Antara PKS dan Ikhwanul Muslimin
Oleh Satrio Arismunandar
Panggung politik Indonesia minggu-minggu terakhir ini kembali “dimeriahkan” dengan geger kasus korupsi, yang menimpa para elite partai politik. Setelah Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan di media massa akibat kasus korupsi Hambalang, kini giliran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkena imbas kasus suap terkait kuota daging impor.
PKS dihantam oleh isu korupsi, dengan tuduhan bahwa Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) mencoba mempengaruhi kader PKS di pemerintahan, Menteri Pertanian Suswono, untuk mengatur kuota daging impor demi perusahaan swasta tertentu. Sesudah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat, membuat LHI ditahan, para petinggi PKS lain pun mulai diperiksa. Bahkan, Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin --yang dianggap sebagai tokoh kunci di belakang setiap kebijakan strategis PKS-- juga diperiksa.
Ini suatu ironi, karena PKS menjadi besar sebagian disebabkan semangat antikorupsi yang ditserukan oleh para elite PKS dalam setiap kampanye pemilu. Dalam Pemilu 2009, ketika semua partai mengalami penurunan suara, hanya Partai Demokrat dan PKS yang memperoleh persentase kenaikan suara. PKS mendapat 57 kursi (10%) di DPR hasil Pemilu 2009, setelah memperoleh 8.206.955 suara (7,9%).
Tulisan ini tidak bermaksud membahas tuduhan suap yang membelenggu elite PKS. Kita juga masih harus menunggu proses hukum untuk sampai ke kebenaran material kasus ini. Namun, penulis hanya mencoba menggunakan kasus ini sebagai "pintu masuk," untuk membandingkan PKS dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan Ikhwanul Muslimin (IM), yang memiliki sejarah panjang --lebih dari 84 tahun sejak awal berdirinya-- dan dipandang sebagai model yang menjadi rujukan PKS, kini berhasil naik ke tampuk kekuasaan. Hal ini seiring dengan perubahan politik yang besar di dunia Arab, yang dikenal sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab).
Perbandingan ini cukup relevan karena memang banyak persamaan antara PKS dan IM. Sama-sama berideologi Islam, memiliki jaringan yang rapi dan kuat di akar bawah, serta menjadi partai kader, dengan kader-kader yang loyal dan militan. Banyak anggota biasanya berasal dari kalangan menengah ke bawah, dan dipimpin oleh kalangan profesional. Di Indonesia maupun Mesir, para penguasa yang sekuler otoriter juga merepresi kelompok-kelompok berideologi Islam. Kelompok Islam baru bisa bangkit, memanfaatkan keterbukaan era reformasi di Indonesia dan Arab Spring di Mesir.
IM saat ini mengalami "dilema kekuasaan." Ketika sudah berada di puncak dan ada kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan, IM "tergoda" untuk menggunakan cara-cara atau kebijakan yang pernah digunakan oleh rezim otoriter sebelumnya. Padahal cara-cara ini dulu ia kecam, ketika IM masih dalam status oposisi tertindas. Presiden Morsi, misalnya, dituding justru telah memperdalam kebijakan ekonomi neoliberalisme, yang ketika di era Husni Mubarak sudah menimbulkan banyak kesulitan buat rakyat.
Jadi, isu sebdenarnya bukanlah soal kubu Islam vs Sekuler-Liberal, atau Islam vs Anti-Islam (meskipun sering ditampilkan demikian secara simplistis oleh pendukung IM). Namun, dalam politik kekuasaan, banyak kepentingan elite yang harus dipelihara dan diselamatkan untuk bisa aman duduk di kekuasaan. Pelestarian kepentingan elite ini pada akhirnya berdampak merugikan rakyat kecil, dan inilah harga yang harus dibayar demi keamanan kekuasaan dan kepentingan ekonomi yang terkait dengan kekuasaan itu.
Apa yang dialami PKS sekarang sedikit-banyak juga terkait dengan pelestarian kepentingan elite. Untuk bersikap fair terhadap PKS, harus diakui bahwa di kalangan internal sendiri sebenarnya sudah banyak kader senior, yang memberi peringatan pada elite PKS yang berkuasa sekarang, agar tetap berjalan di rel yang lurus. Jangan terjebak ke pragmatisme sesaat, yang cenderung mengendorkan dan mentoleransi "penyimpangan kecil-kecilan" demi untuk "membesarkan partai."
Sayangnya, seruan, imbauan, masukan, dan nasehat seperti itu sudah dianggap sekadar angin lalu. Godaan untuk memelihara kepentingan elite terlalu besar untuk ditolak. Maka, PKS secara institusi kini harus menelan buah busuk dari benih pragmatisme yang ditanam oleh para elitenya sendiri.
Depok, Mei 2013
*Artikel ini ditulis untuk dan sudah dimuat di Majalah Aktual.
Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (1995-97),
anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.
Kontak Satrio Arismunandar: