkan jejaring sosial diwaktu jam pelajaran berlangsung

DAFTAR PUSTAKA

Afianti, R. (2010). Hubungan Antara Self regulated learning (SRL) dengan Kemandirian pada Siswa Program Akselerasi SMA 1 Purworejo. Thesis. Tidak Diterbitkan.Universitas Diponegoro.

Agung, M.L. (2010). Facebook, Twitter, Plurk, dalam Satu Genggaman. Yogyakarta: CV. Andi.

Akhmadi, A. (2008). Menumbuhkan Self regulated learning Siswa (Pendalaman Materi “Bimbingan Belajar” Diklat Guru Bimbingan Konseling). Jurnal Pendidikan, 6 (1), 1-9. Diakses tanggal 11/01/2013

Aleman, A. & Wartman, K. (2009). Online Social Networking on Campus: Understanding What Matters in Student Culture. Taylor & Francis Press.

Alsa, A. (2007). Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Alsa, A. & Komalasari, A. (2005). Self regulated learning pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran yang Menggunakan Tipe Pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dan SKS (Satuan Kredit Semester). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Andina, E. (2010). Studi Dampak Negatif Facebook Terhadap Remaja Indonesia. Jurnal Aspirasi, 1, (1), 119-146. Diakses tanggal 11/01/2013.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

______. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(21)

Cheng, C.K.E. (2011). The Role of Self - regulated Learning in Enhancing Learning Performance. Journal Volume 6(1), March. The International Journal of Research and Review The Hong Kong Institute of Education, Hong Kong

Dirgayuza, S. (2009). Panduan Praktis Mengoptimalkan Facebook. Media Kita : Jakarta

Elia, H. (2009). Kecanduan berinternet dan prinsip prinsip untuk menolong pecandu internet. Jurnal Veritas,10,(2), 285-299. Diakses tanggal 10/04/2013.

Firman, M. (2011). Berkat Facebook Ibu dan Anak Bertemu Kembali. Diakses melalui http://teknologi.news.viva.co.id tanggal 24/08/2013 12.37 WIB

Ghozali, I. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Ginanjar, D. Slamet, C. & Gunadhi, E. (2012). Perancangan Web Jejaring Sosial Penelusuran Alumni Sekolah Tinggi Teknologi Garut. Jurnal Algoritma, 09,(11), 1-6. Diakses 23/7/2013.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.

Hijrianti, U.R. (2012). Hubungan Antara Regulasi Diri dalam Belajar dengan Prestasi Belajar Siswa SMP ( Studi Pada SMP Negeri 4 Malang). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Psikologi FISIP Universitas Brawijaya.

Hurlock, E.B., (1999). Psikologi Perkembangan, Suatu Rentang Kehidupan (Terjemahan : Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Erlangga.

Hutahaean, H. (2012). Pengaruh Penggunaan Twitter Terhadap Efektivitas Komunikasi Mahasiswa. Jurnal Pendidikan,26,37-52. Diakses tanggal 15/02/2013.

Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga

Jatmiko, D.F. (2012). Dampak Negatif Jejaring Sosial (Facebook dan Twitter) pada Mahasiswa. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Brawijaya Malang

Juditha, C. (2011). Hubungan Penggunaan Situs Jejaring SosialFacebookTerhadap Perilaki Remajadi Kota Makassar.Jurnal Penelitian IPTEKKOM, 13,(1), 1-21.Diakses tanggal 21/03/2013.

Kartini, R. (2010). Hubungan antara kemampuan self regulated learning dengan kecenderungan perilaku mencontek siswa. ( studi deskriptif siswa kelas IX SMP negeri 10 Bandung tahun ajaran 2010/2011). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Pendidikan Indonesia.

Kiralla, L. (2005). Internet Addiction Disorder: A descriptive Study of College Counselors in Four-Year Institutions. California: ProQuest Information and Learning Company

(22)

Media Sosial Online (Facebook) sebagai Saluran Self Disclosure Remaja Putri di Surabaya). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.

Linska, K. (1994). Drugs And Human Body with Implication for Society. Ipen Sadde River, New Jersey : Prentice Hall.

Listiyono, E. (2013). Pengaruh jejaring sosial bagi dunia remaja. Diakses melalui http://bencerdas.web.id tanggal 24/08/2013 11.23 WIB

Latipah, E. (2010). Strategi Self regulated learning dan Prestasi Belajar: Kajian Meta Analisis. Jurnal Psikologi, 37,(1), 110-128. Diakses tanggal 21/02/2013.

Lin, C. & Atkin, D.(2002). Communication Technology and Society. Cresskill, NJ : Hampton Press.

Milanie, D. (2010). Motif Mahasiswa Surabaya dalam Menggunakan Situs Twitter di Internet (Studi Deskriptif Motif mahasiswa Surabaya Dalam Menggunakan Situs Twitter di Internet).Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.

Monks, F.J., A.M.P. Knoers dan Siti R.(1998). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mursyidawati, A. Siswati. Widodo, P.R. (2010). Hubungan Antara Regulasi Diri Dalam Belajar Dengan Perilaku Mencari Bantuan Akademik Dalam Pelajaran Matematika Pada Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Di Kota Semarang. Jurnal Pendidikan, 2,(1), 1-17. Diakses tanggal 11/01/2013.

