47 5.1 Simpulan
Berdasarkan analisa hasil yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya, secara keseluruhan, hanya faktor conflict properties pada persepsi konflik interparental yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan menikah. Pada tingkat dimensi, ditemukan bahwa conflict properties pada variabel persepsi mengenai konflik interparental dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah memiliki hubungan positif yang signifikan dan dimensi self-blame pada persepsi mengenai konflik interparental dengan dimensi minat dan pemanfaatan waktu luang pada kesiapan menikah yang memiliki hubungan negatif yang signifikan.
5.2 Diskusi
Secara keseluruhan, terdapat hubungan positif yang signifikan antara conflict properties pada persepsi mengenai konflik interparental dengan kesiapan menikah. Menurut Laursen dan Collins(1994, dalam Ross, 2007) hal ini dapat terjadi dikarenakan konflik interparental tidak mempengaruhi manajemen konflik pada individu yang menyaksikannya, lebih khususnya manajemen konflik individu dengan teman dekat dan pasangan dengan menggunakan negosiasi dan kompromi, sehingga bila terjadinya perbedaan pendapat antara individu dengan pasangannya mengenai aspek-aspek kesiapan menikah, individu dapat menyelesaikan dengan negosiasi dan kompromi. Panjangnya proses hubungan antara conflict properties dengan kesiapan menikah, menandakan lemahnya hubungan antara keduanya.
Secara keseluruhan, faktor self-blame pada persepsi mengenai konflik interparental tidak berhubungan dengan kesiapan menikah. Hal ini dikarenakan partisipan yang diteliti berada pada tahap dewasa awal, sedangkan terbukti dalam penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa individu yang tergolong muda atau masih pada masa anak-anak lebih cenderung menyalahkan dirinya atas konflik yang terjadi pada orangtuanya dibandingkan anak-anak yang sudah lebih tua seperti remaja atau dewasa (Grych & Fincham, 1990). Hal ini kemungkinan adanya perubahan-perubahan perkembangan dalam kapasitas kognitif dan pengalaman-pengalaman
individu yang mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan konflik
interparental, seberapa besar mereka merasa terancam akan konflik yang muncul, dan kemampuan mereka menghadapi konflik interparental yang disaksikan (Moura, Santos, Rocha, & Matos, 2010). Jadi, dapat disimpulkan walaupun adanya konflik interparental, namun tidak adanya atau rendahnya skor individu pada self-blame, kesiapan menikah dapat tetap meningkat.
Dari tiga faktor persepsi mengenai konflik interparental, teradapat satu faktor yang belum ditemukan hubungan yang signifikan dengan kesiapan menikah yaitu, faktor threat. Individu yang menyaksikan konflik interparental kadang dapat merasa ikut terancam dengan adanya konflik tersebut dan tidak mengetahui cara menghadapi perasaan terancam tersebut dengan baik. Individu yang merasa terancam dengan adanya konflik interparental, tidak menutup kemungkinan tetap memiliki hubungan baik dengan orangtuanya, dan tidak juga menutup kemungkinan konflik orangtuanya tidak terselesaikan dengan baik. Bila individu yang merasa terancam tetap berhubungan baik dengan orangtuanya, dan orangtua yang bertengkar dapat menyelesaikan masalah dengan baik, hal ini tidak akan berdampak negatif kepada individu dan keluarganya tetap harmonis (McCoy, Cummings, & Davies, 2009).
Penelitian ini ingin melihat ada atau tidaknya hubungan antara persepsi mengenai konflik interparental dengan kesiapan menikah pada individu dewasa awal. Kesiapan indvidu dalam menjalani peran-peran barunya yang merupakan gabungan dari evaluasi individu terhadap diri individu sendiri, pasangan individu, serta hubungan individu tersebut dengan pasangannya dalam menjalani peran-peran baru sebagai suami/istri (Wiryasti, 2004). Evaluasi yang individu lakukan merupakan evaluasi cara individu dengan pasangan mencapai kesepakatan mengenai aspek-aspek kesiapan menikah. Konflik sendiri muncul saat motif-motif, tujuan-tujuan, keyakinan-keyakinan, pendapat-pendapat atau perilaku-perilaku seseorang bersinggungan atau tidak sesuai dengan orang lain (Miller, Perlman, & Brehm, 2007) maka, bila adanya
ketidaksepakatan antara individu dan pasangan dapat kita sebutkan juga sebagai konflik. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menemukan semakin tingginya frekuensi, intensitas, dan terulangnya konflik interparental tanpa adanya resolusi atau penyelesaian pada konflik interparental yang dipersepsikan, dan persepsi bahwa dirinya harus memihak salah satu di antara kedua orangtuanya, semakin
tinggi pula kesepakatan individu dengan pasangannya mengenai aspek-aspek yang ada pada kesiapan menikah.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa individu yang sering menyaksikan orangtuanya berkonflik, kemungkinan besar memiliki konflik yang tinggi pula dengan pasangannya (Amato & Sobolewski, 2001), sedangkan pada hasil yang ditemukan, semakin
seringnya individu menyaksikan orangtua berkonflik, semakin tinggi pula kesepakatan antara pasangan. Hal ini juga kemungkinan dikarenakan partisipan pada penelitian ini berada pada tahap perkembangan dewasa awal yang merupakan tahap-tahap seorang individu mulai berubah, mengeksplorasi dan belajar menjadi individu yang siap untuk menghadapi pernikahan (Arnett, 2015).
