• Tidak ada hasil yang ditemukan

Datanglah langsung pada tempatnya niscay

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Datanglah langsung pada tempatnya niscay"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

│ BENNY APRIARISKA SYAHRANI │ 170510120077│ │ Tugas Individu │ Reflection Paper of Field Study on Baduy│

Datanglah langsung pada tempatnya, niscaya disanalah kau akan mendapat

jawaban

Sejak awal perkuliahan semester 1 sudah ada informasi bahwa mahasiswa antropologi angkatan 2012 akan kuliah lapangan (kulap) ke Baduy, Banten. Tak terasa akhirnya waktu telah ditentukan dan semakin dekat. Perizinan dan persiapan untuk di sana nanti telah diberikan dosen. Para senior juga memberikan sharing time perihal kuliah lapangan yang akan dilakukan tiap semester ataupun berkenaan dengan lokasi kulap kali ini, Baduy. Sharing time itu sangat terasa penting, karena masih ada yang belum terbayang disana bagaimana dan mau apa. Dalam perbincangan yang tidak banyak diberikan dosen di kelas perihal teknis, sesi berbagi pengalaman itu hanya saya gunakan untuk mencari-cari cara (belajar berdasarkan pengalaman mereka -red) tentang bagaimana mendekati orang tanpa menjadikan saya adalah orang asing. Atau intinya melebur seperti mereka apa adanya karena itu yang menjadi kesulitan pribadi ketika menjumpai orang baru. Berhubung baru pertama kali, agaknya kulap masih santai dan saya anggap itu sebagai jalan-jalan guna melatih jam terbang improv bersosialisasi (learning by doing -red). Dengan mempersiapkan diri semaksimal mungkin dan perlengkapan serba dadakan satu hari sebelum berangkat, mau tidak mau kami semua harus siap berangkat.

**

Lewat pukul sebelas malam hari kamis 22 November 2012 kami berangkat dari kampus. Perjalanan malam memang enak dipakai untuk tidur, namun tidak bagi saya. Dalam kepala mendadak muncul pikiran-pikiran tentang apa yang akan dilakukan ketika sudah tiba dan rasa penasaran mendalam terhadap Baduy dalam.

Satu hal lagi yang mendadak muncul dikepala dan tak kalah memecah keheningan bus adalah bayang-bayang atas fenomena budaya (sunda) yang mulai popular di Bandung beberapa tahun terakhir khususnya dikalangan anak muda, bahkan beberapa kawan terdekat. Mengapa? entahlah, tidak ada alasan kuat dan pasti. Justru itulah yang membuat pikiran kembali tak karuan dengan berbagai macam fenomena seperti ada musik barat yang digabungkan dengan budaya lokal, sebut saja musik Sundanesse Death Metal atau alat musik karinding yang dipadukan dengan musik-musik popular.

Ada pula yang menggembar-gemborkan "Save Sunda" atau "Sunda Nu Aing" pada t-shirt. Pula pada acara pertunjukan musik, penonton memakai ikat kepala bahkan kerajinan khas Baduy. Jujur saya tidak tahu bagaimana teori atau penjelasan ilmiah untuk mendiskripsikan fenomena tersebut. Tapi ada perasaan risih yang tidak bisa dijelaskan untuk minimal berkata: "ada yang aneh dengan masyarakat urban bandung hari ini" dan "saya merasa ada budaya yang 'ditelanjangi' dengan asumsi ada beberapa dari mereka yang melabeli diri mereka 'Sunda nepi Modar' atau apalah dengan tidak mengenal secara utuh dan mendalam akan apa yang disukainya."

(2)

benar-benar valid mengenai Baduy. Dan sekali lagi entah dapat ilham dari mana dia, pula orang lain ngaku-ngaku paling tahu tentang apa yang kali ini dianutnya.

Pikiran itu semakin kacau dikepala. Bahkan dari fenomena tersebut saya sudah 'tak peduli' dengan budaya sunda apapun dan dekat dengan ketidakmenghargai-an atas penggeneralisiran fenomena dan beberapa fakta. Resah dan selalu saja langsung saya judge "si kearifan lokal" ketika menjumpai muda-mudi yang berdandan nyunda, bahkan orang tua sekalipun. Saya hampir 'tidak menyenangi' budaya sunda begitupun kawan-kawan yang mempunyai perasaan dan pemikiran yang sama. Alasannya yang logis-tak logis juga tidak bisa dijelaskan secara ilmiah, cenderung subjektif dan egosentris.

Ada contoh lain, ketika saya ke perpustakaan baru di jalan Curie no.1, Cipaganti-Bandung. Ternyata saya baru tahu kalau disitu salah satu pusat kebudayaan sunda di Bandung karena saking rutinnya acara ritual mingguan dan orang-orang yang datang. Pernah saya temui orang Dayak Segandu yang datang memakai motor dan membawa handphone, juga orang Baduy yang ke Bandung naik bus bersama anaknya yang memakai sandal gunung untuk menjual hasil kerajinan setiap dua atau tiga bulan sekali. Selebihnya saya tidak bertanya apapun karena perasaan kecewa duluan saat mengetahui aktivitas dia dari baduy luar yang sepintas hampir tak ada bedanya dengan saya.

Sampailah pada titik tak karuan memikirkan dan membayangkan kenapa orang baduy luar dan dalam sangatlah berbeda. Dan bagaimana hubungan antara suatu budaya sunda yang menjamur di Bandung hingga calon-calon walikota atau gubernur sekalipun. Hal yang enak jika diperbincangkan dua arah, ini malah berbelit dikepala. Dan tiba-tiba bus berhenti ditengah perjalanan untuk sejenak beristirahat. Akhirnya kepulan asap membantu menenangkan sementara. Perjalanan dilajutkan dengan mata ditutup, yang sebenarnya tidak ngantuk. Dipaksakan agar tidak memikirkan hal itu lagi dan agar fit ketika sudah tiba.

**

Samar-samar terdengar suara riuh kerumunan orang ketika aku dibangunkan dalam tidurku di atas tempat duduk paling belakang dekat kaca. Ternyata sudah tiba saat kupandang sembarang keluar seketika disambut pantulan sinar matahari pagi. Kira-kira tujuh jam perjalanan hingga bus berhenti di desa Ciboleger. Kawan-kawan yang lebih dulu datang dari bus satu lagi tengah menunggu dengan asyik mengobrol. Lanjut sarapan di warung makan yang sudah dipesan, obrolan lebih hangat sebelum kita bersama akan meninggalkan, katakanlah NKRI.

Ketika mulai berjalan meninggalkan Ciboleger memasuki Desa Kanekes (Baduy) kami melewati pasar, sekolah, beberapa rumah dan satu perpustakaan diselingi iklan-iklan aneka produk dan sambutan warga sekitar yang melihati kami. Melewati plang selamat datang di baduy dan plang aturan selama berada disana. Saat itu seorang kawan bilang, "Ben nanti kalau udah di hutan tolong dibantu ya kalau harus buka jalur menebas rimba". Aku hanya ketawa kecil dan komentarku, "emang ini hutan yang belum terjamah, nggak mungkinlah, setidaknya ada jalan setapak yang tak perlu ditebang untuk masuk ke baduy luar". Sebelum obrolan tersebut aku membayangkan akan berjalan melewati beberapa perkampungan, ladang, hutan, dan barulah menemukan kampung yang akan dijadikan tempat stay selama di Baduy. Dan kenyatannya setelah melewati plang, seratus meter kemudian itu ada tempat stay. Sial, kupikir jauh dan ahh aku kecewa. Ini sangat-sangat dekat dengan dunia diluar baduy. Jarak dari rumah tempatku menginap saja masih bisa melihat sinar televisi yang ada sangat dekat dengan batas baduy luar dan desa Ciboleger (luar baduy). Aku kira tak sedekat ini tempatnya, dan rumah-rumah tempat kami menginap berada disekitaran rumah kepala desa kanekes yang disebut jaro. Waktu itu jaro sedang tidak ada jadi kami tidak mendapat sambutan ketika datang. Akhirnya kami dibagi ke beberapa rumah sebagai tempat menginap.

(3)

Arsitektur lain yang masih terselamatkan kekhasannya adalah lumbung padi yang ditempatkan rata-rata pada daerah atas suatu perkampungan. Tak jauh dari rumah singgah kami bertemu dengan warga yang dikira warga baduy luar pada pondok pembuatan gula aren. Ternyata bukan, mereka orang Ciboleger yang sering bermain kebaduy luar untuk mancing atau menongkrong-nongkrong saja. Mereka seperti warga daerah pada umumnya dan waktu itu saya belum bisa membedakan antara warga baduy luar dan warga desa Ciboleger yang sering ke baduy luar. Kami disambut seperti bertemu orang bandung atau sunda, mereka memakai bahasa sunda mudah dimengerti dan sesekali bahasa kasar. Lalu candaan mulai muncul, saya hampir ditipu bahwa cukur kumis dalam bahasa sunda adalah "dikurud" dalam bahasa mereka adalah "dibabad", dan seorang dari mereka menyahut "dipacul" dengan muka sok serius, untung teman-temannya memberi tahu kalau itu bohong.

Layaknya pergi kekawasan pinggiran-pinggiran kota, mereka berkomunikasi dengan santai. Sesekali lawakan erotis dan perihal duit diucapkan. Mereka juga memberi informasi perihal cara membuat gula aren dipondok tempat mengobrol. Lantas salah satu dari mereka ada yang tiba-tiba menawari "mau pelet nggak?" dan "ayo kita ke aki pinter!" Tentu saat itu kutolak mentah-mentah, tak berpikir panjang dan langsung pergi. Eh ternyata menurut seorang kawan yang saat itu bersama saya berkata, "ada maksud lain bukan mengapa mereka menawari kita pelet? karena bagi mereka kita adalah bahan lawakan, seperti orang kota yang datang kedaerah seperti ini dan tiba menenyakan tempet pelet dan lainnya." Barulah aku tersadarkan, oh iya ya, kenapa juga kalau mereka sebagai orang lokal meminta pelet pada orang lokal juga. hahaha konyol.

Dikampung tak jauh dari pondokan kami berdua hanya duduk didepan rumah sambil melihati buah durian sambil membayangkan itu telah masak dan diiringi kicauan burung kutilang pada rumah depannya. Waktu itu maksud kami adalah mendengarkan sesama orang baduy mengobrol agar kita bisa mendapatkan kajian dari sana. Indikasinya adalah cukup jika kami bisa mengerti mereka sedang mengobrol apa, berarti kita berhasil. Dan alhasil tidaklah begitu, bahasa sunda kasar yang agak kejawa-jawaan. Itu membuat saya pribadi keteteran memahaminya ditambah dengan gaya ngomong yang cepat, penggunaan logat yang berbeda-beda, juga penggunaan kosakata yang ada beda arti.

Awalnya lewat siang hari kami akan balik kerumah, namun yang terjadi justru saya dan seorang teman malah kesasar, walaupun masih didaerah perkampungan bukan didaerah hutan. Jujur saya malu untuk bertanya selain karena ada perasaan terhadap orang baduy yang lebih cenderung menutup diri maka sayapun begitu, menjadi agak pendiam. Kami malah diperuntungkan dengan bertemu warung, itupun tidak kami sangka ada warung disitu lengkap dengan spanduk salah satu provider telpon seluler. Setelah memesan kopi pada teteh penjaga warung kami mencoba mengorek informasi yang ada dengan obrolan-obrolan santai. Dan lagi-lagi teteh tersebut menjawab seperlunya dan nampak malu-malu. Kamipun kebingungan dan lebih berbgai cerita berdua. Anehnya justru ketika kami berdua asik mengobrol sambil mengamati keadaan sekitar teteh tersebut tidak balik menenun, malah duduk menunduk didekat kami tanpa melakukan aktivitas apapun. Warga daerah sekitar para perempuannya kebanyakan juga sebagai penenun, dan mereka melakukan komunikasi antar rumah yang satu dengan yang lainnya tanpa menatap mata dan dengan fokus menenun, nampaknya mereka terbiasa denga pola-pola interaksi langsung dan tidak langsung. Dari setiap percakapan merekapun bervariasi, ada yang dengan nada datar, nada seru heran dan sebagainya, namun mereka tidak berhadapa satu sama lain apalagi bertatap mata.

(4)

Dan dengan dipaksakan berbahasa kasar saya mulai terlatih untuk memberanikan diri agar terbiasa dengan menyesuaikan bahasa masyarakat baduy.

Malam hari Jaro (kepala desa Kanekes) datang, tanpa banyak istirahat beliau langsung memberikan sambutan kepada kami dimana sebelumnya kami melapor untuk melakukan kuliah lapangan di baduy. Kemudian ia menjelaskan tentang baduy secara singkatnya, aturan, kebiasaan, dan perihal tamu-tamu pendatang lainnya. Ketika Jaro memberi beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada mahasiswa sontak disambut oleh orang-orang yang nampka mempersiapkan banyak pertanyaan dari saat pertama kali datang ke baduy. Pertanyaa standar adalah apa bahasa yang dipake, apa perbedaan baduy luar dan dalam, dan bagaimanakah konsep religi mereka? Saya terkagum saat jaro setiap kali menjawab, ia sangat sistematis dalam menjelaskan, terperinci dan detail. Ia mempunyai kerangka berpikir yang baik, yang mana ia gunakan untuk setiap kali menjelaskan atau mengetengahi warga baduy dan warga buan baduy. Dan terkejut pula saat jaro menjawab konsep religi dengan bahasa mereka hingga sesimpel menjelaskan konsep Islam secara substansisanya denga rangkaian kalimat panjang. Dengan bahasa sunda mereka seperti sedang berjampi-jampi padahal Jaro sedang kembali menghubungi konsep=konsep religi yang ia percayai untuk dipaparkan.

Lewat pukul sembilan apa yang saya rasakan adalah keheningan. Waktu yang tepat untuk kontemplasi yang ditemani suaru jangkrik dan pekik cekakak-cekikik kelompok pada rumah lain. Lambat laun rumah yang menjadi tempat bernaung tersebut ramai oleh obrolan-obolan kecil. Apapun dibahas dan dengan diawali periahal apa saja yang telanh didapat hari ini, apa yang dirasakan hari ini, dan hal-hal aneh apa yang ditemui disana. Akupun hanya melontarkan pertanyaan mengapa orang baduy dalam kumisnya sangat bersih seperti memakai pisau cukur, yang kedua perasaan saya saat mendapat sambutan dari jaro ada orang baduy dalam disekitar kami, dan mereka seolah sedang mengamati kami. Nampak mereka ingin benar-benar tahu apa yang kami lakukan, namun mereka akan berpaling wajah jika terus dilihati. Lagipula keadaan mereka yang pendiam memberi kharisma tersendiri untuk bisa memahami mereka adalah orang yang harus dihargai.

Malam semakin larut, kilauan senter menyambar redup, kepulan asap dan kopi terus meminta jatah dalam suhu yang tak terlalu dingin. obrola semakin khusyuk hingga seorang diantara kami minta izin tidur dan semua pun bubar mengambil posisi. Dalam keheningan saat menuju tidur, aku membayang kan betapa gemilangnya daerah baduy jika mereka masih bisa menjaga adat leluhur mereka. Baduy luar yang seperti ini memberi sedikit kekecewaan karena beberapa hal yang tidak bisa mereka hindari. Justru keinginanku adalah pergi ke baduy dalam bersama beberapa orang perwakilan kelompok. Sayang kami tidak diberi izin karena perihal waktu. Padahal yang menjadi fokus dan daya ingin tahu besar bagi saya adalah baduy dalam. Tapi dengan menjumpai beberapa baduy dalam di baduy luar selalu saja ada perasaan, wahhh kau adalah orang kuat, tabah, sederhana, berani suatu sifat-sifat keunggulan manusia yang semuanya kaudapatkan. Aku hanya bisa mengagumi sejarahmu dan kegigihan hingga masa kini yang rentan globalisasi. Apalagi baduy yang jaraknya tak terlalu jauh dengan jakarta, masihkah kau kuat hingga kapanpun waktunya untuk tetap lestari?

**

Keesoka paginya kami diberitahu ada jadwal jalan-jalan kedaerah kampung Gazebo dan entah daerah mana itu, kemudian kami bersiap-siap. Setelah itu sarapan bersama kami lakukan bersama dengan teman serumah. Kehangatan menyelimuti ditengah senda gurau keakraban. Tiada lagi masa seperti ini ditengah kesibukan kampus apalagi urban. Semuanya seperti berjalan pelan, tidak apa-apa untuk dicapai jauh-jauh selain untuk hari ini. Seolah dalam rumah kami adalah tim, kami sangat menikmati setiap senda gurau dan hisapan asap setelahnya. Tak lama kami mulai berjalan.

(5)

acara-acara tertentu. Juga memberi pengalaman-pengalaman perjalannya keluar baduy misal Jakarta, Bandung, Banten, dlll.. Ia juga menjelaskan mengapa orang baduy banyak memasang baling-baling diatap rumah atau pohon-pohon, menurutnya karena baling-baling tersebut sedang dijadikan karya seni, dengan indikasi bahwa semakin baling-baling berputar nyaring dan halus maka yang lain adalah kalah. Kemudian kang Udil kami lanjut bercerita seputaran baduy juga sembari melihati kerajinan yang dibikin oleh orang tuanya seperti gelang, tas, kain. Lagi-lagi ada yang membuat aneh adalah ketika kang udil mendapa telepon dan menjawab bahasa Indonesia. Pertanyanna jika warga baduy tidak mendapat sekolah informal tapi contohnya kang Udil dan beberapa warga lainnya telah memiliki handphone. Kemudian untuk hal apakah hal itu tetap digunakan? Kalau bahasa Indonesia kang Udil sendiri perlu waktu cukup lama untuk bisa. Awalnya ia tidak bisa dan sangat takut ketika menjumpai orang yang menggunakan bahasa Indonesia. Namun dengan kekuatan niat hal-hal seperti rasa takut dan kemampuan bahasa akhirnya ia taklukan

Saat hari kedua mulai berjalan melewati perkampungan kang Udil, jalurnya adalah rumah warga, lumbung-lumbung hutan terdekat kemudian ladang-ladang huma yang membentang. Jalanan yang naik-turun saya nikmati, karena kapan lagi memontum seperti ini datang. Beberapa dosen ikut dan dengan semangat berjalan, dan sebagian dari kami ada yang menyerah sebelum tujuan. Beberapa perkampunagan dilewati dan kebanyak dari mereka adalah perempuan menenun dan lelaki berladang. Hingga saya disuatu kampung berhenti untuk ditawai dokumentasi foto, saya mengiyakan karena sebelumnya belum ada. Kupilih rumah denga halaman terbesar agar suasana perkampungan terdokumentasi pula. Pada rumah yang berhalaman luas tersebut memang ada nenek yang sedang menenun, dan tiba-tiba nenek itu bicara yang tak dimengerti. Kutanggapi dengan "ngiring ngiyuhan sakedap" dengan maksud meminta izin. Iya pun seolah mengerti bahwa aku sedang difoto. Namun semakin lama nenek itu semakin ngomong tak karuan. Ketika ditanya jawabnya malah jauh sekali. Hingga akhirnya ia sendiri yang bilang bahwa pendengarannya sudah berkurang. Hmmm, agak ekstra juga saya berkomunikasinya. Kebetulan ada dosen yang juga berteduh dirumah nenek itu dan bertanya-tanya tentang dia nenek itu malah menjawanya dengan kaliamt "tilu puluh rebu bae..." dan itu diulang-ulang oleh dia. Mendadak ia mengambil hasil tenunan berwarna biru. Dan bu Selly bertanya apakah ada warna putih, ia pun tetap menjawab dengan "tilu puluh rebu bau..." oh kesal juga aku, akhirnya kuambil benang warna putih sambil menangkat hasil tenunan berharap ia mengerti isyarat bahasa yang saya sampaikan namun ia tetap menjawa "tilu puluh rebu bae..." dan beruntunglah seorang tetangga memberi tahu bahwa nenek itu tuli dan harus berteriak kencang jika ingin mengajak ngobrol. Akhirnya ketika saya teriakkan "aya nu warna bodas" nenek itu dengan sigap masuk lagi ke rumah dan mengambil kain hasil tenun warna putih. Dan hingga seterusnya teriakan digunakan untuk komunikasi

Yang unik dari nenek itu adalah ia tidak banyak paham dengan bahasa-bahasa isyarat pada umumnya. Jadi kesulitan interaksi tanpa bahasa semakin sulit. Ia malah seperti menciptakan bahasa isyarat seperti kalau orang rumahnya menunduk artinya itu akan ke huma. Dan ketika lidah dikeluarkan sambil jari didekatkan artinya makan.

Dari rumah nenek tersebut ternyata batas perjalanan kawan-kawan hanya sampai jembatan bambu. Darisana hanya kulihat mereka berfoto-foto, bermain air, bolak-balik melintasi jembatan dan hala-hal yang lebih cocok disebut outbound. Dengan sisa waktu menuju siang hari saya bersama beberapa orang lain berjalan melintasi jembatan dan terus semakin atas. Awalnya kita hanya inign berada dipunggungan dan melihat lintas atau hutan yang menuju baduy dalam. Apa daya malah perjalanan melewati ladang-ladang. Ditengah ladang saat itu kami menemui seorang ibu yang sedang beristirahat makan. Kami dengan baik-baik menyakan nama kampung terdekat, tempat mengambil air minum dan kawasan-kawasan yang yang jauh melintasi sungai. Apa yang didapat justru ibu itu sangat tertutup, banyak diam dan sesekali menjawab terkesan jutek kalau istilah gaulnya. Begitulah mereka, sifat mereka yang masih memberi batas pada orang baru, dan itu entah karena problem pemahaman bahasa atau memang sudah keinginan dia untuk munutup diri bagi orang baru.

(6)

makanan ringan ciki-ciki yang dijual gopek-an dan kamipun lahap menyantap. Dipikir-pikir ada juga warung diatas seperti ini, pertama siapa yang mau beli yang kampung itu tak terlalu banyak, kedua harga yang mereka berikan tetap sama padahal jarak dan butuh tenaga ekstra dalam sekali berbelanja.

Setelah meniggalkan warung teteh tersebut perjalanan cukup curam menanjak. Kutemui anak-anak kecil sedang bermian dipohon untuk mencari bahan bikin mainan. Lalu longsoran banyak dijumpai, ada yang sengaja dari pohon yang ditebang, ada pula yang alamiah karena tanah yang bergeser karena pengaruh hujan yang mengguyur tiap hari. Akhirnya melihat waktu dan memperkirakan cuaca kami putuskan balik ke kampung Gazebo. Tak lama kami jalan hujanpun menyambut. Derasnya sama-sama tak mau mengalah karena kami membawa payung dan ponco. Akhirnya selama perjalanan hujan mengantar kami hingga Gazebo dan sial yang lain sudah tidak ada disana. Sepi. Padahal saya telah merencanakan ingin berenang di sungai tersebut dan sekarang sungainya telah meluap. Hmm niat berenang diurungkan dan perjalanan kami teruskan ke rumah karena kami pasti dicari. Diperjalanan pulang saya melihat atraksi cantik. Jalana batu yang menanjak dilalui pelan-pelan begitupun sebaliknya. Namun saat arah pulang kami bertemu orang baduy luar yang hanya memakai plastik tipis dikerudungkan pada badannya dengan maksud agar tidak basah di punggungan. Setelah melewati kami apa yang dilakukan ketika kulihat kebelakang, ia seperti ninja hatori. Dalam hujan ia berloncat-loncat cekatan dari satu batu kebatu lainnya.

Mendapatkan pengalaman yang baru seperti itu membuatku kagum. Budaya sunda yang sebelumnya kupandang rendah kini bisa kupahami secara mendalam dari pusatnya. Aku bisa memahami keadaan yang sederhana adalah yang yangpaling susah dilakukan bagi kaum urban. Konsep mereka dalam menjalani spiritual, cara pandang mereka akan hidup serta aktivitas mereka yang santai dan penuh gairah kehidupan benar-benar dinikmati. Tinagkatan pembelajaran dari balita bisa berjalan ia dibiasakan masuk ke hutan dan ke ladang. Maksudnya adalah untuk membiasaakan berkenalan dengan alam. Masa anak-anak sudah dilatin menenun bagi perempuan atau mancari kayu. Saat hal yang bagiku sangat miris adalah ketika melihat anak berusia lima tahunan namun i telah menenteng ember penuh air tangan kanan dan kirinya. mimik wajah anak tersebut yang entah sedih karena dipaksa melakukan, atau terkena hukuman, atau ingin sesuatu namun harus ada imbalannya dari orangtuanya. Ada lagi perempuan dengan umur 9-13 tahun mereka mengangkat kayu yang sangat banya hingga berjalan terhuyung-huyung dan membungkuk. Oh beratnya pasti tapi ia menerima tugas tersebut dengan senang gembira bersama teman-temannya yang seperti itu. Anak laki-laki seumuran mereka lebih parah, yakni mengangkat kayu hasil tebangan dari pohonnya, jadi masih bulat dan panjang. Aku mengakui kalah denga anak-anak seperti mereka yang menjadikan aku sadar bahawa diri ini terlalu banyak manja.

Yang paling bisa kunikmati selama dibaduy adalah suasana waktu yang berjalan melambat jauh dari kesibukan yang sebenarnya itu butuh tidak butuh, jika apa yng oleh alam sediakan kenapa kita masih ingin yang lain-lain. Keadaan hening yang sangat menjernihkan kepala apalagi untuk berpikir yang santai dan rumit sekalipun. Ketiga adala gelap. Sisi dimana gelap bukan warba tapi justru dalam kegelapan sebuah warna bisa terlihat.

Kembali pada pernyataan saat masih di Bandung apalagi detik-detik dalam pergulatan diperjalanan semua saya hapus. Sekali lagi saya bisa menganali dan menghargai. Sulit perasaan ini dituliskan. Intinya saya tidak peduli dengan masyarakat urban bagamanapun keadaannya, namun jika sudah mengarah kebudayaan sunda maka titik penerangan telah didaptkan untuk memahami lebih dalam. Sekalipun sekarang sedang trend namun baduy tetaplah baduy. Semua pengalaman yang kudapat rasanya terus menagih dan terlalu bertele-tele untuk diceriatakan. Baduy menyimpan kaca dalam diri untuk dijadikan tempat renungan dan mendekatkan diri pada alam, mengenalai manusia sederhana dan menemukan sang pencipta. Apa jadinya kalau kuliah lapangan tidak ke baduy, mungkin saya masih menyimpan rasa ketidaksukaan. Dan sekali lagi untuk mencari tahu atas gejolak tak pasti maka perlu datangilah tempat yang dianggap pusat, niscaya kau akan mendapat jawaban sebening mungkin.

***

Tulisan lepas

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi pemberian pupuk hayati mikoriza dan rock phosphate berpengaruh tidak nyata terhadap parameter jumlah daun tanaman jagung

Kondisi lahan dapat mempengaruhi seran- gan awal penggerek batang dan pucuk tebu.Pada penelitian ini lahan yang digunakan adalah lahan yang baru dibuka dan baru pertama kali ditanami

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian dukungan kelancaran penyelenggaraan Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, Mantan Presiden dan Mantan Wakil Presiden beserta

Selanjutnya adalah analisis hubungan pengaruh kriteria dengan metode DEMATEL yang terdiri dari empat tahap yaitu penyusunan kuisioner, wawancara & pengisian kuisioner yang

Dari hasil analisis pada sistem yang dibangun, dapat disimpulkan bahwa ruang warna HSV (hue, saturation, value) memiliki performa yang lebih baik dalam proses temu kenali

Adapun temuan penulis tentang stuktur interaksi antaretnik mengacu pada pendapat Parsudi Suparlan (1989) tentang struktur hubungan sosial antara etnik dalam

Kawasan kajian mempunyai potensi besar untuk dibangunkan secara pembangunan-bercampur atau ‘mixed- development’, yang menggabungkan pembangunan guna tanah institusi,

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang