• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Vis (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Vis (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis Hariyanto

Jurusann Seni dan Desain Universitas Negeri Malang hariyantosiswowihardjo@yahoo.co.id

Abstract

Art education in Indonesia is still focused on fine art The era of globalization and information technology has facilitate to spreads images and artefacts so affect people's lives, especially children and young. This article invites art educators to change the paradigm by visual culture-based art education through critical pedagogy

Para pendidik seni-budaya Indonesia pada saat ini masih disibukkan dengan pelaksanaan dua kurikulum yaitu KTSP dan Kurikulum 2013 yang masih kontroversi. Selain memikirkan masalah perubahan kurikulum, mereka juga disibukkan oleh kegiatan administrasi (RPP, LKS, PLPG/PPG, UKG, dll.) yang menyita cukup banyak waktu. Perhatian para pendidik seni-budaya untuk pengembangan kurikulum dirasa kurang karena peran pendidik dalam pengembangan kurikulum 2013 amat berkurang.

Indonesia pada saat ini sudah menjadi bagian dari MEA dan terhubung dalam ekonomi global. Salah satu andalan ekonomi abad ke-21 adalah ekonomi kreatif yang lebih berfokus pada ekonomi budaya. Lembaga pendidikan ikut berperan serta dalam menyiapkan tenaga/lulusan yang siap bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Pendidikan seni-budaya memiliki peluang besar untuk ikut andil menyiapkan lulusan yang trampil. Globalisasi ekonomi dan budaya tidak hanya akan menuntut tenaga kerja harus trampil tetapi juga harus kritis terhadap produk budaya yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk citraan dan artefak yang disebut sebagai “budaya visual”.

Tugas pendidikan seni budaya baik pendidikan menengah atau pendidikan tinggi adalah menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan kreatif serta kritis. Tenaga kerja yang trampil dan kreatif diharapkan dapat bersaing di pasaran, atau setidaknya dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Tenaga kerja yang kritis perlu disiapkan agar mereka dapat menyikapi secara bijak semua informasi dan hiburan yang terus diproduksi tanpa henti oleh berbagai media. Tenaga terdidik di bidang seni-budaya diharapkan akan mendukung terbentuknya kelas kreatif (Florida) untuk mendukung industri kreatif.

▸ Baca selengkapnya: soal seni rupa

(2)

Konsep pendidikan seni yang selama ini berorientasi pada pendidikan seni murni dan kurang memberi perhatian pada seni kriya, desain dan produk-produk budaya populer sehari-hari lainnya yang ada di sekitar kita. Sudah waktunya kurikulum pendidikan seni rupa/budaya yang masih terkesan elitis itu untuk ditinjau kembali. Para pendidik masih banyak yang berpandangan bahwa seni rupa identik dengan keindahan. Guru sekolah umum menuntut siswanya harus memiliki kemampuan menggambar manusia atau binatang. Kreatifitas harus ditunjukkan dengan kemampuan siswa untuk mencipta sesuatu dengan prinsip orisinal dan baru. Karya seni rupa adalah hasil ekspresi individual. Seni rupa tidak perlu dibebani oleh persoalan sosial-politik (seni otonom). Seni untuk seni, dan sebagainya.

Polapikir tentang pendidikan seni rupa yang masih tradisional tersebut sudah tidak memadai lagi karena perkembangan seni rupa mengalami perubahan yang cepat seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi dan budaya. Pendidikan seni rupa yang masih dipengaruhi konsep pendidikan seni progresif yang mengutamakan ekspresi individu sudah tidak relevan lagi. Berbagai wacana dan teori-teori budaya global seperti posmodernisme, poskolonialisme, feminisme, multikulturalisme, pluralisme, posindustri, poshistori, posauratik, akhir sejarah seni, dan sebagainya telah lama merembes ke dalam ruang-ruang diskusi publik dan mempengaruhi para pekerja seni rupa serta para pendidik seni rupa.