Muslim, E. (2009). Market research. Diakses melalui http://staff.ui.ac.id. Diakses tanggal 12/03/2013

Mustofa, D.Z. (2013). Kecanduan Facebook, Fenomena Lain Jejaring Sosial. Diakses melalui http://www.merdeka.com tanggal 24/08/2013 12.01 WIB

Nasution, A. (2012). 15 jejaring sosial terpopuler dan 6 situs jejaring sosial terkenal lainnya. Diakses melalui http://albadrln.wordpress.com tanggal 18/01/2013.

Papalia D. E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human development (9th edition). New York: Mc Graw Hill.

Pratiwi, A. (2009). Hubungan Antara Kecemasan Akademis dengan Self regulated learning pada Siswa Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMA Negeri 3 Surakarta. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Pop Survey . (2012). Terbesar Kedua di Dunia: Pertumbuhan Pengguna Jejaring Sosial Indonesia. Diakses melalui http://www.popsurvey.net tanggal 24/08/2013 12.12 WIB

(23)

Riduwan. (2009). Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alphabets.

Rosdaniar. (2008). Hubungan Antara Kesepian dengan Kecanduan Internet (Internet Addiction Disorder) Pada Mahasiswa. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Studi Psikologi FPSB UII.

Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan.Jakarta: Penerbit Erlangga.

Samosir, F. (2008). Attachment style pada mantan pengguna narkoba yang sedang berada di pusat rehabilitasi. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Satria. (2012). Pengertian penelitian eksplanatori menurut para ahli diakses melalui http://id.shvoong.com/ tanggal 14/04/2013.

Sekaran, U. (2003). Research Methods for Business : A Skill Building Approach 2nd Edition.. . New York : John Willey and Son

Sekolah123 . (2011). Jejaring Sosial : Lawan atau Kawan Bagi Remaja?. Diakses melalui http://sekolah123.com tanggal 25/08/2013, 10.23 WIB

Sonia, V. (2009). Perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Psikologi Universitas Sumatra Utara.

Sugandi. (2013). Kejahatan via Facebook, Melibatkan Sindikat Internasional. Diakses melalui http://rri.co.id tanggal 24/08/2013 11.58 WIB

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2012). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Supratiwi, F. (2012). Pengguna Facebook di Indonesia Tertinggi Ketiga Dunia. Diakses melalui http://www.antaranews.com tanggal 24/08/2013 11.45 WIB

Usman, A. (2010), Remaja Indonesia Rawan Terjangkit Kecanduan Jejaring Sosial. Diakses melalui http://m.tribunnews.com tanggal 24/08/2013 12.43 WIB

Yoseptian. (2012). Kebutuhan Afiliasi dan Keterbukaan Diri pada Remaja Pengguna Facebook. Jurnal Psikologi, 12,(2), 1-10.Diakses tanggal 17/01/2013.

Young, K. S. (1996). Caught in The Net. New York : John Willey & Sons.

Young, K. S & Suler, J. (1998). Intervention for Pathological and Deviant Behavior Within an Online Community.

(24)

Wahjuningtyas, R. (2012). Pengaruh Siswa Terhadap Hubungan dan Self regulated learningdengan Kedisiplinan Siswa. Thesis. Tidak Diterbitkan. Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

Widiana, H.S, Retnowati, S. & Hidayat, R. (2004). Kontrol diri dan kecenderungan kecaduan internet. Humanitas : Indonesian Psychologycal, 1,(1), 6-16.Diakses tanggal 26/7/2013

Widyanto, L.& McMurran, M. (2004). The Psychomatric Properties of the Internet Addiction Test. CyberPsychology & Behavior, 7,( 4), 1-8.

Winne, P.H. (1997). Experimenting to Bootstrap Self-Regulated Learning. Journalof Educational Psychology. 89,(3), 397-410.

Zulkifli L. (2003). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Gambar

Tabel 1. Kategori Skala Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter) dan Skala Self regulated learning
Tabel 2. Uji Asumsi Variabel Kecenderungan Adiksi Jejaring Sosial (Facebook atau Twitter (X) dan Self regulated learning (Y)
Tabel 5. Nilai a, b, dan Persamaan Regresi Linier
Tabel 6. Uji t

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan data dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan, “tingkat kesukakaran, daya beda dan fungsi distraktor soal ujian semester kelas VII SMP Fatih

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa guru kurang maksimal dalam menjelaskan kembali semua materi yang diberikan, siswa kurang memperhatikan dan menanggapi

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan para siswi pengetahuan tentang menstruasi dengan upaya penanganan dismenorea, serta meningkatkan kemampuan

Pada proses pengolahan pangan terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan, diantaranya adalah: (1) Cara penanganan bahan mentah yang tidak sesuai/tepat,

Agar Win akan mengulangi prosedur pelemparan koin lebih dari tiga kali maka pada lemparan yang ketiga masih terdapat sedikitnya satu koin yang muncul dengan sisinya bukan angka.

Intervensi yang dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki bersihan jalan napas yaitu: mengkaji frekuensi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam artikel ini adalah “ Bagaimanakah proses penalaran statistis siswa SMA dengan kemampuan