31
A. Peranan Orang Tua/Wali Dalam Melaksanakan Pengurusan Harta Anak Dibawah Umur Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang
mencintai.44Perwalian secara etimologi atau bahasa, memiliki beberapa arti,
diantaranya adalah kata perwalian berasal dari katawali, dan jamak dari awliya.Kata
ini berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam
literatur fiqih perwalian disebut denganal-walayah(orang yang mengurus atau yang
mengusai sesuatu), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan
ad-dilalah.Secara etimologis, perwalian memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta
(al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan atau
otoritasseperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai
kekuasaan.Hakikat dari al-walayah adalah tawalliy al-amr, (mengurus atau
menguasai sesuatu).45
Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan
perlindungan, jadi arti dari perwalian menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang
diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau
44 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984), hlm. 1960
barang, dimana orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.46 Untuk memperjelas tentang pengertian perwalian, maka penulis memaparkan beberapa arti
antara lain:
a. Perwalian yang berasal dari kata wali mempunyai arti “orang lain selaku
pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum
dewasa atau belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.”47
b. Dalam kamus praktis, “wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat)
diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa
atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (yaitu orang yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).”48
c. Amin Suma mengatakan “perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki)
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus
bergantung (terikat) atas izin orang lain.49
d. Sayyid sabiq mengatakan, “wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya
menurut beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah
yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.”50
46Soemiyati, Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 41
47 Soedaryo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW,
Hukum Islam Dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 60
48Hartono,Kamus Praktis Bahasa Indonesia,(Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 176 49Muhammad Amin Suma,Op. Cit., hlm. 134.
e. Ali Afandi menyatakan bahwa perwalian adalah “pengawasan pribadi dan
pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak
itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, jadi dengan demikian anak yang
orang tuanya telah bercerai atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal
dunia, ia berada dibawah perwalian.”51
Pada intinya perwalian adalah pengawasan atas orang sebagaimana di atur
dalam undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa
(pupil).52 Demikian juga dengan penguasaan dan perlindungan terhadap seseorang sebagai wali, orang tersebut mempunyai hubungan hukum dengan orang yang
dikuasai dan dilindungi, anak-anaknya atau orang lain selain orang tua yang telah
disahkan oleh hukum untuk bertindak sebagai wali,oleh karena itu perwalian tersebut
adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Orang tua membacakan syahadat ketika anaknya baru lahir, menamainya
dengan nama baik, menyunatkannya apabila anaknya laki-laki dan mengajarkan
membaca al-qur’an secara benar. Orang tua mendidik anaknya supaya berbakti
kepada keluarga dan masyarakat, membetulkan apabila ia melakukan kesalahan serta
menasihati dan memberinya contoh yang baik. Syariat menegaskan supaya anak
51Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,(Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 156
menghormati dan mematuhi orang tua serta orang yang lebih tua darinya, dan
membantu mereka.53
Mengasuh dan merawat anak hukumnya wajib, sama seperti wajibnya orang
tua memberikan nafkah yang layak kepadanya dimana semua ini harus dilaksanakan
demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak. Islam dalam hubungannya
dengan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan perawatan, menuntut agar
setiap orang yang berkewajiban memenuhi tugas ini agar melakukannya dengan
ikhlas serta sepenuh hati.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak adalah orang yang belum genap
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum
mampu untuk berdiri sendiri.54Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak
diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan.Dalam hal
kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut, maka pengadilan
agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya.
Menurut ketentuan hukum syari’ah, ada beberapapersyaratan yang harus
dipenuhi agar seseorangdapat dijadikan wali bagi anak-anak yang belumatau tidak
cakap bertindak secara hukum. Syaratyang dimaksud di antaranya adalah
1. Orang yang telah cukup umur dan berakalserta cakap bertindak hukum.
53 Ismail R. Al-Faruqi, Altar Budaya Islam, Menjelajah Kazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 185
2. Agama wali harus sama dengan agamaanaknya.
3. Memiliki sifat adil
4. Mempunyai kemauan untuk bertindak dan memelihara amanah.
Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang mengatur tentang perwalian dapat disimpulkan bahwa perwalian didefinisikan
sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau
atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan
perbuatan hukum. Sementara itu, perwalian dalam pengertian fiqh Islam terbagi tiga,
yakni perwalian jiwa (diri pribadi), perwalian harta, dan perwalian jiwa dan harta.
Pada umumnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam hukum
syari’at diatur adalah ibu yang memelihara anaknya ketika bercerai dan jika ibu sudah
tidak ada, diserahkan kepada pemelihara yang lebih dekat dengan urutan sebagai
berikut:
a. Ibunya ibu (nenek dari ibu)
b. Ibunya ayah (nenek dari ayah)
c. Ibunya nenek
d. Seterusnya dengan mendahulukan perempuan baru laki-laki (kalau sudah tidak
ada yang perempuan) seperti bibi.55
Menurut hukum syari’at orang-orang yang berhak ditunjuk menjadi wali anak
dibawah umur terdiri dari:
a. Jika anak tersebut sudah dapat memilih atau sudah tidak lagi membutuhkan
pelayanan perempuan, maka orang yang ditunjuk menjadi wali untuknya diambil
dari keluarganya sesuai dengan urutan tertib hukum waris, yaitu siapa yang
berhak mendapat warisan terlebih dahulu.
b. Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqih berpendapat bahwa
kerabat ibu lebih didahulukan dari kerabat ayah dan urutannya sebagai berikut:
1) Nenek dari pihak ibu 2) Kakek dari pihak ibu
3) Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut 4) Saudara perempuan se ibu
5) Saudara perempuan se ayah 6) Kemenakan perempuan sekandung 7) Kemenakan perempuan ibu se ibu 8) Saudara perempuan ibu sekandung 9) Saudara perempuan ibu se ibu 10) Saudara perempuan ibu se ayah 11) Kemenakan perempuan ibu se ayah
12) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung 13) Anak perempuan saudara laki-laki se ibu 14) Anak perempuan saudara laki-laki se ayah 15) Bibi dari ibu sekandung
16) Bibi dari ibu se ibu 17) Bibi dari ibu se ayah
Urutan perwalian tersebut merupakan urutan-urutan yang dapat ditunjuk oleh
hakim pengadilan agama untuk menjadi wali bagi seorang anak, apabila ternyata
orang tua si anak sebelum meninggal tidak menunjuk wali untuk anaknya.Penunjukan
tersebut diambil dari salah seorang diantara mereka mulai dari kerabat terdekat
menurut garis keturunannya.56
B. Perwalian Pengurusan Diri Dan Harta Anak Dalam Ketentuan Hukum Islam Dan KUH Perdata Dalam Rangka Melindung Hak Anak
Perwalian diatur dalam ketentuan hukum Islam dan KUH Perdata.Islam
masuk ke wilayah nusantara terjadi pada kepemimpinan dinasti ummayah, dimana
pada zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai daerah terkenal akan hasil
rempah-rempahnya, sehingga banyak sekali para pedagang dan saudagar dari seluruh dunia
datang ke kepulauan Indonesia untuk berdagang. Hal tersebut juga menarik pedagang
asal Arab, Gujarat, dan Persia, sambil berdagang para pedagang muslim sembari
berdakwah untuk mengenalkan ajaran Islam kepada para penduduk.KUHPerdata
berlaku di Indonesia pada 1Mei 1848 sampai saat ini KUHPerdata ini masih belaku
menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan
yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945.
Berlakunya KUHPerdata ini berdasarkan asas konkordansi ataun asas keselarasan,
yakni asas persamaan berlakunya hukum yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal
131 ayat (2) IS.
Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus
kepentingan diri sianak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan
dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang
merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi
tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah
dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah
perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa
perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.57
Hukum Islamdan KUH Perdata mengenal berbagai jenis atau macam
perwalian. Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok, dimana
paraulama mengelompokan perwalian sebagai berikut:
1. Perwalian terhadap jiwa(al-walayah ‘alan-nafs).
2. Perwalian terhadap harta(al-walayah ‘alal-mal).
3. Perwalian terhadap jiwa dan harta(al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma‘an).
Dedi Junaedi mengelompokkan perwalian dibagi kedalam dua kategoriyaitu
sebagai berikut:
a. Perwalian umum biasanya mencakup kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) sepertiwaliyul amri (dalam arti gubernur) dan sebagainya, sedangkan perwalian khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak yatim.58
b. Perwalian khusus yaitu meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebutdan perwalian terhadap harta bendanya.
Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang yang menerima wasiat
untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan
banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah
dan kakek.Perwalian ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang
menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya.59Oleh karena itu, dasar diadakannya perwalian adalah karena agar tidak terjadi kekosongan(vacuum), karena
57Ibid., hlm. 104-105
58Dedi Junaedi,Bimbingan Perkawinan,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hlm. 104 59Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
kekosongan orang tua telah dicabut terhadap anak atau anak-anak yang masih
membutuhkannya.
Landasan hukum perwalian menurut syari’at dimana dalam menetapkan
hukum dan ketentuan mengenai perwalian, merujuk kepada al-qur’an mengenai
pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak
yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya. Allah berfirman:
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”60
Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang
telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya, dimana dalam ayat tersebut secara
jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai
mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa).Artinya jika anak-anak yatim
tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan
dipelihara oleh walinya. Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut,
baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan
terhadap harta mereka dan allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi
wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut.
Selain dalam konteks al-qur’an dan hadist sebagai landasan ketentuan
mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum, landasan tersebut juga telah
diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap perwalian
tersebut, diatur dalam bab mengenai perwalian. Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan
bahwa:
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Dalam sistem hukum Islam, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan
untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang diperwalikan, termasuk dalam
pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 110 KHI, yaitu:
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.
Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan bahwa:
(2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut.
(3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memuat
ketentuan mengenai larangan bagi wali, dimana didalam melaksanakan perwalian
wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan
perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa. Ketentuan tersebut
di atas menjadi landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan
wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau memelihara baik jiwa dan harta
anak yatim.
Menurut KUH Perdata, perwalian terhadap anak, dilakukan baik itu secara
orang-perorangan maupun yayasan dan lembaga lainnya, ini merupakan akibat dari
adanya kebutuhan yang mengkehendaki adanya perwalian yang ditunjuk oleh
pengadilan maupun yang dengan sendirinya dapat terjadi berdasarkan ketentuan
hukumnya.Ketentuan hukum perdata mengenai perwalian diatur dalam Pasal 331
sampai dengan Pasal 418 KUH Perdata.Sedangkan arti dari perwalian itu sendiri
menurut hukum perdata adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurus harta
kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua.Dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau
bawah perwalian.Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orang tua,
maka anak tersebut selalu di bawah perwalian.
Ada tiga jenis perwalian yang diatur dalam ketentuan hukum perdata yaitu
sebagai berikut:
1) Perwalian menurut undang-undang yang diatur dalam Pasal 345 KUH Perdata
dimana jika salah satu orang tua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum,
dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa.
2) Perwalian dengan wasiat yang diatur dalam Pasal 355 KUH Perdata dimana
setiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak
mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia
meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim.
3) Perwalian yang diangkat oleh hakim yang diatur dalam Pasal 359 KUH Perdata,
dimana dalam hal tidak ada wali menurut undang-undang atau wali dengan
wasiat, oleh hakim dapat ditetapkan atau diangkat seorang wali dari Balai Harta
Peninggalan (BHP), baik sebelum maupun sesudah pengangkatan itu dapat
melakukan tindakan-tindakan seperlunya guna mengurus diri dan harta kekayaan
anak yang belum dewasa sampai perwalian itu mulai berlaku.
Menurut Pasal 331 KUH Perdata, dalam setiap perwalian hanya ada seorang
wali, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 351 dan 361 KUH Perdata. Dengan kata
lain kedudukan dan wewenang perwalian tidak dapat dibagi-bagi dan harus
diserahkan kepada satu wali. Asas tidak dapat dibagi-bagi ini mempunyai
a) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka
kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta.61
b) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang orang
yang belum dewasa di luar negeri.62
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa landasan hukum tentang
perwalian dalam hukum perdata terdapat dalam Pasal 330 KUH Perdata. Secara
umum, dalam KUH Perdata terdapat beberapa asas mengenai perwalian, yaitu:
1. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) dimana pada tiap-tiap perwalian
hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam Pasal 331 KUH Perdata. Asas tak
dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu dalam Pasal
351 KUH Perdata disebutkan bahwa jika perwalian itu dilakukan oleh ibu
sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia
kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta. Pasal 361 KUH
Perdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan
(bewindvoerder)yang mengurus barang-barangminderjarigediluar Indonesia
2. Asas persetujuan dari keluarga dimana asas persetujuan keluarga merupakan asas
dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika keluarga
tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak
keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut
berdasarkan Pasal 524 KUH Perdata. Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang
61Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
perwalian bagi seorang perempun, dimana dalam pasal tersebut dikatakan
mengenai wewenang wali “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian
tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak
memberika izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan
dengan kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332
b ayat 2 KUH Perdata “apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau
apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun
apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari
hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau
tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan
dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau
tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”
Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUH Perdata juga mengatur
tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam Pasal 355 ayat 2 KUH
Perdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali, tetapi
berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan
hukum harus diperintahkan oleh pengadilan.” Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 365 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan bahwa “dalam hal sebuah badan hukum
diserahi perwalian maka panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia
memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan perwalian dan
kewajibannya sebagai wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya
sebagai wali.
