LOMBA KARYA TULIS ILMIAH LKTI 3rd Edition Chemical Expo 2016
Local Knowledge Future School: Pendidikan Falsafah Jawa bagi Anak-anak dalam Pelestarian Lingkungan Lereng Merapi
(Studi Kasus Efek Lingkungan dari Penambangan Pasir di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta)
Disusun Oleh :
Kafa Abdallah Kafaa 14/364821/SP/26214 Pinurba Parama P. 14/367527/SP/26417 Kinanti Indah Safitri 14/367547/SP/26425
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
iv KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah limpahan taufik serta rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul: “Local Knowledge Future School:Pendidikan Falsafah Jawa bagi Anak-anak dalam Pelsetarian Lingkungan Lereng Merapi)”. Dalam kesempatan kali ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Yth:
- Dr. Krisdyatmiko, S.Sos., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan dalam penulisan Karya Ilmiah ini.
- Rekan-rekan sejawat jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan angkatan 2014 yang turut memberikan dukungan kepada kami.
v pasir dapat mengetahui dan mengimplementasikan pada tataran praktis mengenai nilai-nilai kearifan lokal falsafah jawa. Dengan demikian, upaya membendung atau mengurangi kerusakan dan melestarikan lingkungan di lereng Merapi dapat terwujud.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun berdasarkan hasil observasi dan wawancara serta melalui studi literatur berupa buku, makalah dan jurnal ilmiah. Diharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat dan membantu para pembaca untuk menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan. Akhir kata, Karya tulis ilmiah ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan untuk itulah kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kelancaran proses penyusunan karya ilmiah selanjutnya. Semoga dapat memberikan sumber bacaan yang bermanfaat dan menginspirasi.
vi DAFTAR ISI
Halaman Judul...i
Halaman Pengesahan...ii
Lembar Pernyataan...iii
Kata Pengantar...iv
Daftar Isi...vi
Abstrak...1
BAB I PENDAHULUAN...2
1.1Latar Belakang...2
1.2Rumusan Masalah...3
1.3Tujuan Penulisan...4
1.4Manfaat Penulisan...4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...5
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi Lingkungan...5
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup...6
2.3 Kearifan Lokal...8
2.4 Falsafah Jawa...9
BAB III METODE PENULISAN...10
BAB IV PEMBAHASAN...11
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir...11
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local Knowledge Future School...12
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School...17
vii
5.1 Kesimpulan...19
5.2 Saran...20
Daftar Pustaka...vii
Daftar Riwayat Hidup...21
1 ABSTRAK
Abstrak: Dewasa ini nilai-nilai kearifan lokal telah mengalami kemunduran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang berpotensi atau justru telah merusak lingkungan, terutama di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Aktivitas penambangan pasir secara ilegal sebagian besar tidak memiliki komitmen dalam pemulihan lingkungan sehingga dapat menimbulkan dampak negatif. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang pasir diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat melalui pendidikan lingkungan yang dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal. Local Knowledge Future School merupakan program pendidikan lingkungan berbasis kearifan lokal kepada anak-anak yang hidup di sekitar lingkungan tambang pasir. Tujuannya untuk membentuk kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sejak usia dini agar pengetahuan tersebut mampu terinternalisasi dalam diri anak serta memotivasi anak untuk menjadi agent of change. Kearifan lokal yang dimaksud adalah tiga nilai falsafah jawa yang menjadi local knowledge (pengetahuan lokal); Aja nggugu karepe dewe (jangan berbuat sekehendak sendiri), ibu bumi, bapa aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit), dan asta brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan). Materi pendidikan falsafah jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni pendidikan mengantisipasi kerusakan lingkungan dan pendidikan sikap bersatu dengan alam. Proses belajar mengajar dilaksanakan oleh anak-anak yang hidup di wilayah sekitar tambang pasir dan mahasiswa/pemuda sebagai fasilitator. Metode pembelajaran dilakukan melalui sharing-diskusi, study tour, dan menggunakan permainan tradisional wilayah tersebut sebagai sarana pengenalan falsafah jawa sekaligus menjadi sarana hiburan.