Hubungan conflict properties pada persepsi mengenai konflik interparental dengan aspek anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah menunjukkan bahwa bila semakin tingginya frekuensi, intensitas dan terulangnya konflik interparental tanpa adanya resolusi atau penyelesaian pada konflik interparental yang dipersepsikan, dan persepsi bahwa dirinya berada di tengah pertengkaran kedua orangtuanya, berarti semakin tinggi pula kesepakatan individu dengan pasangannya mengenai anak dan cara pengasuhan bila menikah di kemudian hari. Synder, Velasquez, dan Clarck (1997) menyatakan bahwa peran-peran yang orangtua individu jalani berhubungan erat dengan pemahaman individu mengenai peran-peran orangtua seharusnya. Hal ini berhubungan dengan transmisi generasi yang diturunkan melalui observational modelling (Bandura , dalam Shurts & Myers, 2012) dimana individu mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka. Pada saat orangtua memiliki konflik satu dengan lainnya, waktu mereka untuk anak-anak mereka berkurang dan mereka lebih terfokus dengan konflik yang terjadi. Hasil dari berkurangnya keterlibatan orangtua dengan anaknya menyebabkan perilaku anak menjadi agresif dan menantang, kadang sangat menantang untuk mendapatkan atensi dari orangtuanya (Buehler & Gerard, 2002). Bila dihubungkan dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah, individu yang menyaksikan orangtuanya berkonflik dan kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya memiliki kemungkinan untuk tidak mengetahui secara pasti dan bersikap negatif mengenai melakukan yang sama setelah memiliki anak nantinya yaitu kurangnya memperhatikan anak dikarenakan adanya transmisi generasi seperti
yang disebutkan Synder, dkk. (1997) sebelumnya. Hal inilah yang menunjukkan tidak sejalannya hasil penelitian yang ditemukan dengan penelitian sebelumnya.
Pada suatu penelitian, ditemukan bahwa pada individu yang memiliki skor di atas rata-rata pada faktor self-blame memiliki hubungan yang erat dengan gejala-gejala kecemasan/depresi dan agresi (Fear, et al., 2009). Penemuan lain menunjukkan bahwa individu dari keluarga bercerai kurang memiliki keinginan untuk menghabiskan waktu berdua dengan pasangannya, dikarenakan adanya kecemasan akan munculnya
pertanyaan-pertanyaan dari pasangannya mengenai keluarganya yang tidak ingin individu jawab (Fotineri, 2013). Hal ini didukung pula dengan penelitian Keeports & Pittman yang menyatakan bahwa individu dewasa awal yang terpaparkan konflik interparental berhubungan positif dengan gejala-gejala internalisasi, seperti suka menarik diri, cemas, depresi dan kesepian.
Berdasarkan gambaran umum, terdapat 80% individu dewasa awal yang masih tinggal dengan orangtua. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Cui, Wickarama, Lorenz dan Conger (2010) yang menemukan bahwa perselisihan pernikahan antara orangtua dapat memprediksi lebih cepatnya dewasa awal memasuki kohabitasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya hukum dan budaya di Indonesia yang melarang kohabitasi, serta menganggap kohabitasi sebagai hal yang tabu.
Kelebihan dari penelitian ini terletak pada Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang digunakan untuk mengukur kesiapan menikah. Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang digunakan sudah direvisi dan dieleminasi item-itemnya yang tidak valid, sehingga lebih reliabel dan valid untuk digunakan terutama pada individu dewasa awal. Children’s Perception of Interpersonal Scale yang digunakan juga sudah reliabel dan valid untuk partisipan Indonesia dengan segala suku bangsa/etnis karena sudah melewati uji reliabilitas dan validitas.
Perlu diperhatikan juga bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Pertama, kesulitan mencari partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang sudah ditentukan. Kedua, terbatasnya waktu untuk mengumpulkan data. Ketiga, item kuesioner yang terlalu banyak membuat partisipan kurang serius dalam mengisinya. Keempat, penyebaran kuesioner menggunakan online form menyebabkan partisipan penelitian kurang terkontrol. Kelima, penelitian ini hanya terfokus kepada kesiapan
menikah satu individu yang memiliki latar belakang keluarga dengan orangtua berkonflik dan mengabaikan pasangan.
5.3 Saran
5.3.1 Saran Metodologis
Penyebaran kuesioner pada penelitian ini kurang baik dikarenakan menggunakan
form pengisian online. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk lebih mengontrol partisipan penelitian dan menganalisa kembali untuk hubungan persepsi megenai konflik interparental dengan kesiapan menikah.
Pada penelitian ini juga terdapat suatu hambatan yaitu adanya batasan waktu, hal ini menyebabkan peneliti kurang dapat mengumpulkan data yang cukup. Berdasarkan gambaran partisipan yang didapatkan dari pengolahan hasil pengisian data kontrol partisipan, banyak data yang tidak terdistribusi secara merata. Maka dari itu, sebaiknya pada penelitian berikutnya, peneliti mengumpulkan data yang lebih banyak dan merata, agar data yang didapatkan dapat merepresentasikan populasi yang sebenarnya.
Penelitian selanjutnya, diharapkan tidak hanya terfokus hanya pada partisipan, tapi juga pada pasangan partisipan. Hal ini dikarenakan kemungkinan bahwa adanya hubungan pasangan partisipan dengan hasil kesiapan menikah pada partisipan.
5.3.2 Saran Praktis
5.3.2.1 Saran untuk Para Ahli
Bagi ahli-ahli yang melakukan konseling pada bidang keluarga, pernikahan, dan pranikah dapat menggunakan hasil penelitian ini di saat menemukan adanya klien yang pernah menyaksikan orangtuanya berkonflik dan memiliki ketakutan bahwa hal tersebut dapat berdampak pada hal-hal yang bersangkutan dengan kesepakatan memiliki anak dan cara pengasuhan nantinya. Klien dapat diinformasikan bahwa hal tersebut tidak berhubungan. Walaupun hal tersebut tidak berhubungan, namun individu perlu berhati-hati bila nantinya memliki anak, karena pada praktiknya terdapat kecenderungan untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan yang otangtua lakukan dulunya. Para ahli juga dapat menggali lebih dalam persepsi klien khusus pada faktor self-blame mengenai konflik interparental yang disaksikan, bila menemukan klien yang memiliki masalah pada kesepakatan dengan pasangan mengenai minat dan pemanfaatan waktu luang.
5.3.2.2 Saran untuk Individu yang Memiliki Masalah terkait Konflik Interparental atau dan Kesiapan Menikah
Bagi individu yang memiliki permasalahan yang bersangkutan dengan konflik interparental dapat membaca hasil penelitian ini sebagai bahan dasar nantinya bila ingin menikah. Individu yang memiliki masalah serupa juga dapat mengisi kuesioner
kesiapan menikah agar dapat mulai mengevaluasi diri sendiri, pasangan dan juga hubungan dengan pasangan bila memang sudah merencanakan untuk menikah di kemudian hari. Individu juga dapat mengisi kuesioner persepsi mengenai konflik interparental untuk membantu mengekspresikan perasaannya mengenai konflik interparental yang telah disaksikan.
Individu yang pernah melihat orangtuanya bertengkar, perlu mengevaluasi dirinya mengenai persepsi akan self-blame. Bila memang individu mempersepsikan dirinya yang menjadi alasan orangtuanya berkonflik, diharapkan mengatasai persepsi tersebut sebelum menikah, karena hal tersebut dapat berhubungan dengan kesiapan menikah individu. Individu yang memiliki pasangan dengan latar belakang keluarga dengan orangtua yang berkonflik juga dapat membaca hasil penelitian ini untuk lebih mengerti pandangan dan perasaan pasangannya.
5.3.2.3 Saran untuk Orangtua
Bagi orangtua yang membaca hasil penelitian ini, dapat lebih memahami persepsi dan perasaan individu yang menyaksikan orangtuanya berkonflik. Sangat disarankan untuk tidak berkonflik di depan anak, karena dapat menyebabkan anak menyalahkan diri sendiri akan konflik yang terjadi.