RESEPSI AL-FATIHAH DAN AL-MU’AWWIDZAT PADA MASA RASULULLAH SAW
(Analisis terhadap Hadis-Hadis Fadhail A’mal dalam Kitab Shahih al-Bukhari)
Ade ‘Amiroh
Mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur'an dan Tafsir 13530058
Abstrak
Tulisan ini membahas resepsi al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat pada masa Islam generasi awal, yaitu pada masa Rasulullah saw. Resepsi merupakan salah satu teori kritik sastra yang menyatakan bahwa seorang pembaca tidak pasif dalam menanggapi sebuah teks. Terdapat sebuah peran di situ. Teori ini kemudian digunakan untuk membaca interaksi umat Islam generasi awal dengan al-Qur'an, khususnya al-Fatihah
dan al-Mu’awwidzat. Interaksi ini dijelaskan di beberapa kitab hadis, salah satunya di
dalam bab Fadhail al-A’mal dalam kitab Shahih al-Bukhari. Hadis-hadis tersebut kemudian dibaca menggunakan teori resepsi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Islam generasi awal telah melakukan resepsi terhadap al-Qur'an, pembaca secara tersirat membawa maknanya sendiri namun teks/al-Qur'an pun tidak diam.
Kata-Kata Kunci: Resepsi, al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat, Rasulullah saw, Sahabat.
Pendahuluan
paling awal –dalam sejarah al-Qur'an-, adalah periwayatan/pembelajaran al-Qur'an secara oral. Rasulullah saw mengajarkan al-Qur'an kepada para sahabat, sahabat kepada sahabat yang lain, dan begitu seterusnya. Namun hal tersebut juga tidak menafikan adanya tulisan al-Qur'an pada saat itu.
Selain interaksi tersebut, terdapat interaksi lain antara sahabat dengan al-Qur'an, yaitu Rasulullah saw dan sahabat membaca surat-surat atau ayat-ayat tertentu ketika akan melakukan atau terjadi sesuatu. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hadis yang menggambarkannya. Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw membaca al-Mu’awwidzat sebelum beliau tidur.
Di lain sisi, al-Qur'an, meminjam pendapatnya Amin al-Khuli2, merupakan kitab sastra terbesar (Kitab al-‘Arabiyyah al-Akbar).3 Menurutnya, hal ini karena al-Qur'an mengabadikan Bahasa Arab, menjadikan kebanggaan Bahasa Arab, dan kearabannya diakui oleh semua orang Arab, apapun agama mereka selama mereka masih menyadari kearaban mereka. Dengan demikian, al-Qur'an sebagai karya sastra terbesar tentu saja bisa didekati dengan pendekatan susastra.4
Teori resepsi merupakan salah satu pendekatan susastra. Secara singkat teori ini dapat disebut dengan aliran yang meneliti teks sastra (dalam hal ini al-Qur'an) dengan bertitik-tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut.5 Dengan demikian, dalam interaksi antara teks dan pembaca, keduanya memiliki peran yang aktif; teks memiliki makna, pembaca juga memiliki makna.
Teori Resepsi (Reader Response Theory)
Resepsi berasal dari kata recipire (Yunani) dan reception (Inggris), yang secara harfiah berarti penerimaan atau penyambutan. Teori resepsi merupakan salah satu aliran sastra yang meneliti karya sastra dengan memfokuskan kajiannya terhadap
2 Nama lengkapnya Amin Ibn Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusul al-Khuli. Beliau adalah salah seorang mufassir modern, yang memproklamirkan lahirnya tafsir al-Qur'an dengan gaya baru, yaitu tafsir sastrawi. Lihat lebih lanjut Muhammad Mansur, “Amin al-Khuli dan ‘Pergeseran Paradigma’ Tafsir al-Qur'an dalam Muhammad Chirzin (.ed), Studi Kitab Tafsir Modern-Kontemporer (Yogyakarta: TH Press, 2012), hlm. 1-13.
3 Muhammad Mansur, “Amin al-Khuli dan ‘Pergeseran Paradigma’ Tafsir al-Qur'an dalam Muhammad Chirzin (.ed), Studi Kitab Tafsir Modern-Kontemporer (Yogyakarta: TH Press, 2012), hlm. 15-16.
4 M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), hlm. x.
reaksi/tanggapan pembaca terhadap teks.6 Sederhananya, resepsi adalah bagaimana teks diterima oleh pembaca dan bagaimana reaksi yang diberikan olehnya.
Pada dasarnya, seorang pembaca itu terbagi menjadi tiga kategori; intended
reader, real reader, dan implied reader.7 Kategori pertama adalah pembaca sebagai
intended reader. Pada kategori pertama ini, teks diposisikan menjadi sesuatu yang
menguasai, dan pembaca harus menuruti apapun yang ada dalam teks. Sehingga, pembaca tidak memiliki peran sama sekali. Dengan kata lain, pembaca ‘mati’ yang dicetak sesuai dengan keinginan teks atau penulis teks. Pembaca dengan kategori ini terkesan dengan tekstual.
Kategori selanjutnya yaitu real reader. Pembaca sebagai real reader adalah pembaca yang hidup dan menganggap teks itu mati; tidak memiliki makna. Dengan demikian, hasil pembacaannya terserah oleh siapa yang membacanya, tidak peduli teks berkata apa.
Sementara, implied reader, kategori pembaca yang ketiga, pembaca tidak diam, begitu juga dengan teks. Pembaca dan teks sama-sama memiliki makna. Hubungan inilah kemudian disebut dengan interpretive community. Pada interpretive community ini muncullah sebuah interaksi antara teks dengan pembaca, yang disebut dengan resepsi pembaca terhadap teks.
Teori resepsi lahir bersamaan dengan beberapa teori kritik sastra baru yang lain, yaitu semiotika dan interteks. Hal ini disebabkan bergesernya kecenderungan dalam disiplin kritik sastra Barat; dari strukturalisme menjadi Post-strukturalisme. Dan teori resepsi muncul sebagai varian kritik sastra Post-strukturalisme.8
Teori ini berasumsi bahwa sebuah teks tidak diapresiasi secara pasif oleh pembacanya, tetapi pembaca juga turut berperan dalam menafsirkan makna teks berdasarkan latar belakang, kultur serta pengalaman pribadinya. Dengan kata lain, pembaca akan melakukan konkretisasi (realitas makna) terhadap teks9 atau makna teks tidak diasumsikan sebagai sesuatu yang tercipta secara inheren di dalam teks, 6 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 150.
7 Mata Kuliah Metodologi Penelitian al-Qur'an dan Tafsir oleh Bapak Ahmad Rafiq, pada tanggal 12 Februari 2015.
8 Muhammad Mukhtar, “Resepsi Santri Lembaga Tahfizhul Qur'an Pondok Pesantren Wahid Hasyim terhadap al-Qur'an”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm. 34, dikutip dari Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2004), hlm. 163.
melainkan tercipta dalam relasi antara teks dan pembacanya10. Dengan demikian, dalam membaca sebuah karya sastra, terdapat dua pihak yang melakukan timbal balik, yaitu teks dan pembaca.
Resepsi yang berfungsi sebagai teori pengkajian atas respons pembaca karya sastra, muncul secara partikular di Amerika dan Jerman pada kisaran tahun 1960 yang diwakili sejumlah tokoh, seperti Norman Holland, Stanley Fish, Wolfgang Iser, dan Hans Robert Jauss, mereka meneruskan penelitian Inggarden (Fenomenologi), Mukarovsky (Strukturalis Praha) dan Gadamer (hermeneutika).11 Dalam penelitian kali ini, penulis menggunakan teori resepsi yang dikemukakan oleh Wolfgang Iser
(Die Appel-Struktur der Texte: 1975) untuk membaca resepsi yang dilakukan oleh
umat Islam generasi awal terhadap al-Qur'an.
Iser membicarakan tentang konsep wirkung (efek), yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser, sebuah teks sastra dicirikan oleh kesenjangan atau bagian-bagian yang tidak ditentukan. Kesenjangan tersebut adalah salah satu faktor penting efek yang hadir dalam teks untuk diisi oleh pembaca. Apabila pembaca berhasil menjembatani kesenjangan tersebut, maka berbagai kemungkinan komunikasipun telah dimulai. Aktivitas pembaca dalam proses menjembatani kesenjangan atau mengisi tempat terbuka (blank, openness) dikontrol oleh teks itu sendiri.12 Teori Iser ini lebih menitikberatkan pada pembaca dan karya sastra secara individual dan dalam dimensi waktu tertentu.13
Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra sejak terbitnya selalu mendapat tanggapan dari pembacanya.14 Tugas resepsi estetik berkenaan dengan interpretasi adalah meneliti konkretisasi (realitas makna) pembaca terhadap sebuah teks sastra.15
10 Muhammad Mukhtar, “Resepsi Santri Lembaga Tahfizhul Qur'an Pondok Pesantren Wahid Hasyim terhadap al-Qur'an”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm. 35.
11 Muhammad Mukhtar, “Resepsi Santri Lembaga Tahfizhul Qur'an Pondok Pesantren Wahid Hasyim terhadap al-Qur'an”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm. --.
12 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori...” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 151.
13 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori...” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 163.
14 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori...” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 152.
Sedangkan penerapan metode penelitian resepsi sastra dirumuskan ke dalam tiga pendekatan; penelitian resepsi sastra secara eksperimental, penelitian resepsi lewat kritik sastra dan penelitian resepsi intertekstualitas.16
Penelitian yang pertama (secara eksperimental) di satu sisi tampak menarik, namun di sisi yang lain mengalami berbagai kesulitan dalam praktik di lapangan. Penelitian yang keduk (kritik sastra) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sinkronik17 dan diakronik18. Sementara penelitian ketiga, misalnya dalam kaitannya dengan kesusastraan Indonesia modern, baik dalam prosa maupun puisi.19
Fadhail al-A’mal dalam Kitab Shahih al-Bukhari
Sahih al-Bukhari adalah salah satu kitab hadis primer, di samping Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, dan kitab-kitab yang lain. Nama lengkap dari kitab ini adalah al-Jami’ alMusnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah saw wa Sunaihi wa Ayyamihi.
Kitab hadis karya Imam Bukhari ini telah diakui kualitas keshahihannya oleh para ulama. Namun, hal ini bukan berarti bahwa hadis di selain Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim itu tidak sahih. Kitab ini disusunnya selama 16 tahun, dan merupkan hasil seleksi dari 600.000 hadis.20
Kitab Shahih al-Bukhari ini disusun dengan pembagian beberapa judul. Judul ini dikenal dengan istilah kitab. Adapun jumlah kitab dalam Shahih al-Bukhari ini adalah 97 kitab. Kemudian, beberapa kitab (judul) tersebut dibagi lagi menjadi beberapa subjudul, subjudul ini dikenal dengan istilah bab. Jumlah total bab-nya adalah 4550 bab, yang dimulai dengan KitabBad’ al-Wahy dan diakhiri dengan Kitab
at-Tauhid. Sedangkan terkait jumlah hadisnya, Ibn Shalah, dalam Muqaddimah-nya
menyebutkan bahwa jumlah hadis dalam Shahih al-Bukhari sebanyak 7275 hadis, dengan pengulangan. Dan 4000 hadis tanpa pengulangan.21
Fadhail al-A’mal adalah salah satu kitab yang terdapat dalam kitab Shahih
al-Bukhari. Kitab ini terdiri dari beberapa bab, di antaranya yaitu Bab Fadhl Fatihah
al-16 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori...” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 153.
17 Penelitian secara sinkronik maksudnya meneliti resepsi sastra dalam kurun masa atau periode tertentu yang setara (horizontal).
18 Penelitian secara diakronik maksudnya meneliti resepsi sastra secara vertikal.
19 Imran T. Abdullah, “Resepsi Sastra Teori...” dalam Jabrohim (.ed), Teori Penelitian Sastra, hlm. 153-154.
20 Agus Setiadi, dkk, “Studi Kitab Hadis Shahih al-Bukhari”, Makalah Fakultas Ushuluddin Yogyakarta, 2014, hlm. 8.
Kitab dan Bab Fadhl al-Mu’awwidzat. Yaitu bab yang hadisnya akan dibahas dalam penelitian ini.
Bab Fadhl Fatihah al-Kitab dan Bab Fadhl al-Mu’awwidzat, masing-masing
terdiri dari 2 hadis. Hadis-hadis tersebut menggambarkan keutamaan dari Surat
al-Fatihah dan Surat al-Mu’awwidzat. Adapun Surat al-Fatihah adalah surat pembuka
dari kitab suci al-Qur'an, yang juga disebut dengan al-Sab’ al-Matsani. Sedangkan Surat al-Mu’awwidzat itu adalah sebutan bagi ketiga surat akhir dalam Mushhaf ‘Utsmani, yaitu Surat al-Ikhlash, Surat al-Falaq dan Surat al-Nas. Penggunaan kata jamak (al-Mu’wwidzat; jamak muannats salim) berdasarkan pendapat bahwa jumlah minimal dari jamak adalah dua. Surat al-Ikhlash masuk dalam kategori
al-Mu’awwidzat dalam konteks dominasi suatu kata atas kata yang lain, mengingat
dalam surat al-Ikhlash terdapat sifat Allah, meski tidak ada penegasan kata
ta’awwudz.22
Hadis-Hadis Interaksi Rasulullah saw dan Sahabat dengan Fatihah dan al-Mu’awwidzat dalam Bab Fadhail al-A’mal Kitab Shahih al-Bukhari
Dalam kitab Shahih al-Bukhari terdapat beberapa hadis yang menggambarkan interaksi generasi Islam awal dengan QS. al-Fatihah dan QS. al-Mu’awwidzat. Di antara hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kitab Fadhail al-A’mal, Bab Fadhl Fatihah al-Kitab, nomor hadis 5006.23
اَنَثّد َح
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Syu'bah Telah menceritakan kepadaku Khubaib bin Abdurrahman dari Hafsh bin Ashim dari Abu Sa'id Al Mu'alla ia berkata; Suatu ketika aku sedang shalat, tiba-tiba Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggilku namun aku tidak menjawab panggilannya. Seusai shalat, aku berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi aku sedang shalat." Beliau bersabda: "Bukankah Allah telah berfirman: 'Penuhilah panggilan Allah dan panggilan Rasul-Nya bila ia mengajak kalian..'" kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku ajari 22 Al-Hafizh al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, terj. Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid --, hlm. 861.
satu surat yang paling agung yang terdapat dalam Al Qur`an sebelum kamu keluar dari Masjid?" Lalu beliau memegang tanganku, dan ketika kami hendak keluar, aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah berkata, 'Sungguh, aku akan mengajarkan padamu suatu surat yang paling agung dari Al Qur`an.'" Beliau pun bersabda: "Yaitu: 'AL HAMDULILLAHI RABBIL 'AALAMIIN..' ia adalah As Sab'u Al Matsaanii (tujuh yang berulang-ulang) dan Al Qur`an yang agung yang telah diberikan kepadaku."
2. Kitab Fadhail al-A’mal, Bab Fadhl Fatihah al-Kitab, nomor hadis 5007.24
يِنَثّد َح
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Mtsanna Telah menceritakan kepada kami Wahb Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Muhammad dari Ma'bad dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Dalam perjalanan yang kami lakukan, kami singgah di suatu tempat, lalu datanglah seorang wanita dan berkata, "Sesungguhnya ada seorang kepala kampung sakit, sementara orang-orang kami sedang tiada. Apakah salah seorang-orang dari kalian ada yang bisa meruqyah?" Maka berdirilah seorang laki-laki yang kami sendiri tidak tahu bahwa ia bisa meruqyah. Ia beranjak bersama wanita itu, lalu meruqyah, dan ternyata yang diruqyah sembuh. Kemudian sang kepala kampung memerintahkan agar laki-laki itu diberi tiga puluh ekor kambing, dan kami pun diberinya minuman susu. Setelah pulang, kami bertanya padanya, "Apakah kamu memang seorang yang pandai meruqyah?" Ia menjawab, "Tidak, dan tidaklah aku meruqyahnya, kecuali dengan Ummul Kitab." Kami katakan, "Janganlah kalian berbuat apa-apa, hingga kita sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya pada beliau." Ketika kami sampai di Madinah, kami pun menuturkan hal itu pada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau bersabda: "Lalu siapa yang memberitahukannya, bahwa itu adalah ruqyah. Bagikanlah kambing itu, dan aku juga diberi bagian." Abu Ma'mar berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits Telah menceritakan kepada kami Hisyam Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sirin Telah menceritakan kepadaku Ma'bad bin Sirin dari Sa'id Al Khudri dengan hadits ini.
3. Kitab Fadhail al-A’mal, Bab Fadhl al-Mu’awwidzat, nomor hadis 5016.25
اَنَثّد َح kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha, bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menderita sakit,
maka beliau membacakan Al Mu'awwidzaat untuk dirinya sendiri, lalu beliau meniupkannya. Dan ketika sakitnya parah, maka akulah yang membacakannya pada beliau, lalu mengusapkan dengan menggunakan tangannya guna mengharap keberkahannya.
4. Kitab Fadhail al-A’mal, Bab Fadhl al-Mu’awwidzat, nomor hadis 5017.26
اَنَثّد َح Urwah dari Aisyah bahwa biasa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila hendak beranjak ke tempat tidurnya pada setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membacakan: "QULHUWALLAHU AHAD.." dan, "QUL `A'UUDZU BIRABBIL FALAQ..." serta, "QUL `A'UUDZU BIRABBIN NAAS.." Setelah itu, beliau mengusapkan dengan kedua tangannya pada anggota tubuhnya yang terjangkau olehnya. Beliau memulainya dari kepala, wajah dan pada anggota yang dapat dijangkaunya. Hal itu, beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Dari hadis-hadis di atas, dapat tergambarkan bagaimana interaksi generasi Islam awal dengan al-Qur'an, khususnya dalam hal ‘Keutamaan al-Fatihah dan
al-Mu’awwidzat.
Hadis Pertama.
Hadis pertama menggambarkan bahwa al-Fatihah adalah surat yang paling agung dalam al-Qur'an. Dan ia (al-Fatihah) disebut dengan al-Sab’ al-Matsani (tujuh yang berulang-ulang)
Maksud dari ‘agung’ di sini adalah agung kedudukannya karena pahala yang didapatkan saat membacanya, meskipun surat yang lain lebih panjang. Hal ini disebabkan kandungan al-Fatihah yang mencakup makna-makna yang sesuai dengan hal tersebut.27
Hadis Kedua.
Dari hadis kedua dapat dipahami bahwa salah seorang sahabat menggunakan
al-Fatihah untuk meruqyah seorang pimpinan suku yang terkena ular berbisa. Dan
ternyata seorang pimpinan suku tersebut bisa sembuh, bi idznillah. Padahal, sahabat yang meruqyah tadi bukan seorang yang ahli dalam meruqyah. Hal ini sesuai dengan pernyataannya ِباَْْتِكْلاّمُأِْْب ّلِإ ُتْيَق َراَم َل. Dia tidak meruqyah, hanya membacakan
Fatihah. Menurut hadis ini, al-Fatihah digunakan sebagai ruqyah untuk menyembuhkan penyakit.
Hadis Ketiga.
Hadis ketiga ini menjelaskan bahwa ketika Rasulullah saw sakit, beliau membaca
al-Mu’awwidzat. Hal ini dapat disimpulkan bahwa al-Mu’awwidzat dapat dijadikan
sebagai obat/doa penyembuhan. Hadis Keempat.
Tidak jauh berbeda dengan hadis yang ketiga, hadis yang keempat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw membaca al-Mu’awwidzat pada kedua tangannya (semacam posisi berdoa, mengangkat tangan) lalu kemudian menyapukan tangannya ke seluruh anggota badan yang bisa dijangkau oleh beliau. Hal ini dilakukan ketika bersiap untuk tidur.
Berdasarkan keempat hadis di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hadis yang menggambarkan interaksi generasi Islam awal dengan al-Fatihah dan
al-Mu’awwidzat adalah hadis yang kedua, ketiga, dan keempat. Oleh karena itu,
selanjutnya hadis yang digunakan adalah ketiga hadis tersebut.
Resepsi al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat oleh Rasulullah saw dan Sahabat
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, generasi Islam awal memiliki interaksi dengan al-Qur'an, baik hanya dalam menghafalnya, menulisnya, sampai dijadikan doa/pengobatan. Dari interaksi yang terjadi, di sini terdapat dua pihak, yaitu al-Qur'an sebagai teks dan Rasulullah saw serta sahabat sebagai pembaca.
Sekedar mengulas teori resepsi yang dikemukakan oleh Wolfgang Iser, bahwa antara teks (dalam hal ini al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat) dengan pembaca terdapat sebuah ruang (kesenjangan). Ruang ini kemudian diisi oleh si pembaca. Isi yang diberikan oleh pembaca sangat bergantung dengan pengalaman, latar belakang dan kultur si pembaca. Teori ini menitikberatkan pada pembaca dan karya sastra secara individual dan dalam dimensi waktu tertentu, yaitu dimensi waktu saat masa Rasulullah saw. Resepsi yang dimaksud di sini adalah bagaimana al-Fatihah dan
al-Mu’awwidzat sebagai teks diresepsi atau diterima oleh generasi Islam awal dan
bagaimana mereka memberikan reaksi terhadapnya. Dalam hal ini, al-Fatihah dan
al-Mu’awwidzat memiliki makna yang mengarahkan reaksi pembacanya (Rasulullah saw
Hadis pertama, hadis yang menjelaskan bahwa salah seorang sahabat membacakan
al-Fatihah untuk menyembuhkan penyakit pemimpin suku yang terkena ular berbisa.
ْنَع
Antara al-Fatihah dengan sahabat terdapat sebuah ruang. Ruang ini kemudian diisi oleh sahabat dengan menerapkan al-Fatihah untuk mengobati pimpinan suku yang terkena bisa ular. Al-Fatihah merupakan surat yang agung, yang mengandung seluruh makna al-Qur'an.28 Dari makna agung yang diberikan oleh al-Qur'an ini kemudian ditanggapi oleh sahabat dengan membacakannya untuk orang yang sedang sakit (bisa ular). Al-Fatihah dengan keagungannya diharapkan dapat menyembuhkan penyakit bisa ular tersebut.
Hadis kedua, al-Mu’awwidzat digunakan sebagai doa untuk penyakit.
ْنَع
Ruang (kesenjangan) yang ada di antara al-Mu’awwidzat dengan Rasulullah saw diisi oleh Rasulullah saw dengan menggunakannya sebagai doa untuk penyakit. Makna dari ketiga surat al-Mu’awwidzat sendiri adalah meminta perlindungan dari Allah. Kemudian Rasulullah saw memberikan tanggapan dengan menggunakannya untuk obat sakit. Dengan harapan, Allah melindungi Rasulullah saw ketika sedang dalam keadaan sakit, dan bukan sakit karena kerasukan.