2 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman yang semakin hari semakin berorientasi pada kebutuhan ekonomi, berbagai aspek kehidupan pun ikut menjadi imbasnya. Zaman yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa; 2006) sebagai zaman modal ini lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi daripada aspek lainnya. Sebut saja salah satunya aspek lingkungan yang semakin hari semakin akrab akan kerusakannya. Kekuatan gaib –modal telah mampu mencengkeram segala aspek kehidupan, yang tanpanya akan terkucilkan atau bahkan terbunuh dikemudian waktu. Manusia tidak lagi bertindak sebagai tuan bagi alam, melainkan hamba bagi modal untuk memperbudak alam.
Indonesia yang disebut-sebut oleh Koes Plus dalam lagunya “Kolam Susu” sebagai negeri tanah surga, dengan terpampang berjuta kekayaan dari Sabang sampai Merauke pun ikut tercengkeram dalam kuasa modal. Alam, budaya, adat, tradisi, dan lain sebagainya menjadi korban keperkasaan modal tersebut. Demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, alam dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak kerusakannya. Budaya, adat, dan tradisi pun tersisihkan, terlupakan, bahkan dilupakan demi menunjang keberhasilan meraup untung dalam jumlah yang sangat banyak.
Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya asli Indonesia telah tergeser oleh nilai-nilai kapitalisme asing yang entah dari mana asalnya. Kearifan lokal yang semestinya menjadi tolok ukur bagi pelaksanaan pemanfaatan lingkungan pun mulai hilang –setidaknya tertutupi oleh arus derasnya ombak permukaan kapitalisme. Kearifan lokal ini ditunjang oleh adanya pengetahuan lokal yang berbeda pada setiap daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini. Seperti halnya pengetahuan lokal bagi penambangan pasir di lereng Merapi yang berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
3 memperhatikan aspek lingkungan yang menjadi dampaknya. Krisis air yang diakibatkan pengerukan lapisan tanah secara terus-menerus yang kemudian berdampak pada cadangan air yang semakin dalam, sehingga menyulitkan warga sekitar penambangan untuk memperoleh air. Bencana alam kerap terjadi di daerah penambangan tersebut yang disebabkan pengerukan tanah sehingga mempengaruhi bentuk relief bumi. Parahnya, kesuburan tanah yang menjadi nyawa bagi mayoritas pekerjaan warga sekitar pun menjadi terganggu, sehingga aktivitas pertanian menjadi imbasnya pula.
Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat khususnya sekitar penambangan melalui pendidikan lingkungan yang dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal. Penulisan ini bermaksud untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait akibat dari kerusakan lingkungan yang disebabkan penambangan pasir di lereng Merapi di Kecamatan Cangkringan, Merapi, Yogyakarta. Lebih jauh lagi, adalah memberikan angin segar berupa gagasan untuk senantiasa mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal yang telah tertutup oleh derasnya arus permukaan kapitalisme melalui pentingnya pengetahuan dan penerapan nilai-nilai luhur falsafah jawa dalam kehidupan manusia terkhususnya sebagai permulaan diperuntukkan bagi anak-anak di wilayah sekitar penambangan pasir tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimanakah kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
 Bagaimanakah keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan pelestarian lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
4 1.3 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
 Untuk mengetahui keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan pelestarian lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
 Untuk mengetahui implementasi inovasi sistem pendidikan Local Knowledge Future School bagi anak-anak sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penulisan
 Sebagai media pengetahuan dan pembelajaran terkait kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
 Sebagai media dalam menjawab persoalan yang ada di lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi Lingkungan
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu Bara, yang diartikan sebagai pertambangan yaitu sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, ekplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian membagi jenis bahan galian tambang menjadi tiga: bahan galian strategis, bahan galian vital, dan bahan galian non-vital maupun non-strategis. Salah satu faktor yang menentukan penggolangan bahan galian ini dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat.
Sebagai salah satu kegiatan pertambangan, pertambangan pasir mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 merupakan bentuk penambangan bahan galian C atau non-vital dan non-strategis. Namun fakta dilapangan justru menunjukan bahan galian C memberi dampak krusial seperti pencemaran air yang diakibatkan kontaminasi limbah hasil kegiatan tambang (Rahmadian & Dharmawan, 2014: 95). Dalam Yudhistira et. al., (2011) pada dasarnya industri pertambangan pasir secara ekonomis mampu menciptakan surplus devisa dan menyedot banyak lapangan kerja. Akan tetapi di sisi lain sektor tambang mengundang banyak sorotan dalam kegiatannya yang justru merusak lingkungan. Secara umum kegiatan industri tambang pasir menimbulkan berbagai efek sebagai berikut: (Rahmadian & Dharmawan, 2014: 106)
1. Degradasi kualitas air oleh karena pencemaran limbah dari kegiatan tambang.
6 3. Ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang
diakibatkan penyusutan sungai dan konversi lahan.
4. Munculnya bahaya konflik laten maupun manifes yang bersifat horizontal maupun vertikal.
5. Munculnya sikap apatis masyarakat dalam isu pelestarian lingkungan. 6. Tumbuhnya pusat industri dan ekonomi baru oleh karena
meningkatnya kegiatan tambang.
Menurut Yudhistira, et al. (2011) dalam kasus perusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan pasir di Merapi terdapat dua aspek utama sebagai dampak yaitu lingkungan dan sosial-ekonomi. Dampak lingkungan dari aktivitas penambangan pasir di Merapi diantaranya sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat erosi di kawasan pertambangan.
2. Adanya tebing yang rawan longsor oleh karena aktivitas penambangan yang sembarangan.
3. Berkurangnya jumlah air permukaan.
4. Tingginya lalu lintas kendaraan pengangkut pasir yang menimbulkan kerusakan jalan.
5. Terjadinya polusi udara.
Sementara itu terdapat pula dampak sosial-ekonomi dari penambangan pasir di Merapi yang diantaranya:
1. Pengurangan jumlah pengangguran oleh karena muncul lapangan kerja baru di kawasan industri tambang pasir.
2. Adanya pemasukan dari pemilik tanah yang menjual atau menyewakan lahan mereka untuk ditambang.
3. Mulai munculnya pendatang sehingga memunculkan potensi timbulnya konflik.
4. Adanya ketakutan masyarakat akan potensi kerusakan lingkungan yang dapat menimbulkan bencana.
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup
7 antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai aspek dalam kehidupan. Hening dan Pakpahan (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan lingkungan berkaitan dengan proses pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai, keterampilan, dan tanggung jawab terhadap masalah lingkungan. Oleh karena itu suatu proses pendidikan lingkungan tidak hanya berpusat pada pemahaman dasar akan permasalah lingkungan namun lebih lanjut lagi adalah upaya menumbuhkan sikap kepedulian dalam upaya pelestarian lingkungan.
Barlia (2008: 7, dalam Afandi, 2013) berpendapat bahwa sekiranya terdapat tujuan khusus dari suatu pendidikan lingkungan hidup yang diantaranya:
1. Kesadaran: membantu anak didik mendapatkan kesadaran dan peka terhadap lingkungan hidup dan permasalahannya.
2. Pengetahuan: membantu anak didik memperoleh dasar pemahaman tentang fungsi lingkungan hidup, interaksi manusia dengan lingkungannya.
3. Sikap: membantu anak didik mendapat nilai, perasaan tanggungjawab serta komitmen terhadap pelestarian lingkungan.
4. Keterampilan: membantu anak didik mendapatkan keterampilan mengindetifikasi, investigasi, dan kontribusi terhadap pemecahan dan penanganan masalah lingkungan.
5. Partisipasi: membantu anak didik dalam menerapkan pengetahuannya serta berpengalaman dalam menghadapi permasalahan lingkungan. Sebagai bentuk pendidikan lingkungan hidup, perlu adanya suatu proses integrasi dengan keunggulan lokal yang dimiliki suatu daerah. Hal ini melihat akan kondisi setiap daerah yang memiliki perbedaan urgensi permasalahan lingkungan. Dalam implementasinya dengan keunggulan lokal terdapat beberapa proses yang dapat dilakukan (Santoso et al., 2011) yaitu:
1. Melakukan indetifikasi jenis keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu daerah.
2. Pemetaan jenis keunggulan lokal yang dapat dikembangkan di satuan pendidikan.
8 4. Mengintegrasi keunggulan lokal dengan standar kopentensi yang
relevan.
5. Tahap eksekusi yang dilakukan oleh pengajar dan obeserver sesuai dengan rencana yang telah dibangun.
6. Evaluasi tentang proses pembelajaran serta efek bagi peserta didik untuk sebagai pertimbangan dalam rencana selanjutnya.
2.3 Kearifan Lokal
Menurut NarkonThap (NakhornThap, 1996 dalam R. Mungmachon, 2012), yang dimaksud sebagai kearifan lokal adalah suatu pengetahuan dasar yang didapat dari pembelajaran keseimbangan kehidupan dengan alam dan biasanya berkaitan dengan budaya lokal yang disosialisasikan secara turun temurun (Sartini, 2004).Secara umum, kearifan lokal dapat dilihat sebagai suatu bentuk akumulasi pengetahuan yang tumbuh-kembang dalam setiap interaksi masyarakat yang berkaitan dengan keseimbangan alam yang diproses secara turun temurun sebagai suatu bagian dari norma dan nilai-nilai bersama.
Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai manifestasi dari pengetahuan lokal masyarakat. Pengetahuan lokal secara definisi dapat dijabarkan sebagai berikut(Ellen, et. al., 2005 dalam Dahliana, 2015). Pertama, pengetahuan yang dikaitkan dengan keberadaan suatu tempat, kumpulan pengalaman, dan tumbuh dalam masyarakat lokal. Kedua, pengetahuan yang didapat melalui mimikri, imitasi, dan eksperimen. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh melalui trial and
error setiap harinya. Keempat, ilmu pengetahuan empiris yang tidak teoritis.
Kelima, suatu pengetahuan komprehensif yangterintegrasi dalam tradisi dan budaya.
Dalam suatu kearifan lokal terdapat dua elemen dasar, antara lain;
Pertama, manusia sebagai penerjemah sekaligus aktor yang menumbuhkan makna
9 2.4 Falsafah Jawa
Pada dasarnya falsafah jawa termasuk sebagai suatu cabang dari ilmu filsafat Timur. Filsafat Timur berlandasakan hubungan antara hakikat illahiyyah dengan perkembangan pemahaman pengetahuan yang tumbuh dalam masyarakat (Sutrisno, 2013). Sebagai bagian dari filsafat Timur, falsafah jawa secara umum menggambarkan suatu hubungan antara manusia dan hakikat illahiyyah. Menurut Ciptoprawiro dalam bukunya yang berjudul Falsafah Jawa, pengetahuan senantiasa hanya sebagai sarana menuju pada kesempurnaan. Untuk mencapai kesempurnaan inilah maka manusia haruslah memiliki kodrat hubungan yang harmonis dengan lingkungannya, yaitu dengan Tuhan dan alam semesta (Ciptoprawiro, 1986).
