• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANCASILA sebagai Dan PARADIGMA PEMBANGUNAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANCASILA sebagai Dan PARADIGMA PEMBANGUNAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PANCASILA

sebagai

PARADIGMA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

Disusun guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila Dosen Pengampu: Mohammad Idris .P, DRS, MM

STIMIK

AMIKOM

YOGYAKARTA

Di susun oleh :

Muhammad Arifin 11.12.5842

Kelompok I ”NUSA” Jurusan Sistem Informasi

STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA

▸ Baca selengkapnya: pertanyaan tentang pancasila sebagai paradigma pembangunan politik

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa saya ucapkan kepada dosen pembimbing

Bapak Mohammad Idris .P, DRS, MM dan pengarang buku yang telah memberikan referensi dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan selesainya makalah ini dapat

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I

1.1 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan 1 1.2 Rumusan Masalah 2

BAB II

2.1 Pendekatan Historis

Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 5 Piagam Jakarta 22 Juni 1945 5

Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) 5 Intruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 6

2.2 Pendekatan Sosiologis 6 2.3 Pendekatan Yuridis 7 Pembahasan 9

BAB III

(4)

BAB I

1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan / keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan / keahlian, menurut Notonegoro ( 1973 ) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional.

Pendidikan sebagai bagian dari Ilmu Humaniora memperlihatkan proses yang terus-menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Pendidikan pada dasarnya ialah pemanusiaan , dan ini membuat hominisasi dan humanisasi. Hominisasi proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan

manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Humanisasi adalah proses yang lebih jauh, kelanjutan hominisasi. Dalam proses ini, manusia bisa meraih perkembangan yang lebih tinggi, seperti nampak dalam kemajuan – kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan ( Driyakara, 2006 ).

Salah satu agenda pending dalam mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa kita adalah melalui pendidikan karakter, pendidikan nilai, pendidikan ahlak, pendidikan budi pekerti. Dalam penerapan pendidikan karakter, pendidikan nilai atau pendidikan moral, sebagai mana di kemukakan oleh D. Purpel & K. Ryan (Esd) dalam Colin J. Marsh ( 1996 ), hendaknya memperhitungkan baik kemampuan peserta didik untuk berfikir tentang persoalan – persoalan moral, maupun di mana seorang peserta didik benar – benar bertindak dalam situasi – situasi yang menyangkut benar dan salah.

Pendidik (guru) adalah vital bagi kemajan dan juga keselamatan bangsa. Guru tidak hanya menyampaikan idea-idea, tetapi hendaknya menjadi sutu wakil dari suatu cara hidup yang kreatif, suatu simbol kedamaian dan ketenangan dalam suatu dunia yang di cemaskan dan di aniaya. Ia menjadi penjaga peradaban dan pelindung kemajuan ( Frederick Mayer, 1963 ). Keteladanan pendidik adalah suatu keniscayaan yang harus di wujudkan. Perilaku pendidik aka lebih di ikuti oleh para peserta didik dari pada yang di katakan guru.

Pendidik (guru) yang memiliki ahlak, budi pekerti, karakter yang baik, akan sangat kondusif dalammewujudkan keberhasilan pendidikan moral, yang muaranya akan mendukung bagi peserta didik untuk memiliki karakter yang baik. Karakter yang baik mencakup secara organis harmonis dan dinamis komponen – komponen pengetahuan moral yang baik, perasaan moral yang baik, dan tindakan moral yang baik. Oleh karena itu, Lickona (1991) daam I Wayan Koyan (1997) menyatakan bahwa untuk mewujudkan karakter yang baik, memerlukan pendidikan moral yang komperhensif.

(5)

Dan pemerintah bertanggung jawab atas rakyat sebagai wakil mereka untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan kenegaraan. Dalam pancasila sila ke empat yang berbunyi ”Keadilan Sosial bagi

Seluruh Rakyat Indonesia” yang di mana di dalamnya mengandung makna: Kemakmuran yang merata bagi

seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Yang mana yang di maksud bukan lain merupakan hak yang sama yang di dapatkan warga negara indonesia yang berkaitan dengan pendidikan, baik dari kota, desa, maupun pelosok kaya maupun miskin. Mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak agar mereka tidak kalah dengan daerah, wilayah, bahkan negara tetangga kita.

Selanjutnya dalam makalah ini akan di bahas mengenai : 1. Moral knowing pertama, tanggung jawab moral, ialah menggunakan kecerdasan untuk melihat jika situasi meminta penilaia atau pertimbangan moral, dan berfikir secara hati-hati tentang apa yang benar dari perilaku tersebut ; aspek kedua, ialah “is taking trouble to be informed”.

- ”Knowing moral values”, atau pengetahuan tentang nilai-nilai moral. Nili-nilai tersebut antara lain : rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikian, perasaan kasihan dan keteguhan hati. Deangan mengetahui nilai-nilai, berarti mngerti bagaimana mengaplikasikan dalam berbagai situasi.

- “Perspectives-taking”, atau perspektif yang mengikat hati, adalah kemampuan untuk memberi pandangan pada orang lain, melihat situasi seperti yang dia lihat, membayangkan bagaimana dia harus berfikir, berkreasi, dan merasakan. Ini merupakan syarat memberi pertimbangan moral. Kita tidak dapat memberi rasa hormat kepada orang lain dan berbuat sesuai kebutuhannya, jika tidak memahami mereka. Tujuan fundamental dari pendidikan moral adalah untuk membantu peserta didik memahami keadaan dunia dan bagaimana memandang orang lain, khususnya dalam keadaan yang berbeda dengan diri mereka sendiri.

(6)

- ”Decision-making”, atau pengambilan keputusan, adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. Apabila saya ; apakah akibat yang tmbul dari keputusan yang di ambil, dan keputusan mana yang membawa akibat baik paling banyak.

- ”Self-knowledge”, atau mengenal diri sendiri, adalah kemampuan mengenal atau memahami diri sendiri, dan hal ini paling sulit di capai, tetapi hal ini penting untuk pengembangan moral. Untuk menjadi bermoral, dituntut adanya kemampuan untuk dapat melihatkembali perilaku yang pernah di perbuat, dan menilainya.

b. Moral Feeling

- “Conscience”, kata hati atau hati nurani, yang memiliki dua sisi, yaitu sisi kognitif ( pengetahuan tentang apa yang benar ), dan sisi emosi ( rasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu). Banyak orang tahu tentang kebenaran tetapi sedikit yang merasa wajib berperilaku menurut kebenaran itu,

- “Self-esteem”, atau harga diri. Mengukur harga diri kita sendiri berarti kita menilai diri sendiri. Jika kita menilai diri sendiri, berarti kita merasa hormat terhadap diri kita sendiri, dan dengan demikian kita aka mengurangi penyalahgunaan pikiran atau badan kita sendiri. Jika kita memiliki harga diri, kita akan mengurangi ketergantungan pada persetujuan orang lain. Tugas para pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan secara positif harga diri atas dasar nilai – nilai, seperti tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan atas dasar keyakinan kemampuan mereka untuk berbuat baik.

- ”Empathy”, atau empati, adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, seolah – olah

mengalami sendiri apa yang di alami orang lain, atau merasakan apa yang oarang lain rasakan. Ini bagian dari emosi, yaitu kemampuan memandang orang lain. Bagi pendidik moral, tugasnya adalah mengembangkan empari yang bersifat umum.

- ”Loving the good” , atau cinta pada kebaikan, jika orang cinta akan kebaikan, maka mereka akan berbuat baik, dan mereka akan memiliki moralitas.

- ”Self-control”, atau kontrol diri, adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan hal ini di perlukan juga untuk mengekang kesenangan diri sendiri.

(7)

c. Moral Action

- ”Competence”, atau kompetrensi moral, adalah kemampuan untuk menggunakan

pertimbangan-pertimbangan moaral dan perasaan dalam perilaku moral yang efektif. Sebagai contoh untuk mengatasi pertentangan atau konflik memerlukan ketrampilan praktis, seperti ketrampilan mendengarkan, ketrampilan berkomunikasi dengan jelas, dan memutuskan suatu bersama suatu pemecahan masalah yang dapat di terima secara timbale-balik.

- ”Will” atau kemauan, adalah kemauan yang sering menuntut tindakan nyata dari kemauan,

memobilisasi energ moral untuk bertindak tentang apa yang kita pikirkan, apa yang harus kita kerjakan. Kemauan berada pada keberanian moral inti.

- ”Habit” atau kebiasaan. suatu kebiasaan untuk bertinda secara baik dan benar perlu senantiasa di kembangkan. Peserta didik perlu di berikan kesempatan yang cukup untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mempraktekanya bagaimana menjadi orang yang baik.

BAB II Pendekatan :

A. Historis

Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:

1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); 2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi.

Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih „alamiah‟. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel.

(8)

a. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945

Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.

Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4)

Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).

b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945

Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950)

Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih singkat‟ menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.

(9)

d. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968

Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

B. Pendekatan Sosiologis

Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia.

Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia.

(10)

Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila.

Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.

C. Pendekatan Yuridis

Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila.

Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo (1984) bahwa secara

yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur

-menyelenggarakan pemerintahan negara. … Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.”

Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia „tunduk‟ kepada Pancasila sebagai „kekuasaan‟ tertinggi.

Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara.

(11)

Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila.

Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.

Pendidikan Pancasila memiliki landasan yuridis yang dapat di lihat rasionalnya di mulai dari tujuan negara Indonesia yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai konsekuensinya dari tujuan negara tersebut, maka negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan nasional untuk warga negaranya.

Sistem Pendidikan Nasional Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 : Bab I. Ketentuan Umum :

- Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Bab II. Dasar, Fungsi dan Tujuan

- Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pendidik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bab III. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan

(12)

Pembahasan

Mengapa perlu ada pengembangan karakter yang baik dalam proses pendidikan?

1. ” Self-disciplinne atau disiplin diri perlu di tanamkan pada para mahasiswa/siswa, dosen/guru, pelatih, pembimbing, dan semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran.

2. ”Compassion” atau rasa terharu. Rasa terharu yang di sertai rasa kasih sayang dapat di tenamkan melalui ceritera-ceritera atau peribahasa yang bermanfaat seoptimal mungkin.

3. ”Responsibility” atau tanggung jawab. Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu cirri bahwa orang tersebut belum matang, sebaliknya ada rasa tanggung jawab, kita sesngguhnya membantu mereka untuk menjadi matang. Anak perlu di latih mengerjakan tugas-tugas ruimah, tugas-tugas sekolah dan belajar bekerja secara suka rela di mana perlu.

4. ”Friendship” atau persahabatan. Ceritera-ceritera yang di sampaikan pada mahasiswa/siswa mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia. Kita Harus mengajarkan kepada siswa bagaimana memilih teman (sahabat) yang baik. Tuntutan suatu persahabatan adalah kejujuran, keterbukaan, setia, pengorbanan diri, yang ini semua adalah sangat potensial untuk mendorong terwujudnya kematangan moral dan kejujuran yang mantap.

5. ”Work” atau bekerja. Lngkah pertama dalam mengerjakan sesuatu adalah belajar, bagaimana cara mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini perlu di tanmkan bahwa semua pekerjaan adalah baik dan mulia, cara menikmati mengerjakan seuatu, cara bekerja sama, memberi dorongan dan apresiasi terhadap usaha-usaha mereka, bekerja denagn penuh riang gembira, disertai dengan pembeian contoh yang teliti dan cermat.

6. ”Courage” atau keberanian dan keteguhan hati. Hati ini perlu di tanamkan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-agu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lain yang sering mengganggu. Anak perlu di dorong dan di bangkitkan motivasiny untuk berlatih dengan menggunakan kecerdasan.

7. ”Persevarance” atau ketekunan. Bagaimana caranya mendorong para mahasiswa/siswa supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya. Mereka perlu di bimbing dan di arahkan serta di beri contoh-contoh yang positif, denagan mengedepankan prinsip “Tut Wuri Handayani”.

8. ”Honesty” atau kejujuran. Peserta didik perlu di didik menjadi pribadi yang jujur, berbuat secara nyata, secara murni, dan dapat di percaya. Kejujuran di wujudkan tau di ekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Hal ini perlu di latih dan di pelajari, yang hakikatnya sepanjang hidup, supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia. Kejujuran adalah hal yang sangat penting bagi pemeliharaan hubungan-hubungan kemanusiaan, bagi persahabatan sejati di dalam masyarakat. Hal ini harus di miliki dan di aplikasikan secara serius supaya menjadi seseorang yang baik dan bijansana.

(13)

10. “Faith” atau keyakinan. Keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dimensi yang sangat penting, yang merupakan sumber moral manusia. Keyakinan juga merupakan sumber disiplin dan kekuatan yang sangat berarti dalam kehidupan manusia, dapat membantu kesetabilan sosial dan perkembangan moral individu dan masyarakat. Oleh karena itu hal ini perlu di miliki oleh anak-anak sedini mungkin sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mereka.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas banyak kesimpulan tentang Pancasila sebagai paradigma pembangunan pendidikan, di antaranya pancasila sebagai pembentuk kepribadian yang baik. Kesadaran/ moral yang tercermin dalam pancasila sangat lah universal dan dapat di terima semua golongan, karena Pancasila sangat lah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Selain itu Pancasila merupakan cikal bakal pengembangan moral yang sangat baik karena Pancasila memiliki asas-asas keadilan yang sesuai dengan hati nurani bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi adat istiadat yang sangat menjunjung tinggi gotong royong. Pendidikan yang selaras dengan Pancasila dapat menumbuhkan rasa cinta tanah air yang di perlukan negeri ini, akan terciptanya hati nurani yang bersih yang akan membangun negeri ini denga kejujuran

sehingga dapat meminimalisir kasus yang terjadi di negeri ini. Dan dari hal tersebut maka semua masyarakat akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan pendidikan demi memperbaiki stabilitas ekonomi orang tersebut dan negara. Pembentukan pribadi yang kontrol diri untuk mencapai kebersihan jasmani rohani yang

bertumpu pada sila ke lima ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sehingga tercipta keadilan merata untuk seluruh rakyat Indonesia dalam dunia Pendidikan.

SARAN

Sebagai warga indonesia yang baik, orang tua adalah jembatan utama untuk memberikan pendidikan pancasila yang benar ke pada anak-anak mereka, sehingga sejak kecil sudah tertanam kebaikan pancasila untuk memajukan bangsa Indonesia. Sehingga sebuah kebiasaan dari kecil untuk mengilhami Pancasila yang benar adalah sebuah keputusan yang baik untuk kemajuan pendidikan. Selain itu, perangkat desa juga harus bertanggung jawab atas warganya tentang masalah pendidikan, baik fisik maupun non-fisik. Karena

sebaiknya perangkat desa mampu memberikan pengarahan dan pembekalan tentang Pendidikan dan

(14)

Referensi

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan melakukan wawancara kepada petugas di KPP Pratama Surakarta, Hasil penelitian menunjukkan

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah usulan strategi rekomendasi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan di Kawasan Kota Tua Jakarta yang dikembangkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlawanan atau resistensi yang dilakukan etnis Muslim Rohingya dalam menghadapi kebijakan diskriminatif yang diterapkan

RPH-JP KPHL Rinjani Barat merupakan rencana induk dan roh penggerak seluruh aspek kegiatan pengelolaan hutan jangka panjang (10 tahunan) untuk periode 2014-2023, yang

a) Situasi politik nasional yang berimplikasi terhadap situasi wilayah Kepulauan Riau adalah tuntutan buruh yang belum terselesaikan (Hostum & Jamkesmas),

Penelitian ini menggunakan penerapan klasifikasi berbasis obyek (OBIA) untuk pemetaan zona geomorfologi ekosistem terumbu karang di Pulau Pari.. Penerapan metode OBIA

Di Kota Bandung belum tumbuh perasaan kewargaan yang kuat yang mengikat, baik orang Sunda maupun bukan-Sunda sebagai warga kota, meskipun ada juga potensinya