• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN MUSLIM ATAS PRODUK PANGAN HALAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN MUSLIM ATAS PRODUK PANGAN HALAL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

142

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN MUSLIM ATAS PRODUK PANGAN HALAL

LEGAL ASPECT OF MUSLIM CONSUMER PROTECTION OF HALAL FOOD PRODUCTS

1)Astika Nurul Hidayah, 2)Susilo Wardani 1,2)Program Studi Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Jl. K.H. Ahmad Dahlan Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas *Email: astikanurul87@gmail.com

ABSTRAK

Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi dan memastikan konsumen muslim mendapatkan haknya untuk mengonsumsi segala sesuatu yang halal. Aspek kehalalan ini menjadi sangat penting artinya dilihat sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak konsumen muslim. Sebagai bentuk perlindungan atas hak-hak konsumen muslim, pemerintah telah menetapkan ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut dalam bentuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun ternyata meskipun berkedudukan sebagai payung hukum, undang-undang tersebut belum mengatur secara eksplisit mengenai hak konsumen muslim. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis (social legal approach). Penelitian yuridis sosiologis adalah mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial lainnya yang doktrinal dan bersifat empiris. Hadirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi solusi atas kebutuhan tersebut. Undang-undang ini meletakkan kewajiban bagi pelaku usaha atau produsen pangan yang mengedarkan produknyadi Indonesia untuk melakukan sertifikasi halal sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia.

Kata Kunci : Konsumen Muslim, Perlindungan Hukum, Produk Pangan Halal

ABSTRACT

The Indonesian government has an obligation to protect and ensure Muslim consumers get their right to consume anything that is halal. This halal aspect is very important, meaning that it is seen as a form of legal protection for the rights of Muslim consumers. As a form of protection for the rights of Muslim consumers, the government has stipulated provisions regulating this matter in the form of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. However, it turns out that even though it acts as a legal umbrella, the law has not explicitly regulated the rights of Muslim consumers. The approach method used in this research is a qualitative method with a sociological juridical approach (social legal approach). Sociological juridical research is to study the reciprocal relationship between law and other social institutions which is doctrinal and empirical in nature. The presence of Law Number 33 of 2014 concerning Halal Product Guarantee is a solution to this need. This law places an obligation for business actors or food producers circulating their products in Indonesia to carry out halal certification as a form of legal protection for Muslim consumers in Indonesia.

Keywords : Halal Food Products, Legal Protection, Muslim Consumers

PENDAHULUAN

Berdasarkan aturan dalam agama Islam, pemeluk agama Islam (muslim) diwajibkan untuk selalu mengonsumsi segala sesuatu yang halal. Terlebih lagi saat produk yang dikonsumsi tersebut masuk ke dalam tubuh, seperti produk makanan, minuman, obat-obatan, dan sebagainya. Allah SWT memerintahkan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 168 yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Ayat tersebut secara jelas dan tegas merupakan perintah Allah SWT kepada manusia (muslim) untuk makan segala sesuatu yang halal dan baik. Sehingga mengkonsumsi yang halal itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim (Apriyantono, 2013: 48).

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Masalah pangan menyangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani dan rohani (Kristiyanti, 2011: 169). Akan tetapi, kegiatan mengkonsumsi suatu bahan pangan bagi

(2)

143

seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi rasa lapar tetapi lebih dari itu yaitu bentuk ibadah kepada Sang Khaliq (Utami, 2011: 87).

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini turut mempengaruhi proses pembuatan pangan. Misalnya dengan adanya teknologi rekayasa genetika, hibridisasi, penambahan bahan pewarna, pengawet, perasa, dan sebagainya membuat asal, bahan, proses, dan hasil atau produk pangan menjadi semakin rumit untuk ditentukan kehalalan atau keharamannya. Selain itu, proses selanjutnya seperti pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk, dapat menjadi titik kritis kehalalan suatu produk pangan. Sehingga dengan demikian dibutuhkan suatu pengetahuan dan keterampilan yang memadai dengan berpedoman pada syariat agama Islam untuk dapat menentukan kehalalan suatu produk pangan.

Aspek kehalalan ini menjadi sangat penting artinya dilihat sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak konsumen muslim. Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.” Atas dasar aturan tersebut, maka pemerintah telah meletakkan kewajiban bagi produsen atau pelaku usaha untuk mencantumkan tulisan halal apabila produk pangan tersebut dinyatakan halal oleh mereka sendiri untuk dikonsumsi bagi umat Islam di Indonesia.

Sedangkan dalam Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Ketentuan ini menjadi landasan awal kewajiban melakukan pemeriksaan pangan kepada lembaga pemeriksa yang telah diakreditasi, yang mana di kemudian hari dikenal dengan proses sertifikasi halal atas produk pangan. Sertifikasi halal ini menjadi penting maknanya karena jaminan produk halal di Indonesia secara teknis dijabarkan dalam proses sertifikasi halal tersebut (Hidayat dan Siradj, 2015: 206).

Selain PP Iklan dan Label Pangan, pemerintah telah menetapkan payung hukum yang kuat khusus mengenai permasalahan perlindungan konsumen melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Akan tetapi ternyata di dalam kedua ketentuan tersebut, khususnya dalam UU PK, tidak ditemukan aturan atau pasal yang secara spesifik mengatur mengenai kewajiban melakukan sertifikasi halal terhadap produk pangan untuk menjamin kehalalannya sekaligus untuk melindungi hak konsumen muslim. Pasal 8 ayat (1) poin h UU PK menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang untuk “tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”. Larangan tersebut dapat secara jelas dipahami bahwa apabila pelaku usaha mencantumkan label halal pada kemasan produknya, maka wajib untuk melakukan proses produksi secara halal sesuai ketentuan dan dilarang melakukan hal yang tidak sesuai dengan ketentuan berproduksi secara halal.

Pada praktiknya di lapangan, ternyata masih banyak pelaku usaha atau produsen makanan yang belum memperhatikan sertifikasi halal dan pencantuman label halal pada kemasan produknya. Bahkan ada oknum pelaku usaha atau produsen makanan yang mencantumkan label halal yang palsu, atau bahkan tidak mencantumkan label halal. Hal ini tentunya sangat merugikan konsumen muslim yang akan mengkonsumsi produk makanan tersebut. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin perlindungan hukum bagi konsumen muslim atas haknya mengkonsumsi pangan yang halal, sekaligus juga untuk mengedukasi kesadaran produsen atau pelaku usaha mengenai hak tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana sertifikasi halal atas produk pangan sebagai upaya perlindungan hukum bagi konsumen muslim.

METODE

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis (social legal approach). Penelitian yuridis sosiologis adalah mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial lainnya yang doktrinal dan bersifat empiris. Data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tersebut dikaji kembali dengan pendekatan triangulasi. Pendekatan ini bertujuan untuk memverifikasi kebenaran data yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data untuk menjamin validitas dan reliabilitas data

(3)

144 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan serangkaian regulasi terkait kehalalan produk dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi konsumen muslim. Payung hukum utama adalah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) yang telah mengatur secara jelas dan tegas hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen dan produsen atau pelaku usaha. Pasal 4 UU PK menjabarkan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagai berikut.

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Apabila dicermati, ternyata di dalam Pasal 4 UU PK tersebut tidak ditemukan rumusan secara eksplisit yang mengatur mengenai hak konsumen muslim untuk mendapatkan perlindungan hukum saat mengonsumsi suatu produk yang halal. Namun dalam poin b dari pasal tersebut menyatakan bahwa konsumen memiliki “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”. Hal ini apabila dikaitkan dengan jaminan kehalalan yang dicantumkan oleh pelaku usaha dalam kemasan produk pangannya (label halal), maka pelaku usaha berkewajiban untuk membuat produk pangan yang halal sebagaimana yang telah dijanjikan.

Pasal 7 UU PK menentukan kewajiban bagi pelaku usaha sebagai berikut. a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan.

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diteirma atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berdasarkan ketentuan tersebut, UU PK ternyata juga tidak memberikan kewajiban bagi pelaku usaha untuk menjamin atau minimal memberikan informasi mengenai kehalalan produk yang dibuat dan/atau diperdagangkannya. Hanya saja dalam poin b, pelaku usaha (atau produsen) wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang. Apabila dihubungkan dengan kehalalan produk maka pelaku usaha yang memperdagangkan makanan halal harus memberikan informasi kehalalannya sehingga konsumen dapat dengan mudah mengidentifikasi produk tersebut sebagai produk halal. Demikian juga sebaliknya, apabila ternyata mengandung atau melalui proses yang diharamkan maka pelaku usaha juga wajib untuk menginformasikannya.

