KONDISI DAN KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA
(Kasus Di Gunung Kidul)
Disusun Oleh:
1. Ari Rahmawati
(135090021)
2. Galih Damar Adya
(135090034)
3. Ika Ramadhani
(135090014)
4. Imron Manistiyanto
(135090032)
5. Intan Permatasari
(135090031)
6. Rohmat Khoiruddin
(135100095)
Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Pembangunan Nasional
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...i
A. PENDAHULUAN...1
B. PRODUKSI PANGAN UTAMA...4
C. NERACA BAHAN PANGAN UTAMA...6
D. KETERGANTUNGAN IMPOR...6
E. DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA...8
F. GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF...10
G. PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF...12
H. BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN...13
I. KEBIJAKAN PANGAN...14
J. PENUTUP...16
A. PENDAHULUAN
Pangan adalah kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Banyak contoh negara dengan sumber ekonomi cukup memadai tetapi mengalami kehancuran karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya. Sejarah juga menunjukkan bahwa strategi pangan banyak digunakan untuk menguasai pertahanan musuh. Dengan adanya ketergantungan pangan, suatu bangsa akan sulit lepas dari cengkraman penjajah/musuh. Dengan demikian upaya untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional bukan hanya dipandang dari sisi untung rugi ekonomi saja tetapi harus disadari sebagai bagian yang mendasar bagi ketahanan nasional yang harus dilindungi.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi, 2003).
Ketahanan pangan menurut Undang-undang No, 7 Tahun 1996 tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Departemen Pertanian, 2004).
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk Indonesia memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan dan stabilitas. Sebagai negara agraris dengan kondisi iklim, kesuburan tanah dan para ahli pertanian yang begitu banyak hampir semua produk pangan yang dibutuhkan pada dasarnya dapat diproduksi di Indonesia. Namun, ironisnya Indonesia yang pernah berswasembada beras pada tahun 1984 ternyata kini harus mengimpor sebagian besar kebutuhan pangannya. Bahkan pada tahun 2003 Indonesia adalah Negara pengimpor beras terbesar di dunia, walaupun sesuai informasi terakhir menyatakan bahwa sampai akhir Juni 2005 pemerintah sudah tidak perlu mengimpor beras lagi karena produksi nasional sudah mencapai 30 juta ton. Namun dengan terjadinya banyak kekeringan lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat mengancam ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan , pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Suryana, 2003). Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia (Krisnamurthi, 2003).
Mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan telah disepakati menjadi salah satu prioritas utama pembangunan nasional di Indonesia. Paling tidak ada tiga alasan penting yang melandasi kesepakatan tersebut : Pertama, ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak azasi atas pangan setiap penduduk; kedua konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas; ketiga, ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi, bahkan bagi ketahanan nasional.
Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa, termasuk Indonesia memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional, karena ketergantungan yang besar pada pangan impor menyebabkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi, sosial dan politik.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak terutama rakyat miskin dilihat dari aspek ketersediaan, jumlah, mutu, harga, kontinuitas, keterjangkauan dan stabilitas. Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut masih belum dapat dijawab secara tuntas. Kasus gizi buruk dan busung lapar NTT dan NTB juga ancaman busung lapar di daerah Solo dan Boyolali dan juga jatah Raskin di daerah Klaten yang tidak mencukupi serta daerah-daerah lain yang rawan pangan merupakan bukti dari pertanyaan yang belum bisa dijawab.
lahan persawahan yang terjadi akhir-akhir ini akan dapat mengancam ketersediaan pangan untuk waktu-waktu yang akan datang.
B. PRODUKSI PANGAN UTAMA
Sejak awal 1990-an laju produksi pangan Indonesia secara umum telah mengalami perlambatan yang signifikan atau pertumbuhan produksi telah mencapai pada peningkatan yang semakin menurun. Penggunaan benih unggul, pupuk dan pestisida atau yang lebih dikenal dengan teknologi biologi-kimiawi yang selama ini merupakan andalan utama kemungkinan sudah mencapai titik jenuh. Penurunan luas lahan pertanian produktif khususnya di Jawa dan Bali akibat konversi status lahan bagi peruntukan pembangunan lainnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kelestarian produksi pertanian.