Konsep pendidikan seni rupa yang diperlukan pada saat ini adalah konsep yang dapat mengakomodasi prinsip-prinsip yang berlaku pada saat ini yaitu : pluralisme, demokratis, terbuka, kesetaraan jender, multikultural, relasional, komunikatif, toleran dan sebagainya. Konsep pendidikan seni yang tradisional dan elitis sudah ditinggalkan oleh para pendidik seni di banyak negara. Perlu adanya kajian untuk mengembangkan pendidikan seni rupa yang berorientasi pada budaya visual.

Makalah ini membahas tentang perlunya dilaksanakan pendidikan seni rupa yang berorientasi budaya visual. Sub topik dalam makalah ini adalah: Dari estetika idealis “tanpa pamrih” ke estetika populer; Perubahan Paradigma dalam Pendidikan Seni Rupa: dari DBAE ke VCAE; Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis.

Dari Estetika Idealis “Tanpa Pamrih” ke Estetika Populer

Estetika Barat klasik diawali dengan Plato yang berpandangan bahwa seni merupakan mimesis dari realitas, bukan imitasi dari tampilan ke tampilan lainnya. Realitas adalah sumber dari segala tampilan (Wiryomartono, 2001:10). Aristoteles murid Plato memiliki kesamaan pandangan tentang seni sebagai mimesis dari realitas. Perbedaan dari kedua tokoh ini adalah pada konsep realitas. Nyata bagi Aristoteles adalah faktual, sedangkan bagi Plato, nyata adalah ideal dan tunggal (Wiryomartono, 2001:19).

(3)

menurut pandangan Kant, pengalaman estetik dipahami sebagai persepsi kontemplatif yang tanpa pamrih ( disinterested ), yang menangkap objek/alam tanpa tujuan lain selain sebagai objek itu sendiri ; semacam pengalaman ketersergapan oleh keindahan, kesenangan dan sesuatu yang ‘sublim’, yang ditimbulkan oleh obyek tertentu. Oleh karena itu, seniman yang mampu mencipta karya seni orisinal dan mampu memicu pengalaman sublim itu dianggap sebagai ‘genius’(Sugiharto,2008).

Istilah pengalaman estetik dikemukakan oleh Kant ketika mempertanyakan tentang hubungan antara selera dan estetika. Kant mencoba mencari kaitan antara pengalaman estetika dan representasi yang jadi rujukannya dengan membandingkan perasaan yang didapat dengan kapasitas total objektifnya. Pengalaman estetik terbangun oleh adanya interaksi manusia dan karya dalam kerangka minat yang diberikan (Wiryomartono, 2001:30)

Estetika modern yang semula bersifat ekspresif kemudian berkembang ke arah emansipatoris. Kemudian muncul keresahan-keresahan yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan avant garde. Gerakan-gerakan-gerakan pembaharuan di barisan depan ini menimbulkan ekses positif dan negatif bagi estetika, mereka berdalih emansipatoris. Protes-protes sosial menentang sifat monodimensionalitas yang dialami masyarakat (Nurhadi, 1994)

Para filsuf setelah Kant menganggap perlu adanya pertimbangan estetik (aesthetic judgement) di mana secara tradisi para filsuf memiliki pertimbangan estetik yang setidaknya meliputi estetisisme dan normativisme. Estetisisme, pertimbangan estetik dianggap sebagai sumber nilai estetik (indah/jelek) terhadap sesuatu atau seseorang. Pertimbangan estetik pada normativisme tidak sekedar ekspresi dari preferensi subjektif, karena mereka mengklaim adanya validitas universal. Suatu pertimbangan estetik memiliki sifat untuk menjadi benar atau tidak benar. Implikasinya ketika seseorang (subjek) membuat pertimbangan estetik, ia memutuskan bahwa siapapun memiliki kapabilitas untuk membuat pertimbangan/keputusan estetik yang sepatutnya untuk berbagi pertimbangannya (Cova & Pain, 2012).