Selain itu, Pasal 379 KUH Perdata mengatur tentang golongan orang yang
tidak boleh menjadi wali, yaitu:
(1) Mereka yang sakit ingatan(krankzninngen). (2) Mereka yang belum dewasa(minderjarigen). (3) Mereka yang berada dibawah pengampuan.
(4) Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atau penetapan pengadilan
(5) Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti, bendahara, juru buku dan agen Balai Harta Peninggalan (BHP), kecuali terhadap anak-anak atau anak tiri mereka sendiri.
Tujuan perwalian pada dasanya menempatkan seorang anak yang belum
dewasa dibawah perwalian dimana semua kepentingan dari sianak tersebut menjadi
tanggung jawab wali, dimana walibertindak sama seperti orang tua sianak yang masih
dibawah umur sewaktu menjalankan kekuasaan siwali, dengan adanya hak perwalian
ini meberikan suatu gambaran bahwa setiapmanusia tidak dapat melaksanakan
haknya secara individual, yang disebabkanketergantungan dari sifat dan sistem dalam
pergaulan sehari-hari jadi anak yangbelum dewasa tidak dapat menentukan sifat yang
baik dan yang buruk, penjagaandiri, harta dan lainya.Oleh karena itulah diperlukan
adanya hak perwalian pada diri seseorang yangtujuannya agar diri dan harta sianak
dapat terjaga dan terpelihara sebagaimana yangtelah diamanatkan oleh
undang-undang.
Sebagaimana diketahui bahwa setiaptindakan hukum itu mempunyai tujuan
dan harta seseorang dari orang orang yangtidak bertanggung jawab.Oleh sebab itu
masalah perwalian ini mempunyai tujuanyang baik yakni tujuan yang bernilai ibadah
dan merupakan bagian dari ajaran agamaIslam.Ada dua tujuan perwalian yakni tujuan
perwalian dalam hal perkawinan dantujuan perwalian dalam anak dibawah
umur.Tujuan perwalian terhadap anak dibawah umur adalah sebagai berikut:
(1) Wali sebagai pemegang kontrol bagi anak maupun bagi orang yang
beradadibawah perwaliannya apabila ingin melakukan suatu tindakan hukum.
(2) Wali bertindak sebagai pengayom, dalam arti bahwa wali itu selalu menjaga,baik
itu menjaga harta maupun jiwa dari hal hal yang tidak diinginkan
sepertimenggunakan hartanya dari hal hal yang dilarang oleh agama dan juga
dari hal-hal yang membahayakan jiwanya atas orang yang berada
dibawahperwaliannya itu.
(3) Adanya wali juga dapat mengurangi beban seseorang terhadap anak danhartanya,
apabila orang tersebut sudah meninggal dunia.maka dengan adanyawali tersebut
anak dan hartanya akan terselamatkan.
(4) Menambah hubungan silaturahmi yang kuat terhadap orang orang
yangmengadakan wala’ al mu’awallah perwalian karena pernyataan antara
duaorang untuk saling mewarisi dan saling membantu dalam berbagai kesulitan.