Apalagi secara empiris telah terbukti bahwa secara agroekologis Jawa Bali memiliki lahan dengan jenis tanah yang paling sesuai untuk tanaman dan hortikultura dan sebagainya. Dalam kurun waktu 10 tahun (1983-1993) pulau Jawa kehilangan satu juta hektar lahan pertanian dari sekitar enam juta hektar yang tersedia (LPKM IPB, 1998. Diperkirakan di awal abad ke-21 kecepatan lahan pertanian yang berubah fungsi akan meningkat menjadi rata-rata sekitar 45.000 ha/tahun.
Fenomena ini sangat mengancam kelestarian ketersediaan beras dan produksi pertanian lainnya, karena sampai saat ini pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari total luas lahan Indonesia memproduksi beras hampir 60 persen dari total produksi beras nasional. Hal tersebut juga ditunjang oleh terjadinya kemarau panjang sejak tahun 2002 (merusak areal persawahan sampai 350 ribu hektar dan membuat gabah hampa/puso hampir 42 ribu hektar) dan berulang pada tahun 2003 (merusak areal panen 450 ribu hektar dan puso mencapai 100 hektar).
0,5 persen per tahun, yang jauh lebih kecil dari laju pertumbuhan penduduk dunia yang mencapai 1,6 persen per tahun (Arifin, 2004). Apabila tidak terjadi lagi penemuan teknologi baru di bidang pertanian keberlanjutan produksi pangan dunia juga akan terancam.
Tabel 1. Luas panen, produktivitas, produksi dan impor beras, 1990-2003
Sumber : Arifin, 2004
a) Faktor konversi 0,65 setelah tahun 1989, lalu menurun menjadi 0,63 setelah tahun 1989
b) Data impor beras dikumpulkan dari berbagai sumber
c) Pada tahun 2003 produksi nasional beberapa komoditas tersebut meningkat dibandingkan tahun 2002.
Tabel 2. Produksi beberapa bahan pangan utama tahun 2002 dan tahun 2003
Komoditas Produksi (000 ton)
2002 2003
Jagung
Kedelai
Gula
Daging sapi
Daging ayam
Susu
Telur
Ikan
9.654
673
1.755
373
1.083
493
946
5.659
10.910
672
1.630
397
1.180
578
1.060
5.889
C. NERACA BAHAN PANGAN UTAMA
Dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan produksi pangan Indonesia tidak mampu memenuhi peningkatan permintaan yang juga selalu meningkat.
Tabel 3. Pertumbuhan produksi, konsumsi dan rata-rata pangsa produksi terhadap produksi domestik pangan utama tahun 1970-2003 (persen)
Pangan
Sumber : Neraca pangan FAO, 2003 dalam Arifin (2004)
a) Departemen Pertanian , 2004 diolah
*) Kedelai termasuk bungkil kedelai yang dikonversi dalam bentuk biji (kedelai : bungkil adalah 1 : 1)
terhadap konsumsi bahan pangan utama Indonesia semua berada dibawah 100 persen kecuali ikan periode 1970-2003 dan daging ayam serta daging sapi tahun 2002 dan 2003.
D. KETERGANTUNGAN IMPOR
Dari pertumbuhan produksi dan konsumsi pangan utama tersebut (Tabel 3) terlihat indikasi kebutuhan impor beberapa komoditas seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu dan telur. Ketergantungan impor tersebut tidak semuanya tinggi, kecuali pada kedelai (termasuk bungkil kedelai), gula dan susu dengan defisit masing-masing sekitar 87 persen, 37 persen dan 66 persen tahun 2003. Tingginya tingkat ketergantungan Indonesia terhadap susu impor harus menjadi perhatian yang serius, walaupun laju peningkatn produksi susu telah cukup tinggi, yaitu lima persen per tahun (periode 1971-2001).