(4)

Willis (1990:22) melihat konsumsi sebagai praktik di mana seseorang mentransformasikan barang yang dibeli dari sekedar pemilikan ke dalam bagian dari kehidupannya, dan mungkin menjadi bagian dari definisi-dirinya. Konsumsi terhadap budaya populer pada tingkat keseharian sebagai bentuk pembuatan budaya, tindakan kreatif simbolik. Estetika “grounded” menyatakan bahwa budaya populer dikonsumsi pada basis kegunaan, daripada pada basis yang seharusnya melekat dan kualitas ahistoris dari sebuah teks. Konsumsi adalah proses aktif, kreatif, dan produktif berkaitan dengan kesenangan, identitas, dan produksi makna.

Shusterman (1997) berpendapat bahwa estetika pragmatis adalah sebuah projek membangun kembali kapasitas manusia pada pengalaman estetik. Ia secara mendalam dipengaruhi oleh karya Dewey Art as Experience. Ia memahami pengalaman estetik sebagai sebuah bagian integral dari kehidupan dan sebagai kemampuan manusia yang mendalam yang efeknya memperkuat kehidupan, sangat terasa, dan menghidupkan kembali. Pengalaman estetik amat penting di dalam dan dari diri sendiri sebagai pengalaman yang tinggi, penuh makna, dan fenomenologis yang berharga. Dalam setiap bentuk yang menguntungkan, pengalaman estetik akan memperkuat dan dipertahankan semakin berpengalaman.

Pendapat Shusterman berikutnya adalah penyertaan budaya populer dalam bidang seni rupa. Ia menyatakan bahwa pengalaman estetik menjadi tak tersedia seara artistik, orang belajar untuk memuaskan kebutuhannya di luar dunia seni rupa kontemporer, dan pencariannya semakin diarahkan pada seni rupa populer. Shusterman menilai ulang seni rupa dalam cara baru, seni rupa dalam pandangan ini tidak terpisah dari kehidupan nyata, tetapi berhubungan dengannya sebagai sebuah pengingat kepada kita apa yang pengalaman estetik bisa lakukan (Shusterman, 1997)

(5)

penggunaan budaya visual kita terlihat sebagai tindakan kreatif dan sebagai aktivitas dialogis. Citra dan pembuatan citra terlihat sebagai bagian dari cara untuk membangun pengalaman otentik. Peran agensi manusia berharga, agensi juga berkait dengan kreativitas, bukan kreativitas dalam mencipta seni, tetapi kreativitas dalam hubungannya dengan kehidupan kita dan orang lain. Kreasi adalah hasil dari sejenis interpretasi sosial, politik, dan budaya, yang merupakan hasil dari kreasi sebelumnya, sehingga berlanjut tanpa henti (Carter, 2008)

Perubahan Paradigma dalam Pendidikan Seni Rupa dari DBAE ke VCAE

Para pendidik seni rupa di berbagai negara (Barat) telah mulai bergeser perhatiannya dari yang menekankan pada disiplin seni murni yang tradisional menuju ke yang meluas yaitu isu-isu seni visual dan budaya. Mereka berpendapat bahwa perubahan pada pendidikan seni rupa sebagai respon terhadap perubahan kondisi dalam dunia kontemporer di mana seni visual, termasuk seni populer dan seni rupa kontemporer adalah bagian yang semakin penting dari budaya visual yang lebih luas yang mengepung dan membentuk hidup kita keseharian (Freedman &Stuhr, 2004:815-828). Perubahan pendidikan seni rupa pada saat ini lebih dari sekedar perubahan konten kurikulum dan perubahan dalam strategi pembelajaran dalam merespon kecepatan dan kemassalan distribusi citraan. Perubahan ini juga mencakup tingkatan baru penteorian seni rupa dalam pendidikan yang terkait dengan filosofi posmodern yang sedang muncul berdasarkan pada lingkungan yang sedang tumbuh dari visualisasi interkultural, intrakultural, dan transkultural.