(5) Menciptakan lapangan kerja dalam hal wali anak yatim, dengan adanya
waliyatim tersebut dapat menciptakan lapangan kerja bagi para wali yangmiskin,
dengan demikian maka para wali yatim itu tidak ada halangan
keperluanhidupnya sehari hari, hal ini diperbolehkan jika ia terhalang berusaha
yanglain karena mengurus harta anak yatim tersebut yang dipeliharanya itu.63 (6) Perwalian terhadap diri seorang anak dilaksanakan untuk mejagakesejahteraan
anak itu sendiri, untuk mengawasi hal yang berhubungan dengandirinya dan
segala macam kesejahteraan yang belum dapat diperolehnya sendiri.Dalam
hukum syari’at mengenai perwalian ditegaskan kepada mereka yang diperkirakan
untukmembahagiakan sikecil itu, dan untuk ditetapkan syarat-syarat
tertentu,sehingga dengan demikian para wali dapat menjamin kemampuanya
untukmengurus kesejahteraan anak tersebut dan juga segala urusan
yangberhubungan dengan usaha memelihara anak,menjaga dan merawatnya.64 Menyangkut dengan mulai berlaku suatu perwalian MartimanProdjohamidjojo
mengatakan sutau perwalian itu berlaku:
(a) Sejak perwalian itu diangkat oleh hakim dan bila pengangkatan itu dilakukkannamun dalam tidak kehadirian si wali maka saat pengangkatan itudiberitahukan kepadanya maka berlangsung lah perwalian tersebut.
(b) Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu.
(c) Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim Maupun oleh salah satu orang tua dari kedua orang tuanya pada saat ia dengan bantuan atau kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim menyatakan kesanggupanya menerima pengangkatan itu.
(d) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari orang tua sianak pada saatpengangkatan itu, karena meninggalnya, memperoleh suatu kekuatan untukberlaku dan yang dianggap sebagai wali menyatakan kesanggupan menerimapengangkatan itu.
(e) Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadi peristiwa yang mengakibatkan perwalianya.
(f) Jika ditunjuk oleh seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,sebelum ia meninggal meninggal dunia dengan surat wasiat atau pesan yangdilakukan dihadapan dua orang saksi.65
Perwalian dinyatakan berakhir apabila anak yang dibawah perwalian telah
dewasa, anak tersebut meninggal dunia, wali meninggal dunia, atau dibebaskan atau
dipecat dari perwalian, dimana fungsi dari perwalian itu sendiri adalah untuk
menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi si anak yang belum
dewasa sesuai dengan harta kekayaannya serta mewakili dalam segala tindak perdata
atau sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
C. Bentuk Pertanggungjawaban Orang Tua/Wali Dalam Perwalian
Pengurusan Harta Anak Dibawah Umur Menurut Ketentuan Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak telah
mengaturbahwa wali diizinkan untuk mengelola dan mengembangkan harta benda
kekayaan anak dibawah umur untuk kepentingan anaktersebut.Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa “seorang
wali bertanggungjawab atas pengelolaan aset (harta) dan harus membayar jikadalam
pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena segaja
maupunkarena kelalaian.”66Pada awal penetapan perwalian, diperlukan upaya inventarisasi semua asset (harta) dari anak dibawah umur tersebut, dan wali wajib
mendokumentasikan semua perubahanterhadap asset tersebut.67
65Martiman Prodjohamidjojo,Hukum Perkawinan Indonesia,(Jakarta: Indonesia legal Center Publishing, 2002), hlm. 57
66Pasal 51 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Harta tersebut harus diaudit secara annual(tahunan) untuk mengetahui nilai
dari aset dari anak yang diperwalikan itu, dan untukmemastikan bahwa hartanya tetap
terjaga.Selain itu, wali dilarang menjual, mengalihkan atau menggadaikan aset
anakperwalian, kecuali dalam keadaan yang darurat (memaksa).68Wali juga dilarangmengikat, membebani atau membagi aset (harta) tersebut kecuali tindakan
tersebut akanmeningkatkan (menambah) nilai aset. Kemudian, jika dalam hal wali
terpaksa menjualharta (tanah) milik anak perwalian tersebut, maka seorang wali wajib
terlebih dahulumemperoleh izin dari pengadilan agama.Sementara proses pengalihan
asset, seorang wali diharuskan untuk mengalihkansemua harta (asset) kepada anak di
bawah perwalian ketika anak telah berusia 21 tahun,atau telah menikah.69Namun jika ditemukan adanya asset (harta) yang hilang ataudisalahgunakan oleh wali, maka
pengadilan agama dapat memutuskan perkara tersebut,didasrkan para proses
verifikasi dan inventarisir harta yang dikelola oleh wali, jikaditemukan adanya
penyalahgunaan, maka wali harus mengganti rugi terhadap kerugiantersebut.