Hadis ketiga, al-Mu’awwidzat digunakan sebagai doa sebelum tidur.
ْنَع menggunakannya sebagai doa sebelum tidur. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadis kedua, al-Mu’awwidzat mengandung makna meminta perlindungan kepada Allah. Dengan demikian, tanggapan yang diberikan Rasulullah saw terhadapnya adalah menggunakan al-Mu’awwidzat untuk doa sebelum tidur. Maksudnya
menggunakannya agar Allah memberikan perlindungan-Nya ketika Rasulullah saw dalam keadaan tidur, tidak diganggu oleh keburukan yang diciptakan-Nya, dll.
Penutup
Al-Qur'an merupakan karya sastra terbesar, inilah statement yang dicetuskan oleh Amin al-Khuli. Oleh karena itu, al-Qur'an dapat diteliti menggunakan pendekatan susastra. Resepsi sebagai salah satu kritik karya sastra digunakan untuk meneliti resepsi al-Qur'an (al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat) oleh generasi Islam awal, yaitu pada masa Rasulullah saw. Interaksi antara al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat dengan generasi Islam awal telah digambarkan dalam beberapa hadis, di antaranya adalah hadis yang terdapat dalam Kitab Fadhail al-Qur'an dalam kitab hadis Shahih al-Bukhari.
Rasulullah saw dan sahabat memberikan tanggapan pada al-Fatihah dan
al-Mu’awwidzat, namun tanggapan mereka pun masih dalam wilayah cakupan teks (
al-Fatihah dan al-Mu’awwidzat). Salah satu contohnya yaitu Rasulullah menggunakan
al-Mu’awwidzat sebagai doa ketika akan tidur. Salah satu makna yang ditawarkan
oleh al-Mu’awwidzat adalah meminta perlindungan kepada Allah. Makna ini kemudian direalisasikan oleh Rasulullah saw dengan menggunakannya untuk doa sebelum tidur, agar selama tidur mendapat perlindungan dari Allah melalui perantara
al-Mu’awwidzat yang dibaca.
Daftar Pustaka
Abdullah, Imran T. “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam Jabrohim (.ed),
Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia Ikip
Muhammadiyah, 1994.
al-Asqalani, Al-Hafizh al-Imam Ibnu Hajar. Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari. terj. Amir Hamzah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Shahih al-Bukhari. Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir an-Nashir. Juz 6. Dar Thauq an-Najah, 1422 H. Fadlulloh, Muha. “Penggunaan Tanda Waqaf al-Waqf wa al-Ibtida’ pada Mushhaf
al-Quddus bi al-Rasm al-‘Utsmani: Tinjauan Resepsi al-Qur'an”, Skripsi Fakultas
Jalil, Abdul. “Sejarah Pembelajaran al-Qur'an di Masa Nabi Muhammad saw”. Insania, vol. 18, no. 1, Januari-April 2013.
Mansur, Muhammad. “Amin al-Khuli dan ‘Pergeseran Paradigma’ Tafsir al-Qur'an salam Muhammad Chirzin (.ed), Studi Kitab Tafsir Modern-Kontemporer. Yogyakarta: TH Press, 2012.
Mukhtar, Muhammad. “Resepsi Santri Lembaga Tahfizhul Qur'an Pondok Pesantren Wahid Hasyim terhadap al-Qur'an”. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007.
Mun’im, Zaini. Tafsir Surat al-Fatihah: dari Naskah Tafsir al-Qur'an bi al-Imla’. Yogyakarta: Forstudia, 2004.
Rafiq, Ahmad. Mata Kuliah Metodologi Penelitian al-Qur'an dan Tafsir, pada tanggal 12 Februari 2015.
Setiadi, Agus, dkk. “Studi Kitab Hadis Shahih al-Bukhari”. Makalah Fakultas Ushuluddin Yogyakarta, 2014.
Setiawan, M. Nur Kholis. al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: elSAQ Press, 2006.