Perubahan fokus pendidikan seni rupa pada budaya visual tidak hanya menunjuk pada perluasan jangkauan bentuk seni visual dalam kurikulum, tetapi juga dialamatkan pada isu-isu citraan dan artefak yang tidak berpusat pada bentuk semata. Ini termasuk isu-isu-isu-isu mengenai kekuatan representasi, formasi identitas budaya, fungsi produksi kreatif, makna narasi visual, refleksi kritis pada penyebaran teknologi, dan pentingnya hubungan interdisipliner.

(6)

studi pada budaya visual oleh siswa/mahasiswa. Pertama, pentingnya karakteristik identitas personal dan komunal didiskusikan dalam istilah representasi dikonstruksi dalam dan melalui budaya visual. Kedua, semakin meningkatnya interaksi dengan media terbaru, terutama teknologi visual yang dialamatkan sebagai bagian utama dari pengalaman manusia kontemporer. Ketiga, kualitas dari batas disiplin yang dapat ditembus dan pemaknaan dari pengetahuan interdisipliner untuk kompleksitas budaya visual didiskusikan. Keempat, pentingnya proses interpretasi kritis dalam pemahaman kompleksitas budaya visual yang disajikan.

Pendidikan seni rupa di banyak negara Barat telah mulai berubah dari Discipline-Based Art Education ke Visual Culture Art Education. Struktur kurikuler dari DBAE terdiri dari empat disiplin yaitu : sejarah seni rupa, kritik seni, estetika, dan produksi seni. Carter menyarankan kurikulum seni rupa berbasis pada volitional aesthetics yang tidak membatasi dirinya pada artefak-artefak yang telah diidentifikasi sebagai karya seni rupa, tetapi juga akan memasukkan citra/artefak dari seluruh budaya visual untuk menekankan peran isi, nilai, dan makna. Konteks historis, sosial, budaya dan isi dari citra/artefak akan memiliki keunggulan lebih dari kualitas bentuk. Perubahan tekanan ini tidak akan meniadakan relevansi kualitas bentuk dari citra dengan cara apapun, tetapi akan menata ulang citra itu sebagai wahana untuk pemahaman terhadap makna dan karya nilai seni rupa dalam konteks lebih luas dan historis

Sejarah seni rupa terlibat dengan makna atau konten pada waktu ia diciptakan dan juga bagaimana ia telah berubah oleh waktu. Konteks budaya/sejarah diutamakan dari kedua sisi yaitu siswa/mahasiswa dan citra yang dipelajari. Kritik seni, siswa/mahasiswa melihat lihat bagaimana konteks sosial dan historis telah mempengaruhi penggunaan unsur-unsur dan prinsip utama. Inilah cara membuat yang tidak diketahui, diketahui kepada mereka dan akrab. Estetika berhubungan dengan nilai dan makna dari citraan pada saat diciptakan dan kemungkinan bagaimana ia telah berubah oleh waktu. Ini termasuk gagasan indah dan jelek. Pengalaman estetik berhubungan dengan penggunaan dan konsumsi. Produksi seni merupakan inti dari pengalaman untuk pendidikan seni rupa berfokus budaya. Produksi seni juga merupakan bagian dari pengalaman estetik (Carter, 2008)

(7)

mempengaruhi persepsi kita pada budaya , produser, atau kita sendiri. Pemahaman kontemporer tentang budaya visual adalah proses dialogis terbuka yang terjadi pada pengamat dan objek. Proses ini terjadi apakah objek menarik itu sebuah iklan atau sebuah lukisan abstrak. Berlawanan dengan implikasi penilaian Greenberg, model kontemporer ini menmberi akses yang setara pada semua bentuk budaya visual.

Sebuah pemahaman tentang posisi budaya visual sebagai sebuah jaringan kajian yang kompleks yang mendorong batas dari salah satu disiplin, yaitu pengalaman kritis, bagaimana subjektifitas bentuk, bagaimana kesadaran dikembangkan, dan praktek melihat mengungkapkan kode mendasar, di mana produser budaya bergantung, interaksi sosial terjadi di sekitar. Budaya visual menjadi “meditasi atas kebutaan” yang menunjuk pada pemaknaan mendasar yang disodorkan oleh gambar dan artefak budaya yang sering diterjemahkan ke dalam kode sosial yang kita identifikasi hanya pada pengujian kritis bagaimana gambar dan artefak beroperasi dalam konteks yang ada.