10 BAB III
METODE PENULISAN
11 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir
Aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak Gunung ini mengeluarkan lava pada tahun 1930-an. Lava yang turun dari moncong merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai–sungai yang menjadi jalur lava, beberapa diantaranya adalah sungai opak, sungai gendol dan sungai kuning. Bagi masyarakat lereng Gunung Merapi, aktivitas penambangan pasir merupakan pekerjaan turun-temurun yang menjadi sumber mata pencaharian warga. Menambang pasir bagi warga sekitar penambangan merupakan salah satu cara mudah untuk mendapatkan uang, karena menurut mereka, aktivitas dalam menambang pasir tidak memerlukan keterampilan (skill) khusus. Hanya dengan bermodal senggrong saja, seseorang bisa menjadi penambang pasir dengan penghasilan Rp. 90.000 – Rp. 150.000, cukup menggiurkan tentunya. Rata–rata penambang pasir di daerah sungai gendol dan sungai kuning adalah warga Cangkringan dan Klaten. Usia mereka sekitar 20-40 tahunan. Mereka menjadikan menambang pasir sebagai pekerjaan pokok mereka.
12 hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang.
Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam. Apalagi tingkat permintaan pembeli akan pasir Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9 juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding dengan suplai material dari letusan Merapi rata-rata hanya mampu memberikan daya dukung kebutuhan pasir sebesar 2,5 juta M 3 / tahun. Di luar jalur aliran erupsi Merapi, para penambang juga masuk ke wilayah tutupan hutan pinus yang berdekatan dengan sungai-sungai lokasi penambangan sebelumnya atau menyewa lahan-lahan pertanian maupun perkebunan penduduk.
Sekarang kondisi alam di kawasan Merapi berubah dengan cepat. Beberapa desa di Kecamatan Cangkringan, kini telah berubah menjadi lubang-lubang penambangan pasir yang setiap hari dipenuhi para penambang, back hoe dan truck pengangkut pasir. Warga yang tinggal disekitar lereng Gunung Merapi memprotes maraknya penambangan pasir karena mengancam lingkungan tempat mereka tinggal. Selama ini protes sudah dilayangkan ke Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tetapi belum ada tanggapan. Kegiatan penambangan pasir di lereng Gunung Merapi Yogyakarta sampai dengan saat ini masih terus berlangsung. Alat-alat berat seperti bego digunakan untuk mengeruk pasir dari lereng Merapi.
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local Knowledge Future School
13 terjadi karena adanya kerusakan yang diakibatkan secara alamiah namun juga bisa disebabkan oleh ulah manusia. Aktivitas manusia yang riil menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti eksploitasi tambang pasir secara ilegal yang tidak mematuhi kaidah hukum. Oleh sebab itu, diperlukan alternatif strategi melalui pendidikan yang diorientasikan kepada anak-anak untuk mengintervensi masyarakat penambang pasir melalui peran generasi muda.
Fokus pendidikan kepada anak usia sekolah akan cukup efektif mengintervensi pola pikir orang tua ketika anak-anak penambang pasir tergabung dalam gerakan penyadaran lingkungan. Anak-anak tersebut menjadi mediator yang menghubungkan antara fasilitator dengan orang tua mereka yang berprofesi sebagai penambang. Sehingga harapannya anak-anak terutama yang orang tuanya bekerja sebagai penambang pasir dapat memberikan informasi kepada para orang tua tentang bahaya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi penambangan pasir secara ilegal sepertihalnya sulitnya akses air bersih, polusi udara, bahkan produktivitas tanaman pertanian menjadi menurun.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa. Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
 Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam yakni dengan melatih kepekaan anak melalui pengenalan tanda kerusakan lingkungan dari fenomena alam yang dapat ditangkap melalui kelima panca indera. Tanda Kerusakan Lingkungan yang dapat ditangkap dengan Panca Indra.
14 sepertihalnya kera dan burung yang bermigrasi turun dari wilayah puncak menandakan gunung juga akan meletus. Contoh ketiga: Masuknya material vulkanik ke dalam sungai berupa batu-batu besar menandakan gejala lahar dingin.
 Telinga: Masyarakat perlu peka ketika mendengar suara gemuruh dari arah puncak gunung.