Mengenai kaitannya dengan penjualan, penyewaan, penggadaian berupa
benda tidak bergerak yaitu sebidang tanah dan bangunan seperti dalam penelitian ini
maka untuk memberi perlindungan hukum maka selain ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata tersebut diatas, terutama
dalam hal hibah untuk anak dibawah umur dengan obyek sebidang tanah dan
bangunan hendaknya dilakukan pendaftaran peralihan hak di kantor pertanahan
68Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
setempat yang tentunya pengurusannya dilakukan oleh kekuasaan orang tuanya
sehingga setelah terbit sertifikat maka akan muncul nama anak dibawah umur
tersebut dalam sertifikat, ini dilakukan dalam rangka perlindungan hukum kepada
penerima hak yang masih dibawah umur, sehingga tidak ada pihak lain bahkan orang
tuanya sendiri atau saudaranya akan melakukan tindakan hukum terhadap harta anak
tersebut, kecuali untuk kepentingan anak menghendaki dan harus ada ketetapan atau
ijin dari pengadilan setempat.
Perwalian itu adalah sebuah lembaga yang berfungsi baik untuk kepentingan
anak, maupun untuk kepentingan masyarakat, dan harus dilakukan oleh pihak-pihak
yang telah ditunjuk untuk itu beserta dengan hubungan-hubungan pribadinya dan atau
sifat-sifatnya.70Adapun wali anak yatim adalah apabila dia miskin tidak ada halangan baginya mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar untuk keperluan
hidupnya sehari-hari. Hal itu diperbolehkan, jika ia terhalang berusaha yang lain
kerena mengurus anak yatim yang dipeliharanya itu.71
Setiap pribadi bertanggung jawab untuk menyucikan jiwa dan hartanya,
kemudian keluarganya dengan memberikan perhatian secukupnya terhadap
pendidikan anak-anak dan isterinya, baik jasmani maupun rohani.Tentunya tanggung
jawab ini mengandung konsekwensi keuangan dan pendidikan.72Menurut ilmu fiqih, kewajiban-kewajiban wali atau tugas wali ialah seperti tugas seorang orang tua yang
70Vollmar,Op. Cit., hlm. 158 71Sulaiman Rasjid,Op. Cit.hlm. 317
menjalankan kekuasaan orang tua. Pada umumnya ada dua hal yang dilakukan, yaitu
ia harus memelihara pribadi anak yang belum dewasa dan mengelola harta kekayaan
seperti para orang tua, dan seorang ayah atau nenek dapat memberikan wasiat kepada
orang lain sebagai wali anak atau walinnya sesudah ia meninggal.73
Pelaksanaan perwalian terhadap diri seorang anak untuk menjaga
kesejahteraan anak, mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan dirinya dan segala
macam yang belum dapat diperolehnya.Seperti pemeliharaan, perawatan, dan
pendidikan seorang anak yang masih di bawah umur.Perwalian terhadap diri pribadi
anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh,
memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga
mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan
hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali.
Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanyaadalah dalam bentuk
mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya
ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian,
serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya
karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.Tugas dan kewajiban
seorang wali adalah mengurus pribadi anak serta harta kekuasaan anak yang berada di
bawah perwaliannya untuk kepentingan anak itu sendiri. Selanjutnya perincian tugas
dan kewajiban seorang wali terhadap diri dan harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya dijelaskan dalam Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam:
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di Bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) undang-undang perkawinan, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.
Pasal 111 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali berkewajiban menyerahkan
seluruh harta orang yang berda di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah
mencapai umur 21 tahun atau telah kawin, jika ditemukan adanya harta yang hilang
atau disalah gunakan oleh wali, maka pengadilan agama dapat memutuskan perkara
tersebut dengan didasarkan pada proses verifikasi dan inventarisir harta yang dikelola
oleh wali, dan jika ditemukan adanya penyalahgunaan, maka wali harus mengganti
rugi terhadap kerugian tersebut.Perlindungan hukum terhadap harta anak dibawah
umur sangat dibutuhkan demi kelangsungan hidup anak kedepannya. Perlindungan
hukum tersebut dapat dilihat dari tindakan pengurusan harta kekayaan anak dibawah
umur yang harus mendapatkan izin dari pengadilan dimana terdapat hal-hal yang