Pasal lain dalam UU PK yang secara eksplisit mengatur mengenai kehalalan ada pada Bab IV UU PK tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha, pada Pasal 8 ayat (1) yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan /atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

(4)

145

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8 ayat (1) poin h UU PK menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang untuk “tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label”. Larangan tersebut dapat secara jelas dipahami bahwa apabila pelaku usaha mencantumkan label halal pada kemasan produknya, maka wajib untuk melakukan proses produksi secara halal sesuai ketentuan dan dilarang melakukan hal yang tidak sesuai dengan ketentuan berproduksi secara halal. Namun ini masih belum cukup kuat untuk mengatur mengenai perlindungan bagi konsumen muslim terkait kehalalan produk sehingga dengan demikian, maka dapat mencari payung hukum lainnya untuk mengatur hal ini.

Sehubungan UU PK tidak secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan hukum atas kehalalan produk pangan secara khusus, dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal atau UU JPH, maka dalam rangka perlindungan hukum bagi konsumen muslim, UU JPH ini dapat digunakan sebagai payung hukum selain UU PK. UU Jaminan Produk Halal ini merepresentasikan tanggung jawab negara, khususnya terhadap umat Islam, untuk melindungi dan mengkonsumsi/menggunakan produk yang sesuai syari’at yakni halal dan thoyib (Juwaini, 2012: 50). Selain itu juga telah disahkannya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal semakin menegaskan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menjamin terpenuhinya hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi segala sesuatu yang halal, terutama produk pangan.

Pada Penjelasan UU Jaminan Produk Halal, undang-undang ini bertujuan untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat sesuai dengan asas perlindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Penyelenggaraan sistem produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Sebelum adanya UU Jaminan Produk Halal, kewajiban untuk melakukan sertifikasi halal bagi pelaku usaha atau produsen hanyalah sebatas tindakan yang bersifat sukarela (voluntary). Namun setelah disahkannya UU Jaminan Produk Halal, sertifikasi halal menjadi suatu kewajiban (mandatory). Landasan hukumnya ada dalam Pasal 4 UU JPH yang berbunyi “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal”. Hal ini merupakan suatu langkah yang sangat penting maknanya sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia. Pasal 4 tersebut meletakkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal untuk produk yang dibuat dan/atau diperdagangkan di wilayah Indonesia. Hal ini semakin dipertegas dalam aturan teknis UU JPH yakni dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai berikut.

(1) Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. (2) Produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal. (3) Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal.

(4) Pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(5)

146

Adanya kewajiban untuk melakukan sertifikasi halal tersebut mulai berlaku sejak tahun 2019 berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JPH yang berbunyi “kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. UU JPH ini diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014 sehingga kewajiban bersertifikat halal akan mulai berlaku sejak 17 Oktober 2019.

Sertifikasi halal ini menjadi penting maknanya karena jaminan produk halal di Indonesia secara teknis dijabarkan dalam proses sertifikasi halal tersebut (Hidayat dan Siradj, 2015: 206). Pasal 1 angka 10 UU JPH menentukan bahwa sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Bagi konsumen, sertifikat halal memiliki beberapa fungsi (Hasan, 2014: 230), diantaranya yaitu:

a. konsumen terlindungi dari mengkonsumsi suatu (pangan, obat-obatan dan kosmetika) yang tidak halal; b. timbulnya perasaan tenang secara kejiwaan perasaan hati dan batin bagi konsumen;

c. dapat mempertahankan jiwa dan raga dari keburukan akibat produk haram; dan d. mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum.

Sebaliknya bagi pelaku usaha atau produsen, sertifikat halal memiliki beberapa peran penting (Hasan, 2014: 230), yaitu:

a. sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim; b. meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen;

c. meningkatkan citra dan daya saing perusahaan;

d. sebagai sarana pemasaran serta untuk memperluas area pemasaran; dan

e. memberikan keuntungan bagi produsen dengan meningkatkan daya saing dan omzet produksi dan penjualan.

Bagi pelaku usaha yang sudah mendapatkan sertifikat halal, maka berdasarkan Pasal 25 UU JPH memiliki kewajiban untuk:

a. mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; b. menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal;

c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal;

d. memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan

e. melaporkan perubahan komposisi bahan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kewajiban pelaku usaha untuk menjamin kehalalan produknya ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia. Sebagaimana diketahui, konsumen memiliki bargaining position yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha, sehingga dalam UU JPH, pelaku usaha yang tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi hukuman yang bervariatif mulai dari sanksi administratif hingga sanksi pidana tergantung tingkat pelanggarannya. Pada Pasal 27 ayat (1) UU JPH ditentukan bahwa “pelaku usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis; b. denda administratif; atau c. pencabutan Sertifikat Halal”.

Sedangkan pada Pasal 56 UU JPH dirumuskan bahwa “pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”. Rumusan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 56 UU JPH ini merupakan suatu bentuk upaya akhir yang diberlakukan kepada pelaku usaha dalam rangka perlindungan hukum atas hak-hak yang dimiliki oleh konsumen muslim di Indonesia.

(6)

147 KESIMPULAN

Terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang menentukan proses sertifikasi halal yang harus dilakukan oleh pelaku usaha atau produsen pangan di Indonesia. Aturan yang merupakan payung hukum bagi upaya perlindungan konsumen di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih belum memberi jaminan secara eksplisit mengenai perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia, sehingga dibutuhkan adanya payung hukum lainnya yang mengatur secara khusus hal tersebut. Hadirnya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi solusi atas kebutuhan tersebut. Undang-undang ini meletakkan kewajiban bagi pelaku usaha atau produsen pangan yang mengedarkan produknyadi Indonesia untuk melakukan sertifikasi halal sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi konsumen muslim di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantoro, Anton. (2013). LPPOM MUI Harus Diperkuat. Jurnal Halal, 99 (XVI). 48.

Burhanuddin. (2011). Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal. Malang: UIN Malang Press.

Hasan, Sofyan. (2014). Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Hidayat, Asep Syarifuddin dan Siradj, Mustolih. (2015). Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non Halal pada Produk Pangan Industri. Ahkam¸ XV (2). 199-206.

Juwaini, Jazuli. (2012). UU JPH untuk Melindungi Umat. Jurnal Halal, 95 (XV). 50.

Suyadi. (2010). Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Produk Pangan Olahan yang Mengandung Bahan Rekayasa Genetika. Jurnal Dinamika Hukum, 10 (1).

Tambunan, Amirsyah. (2013). Hak Konsumen dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999. Jurnal Halal, 101 (XVI). 16.

Utami, Pujiati. (2011). Sertifikasi Halal Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Olahan Komoditas Pertanian Unggulan Daerah. AGRITECH, XIII (1). 87.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Referensi

Dokumen terkait

Yudha, D.S., et.al - Keanekaragaman Fosil Anggota Ordo Foraminifera pada Formasi Pucangan di Desa Bukuran dan Krikilan, Kecamatan Kalijambe Area Situs Manusia

Kewajiban yang diberikan oleh negara kepada MK dalam bentuk memberikan putusan dalam proses pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden merupakan kewajiban istimewa,

Teknik analisa data yang digunakan adalah Structural Equation Modeling (SEM). Secara parsial didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan dan positif Product,

Tujuan dalam penelitian ini yaitu mengetahui gambaran workplace bullying dan kematangan emosi karyawan, serta mengetahui ada tidaknya pengaruh kematangan emosi

Butir indikator ke-19 yang berbunyi “ Guru tidak menggunakan konteks sama sekali atau ketika konteks digunakan masalahnya adalah soal cerita yang sudah umum dikerjakan di

Sebagai negara hukum di Indonesia telah menetapkan Undang-Undang untuk di langsungkannya perkawinan, peraturan tersebut harus di laksanakan oleh semua masyarakat tanpa

Makeda, Libna, Lakhis, Gezer, Eglon, Heb- ron dan Debir, seluruh negeri itu, Pegunungan, Tanah Negeb, Daerah Bukit dan Lereng Gunung, beserta semua raja mereka,