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis

Berbagai literatur terbaru mengintegrasikan budaya visual dan berbagai aspek lainnya ke pedagogi kritis (Tavin, 2003; Dart. 2004; Sweeney, 2006). Pedagogi kritis menempatkan partisipan pada lingkungan belajar swa-kritis, bahwa pertanyaan pada ideologi dominan dilakukan dengan merekonfigurasi siswa/pebelajar dan budaya agar beroperasi untuk membuat masyarakat lebih demokratis. Pedagogi kritis memperkenalkan prinsip interdisiplin dan transdisiplin yang lintas batas dengan maksud untuk membantu siswa/pebelajar agar menegosiasi lingkungan budaya populer. Para siswa/pebelajar didorong untuk mengkritik teks budaya populer dengan maksud untuk merekonstruksi makna keluar dari lingkungan mereka dan mengembangkan agensi kritis memperkenalkan ruang publik yang demokratis, agenda emansipatoris, imperatif etik, dan keadilan sosial.

(8)

Budaya visual yang menjadi budaya keseharian masyarakat global tidak bisa dihindari, karena budaya ini bersifat massal dan disebarkan melalui media elektronik dengan cepat secara global. Gambar atau objek/artefak memiliki kekuatannya sendiri yang tidak disadari oleh para pengamat atau penggunanya. Budaya visual seperti sinetron, animasi, game, iklan, fesyen dan sebagainya memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk mempengaruhi pikiran manusia. Pengaruh kuat dari budaya visual sangat meresahkan para orangtua dan pendidik. Seni rupa sebagai bagian dari budaya visual memiliki kekuatan untuk mengimbangi kekuatan budaya visual. Para pendidik seni rupa diharapkan dapat membantu siswa/pebelajar untuk menemukan kekuatan seni rupa. Oleh karena itu para pendidik perlu menggunakan teori pedagogi kritis (Giroux, 1992). Pedagogi kritis beroperasi pada dua asumsi dasar yaitu bahasa kritis, dan bahasa kemungkinan yang menekankan penguatan manusia (Giroux, 1992).

Budaya adalah makna simbolik yang secara interpersonal dinegosiasikan melalui wacana linguistik. Negosiasi interpersonal makna semiotik adalah sebuah cara agensi secara aktif mengkonstruksi budaya. Untuk menjembatani gap antara struktur dan agensi dalam budaya visual ini, pedagogi kritis mendorong para pendidik dan para siswa untuk bersama-sama menemukan hubungan dialektika di antara berbagai sistem personal dan sistem politik yang mempengaruhi siapa kita dan bagaimana kita hidup (Yokley, 1999).

Pendidikan seni rupa berbasis pada pembelajaran budaya visual memerlukan kurikulum baru, isi, strategi pembelajaran untuk merubah fokus dari bidang yang sempit, pendekatan konvensional ke inkuiri kritis dan kreatif dengan proses terbuka. Sebuah bahasa baru diperlukan untuk pendidikan seni rupa yang tidak semata-mata tergantung pada wacana seni rupa murni (fine art). Idealnya harus melibatkan semua wacana seni visual seperti kajian media, pendidikan desain, kritik budaya, dan antropologi visual (Freedman dan Stuhr, 2004).

(9)

visual, yang dilakukan secara mendalam yang dampaknya seperti teks tertulis. (Freedman dan Stuhr, 2004)

Para siswa dengan bimbingan pendidik jika dilibatkan untuk melakukan investigasi berbagai budaya visual, mereka secara aktif dapat menemukan makna-makna, hubungan ganda, dan memperkaya kemungkinan-kemungkinan untuk penciptaan (kreasi) dan kritik. Kelas seni rupa seharusnya dikonseptualisasikan sebagai arena multi-tugas di mana citraan (image) dan objek-objek bersilangan dan diproduksi, didiskusikan untuk mengarahkan para siswa dan pendidik melalui investigasi gagasan, isu-isu, opini-opini, dan konflik-konflik.

Membicarakan budaya visual tidak bisa kita pisahkan dengan kondisi posmodern atau kemasakinian. Posmodernisme adalah krisis yang disebabkan oleh modernisme dan budaya modern menghadapi kegagalan strategi visualnya sendiri, dengan kata lain krisis budaya visual. Budaya visual adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengkaji genealogi, definisi, dan fungsi dari kehidupan keseharian posmodern. Ketidaksambungan dan fragmentasi budaya yang kita sebut posmodernisme itu paling baik diimajinasikan dan dipahami secara visual. Budaya Barat secara konsisten telah mengistimewakan budaya tulis (kata yang diucapkan) sebagai bentuk praktek intelektual yang tertinggi dan memandang representasi visual hanya sebagai ilustrasi dari gagasan (tertulis). Kemunculan budaya visual sebagai subjek yang dipertentangkan dengan hegemoni budaya tulis (kata). Filsafat dan sains Barat sekarang menggunakan piktorial daripada teks tertulis sebagai model dunia, yang telah mendominasi diskusi intelektual seperti strukturalisme dan pos-strukturalisme yang berbasis linguistik (Mirzoeff, 1998)

(10)

Budaya visual yang bisa disebut sebagai budaya posmodern sehingga untuk menyelesaikan masalah yang akan kita pecahkan di dalam pembelajaran budaya visual harus digunakan pendekatan atau metode yang sesuai dengan posmodern. Posmodern identik dengan media baru seperti performance art, conceptual art, intermedia art, installation art, video art, feminist art dan sebagainya. Beberapa karakteristik dari seni rupa posmodern adalah brikolase, kolase, penggunaan teks atau tipografi dalam karya visual, penggunaan tema lama (nostalgia), penghilangan batas antara budaya tinggi dengan budaya populer, penggunaan parodi, apropriasi dan sebagainya. Dalam produksi atau kreasi seni rupa berbasis budaya visual Freedman dan Stuhr (2004) menyarankan dengan critical inquiry.

Budaya visual yang terus mengepung kita secara massal harus dihadapi dengan pendekatan yang kritis dan semangat perlawanan. Jika harus menggunakan istilah kreativitas maka kita bisa meminjam istilah creative resistance (Darts,2004). David Darts (2004) dalam artikelnya menyarankan kepada para pendidik seni rupa untuk menggunakan taktik kreatif seperti yang dilakukan oleh Culture Jammer. Istilah culture jamming pertama kali digunakan pada tahun1984 oleh band kolase-audio Negativeland di San Fransisco. Para perupa radikal dan agitator sosial mengadopsi isu sosial politik sebagai fokus utama mereka untuk menentang konsep dominan tentang seni rupa dan seniman, secara langsung menentang kekakuan dan superioritas hirarki dari institusi seni rupa.

Klein (2000) mendiskripsikan culture jamming sebagai sebuah penolakan terhadap interpreatsi lama pada kebebasan ekspresi dan gagasan-gagasan ruang publik yang berbasis konsumen, dan membuat pembenaran untuk mengadobsi taktik kreatif oleh culture jammer dengan mengkontekstualisasikan karya mereka dalam millieu praktek perupa kontemporer. Para culture jammer biasa melakukan subversi terhadap logo atau teks iklan dengan cara memparodikan produk budaya visual.

(11)

Simpulan

Pendidikan seni rupa berbasis disiplin (DBAE) sudah saatnya untuk diganti dengan pendidikan seni rupa berbasis budaya visual (VCAE). Untuk melaksanakan VCAE ini para pendidik seni rupa disarankan untuk merubah paradigma pendidikan seni rupa dari yang berfokus seni murni ke yang berfokus pada budaya visual. Seni murni tidak perlu dipertentangkan dengan budaya populer karena keduanya bisa menjadi bagian dari kekayaan budaya visual. Pendidik seni rupa disarankan memasukkan konteks sosial-budaya, politik, dan ekonomi dalam setiap materi pembelajaran (apresiasi dan produksi).

Praktek budaya visual tidak berbeda dengan praktek seni rupa kontemporer (posmodern) sehingga para pendidik seni rupa dapat memilih metode dan taktik, atau strategi kreatif yang biasa dilakukan oleh para perupa kontemporer. Para siswa/mahasiswa perlu dibawa keluar dari pandangan sempit seni murni yang formalistik dan tidak peduli dengan lingkungan sosial-budaya yang sedang berkembang.

Daftar Rujukan

Carter , Marry C., 2008. “Volitional Aesthetics: A Philosophy for the Use of Visual Culture in Art Education” , Study in Art Education, A Journal of Issues and Research, 49(2) 87-102.

Cova , Florian & Pain, Nicolas , 2012,  “Can Folk Aesthetics Ground Aesthetic Realism?”,

The Monist 01/2012; 95(2):241-263.

Darts, David, 2004, “Visual Culture Jam: Art, Pedagogy, and Creative Resistance” Study in Art Education, A Journal of Issues and Research, 45(4) 313-327.

Freedman, Kerry & Stuhr, Patricia, 2004, “Curriculum Change for 21st Century: Visual Culture in Art Education” dalam Eisner, E. W. & Day, M. , 2004, Hanbook of Research and Policy in Art Education, Mahwah: Lawrence Erbaum Asscociates.

Giroux, H. 1992, Border Crossing: Cultural Worker and the Politics of Art Education, New York, London : Routledge.

Klein , N. , 2000, No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies, Toronto: Vintage Canada.

(12)

Nurhadi, Toeti Heraty,1994. “Seni Populer dan Estetika” Majalah Sastra Horison, 06/XXVIII/15

Sugiharto, Bambang, 2008, ”Meninjau Ulang Seni dan Estetika Barat” dalam .blogspot.co.id./2008/06/meninjau-ulang-seni-dan-estetika-barat.html. diakses 18 Oktober 2015.

Shusterman, R.1997, “The end of Aesthetics Experience” The Journal of Aesthetics and Art Criticism 55(1Winter) 29-41.

Sweeney, Robert W. 2006, “Visual Culture of Control” Studies in Art Education ;Summer 2006, Vol. 47 Issue 4, p294

PUB. DATE

Tavin, Kevin, 2003, “Seeing and Being Seen: Teaching Visual Culture to (mostly) non-art Education Student” International Journal of Art Education, 7(2)

Willis, P. 1990, Common Culture, Buckingham,UK: Open University Press

Wiryomartono, Bagus P. 2001, Pijar-pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama.

Referensi

Dokumen terkait

tepi pantai termasuk salah satu kota yang berbentuk kipas (the fan shaped cities), sehingga kegiatan lalu-lintas pada kota seperti disebutkan di atas memiliki ciri-ciri antara lain

Praktik Pengalaman lapangan (PPL) merupakan suatu kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan materi yang

Kompetensi Inti (KI) pada Kurikulum 2013 Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai kopetensi inti kurikulum 2013 pendidikan anak usia

menggeliat macam ni…(sambil mengayakan kembali) semuanya akan menjadi lebih baik.. Orang Tua I : Sungguh

In the midst of the rapid flow of social changes due to modernization, the indigenous community of Kasepuhan Banten Kidul are still able to maintain and

PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Motivasi belajar instrinsik dan ekstrinsik siswa kelas VII.1 SMP Negeri 9 Siak Kecamatan Bungaraya Kabupaten siak pada mata pelajaran seni budaya tergolong sedang

Pada kelompok usia 13-14 tahun di Norwegia dan New Zealand, terlihat DMF-T tinggi, dengan komponen yang terbesar adalah F.Peningkatan rerata gigi yang ditumpat