 Hidung: Tercium asap yang menimbulkan bau seperti bahan kimia menyengat bisa menjadi tanda adanya kerusakan lingkungan sepertihalnya gunung meletus, banjir lahar dan kebakaran hutan.
 Kulit: Merasakan hawa panas yang tidak biasa maka masyarakat patut waspada, bisa jadi karena adanya pembakaran atau tanda gunung akan meletus.
 Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam melalui pengenalan filosofi kehidupan jawa yang mencakup tiga prinsip dasar yakni:
 Aja Nggugu Karepe Dewe (jangan berbuat sekehendak sendiri)
15  Ibu Bumi, Bapa Aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit)
Mengandung nilai filosofi bahwa yang dimaksud bumi adalah ibu memiliki arti tanah sebagai tempat berpijak yang melambangkan kesuburan. Langit adalah bapak, artinya adanya sebuah keberkahan dari hujan yang turun dari langit. Pembelajaran dari filosofi pitutur luhur (kata bijak) tersebut, manusia harus menyayangi, melindungi, merawat dan menjaga bumi sepertihalnya menyayangi orang tua. Jika bertindak merusak maka langit akan marah dan menghukum manusia melalui bencana alam sepertihalnya: badai, intensitas hujan tinggi dan lain-lain. Nilai kehidupan Ibu Bumi, Bapak Aksa ini harus diinternalisasikan dalam diri masyarakat sekitar lereng merapi agar senantiasa hidup bersatu dengan alam, menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan.
 Asta Brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan)
Ajaran Asta Brata ini merupakan pembelajaran filsafat 8 elemen yang ada di kehidupan dunia yang memiliki keterkaitan satu sama lain serta berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Elemen tersebut diantaranya: bumi, api, air, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan yang memiliki makna filosofi sebagai berikut.
 Bumi: Sifat seperti bumi artinya teguh dalam pendirian, mampu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain terutama dapat memberikan bantuan untuk mencukupi kesejahteraan bagi sesama. Bumi yang dimaksud adalah tanah yang menggambarkan sumber kehidupan makhluk hidup sehingga seorang manusia harus memiliki sifat welas asih sepertihalnya filosofi bumi.
16 manusia untuk rendah hati terutama kepada orang yang berada di bawah kita dalam hal kesejahteraan ekonomi.
 Api: Api mampu membakar dan menghanguskan sebuah benda, sehingga api melambangkan semangat keberanian dan keadilan. Memberikan pembelajaran bahwa manusia harus berani bertindak secara benar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat serta berani menentang segala bentuk kebatilan yang ada di kehidupan dunia. Berlaku adil dalam memutuskan beragam perkara kehidupan serta berani bertindak dan berkata secara jujur.
 Angin: Angin berhembus membawa kesejukan dan kesegaran bagi jiwa manusia. Esensi pembelajaran sifat angin, yakni tidak tamak serta tidak menonjolkan nafsu semata. Karena ketentraman hati dan pikiran akan didapatkan melalui sifat menerima dan bersyukur atas segala hal yang telah dicapai dan dimiliki.
 Matahari: Sifat matahari mampu memancarkan cahaya serta energi panas yang merupakan sumber energi bagi bumi. Sehingga matahari memiliki makna sabar, kritis, dan terarah. Matahari menyinari alam semesta secara teratur dan terarah. Matahari juga menjadi pusat tata surya yang di putari oleh delapan planet. Manusia harus belajar dari sifat-sifat matahari tersebut agar mampu menjadi sosok yang bijaksana karena sifat kesabaran dan keteraturannya sehingga mampu menjadi pribadi yang menginspirasi dan memotivasi orang lain.
 Bulan: Sinar bulan memberikan penerangan di kegelapan malam serta memberikan warna keindahan di alam semesta. Pembelajaran dari sifat bulan tersebut dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari bahwa manusia yang bijak selalu bermanfaat untuk orang lain karena beragam ide dan solusi yang ia berikan terhadap permasalahan orang lain tersebut.
17 namun tidak bersifat arogan karena di angkasa terdapat jutaan bintang yang juga bersinar dan menerangi benda-benda langit disekitarnya. Oleh sebab itu, sering terdengar kalimat “gapailah bintang di langit”, yang merupakan sebuah kalimat motivasi bahwa manusia haruslah pantang menyerah, gigih dan ulet untuk meraih kesuksesan.
 Awan: Sifat awan selalu memberikan keteduhan dan hujan yang menjadi sebuah berkah bagi segala kehidupan yang ada di bumi. Sifat teduh ini memiliki arti mampu mengayomi dan mengabdi. Manusia sebagai seorang khalifah dibumi (pemimpin) haruslah mengayomi sesama anggota masyarakat lainnya. Mengabdi untuk kemaslahatan masyarakat dan demi kepentingan bersama.
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School
18 Model pembelajaran Local Knowledge Future School berorientasi pada aspek partisipatif inklusif, dimana terdapat umpan balik dari interaksi antara fasilitator dan peserta. Waktu implementasi proses pembelajaran bersifat tentatif yang akan dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan peserta didik dan warga di sekitar tempat belajar-mengajar. Estimasi pembelajaran berlangsung selama 2 jam/pertemuan dengan perincian 30 menit pertama sebagai pengenalan dan pemberian materi secara pedagogik, dan 90 menit berikutnya sebagai observasi, permainan, atau lebih dikenal sebagai metode pendidikan secara andragogik. Minimal dalam satu minggu diadakan 1 kali pertemuan (tergantung kesepakatan peserta dan fasilitator). Pembelajaran tidak hanya dilaksanakan di dalam ruangan atau bale melainkan juga di luar ruangan. Metode pembelajaran yang diterapkan lebih condong ke metode observasi dan study tour agar peserta didik mampu memahami fenomena yang merupakan sebuah pengetahuan kearifan lokal yang ada di sekitar lingkungannya.
19 BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, meliputi perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah, dan perubahan tata air. Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir, kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat khususnya sekitar penambangan melalui pendidikan lingkungan yang dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa. Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
20 Dengan demikian, maka kiranya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sejak usia dini dapat terinternalisasi dalam diri anak dan dapat memotivasi anak sehingga mereka dapat menjadi agent of change yang mampu mengubah pola pikir masyarakat di sekitarnya khususnya penambang pasir itu sendiri.
5.2.. Saran
Dalam melakukan pemberdayaan pendidikan guna meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan diperlukan peran
stakeholder yang kuat. Implementasi Local Knowledge Future School pada
vii DAFTAR PUSTAKA
Afandi, R. (2013) Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup melalui Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah Hijau. Pedagogia, 2(1), hlm. 98-108.
Ciptoprawiro, A. (1986) Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Dahliani, Soemarno I., dan Setijanti, P. (2015) Local Wisdom in Built Environment in Globalization Era. International Journal of Education and
Research, 3 (6), hlm. 157-165.
Henning, D.H. dan Pakpahan, A. (1991) Pendidikan Lingkungan dan Taman Nasional: Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media
Konservasi, 3(2), hlm. 1-9.
Mungmachon, R. (2012) Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science, 2, (13), hlm. 174-181.
Moleong, L.J. (1999) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Risdakarya.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian.
Pratomo, S. (2009) Model Pembelajaran Tematik dalam Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 11, hlm. 8-15.
Rahmadian, F. dan Dharmawan, A.H. (2014) Ideologi Aktor dan Persepsi Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung Galunggung. Jurnal Sosiologi Pedesaan, hlm 93-108.
Santoso, A.M., Setyowati, E., dan Nurmilawati, M. (2011) Pembangunan Karakter melalui Lesson Study pada Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis Keunggulan Lokal. Prosiding Seminar Biologi, 8(1).
Sartini. (2004) Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.
Jurnal Filsafat, 37 (2), hlm. 111-120.
Sutrisno, W. (2013) Filsafat Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
viii Yudhistira, Hidayat, W.K., Hardiyanto A. (2011) Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), hlm. 76-84.
Ananta, T.P. (2006). Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara.
Wihardandi, A. (2012). Tambang Pasir Merapi Menggerus Alam dan Kesehatan Warga Cangkringan. (Online). Tersedia:
http://www.mongabay.co.id/2012/09/20/tambang-pasir-merapi-menggerus-alam-dan-kesehatan-warga-cangkringan/
Mahmud, F. (2015). Walhi: Penambangan Matikan Sumber Air di Lereng Merapi. (Online). Tersedia:
21 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Penulis 1
A. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap Kafa Abdallah Kafaa
2. NIM 14/364821/SP/26214
3. Program Studi / Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan 4. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
5. Tempat dan Tanggal Lahir Cirebon, 29 Maret 1997
6. Alamat Lingk. Sukajaya Girang, RT. 001, RW. 010, Kel. Cijati, Kecamatan
Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat
7. Email [email protected]
8. Nomor Telepon / HP 085708063681
B. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan
Judul Karya Tahun
1. Juara III Gema Lomba Karya Essay Nasional (GELORA) 2015 Universitas Pendidikan Ganesha Pendidikan Multikultural sebagai Transformasi Sosial 2015 2 . Semifinalis National Bussiness Challenge (NBC) 2015 Universitas Negeri Yogyakarta
Cafe Berbasis Sistem Ramah Lingkungan sebagai Solusi Global Warming di Era Globalisasi
22 Biodata Penulis 2
C. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap Pinurba Parama Pratiyudha
2. NIM 14/367527/SP/26417
3. Program Studi / Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan 4. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
5. Tempat dan Tanggal Lahir Magelang, 3 Maret 1996
6. Alamat Jalan Kyai Puji No. 48, RT 01/ RW 02, Dusun Bagongan, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang
7. Email [email protected]
8. Nomor Telepon / HP 085326730001
D. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan
Judul Karya Tahun
1. Juara I Essai kategori
Mahasiswa/Umum Bulan Bahasa UGM 2015 Departemen Sastra Indonesia, Falkutas Ilmu Budaya UGM
Tiga Jalan Satu Hidup 2015
2. Delapan besar Call for Paper Sospolenesea “Social Movement” 2015 Dema Fisipol UGM
Youth Social Movement Syndicate: Membangun Gerakan Grassroot dalam Andvokasi Kebijakan
2015
E. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat
No. Judul Karya Keterangan
1. Mengenal Pemikiran Politik Para Ketua BEM Falkutas di UGM melalui “The Political Compass”
Dipublikasikan dalam Jurnal
23 Biodata Penulis 3
F. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap Kinanti Indah Safitri
2. NIM 14/367547/SP/26425
3. Program Studi / Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan 4. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
5. Tempat dan Tanggal Lahir Jember, 22 April 1996
6. Alamat Jalan Kaliurang km 4.5 Gg.Ilir-Ilir CT.III 263/C Barek Sleman-Yogyakarta 7. Email [email protected]
8. Nomor Telepon / HP 08993247760
G. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi Penghargaan
Judul Karya Tahun
1. Juara II Call For Paper Sospolnesea “Social Movement” 2015 Dema Fisipol Universitas Gadjah Mada Dilematika Konflik Agraria Menyulut Gerakan Sosial
Kelompok Tani (Studi Kasus Gerakan Anti Tambang Desa Selok Awar-Awar Lumajang)
2015
2. Juara Favorit Artikel Kemuhammadiyahan 2015 Ikatan Mahasiswa Muhammadiy ah Universitas Negeri Yogyakarta Implementasi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Program “Muda-Mudi”
(Muhammadiyah Muda Mengabdi)
2015
24 LAMPIRAN
Foto Observasi