Laju produk beras Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan dengan laju konsumsinya. Hal yang harus diwaspadai saat ini adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor beras semakin besar (tahun 2003 impor beras Indonesia mencapai 3,7 juta ton). Sejak tahun 1997 laju peningkatan produksi beras hanya 0,5 persen per tahun sementara peningkatan konsumsi beras mencapai 0,8 persen per tahun, Sementara itu menurut data Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) , tingkat konsumsi beras per kapita telah menurun sampai 116 kilogram per tahun.(Arifin, 2004). Oleh karena itu gejala ketagihan impor beras Indonesia sebenarnya lebih banyak didorong karena pencarian keuntungan dari para pelaku karena aktivitas impor ini mampu menghasilkan keuntungan berlipat.
diperoleh menunjukkan bahwa produksi jagung domistik hanya 9,3 juta ton, sedangkan konsumsinya mencapai 10,3 juta ton sehingga Indonesia perlu
impor jagung sekitar satu juta ton per tahun.Komoditas kedelai tampaknya cukup berat untuk diselamatkan dalam waktu singkat. Perbedaan laju pertumbuhan produksi dan pertumbuhan konsumsi serta kecilnya rasio produksi terhadap konsumsi memperkuat kekhawatiran tersebut. Kedelai memang bukan merupakan tanaman khas Indonesia karena lebih sesuai di daerah sub tropis. Secara agronomispun kendala iklim dan serangan hama penyakit tanaman kedelai di Indonesia cukup sukar untuk ditanggulangi oleh petani (Arifin, 2004).
Ketergantungan Indonesia terhadap impor gula selama tiga dasa warsa terakhir sudah cukup besar. Dengan laju pertumbuhan konsumsi yang lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan produksi menjadikan Indonesia selalu tergantung pada gula impor yang mencapai 1,6 juta ton/tahun (no 2 di dunia) (Darmawan dan Masroh, 2004). Aktivitas impor gula juga sering terpeleset menjadi pencarian keuntungan para pengusaha dan politisi karena marjin keuntungan yang diperoleh sangat besar.
Kinerja yang cukup baik hanya ditunjukkan oleh sektor peternakan dan perikanan terutama untuk daging sapi, daging ayam dan ikan yang pangsa produksi dan konsumsi untuk tahun-tahun terakhir sudah melebih 100 persen. Untuk produk susu yang tingkat ketergantungan impornya cukup tinggi yaitu sebesar 140.000 ton tahun 2003.
E. DISTRIBUSI DAN STABILITAS HARGA PANGAN UTAMA
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar komoditas pangan pada tahun 2003 relatif lebih stabil dibandingkan tahun 2002, kecuali gula pasir lokal dan daging sapi yang lebih berfluktuatif tetapi tidak terlalu nyata. Kondisi yang relative stabil pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sistem distribusi pangan berfungsi lebih baik.
Khusus untuk beras walaupun tahun 2003 harganya relatif stabil , namun jika dibandingkan dengan harga beras dunia FOB (ekivalen dengan Rp 1.600,- per kilogram atau sekitar Rp 2.200,- per kilogram setelah ditambah biaya angkut, asuransi dan sebagainya) ternyata harga eceran beras domistik (Rp 2.879,- per kilogram) masih jauh di atasnya. Implikasi perbedaan marjin harga tersebut adalah bahwa pasar beras domestik sangat menggiurkan bagi siapa saja yang menjalankan aktivitas usaha dagang, khususnya impor beras. Hal inilah yang pernah menyebabkan Indonesia mengalami “banjir beras impor”.
Jika dilihat dari harga gabah terjadi hal yang luar biasa, yaitu anjloknya harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani sampai kurang dari Rp 1.200,- per kilogram yang berarti jauh di bawah harga dasar (Rp 1.750,- per kilogram). Tahun 2003, kebijakan harga dasar gabah bisa dikatakan tidak efektif sama sekali karena lebih dari 50 persen harga yang diterima petani di bawah harga dasar.
Tabel 4. Harga rata-rata dan koefisien variasi harga bulanan beberapa komoditas pangan tahun 2002 dan 2003
Komoditas Harga rata-rata (Rp/kg) Koefisien variasi
Daging sapi
Sumber : Deperindag dalam Departemen Pertanian (2004)
Tabel 5. Harga bulanan gabah di tingkat petani dan harga beras dunia tahun 2003
Bulan Harga gabah
Keterangan : Harga dasar gabah tahun 2003 sebesar Rp 1.750,- per kilogram
Harga gabah dibawah referensi tahun 2003 sebesar 50,30 persen
F.
GUNUNGKIDUL DAN TEPUNG MOCAF
Gunungkidul adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Yogyakarta. Gunungkidul terkenal akan daerahnya yang tandus. Dengan kondisi alam yang kering, wilayah Gunungkidul tidak memungkinkan untuk dijadikan wilayah pertanian dalam arti untuk produksi beras karena sebagian wilayah (sawah) di Gunungkidul adalah sawah tadah hujan. Maka dari itu, di Gunungkidul hanya memproduksi beras dalam sekali panen saja dalam satu tahun.
Wilayah Gunungkidul hanya bisa di tanami tanaman palawija yang meliputi jagung, ketela, kacang dan kedelai karena. Namun di balik kondisi alam yang tandus, Gunungkidul memiliki potensi dalam bidang pangan. Contohnya saja pada pengembangan-pengembangan dari hasil palawija yang sudah mulai populer yaitu tepung mocaf. Mocaf adalah kepanjangan dari Modified Cassava Flour. Kualitas dari mocaf sendiri tidak kalah dengan tepung terigu. Tepung mocaf juga bisa menjadi bahan baku makanan-makanan yang menggunakan bahan tepung. misalnya kue kering (cookies, nastar, kastengel dll), kue basah (cake , kue lapis, brownies, spongy) dan roti tawar.
lengket. Tepung mocaf juga tidak bisa di simpan terlalu lama. Karena apabila disimpan terlalu lama, hasil olahan dari tepung mocaf akan berbau apek.
Kabupaten Gunung Kidul terdiri atas 18 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Wonosari.
Gunungkidul HANDAYANI berarti:
Hijau, Aman, Normatif, Dinamis, Amal, Yakin, Asah Asih Asuk, Nilai Tambah, dan Indah.
LETAK DAERAH :
• Bujur Timur 110° 21’ – 110° 50’
• Lintang Selatan 7° 46’ – 8° 09’
BATAS WILAYAH
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kab. Klaten & Kab. Sukoharjo Prop. Jawa Tengah
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab. Bantul & Kab. Sleman
Kecamatan-kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul adalah sebagai berikut : Gedangsari, Girisubo, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Paliyan, Panggang, Patuk, Playen, Ponjong, Purwosariidul, Rongkop, Saptosari, Semanu, Semin, Tanjungsari, Tepus, Wonosari.Sebagai wilayah kabupaten terluas dari propinsi Yogyakarta, Kabupaten Gunung Kidul memiliki potensi wisata alam yang sangat besar untuk dilestarikan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kabupaten yang terletak di sebelah selatan Yogyakarta ini sebagian besar adalah dataran tinggi.
G.
PELUANG PASAR TEPUNG MOCAF
Kenaikan harga terigu akhirnya memberi harapan baru kepada komoditi penggantinya atau komoditi substitusinya seperti tepung mocaf dan tepung-tepung bahan ubi-ubian lainnya. Maka muncullah upaya-upaya kreatif untuk mengatasi trend yang kalau tidak diatasi akan mematikan usaha bidang pangan dengan bahan dasar tepung terigu. Industri pangan berbahan tepung terigu ini sangat luas, mulai dari aneka jenis roti, aneka jenis mie, aneka kue-kue basah dan kering, dll. Industri-industri ini menggunakan tepung terigu dengan berbagai komposisi.
penggantian tepung terigu dengan tepung mocaf dapat disampaikan daftar prosentasi substitusinya pada aneka produk pangan berikut.
Tabel 6. Substitusi tepung mocaf
Formula produk olahan pangan dari tepung kasava untuk substitusi terigu No Nama Produk Substitusi Tepung Kasava Tepung yang Disubstitusi
1 Cookies kue kering 100 Terigu
2 Cheese stick 100 Terigu
3 Telor Gabus 100 Terigu
4 Biji Ketapang 50-100 Terigu
5 Lapis Legit 100 Terigu
6 Kerupuk 30-50 Terigu, Tapioka
7 Bolu Kukus 50 Terigu
8 Bika Ambon 30 Tapioka
9 Cake Gula Aren 50 Terigu
10 Donat 50 Terigu
11 Mie 30-40 Terigu
12 Dadar Gulung 75 Terigu
13 Dodol 100 Terigu
14 Bubur Candil 50 Tepung Beras
15 Klepon 50 Tepung Ketan
16 Empek-Empek 100 Tapioka
17 Jongkong 30 Terigu
18 Pastel 50 Terigu
19 Martabak Telor 50 Terigu
20 Roti Tawar 30-40 Terigu
21 Black Forest 100 Terigu
22 Cake Maharani 100 Terigu
Angka besaran impor tepung terigu Indonesia sudah mencapai angka 6 juta ton tiap tahun. Oleh karena itulah maka sudah waktunya kita menghargai produk kita sendiri, yaitu dengan jalan mensubstitusinya atau menggantinya dengan tepung mocaf. Kepala Badan juga menginformasikan bahwa PT. Indofood memberi sinyal untuk menerima tepung mocaf dari para industry tepung mocaf sebesar 50.000 ton per bulan, atau sebesar 600.000 ton dalam setahun, atau 10 % dari volume import tepung terigu.
dipanen dari kebun singkong dengan luas sekitar 60.000 hektar. Hitungan tadi menggunakan asumsi rendemen ubi menjadi tepung 25 % dengan produktifitas lahan 40 ton/ha. Namun kalau kita menggunakan angka asumsi yang lebih optimis, misalnya rendemen 30% sedang produktifitas mencapai 60 ton/ha/12 bulan, berarti hanya perlu lahan sekitar 30.000 hektar, atau separuh dari asumsi yang pertama tadi.
H. BEBERAPA PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
Dengan kondisi pangan utama kita yang sebagian besar masih tergantung pada impor, maka masalah pangan tidak lagi dapat ditunda. Jumlah penduduk yang kekurangan pangan, gizi buruk dan busung lapar semakin meningkat, hal ini merupakan pelanggaran hak azasi yang paling serius. Namun disadari sepenuhnya bahwa pembangunan ketahanan pangan bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi, antara lain :
1. Masalah kemiskinan menjadi masalah yang paling serius dikaitkan dengan ketahanan pangan.Telah terjadinya kerawanan pangan di beberapa daerah, baik pada berbagai kasus kelaparan maupun mutu pangan yang rendah.
2. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin menekan ketersediaan sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk menyediakan pangan
3. Alih fungsi lahan pertanian yang semakin besar setiap tahunnya
4. Telah terjadinya kekeringan lahan sawah di beberapa daerah yang mengancam ketersediaan pangan
6. Telah terjadi gejala “keterjebakan” pangan yang serius , terutama dengan semakin banyaknya komoditas pangan yang harus diimpor dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan.
Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi serta kondisi pangan utama Indonesia, maka dalam membangun ketahanan pangan sudah bukan merupakan pilihan lagi antara menghasilkan pangan sendiri atau mengandalkan pada pasar bebas dunia. Kedua cara pemenuhan pangan (memproduksi sendiri dan dari pasar dunia) harus digunakan secara bersama-sama, terkait dan dalam satu gerak kebijakan dan pengelolaan yang terpadu.
I. KEBIJAKAN PANGAN
Kebijakan pangan merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Secara spesifik, kebijakan tersebut dirumuskan untuk mengelola potensi nasional, memanfaatkan peluang, serta mengatasi masalah dan tantangan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Beberapa rekomendasi kebijakan pangan yang perlu diterapkan dan dilanjutkan adalah sebagai berikut.
1. Adanya jaminan ketersediaan pangan bagi penduduk miskin dan rawan pangan di seluruh pelosok tanah air termasuk daerah-daerah yang tertimpa bencana alam.
2. Perlu adanya kebijakan untuk mengelola pertumbuhan penduduk yang bertujuan mengharmoniskan kualitas dan kuantitas kependudukan
4. Untuk mengatasi kekeringan, kebijakan yang harus ditempuh antara lain : upaya-upaya konkret seperti penyiapan dan pemberian bantuan bahan pangan dan air minum/air bersih; realisasi pemberian kredit pedesaan untuk aktivitas ekonomi dan alternatif lapangan kerja nonpertanian; disamping itu kebijakan untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya air melalui konservasi air.
5. Pemerintah harus terus menerus memberikan perangsang pada petani produsen beras domestik agar bergairah meningkatkan produksi beras jika perlu melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk kredit usaha tani.
6. Melanjutkan pelaksanaan program akselerasi peningkatan produktivitas industri gula nasional.
7. Di tingkat paling dasar pemerintah dan Bulog beserta jajarannya di daerah wajib melaksanakan tugasnya, yaitu melaksanakan pengadaan beras, membeli gabah petani sesuai harga dasar (HPP) atau paling tidak harga di tingkat petani jangan sampai terlalu jauh dari harga referensi.
8. Pemerintah memberi kemudahan bagi importer dan distributor pada saat produksi dalam negeri anjlok karena hal-hal yang sukar dihindari , sehingga impor beras justru sangat diperlukan serta diikuti sanksi hukum bagi semua pelaku impor illegal. Pemerintah juga harus tetap melaksanakan kebijakan subsidi di daerah-daerah rawan pangan. Sebaliknya pada musim panen raya atau pada saat produksi domestik melimpah, pengenaan bea masuk impor jelas sangat relevan, karena petani harus dilindungi dari ancaman anjloknya tingkat harga.
9. Semangat otonomi daerah harus dijadikan modal utama untuk segera melakukan desentralisasi manajemen stok beras.
kejelasan keterkaitan antara kebijakan harga dasar (HPP), kebijakan tariff, konversi lahan, pembangunan infrastruktur, sistem perbankan, riset dan lain-lain. Kebijakan pangan yang komprehensif tersebut harus mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada beras dengan menyeimbangkan harga relatif beras terhadap pangan lain dan mengembangkan berbagai infrastruktur penunjang bagi pengembangan kegiatan non beras., walaupun kebijakan perberasan masih merupakan salah satu komponen utamanya.
J. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul, 2004. “Ekonomi Pertanian Indonesia”. Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Departemen Pertanian, 2004. “Kebijakan dan Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia”. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Jakarta.
Juarini. 2006. KONDISI DAN KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA.
http://agriculture.upnyk.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=86:kondisi-dan-kebijakan-pangan-indonesia&catid=52:2006&Itemid=88. Di akses pada tanggal 3 Juni 2012
Krisnamurthi, Bayu, 2003. Rekonstruksi Kebijakan Pangan Indonesia (Indonesia Food Policy Reconastuction) Isyu dan Agenda. Dalam “Penganekaragaman Pangan, Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah”, 2003. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan.