• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA ( Pontius Binotatus) DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Parulian Simanjuntak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA ( Pontius Binotatus) DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Parulian Simanjuntak"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK EKONOMI DAN SOSIAL PENANGKAPAN IKAN PORA-PORA (Pontius

Binotatus)DAN IMPLIKASINYA BAGI SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN BAKTI

RAJA, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN Parulian Simanjuntak

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Jusmer Sihotang

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Elvis F. Purba*

Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen ABSTRACT

Fishing pora-pora (Pontius binotatus) has become another important sources of income to some people and households around Lake Toba. Many households around Lake Toba has implemented two jobs in the same time, as farmer and fisheries, to fund their life’s activities. Until now, this fisheries subsector has a promising future for fisherman’s income.

This research was done in Bakti Raja District in Humbang Hasundutan Regency in order to see the social and economy effect of pora-pora fishing to agriculture. This research used 53 households as random samples from four villages around the district. Descriptive analysis was used in this research in order to explain the behavior of the samples.

The result shows that (1) By fishing pora-pora, the households could increase their income as indicated by the increasing ability to pay for children’s education and medication, higher saving and assets. It indicates that their life is better than before. (2) There is a significant social effect on these households which is indicated by increasing their participation in social activities such as religion and cultural activities. (3) Fishing pora-pora doesn’t have a significant effect on their agriculture activities. These households still keep doing their traditional activities in agriculture while doing pora-pora fishing.

Methodologically, this research has some weakness mainly in sampling method. Samples taken for this research, haven’t been a representation of most of the population. Future research should incorporate this weakness in order to gain a better result. Therefore, the future research can be used as a comparison to present research. At the end, from result, a generalization could be drawn about the effect as fisherman to agriculture activities. Beside that, the future research should analyze deeply the consequences of taking a lot of pora-pora nowdays to the future income of the people.

Keywords: Agriculture, Fishing Pora-pora, Income 1. PENDAHULUAN

(2)

Sektor Pertanian di Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan

Potensi pengembangan ikan ini cukup menjanjikan karena membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar untuk meningkatkan pendapatan mereka. Dari sumber sekunder yang terbit tahun 2011, misalnya, diketahui bahwa hasil tangkapan ikan pora-pora di berbagai kabupaten yang ada di seputar Danau Toba bervariasi antara 5 hingga 40 ton setiap hari. Kabupaten Samosir yang dikelilingi Danau Toba menempati urutan tertinggi dengan hasil 40 ton setiap hari diikuti Kabupaten Toba Samosir yang mencapai 20 ton disusul Kabupaten Tapanuli Utara dan Simalungun masing-masing 10 ton (Waspada, 06 Oktober 2011 dalam www.waspada.co.id, diakses 14 Mei 2013). Kabupaten yang dapat menghasilkan dalam jumlah yang lebih kecil adalah Kabupaten Karo, Dairi, dan Humbang Hasundutan. Bervariasinya hasil tangkapan tersebut disebabkan perbedaan dalam jumlah nelayan, alat tangkap yang digunakan, dan luas areal tangkapan di masing-masing kabupaten tersebut (Simanjuntak et.al, 2013).

Kecamatan Bakti Raja merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan yang langsung berbatasan dengan Danau Toba. Terdapat empat dari enam desa di kecamatan tersebut yang berada di pinggir danau dan sebagian dari penduduknya turut menjadi nelayan ikan pora-pora. Mereka menangkap ikan dengan jaring walaupun banyak juga membuat kerambah. Menurut keterangan informan bahwa kecamatan ini dapat menghasilkan sekitar 5 ton setiap hari, suatu jumlah yang tidak kecil artinya untuk menambah pendapatan masyarakatnya.

Sebelum tahun 2000-an banyak yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai pekerjaan utama. Kalau pun ada yang menjadi nelayan yang dikenal dengan sebutan “partoba” (Purba, 2010), jumlahnya tidak banyak. Namun semenjak 2004 semakin banyak yang menekuni penangkapan ikan pora-pora dan saat penelitian dilakukan diperkirakan jumlah nelayan di Kecamatan Bakti Raja telah mencapai 150 keluarga, sekitar enam sampai delapan kali lipat dibandingkan dengan tiga dasawarsa yang lalu. Pertambahan yang sangat signifikan ini bukan hanya merupakan indikasi kuat bahwa subsektor perikanan ini menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan dibandingkan dengan bertani, tetapi juga dapat mendorong pembangunan ekonomi perdesaan. Diperkirakan sumberdaya yang renewable ini dapat menjadi sumber pencaharian masyarakat dalam jangka panjang asalkan ada upaya untuk menjaga kelestariannya.

Berdasarkan survei pendahuluan diketahui bahwa anak sekolah dasar pun turut juga membantu orang tuanya, segera sesudah mereka pulang dari sekolah. Selain itu ada juga lahan pertanian padi sawah dan ladang yang terkendala karena waktu dan perhatian sebagian petani terarah ke subsektor perikanan ini. Oleh karena itu menarik untuk diteliti tentang pendapatan mereka dari mata pencarian yang baru ini termasuk bagaimana implikasinya bagi kegiatan-kegiatan pertanian yang digeluti selama ini. Berdasarkan itu, tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dampak ekonomi ikan pora-pora bagi nelayan khususnya dan masyarakat umumnya serta (2) implikasi aktivitas tersebut terhadap sektor pertanian di Kecamatan Bakti Raja. 2. METODE PENELITIAN

2.1. Sampel Penelitian

Sampel diambil dengan metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: (1) penduduk dari 4 desa yang berbatasan langsung dengan Danau Toba, yaitu Desa Tipang, Marbun Toruan, Sinambela, dan Simangulampe. (2) telah berkeluarga dan bekerja sebagai nelayan, apakah masih mengerjakan sawah dan atau ladangnya, atau telah meninggalkan pertanian tetapi masih berprofesi sebagai nelayan ikan pora-pora. (3) nelayan yang sudah bekerja minimal satu tahun saat penelitian dilaksanakan. Atas dasar keriteria tersebut, jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 53 keluarga yang diambil secara proporsional dan dianggap cukup representatif untuk masing-masing desa penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara acak.

2.2. Pengumpulan Data

(3)

petani. Daftar pertanyaan (kuesioner) yang diberikan kepada para responden dengan memberi petunjuk seperlunya agar tidak mengalami kesulitan dalam pengisiannya.

2.3. Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Dalam rangka itu ada sejumlah tahap yang diikuti: (1) mengedit data, yaitu penyortiran data dalam kuesioner sebelum dilakukan tabulasi data. (2) mengolah dan menabulasi data primer dan ditampilkan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang masalah penelitian. (3) penafsiran data berdasarkan frekuensi atau persentasenya dan membandingkannya dengan informasi yang diperoleh dari para informan. Hasil interpretasi dapat memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan yang sebenarnya akan dampak penangkapan ikan pora-pora bagi kehidupan ekonomi dan sosial nelayan Kecamatan Bakti Raja.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang disajikan dalam Tabel 1 adalah berdasarkan umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, dan tingkat pendidikan anak.

a. Umur

Dilihat dari umurnya, sebagian besar di bawah 54 tahun yang terdiri dari umur 35-44 tahun sekitar 54 persen dan umur 45-54 tahun sekitar 34 persen. Penduduk yang menjadi nelayan terdiri dari penduduk umur menengah. Gambaran tentang umur ini, bagaimanapun dipengaruhi oleh kriteria sampel penelitian, yakni nelayan yang telah berkeluarga dan telah melakukan kegiatan tersebut paling sedikit setahun yang lalu. Selain itu, minimnya penduduk yang berumur di atas 54 tahun dapat disebabkan oleh relatif rentannya mereka terhadap penyakit sehubungan dengan cuaca (angin dan ombak danau) yang dapat mempengaruhi kesehatan sehingga kurang tertarik dengan aktivitas di air. Data menunjukkan adanya kecenderungan semakin sedikit persentase nelayan sejalan dengan meningkatnya umur kendatipun tidak ada batasan umur menjadi pelaku di subsektor perikanan ini.

Tabel 1. Jumlah Responden Berdasarkan Umur dan Pendidikan

No. Karakteristik n %

(4)

b. Pendidikan

Dilihat dari tingkat pendidikan responden, pada umumnya relatif tinggi. Lebih dari 50 persen mempunyai tingkat pendidikan SMA sederajat hingga diploma. Hanya sekitar 40 persen tamat SMP sederajat. Jadi sebagian besar nelayan telah mengecap pendidikan menengah. Sebenarnya pekerjaan yang tergolong sektor informal ini tidak tertutup bagi siapa saja tanpa memandang tingkat pendidikannya. Siapa saja yang mau dan bersedia dapat menjadi nelayan. Semakin ketat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal merubah komposisi dalam lapangan kerja. Kaum terdidik mungkin akan memilih bekerja sebagai nelayan khususnya, dan menjadi pelaku aktivitas ekonomi informal umumnya, bila gagal memasuki sektor formal. c. Jumlah Anggota Keluarga

Sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang hidup di masyarakat, setiap keluarga masih menginginkan jumlah anak (keturunan) yang relatif banyak. Hal tersebut terekam juga dalam hasil penelitian ini. Terdapat sekitar 85 persen yang mempunyai anggota keluarga antara 6-10 orang yang berarti mempunyai anak antara 4-8 orang. Hanya sekitar 11 persen yang mempunyai anggota keluarga antara 4-5 orang. Jumlah anggota keluarga 6-8 orang dominan di masing-masing desa.

d. Pendidikan Anak Responden

Masih dari Tabel 1, dari 128 orang anak yang sedang mengikuti pendidikan saat penelitian dilaksanakan, sekitar 90 persen berada di tingkat SD hingga SMA sederajat. Kebanyakan dari mereka berada di tingkat SMP sederajat. Walaupun demikian tidak berarti nelayan tidak mampu membiayai pendidikan anak hingga tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hanya sekitar 10 persen yang sedang berada dalam bangku kuliah, yakni sekitar 6 persen berada di tingkat diploma dan sekitar 4 persen untuk tingkat Strata Satu. Data ini menunjukkan bahwa nelayan tetap memikirkan pendidikan anak-anaknya. Suku bangsa Batak mempunyai hasrat yang tinggi bagi pendidikan anak-anaknya, antara lain dapat dibaca dalam hasil penelitian Aritonang (1988) serta hasil Purba dan Purba (1997). Apa yang dituangkan dalam syair lagu gubahan Nahum Situmorang berjudul Anakhonhi do Hamoraon di Ahu, merupakan manifestasi dari hasrat masyarakat Batak Toba untuk mengejar tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya.

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Pertama, dilihat dari umur ternyata sebagian besar nelayan berada dalam umur menengah walaupun setiap tenaga kerja boleh menjadi nelayan tanpa ada batasan umur. Kedua, dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkannya, kebanyakan nelayan mengecap pendidikan menengah walaupun tidak tertutup kemungkinan bagi yang tidak mengecap pendidikan, dapat menjadi nelayan.Ketiga, berdasarkan jumlah anggota keluarga, ternyata sebagian besar nelayan mempunyai anggota keluarga 6 orang atau lebih. Keempat, sebagian besar dari nelayan mempunyai tanggungan yang masih sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

4.2. Keragaan Usahatani dan Penangkapan Ikan Pora-pora

Keragaan usahatani yang akan diuraikan dalam bagian ini adalah jenis usahatani yang ditekuni dan pendapatan dari usahatani tersebut.

a. Jenis Usahatani yang Ditekuni Saat Penelitian

Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, misalnya Purba (2007, 2009, 2010) diketahui bahwa sumber mata pencaharian utama penduduk adalah pertanian yang didominasi oleh padi sawah dan bawang dengan metode rotasi. Pada masa lalu kaum tani menanam padi sawah sekali setahun dan diselingi dengan tanaman bawang atau tanaman sela lainnya, satu hingga dua kali dalam tahun yang sama. Namun ada juga yang menanam bawang dari tahun ke tahun di lahan tadah hujan. Bawang dan padi sawah merupakan 2 jenis tanaman utama penduduk setempat. Akan tetapi karena musim sering tidak menentu sehingga ada kalanya penduduk hanya menanam bawang atau padi, atau gabungan dari kedua-duanya. Pada saat penelitian dilaksanakan, pada umumnya penduduk menanam padi. Sehubungan dengan itu hasil penelitian menunjukkan sekitar 83 persen responden mengerjakan padi sawah.

(5)

perikanan lainnya dengan tujuan agar pendapatan mereka dapat meningkat. Namun sebanyak 83 persen dari mereka menanam padi sawah dan hanya 7,5 persen yang turut beternak. Tanaman palawija seperti kacang tanah, cabai, dan sayuran merupakan tanaman sampingan bagi mereka. Tanaman lain yang sudah relatif lama dikenal adalah kopi dan cengkeh tetapi jumlahnya tergolong sedikit. Sementara itu mangga dan kelapa merupakan tanaman tahunan yang sudah ada beberapa dasawarsa yang lalu, mungkin mulai ditanam ketika agama Kristen memasuki Kecamatan Bakti Raja. Tanaman ini ada di setiap desa tetapi jumlahnya juga terbatas.

Tabel 2. Keragaan Usahatani Responden

No. Usahatani yg Ditekuni skor %

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Padi sawah Palawija Bawang Peternakan Perkebunan Perikanan lainnya

44 5 7 4 14

5

55,7 (83,0) 6,3 (9,4) 8,9 (13,2) 5,1 (7,5) 17,7 (26,4) 6,3 (9,4)

J u m l a h 79 100,0

Angka dalam kurung adalah persentase dari jumlah responden Sumber: Data primer (diolah)

Pada umumnya mereka menanam padi sawah adalah untuk memenuhi konsumsi dan kalaupun ada yang menjualnya adalah karena keadaan terpaksa. Sebaliknya, tanaman bawang, mangga, kelapa, kopi, cengkeh dan jenis tanaman tahunan lainnya, hampir semua hasil panen ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar. Jadi ketika petani menanam bawang berarti mereka akan membeli beras dan sebaliknya ketika menanam padi berarti mereka lebih “mengutamakan selamat” untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum tani tetap lebih rasional, yakni mencari keuntungan yang lebih tinggi dari usaha taninya dengan menanam bawang dari pada padi sawah. Namun ketika cuaca tidak harmonis dengan tanaman palawija, kaum tani akan menanam padi sawah.

b. Pendapatan dari Usahatani

Dilihat dari luasnya, petani yang ada di Kecamatan Bakti Raja tergolong sebagai petani gurem. Mereka tidak memiliki catatan tentang pendapatan dan pengeluaran, atas jenis tanaman yang ada setiap musim panen dan musim tanam. Oleh karena itu informasi tentang pendapatan dan sumber-sumber pendapatan pun dapat dipastikan kurang akurat; mungkin overlavued bila menyangkut pengeluaran atauundervaluedbila menyangkut penerimaan. Walaupun mereka tidak mencatatnya, terdapat sekitar 85 persen yang menyatakan pendapatan dari usahatani tidak mampu untuk menutupi biaya hidup anggota keluarga. Itulah sebabnya mereka mencari sumber pendapatan tambahan. Sebaliknya 15 persen lagi menganggap pendapatan dari usahatani cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Anggapan ini dapat dibenarkan apabila lahan yang mereka usahai tergolong luas dan rotasi tanaman antara padi sawah dengan bawang memberi hasil yang memadai sehingga pendapatan dari kedua jenis usahatani tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya.

Adalah rasional apabila kaum tani harus mengerjakan usaha lain apakah pekerjaan sampingan atau menjadi pekerjaan utama jika pendapatan dari usahatani tidak memadai. Salah satunya ialah menjadi nelayan ikan pora-pora, yang dapat memberi pendaptan setiap hari bagi pelakunya. Pekerjaan ini “lebih pasti” bila dibandingkan dengan pertanian padi sawah atau bawang yang memerlukan waktu beberapa bulan supaya dapat dipanen. Walaupun dimikian pada umunya nelayan tetapi tidak meninggalkan pertaniannya.

c. Lamanya Telah Menjadi Nelayan

(6)

menangkap ikan pora-pora. Berdasarkan data primer diketahui jangka waktu tersebut bervariasi antara 1 hingga 9 tahun. Terdapat sekitar 40 persen telah bekerja lebih dari 5 tahun yang lalu, diantaranya 17 persen di atas 7 tahun (Tabel 3) Data ini menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut telah digeluti sejak awal adanya ikan pora-pora di Danau Toba yang sampai ke Tao Bakara dan masuk ke sungai-sungai yang ada di seputar Kecamatan Bakti Raja. Sementara itu ada sekitar 15 persen yang tergolong sebagai pemula dengan masa kerja sekitar setahun yang lalu. Ketika jumlah nelayan belum banyak dan bagan masih sedikit, pendapatan nelayan cukup besar. Oleh karena itu responden yang masa kerjanya baru setahun yang lalu tergolong “pendatang baru” dan yang mungkin didorong oleh sanak saudara agar mereka turut menjadi nelayan. Hal itu terekam dari data primer dimana sekitar 19 persen dari responden menggeluti usaha ini karena dorongan sanak keluarga.

Tabel 3. Lama Menjadi Nelayan dan Pihak yang Mendorong Menjadi Nelayan

No. Keterangan n %

1. 2. 3. 4. 5.

Lama menjadi nelayan: ≤ 1 tahun

2-3 tahun 4-5 tahun 6-7 tahun >7 tahun

8 9 15 12 9

15,1 17,0 28,3 22,6 17,0

J u m l a h 53 100,0

1. 2.

Pihak yg mendorong menjadi nelayan:

Tidak ada/sendiri

Sanak keluarga 4310 81,118,9

J u m l a h 53 100,0

Sumber:Data primer (diolah)

d. Lokasi Tangkapan dan Jenis Alat Tangkap Ikan

(7)

Tabel 4. Lokasi Tangkapan dan Jenis Alat Tangkap Nelayan

No Keterangan n %

1. 2.

Lokasi penangkapan: Menetap

Berpindah-pindah

38 15

71,7 28,3

J u m l a h 53 100,0

1. 2.

Jenis alat tangkap: Jaring

Bagan

38 15

71,7 28,3

J u m l a h 53 100,0

Sumber: Data primer (diolah).

Seiring dengan menurunnya populasi ikan yang memasuki sungai dan semakin banyaknya nelayan menebarkan jaring dan membangun bagan di pinggiran danau, sungai pun lambat laun ditinggalkan. Sekitar tahun 2012 nelayan semakin terlokalisir di seputar pinggiran danau dan saat penelitian ini dilaksanakan, sungai Aek Silang sudah sepi dari aktivitas nelayan karena semuanya sudah beralih ke pinggiran danau.

Semua nelayan menggunakan jaring atau jala (doton) dan tidak seorang pun dari responden yang menggunakan pancing. Mereka ingin agar hasil tangkapan sebanyak mungkin. Nelayan menyadari bahwa probabilitas untuk mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak haruslah menggunakan jaring, kecuali kalau seseorang mempunyai hobbi memancing akan menggunakan pancing. Penggunaan jaring ini dapat dipadukan dengan bagan sehingga lokasi tangkapan sudah menetap dan tidak bisa berpindah-pindah. Sebaliknya nelayan yang tidak mempunyai bagan dapat berpindah-pindah tergantung kepada nelayannya di lokasi yang mana ditebarkan jalanya. Jadi lokasi menetap hanya berlaku pada nelayan yang memiliki bagan, sedangkan bagi yang lain sangat mungkin berpindah-pindah karena mereka bebas menebarkan jalanya di seputarTao Bakara.

Penjelasan dari sejumlah informan, terutama Kepada Desa Marbun Toruan, yaitu Bapak O. Banjarnahor, mengemukakan pemilik bagan mempunyai investasi yang lebih besar dibandingkan dengan nelayan lainnya. Menurutnya, sebelum harga pemium naik (dari Rp. 6.500/liter menjadi R. 8.500/liter), mendirikan satu bagan membutuhkan dana sekitar sepuluh juta rupiah. Namun sesudah kenaikan BBM, biaya pembuatannya bisa mencapai limabelas juta rupiah untuk setiap unit, yang umur ekonomisnya antara 2 hingga 3 tahun.

e. Alasan Menjadi Nelayan

Ada dua bagian jawaban yang diberikan responden tentang mengapa mereka menjadi nelayan, yaitu (1) untuk menambah pendapatan keluarga dikemukakan sekitar 13 persen responden dan (2) untuk menambah pendapatan dan sekaligus untuk konsumsi oleh sekitar 87 persen. Tidak ada yang menjawab “hanya untuk dikonsumsi” atau “hanya untuk memanfaatkan waktu luang”. Adalah benar bahwa ikan pora-pora dapat dijadikan sebagai lauk, sama halnya dengan ikan mujahir pada masa-masa yang lalu. Namun rasa ikan mujahir lebih enak dibandingkan dengan ikan pora-pora sehingga tidak banyak mengonsumsinya. Sekitar 50 persen dari responden mengonsumsi dibawah 15 kilogram sebulan dan sekitar 22 persen mengonsumsi sampai 30 kilogram sebulan. Oleh karena ikan pora-pora mempunyai nilai ekonomi sehingga jumlah yang dikonsumsi nelayan biasanya terbatas dan lagi pula masyarakat kurang pintar meraciknya menjadi lauk yang enak. Ikan pora-pora menjadi berkah bagi penduduk setempat yang mampun menambah pendapatan keluarga secara signifikan. Jadi alasan menjadi nelayan adalah alasan ekonomi.

(8)

isteri dan anak turut membantu dalam aktivitas nelayan. Dalam waktu-waktu tertentu malah ada wanita (ibu rumahtangga) mempunyai jam kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan suaminya. Mereka bekerja sedemikian rupa di persawahan/ladang dan pada masa-masa tertentu menjadi nelayan. Hal demikian terjadi juga di daerah lain, misalnya di Toba Samosir (Tribun, 2013) dan juga di seputar Danau Toba karena menjadi sumber pendapatan (AntaraSumut, 2013).

Berdasarkan keterangan informan diketahui bahwa sekitar satu tahun belakangan semakin sedikit anak responden yang ikut membantu orangtuanya seiring dengan terlokalisirnya nelayan menangkap ikan pora-pora di pinggiran danau. Pada tahun-tahun yang lalu, setelah pulang sekolah banyak anak yang turut beraktivitas di sepanjang sungai Aek Silang. Mereka dapat memperoleh hasil tangkapan antara 5-10 kilogram dalam kurun waktu sekitar 2-3 jam. Bila dinilai dalam uang dapat mencapai Rp. 10.000-20.000 setiap harinya. Oleh karena itu anak sekolah dapat mengantongi uang setiap hari sebesar jumlah tersebut dan orang tua merasa terbantu karena tidak mengeluarkan uang harian lagi bagi anak-anaknya.

f. Hari dan Jam Kerja Nelayan

Hari kerja dalam penelitian ini adalah hari-hari kalender yang digunakan responden menjalankan aktivitasnya sebagai nelayan. Sebagian besar responden menjalankan aktivitas mulai hari Senin sampai Minggu. Sisanya sekitar 10 persen menyatakan antara 5 sampai 6 hari (Tabel 5). Situasi alam seperti musim hujan dan ombak danau turut mempengaruhi sehingga ada kalanya pada hari-hari tertentu termasuk pada hari Minggu tidak bekerja.

Tabel 5. Hari dan Jam Kerja Nelayan

No. Keterangan N %

1. 2.

Hari kerja: Setiap hari: Tidak setiap hari

48 5

90,6 9,4

J u m l a h 53 100,0

1. 2. 3. 4.

Jam kerja: Subuh s/d Pagi Siang

Sore s/d senja Malam s/d subuh

32 4 8 9

60,4 7,5 15,1 17,0

J u m l a h 53 100,0

Sumber: Data primer (diolah).

Menurut jam kerja, yaitu waktu yang dimanfaatkan responden melakukan aktivitas sebagai nelayan setiap hari, jam kerja saat ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Ketika sungai Aek Silang turut menjadi lokasi tangkapan, puluhan keluarga bisa bertahan selama sepuluh jam atau lebih setiap hari di sungai. Mereka menebarkan jaring beberapa kali dalam satu jam dan mendapat hasil yang lumayan. Ikan masuk dan senang melawan arus sungai sehingga semakin banyak penduduk yang turut serta menjaring ikan pora-pora di sungai Aek Silang seiring dengan banyaknya ikan menuju sungai. Pada saat itu pernah dilakukan pembagian jam aktivitas menjadi dua shift, yang diatur sedemikian rupa sehingga ada yang bekerja pada pagi hingga siang hari dan yang lain mulai sore hingga malam hari. Pembagian tersebut dilakukan oleh tokoh informal yang ada di Bakara agar tidak timbul konflik dikalangan nelayan. Dan setelah nelayan berpindah ke pinggir danau, pembagian shift tersebut otomatis hapus.

(9)

pukul 6 pagi karena masa itulah yang cocok bagi mereka. Sebaliknya, bagi yang tidak mempunyai bagan, jam kerjanya lebih bervariasi, ada yang pagi hari, siang atau dari sore hingga senja karena ikan-ikan tersebut tidak mungkin lagi lari bila sudah terperangkap dalam jaring.

g. Pendapatan dan Pengeluaran Nelayan

Pada umumnya nelayan mengandalkan ingatan tentang berapa banyak hasil tangkapan setiap hari dan rata-rata setiap bulan. Kepada Desa Marbun Toruan yang menjadi salah satu penampung ikan pora-pora mengemukakan jumlah bagan yang ada di pinggiran Danau Toba di seputar wilayah Kecamatan Bakti Raja lebih dari 100 unit, menurut perhitungannya pada Agustus 2013. Jumlah tersebut bertambah secara signifikan dalam 2 tahun terakhir sehingga rata-rata hasil tangkapan setiap nelayan semakin menurun dari masa ke masa. Hal itu terekam juga dalam penelitian ini.

Dilihat dari hasil tangkapan, jumlah terendah adalah antara 50-350 kg setiap bulan, tertinggi antara 100-1.000 kilogram dan rerata antara 75-250 kilogram. Data Tabel 6 menyajikan data hasil tangkapan tersebut, dimana sekitar 64 persen menyatakan di bawah 100 kilogram dan tidak sampai 4 persen yang memperoleh di atas 300 kilogram. Untuk hasil tangkapan paling tinggi, sekitar 60 persen menyatakan di bawah 200 kilogram dan 17 persen menyebutkan di atas 400 kilogram. Pada umumnya hasil tangkapan tertinggi adalah yang memiliki bagan. Pada masa lalu, pendapatan nelayan di seputar Danau Toba cukup tinggi. Dalam laporannya tahun 2011, usaha ikan pora-pora di kolong jembatan Ajibata bias mendulang jutaan rupian (Media Komunikasi, 2011).

Tabel 6. Hasil Tangkapan

No. Keterangan Jumlah %

1. 2. 4.

Paling rendah: <100 kg 100-300 kg >300 kg

34 17 2

64,2 32,0 3,8

J u m l a h 53 100,0

1. 2. 3.

Paling Tinggi: <200 kg 200-400 kg >400 kg

32 12 9

60,4 22,6 17,0

J u m l a h 53 100,0

Sumber: Data primer (diolah) h. Pendapatan dan Biaya Nelayan

(10)

Masih menurut informan, pendapatan ini ternyata jauh lebih kecil dari rata-rata pendapatan nelayan tahun-tahun sebelumnya. Para responden dan informan mengakui, setidaknya mulai April 2013 pendapatan rata-rata nelayan menurun karena jumlah nelayan semakin bertambah banyak sehingga hasil tangkapan rata-rata semakin menurun. Apakah penurunan tersebut bukan disebabkan semakin berkurangnya populasi ikan seiring dengan upaya nelayan mengambil ikan yang besar hingga kecil? Apabila mereka menyapu semua ikan yang masuk ke jarring termasuk ikan kecil, maka suatu ketika dapat terjadi apa yang dinamakan dengan tragedy of the common (tragedi bersama) bagi semua nelayan di seputar Danau Toba termasuk di Kecamatan Bakti Raja.

Tabel 7. Besarnya Pendapatan Nelayan

No. Keterangan n %

Sumber: Data primer (diolah).

(11)

Tabel 8. Besarnya Biaya Nelayan

Sumber: Data primer (diolah).

Apabila dihitung pendapatan bersih yaitu pendapatan bruto dikurangi dengan biaya operasional nelayan, ternyata pendapatan bersih terendah berkisar antara Rp. 200.000-800.000, pendapatan bersih tertinggi dalam kisaran Rp. 200.000-1.200.000 dan pendapatan rata-rata antara Rp. 200.000-1.100.000 setiap bulannya. Untuk pendaatan terendah, sekitar 35 persen menyatakan dibawah Rp. 200.000 dan sekitar 24 persen menyatakan antara Rp. 600.000-800.000. Untuk pendapatan tertinggi, hanya sekitar 7 persen antara Rp. 200.000-400.000 dan sekitar 13 persen menyatakan diatas Rp. 1.000.000. Dilihat dari rata-ratanya, sekitar 40 persen antara Rp. 601.000-800.000 dan hanya 3 persen di bawah Rp. 401.000 (Tabel 9).

Tabel 9. Pendapatan Bersih Nelayan

No. Keterangan n %

Sumber: Data primer (diolah).

(12)

pora-pora telah lebih dari 5 tahun yang lalu. Keempat, pada umumnya nelayan menggunakan jaring sebagai alat penangkap ikan dengan lokasi di Danau Toba atau sungai, antara lain sungai Aek Silang.Kelima,tujuan kaum tani turut menggeluti penangkapan ikan pora-pora adalah untuk meningkatkan pendapatan dan sekaligus untuk memenuhi konsumsi.Keenam, biasanya yang menjadi nelayan adalah kepala keluarga (suami) dibantu dengan anak dan atau isteri.Ketujuh,hari kerja pada umumnya mulai hari Senin hingga Minggu dengan jam kerja yang bervariasi, yakni subuh hingga pagi hari, siang hari, sore hingga senja, atau pada malam hingga subuh dengan jam kerja efektif di bawah 8 jam setiap hari.Kedelapan,pendapatan rata-rata kaum nelayan semakin menurun, terutama disebabkan semakin banyaknya menggeluti penangkapan ikan pora-pora, terutama dengan menggunakan bagan.Kesembilan,pada umumnya biaya nelayan adalah meliputi pembelian sarana dan prasarana alat tangkapan ikan seperti jaring, alat penerangan dan perahu dayung kecil (solu).

4.3. Kehidupan Ekonomi Keluarga Setelah Menekuni Penangkapan Ikan Pora-pora

Uraian akan diawali dari keadaan pendapatan, keadaan kehidupan keluarga, kemampuan membiayai pendidikan anak, kemampuan menabung, ada tidaknya pemilikan polis asuransi, jenis harta yang bertambah, dan perubahan ekonomi lain yang dirasakan nelayan.

a. Keadaan Pendapatan dan Kehidupan Keluarga

Keadaan pendapatan sebelum dan sesudah menekuni penangkapan ikan pora-pora dapat dinilai oleh nelayan berdasarkan pengalaman atau ingatan mereka tentang sumber-sumber pendapatan selama ini. Hampir 70 persen menyatakan pendapatan mereka meningkat sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Kalaupun ada yang menyatakan menurun namun jumlahnya hanya kurang dari 10 persen dan hampir 20 persen menyatakan sama dengan keadaan sebelumnya (Tabel 10). Dua jawaban terakhir wajar dipertanyakan karena hasil wawancara dengan sejumlah informan menyatakan kalau pendapatan sebagian besar penduduk Kecamatan Bakti Raja meningkat sesudah ada ikan pora-pora.

Bapak S. Purba, seorang pedagang alat-alat nelayan dan barang-barang lainnya mengemukakan bahwa uang bisa mengalir ke Kecamatan Bakti Raja sekitar sepuluh juta rupiah setiap hari ketika harga ikan Rp. 2.000/kg pada tahun yang lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi nelayan untuk menyatakan pendapatan total mereka menurun kecuali lahan pertaniannya ditelantarkan. Jawaban tersebut dapat dibenarkan karena memang pendapatan rata-rata responden beberapa bulan sebelum pelaksanaan penelitian ini mulai menurun bila dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Namun jika dibandingkan dengan pendapatan sebelum menekuni penangkapan ikan pora-pora dan sesudahnya, maka pendapatan penduduk yang menggeluti penangkapan ikan pora-pora meningkat secara signifikan.

(13)

Tabel 10. Keadaan Pendapatan dan Kehidupan Keluarga Nelayan

Sumber: Data primer (diolah).

b. Kemampuan Membiayai Pendidikan Anak, Perobatan, dan Menabung

Ada tidaknya perbaikan dalam kehidupan ekonomi nelayan dapat juga dilihat dari kemampuan mereka untuk membiayai pendidikan anaknya, biaya perobatan, dan menabung. Bila pendapatan nelayan meningkat karena ikan pora-pora, maka kemampuan membiayai pendidikan anak akan meningkat pula. Hampir 65 persen menyatakan demikian. Sementara itu sekitar 53 persen menyatakan kemampuan membiayai perobatan meningkat serta sekitar 32 menyatakan kemampuan menabungnya meningkat (Tabel 11). Kemampuan meningkatkan pendidikan, perobatan dan menabung adalah gambaran dari adanya kenaikan penghasilan kaum tani sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora.

Tabel 11. Kemampuan Membiayai Pendidikan, Perobatan, dan Menabung

No. Keterangan n %

Sumber: Data primer (diolah).

c. Polis dan Jenis Harta Lain yang Bertambah

(14)

sedikit yang memiliki polis asuransi. Ternyata hanya 6 persen yang telah memiliki polis asuransi. Namun sekitar 41 persen menyatakan berencana untuk memasuki asuransi (Tabel 12). Adalah wajar apabila pendapatan meningkat maka kemampuan untuk membeli barang dan jasa akan meningkat, termasuk polis asuransi yang memberi proteksi bagi yang pemilik polis dan ahli warisnya. Dengan membayar premi dalam jumlah tertentu mereka sudah mendapat sejumlah proteksi sesuai dengan produk asuransi yang mereka pilih.

Gambaran naiknya pendapatan nelayan sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora dapat juga dipantau dari jenis-jenis harta lain yang dimiliki. Lebih dari 75 persen menyatakan jenis hartanya bertambah sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Ada yang menambah perabot rumahtangga, membeli sepeda motor, membeli TV, merehabilitasi rumah, membeli tanah (Tabel 12) dan bahkan membangun rumah baru. Menurut informan, yang membangun rumah baru antara lain Abner Bakara (A. Lisda Bakara), A. Fitri Hutasoit, Nimrot Purba, dan beberapa orang lain. Secara singkat, yang paling dirasakan kaum tani dan sekaligus menjadi nelayan adalah meningkatnya konsumsi, kemampuan membiayai sekolah anak, dan kemampuan menabung.

Tabel 12. Kepemilikan Polis Asuransi dan Harta Lainnya

No

Sumber: Data primer (diolah).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan. Pertama, pada umumnya pendapatan kaum tani yang menggeluti penangkapan ikan pora-pora meningkat dan keadaan kehidupan ekonomi keluarga pun meningkat.Kedua, sesudah menggeluti penangkapan ikan pora-pora, kemampuan keluarga untuk membiayai pendidikan anak, membiayai perobatan, dan juga kemampuan menabung meningkat. Ketiga, dampak lain dari tambahan pendapatan kaum tani dari ikan pora-pora adalah bertambahnya kepemilikan harta termasuk polis asuransi. 4.4. Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial dan Lahan Pertanian

Implikasi dari penangkapan ikan pora-pora dapat dinilai dari kehidupan social dan pengusahaan lahan pertanian.

a. Kehadiran dan Kepedulian dalam Acara Suka dan Dukacita

(15)

yang meninggal dunia (sari matua atau saur matua), maka tingkatannya adalah horja dan bahkan bius. Akan tetapi bila pesta tugu marga atau kelompok marga utama, maka acara dalam adat istiadat biasanya melibatkan bius. Jadi sebagai mahluk sosial, setiap orang selalu mempunyai interaksi dengan orang lain dalam hubungan sosial sehari-hari dan juga dalam adat istiadat. Salah satu wujud dari interaksi tersebut adalah kepedulian dalam kehadiran dalam acara suka dan duka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir 42 persen responden menyatakan tingkat kehadiran dan kepedulian termasuk memberikan uang (tumpak) dalam acara sukacita atau dukacita meningkat setelah ada tambahan pendapatan dari penjualan ikan pora-pora. Terdapat sekitar 32 persen responden mengatakan bahwa tingkat kehadiran dan kepedulian dalam mengikuti acara sukacita dan dukacita adalah sama dengan sebelumnya. Hal ini dapat terjadi, karena pada masa sebelum penangkapan ikan pora-pora, sebagian besar pendapatan yang mereka peroleh masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga tambahan pendapatan yang diperoleh masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Namun data yang masih diragukan kebenarannya adalah adanya satu orang responden menyatakan kehadiran dan kepedulian mengikuti acara sukacita dan dukacita justru menurun (Tabel 13). Kemungkinan penyebabnya adalah karena terlalu sibuk dengan pekerjaan penangkapan ikan pora-pora sehingga hampir tidak ada waktu untuk mengikutinya. Selain itu, ada kalanya hanya istri yang menghadirinya.

Tabel 13. Kehadiran dan Kepedulian Dalam Acara Suka dan Duka

No. Keterangan n %

1. 2. 3. 4.

Sama dengan yg lalu Meningkat

Menurun Tidak tahu

17 22 1 13

32,1 41,5 1,9 24,5

J u m l a h 53 100,0

Sumber: Data primer (diolah).

Seorang informan menambahkan, bahwa peningkatan kehadiran dan kepedulian masyarakat dalam mengikuti acara sukacita semakin nampak dengan melihat wajah yang bersemangat sambil menikmati kopi dari sebagian mereka di warung-warung kopi yang dekat dengan lokasi acara pesta, karena telah menerima uang hasil penjualan ikan. Namun ketika harga ikan pora-pora menurun, wajah letih seperti kurang bersemangat sangat mudah kelihatan baik di warung-warung kopi maupun dalam hal memberian bantuan uang, kata informan menambahkan. Data ini menunjukkan terdapat indikasi kuat bahwa adanya peningkatan pendapatan akan memotivisi penduduk ikut dan berpartisipasi dalam acara-acara dimaksud.

b. Kehadiran dan Partisipasi Masyarakat dalam Acara Keagamaan/Gereja

Sebelum penduduk menganut agama Kristen, upacara keagamaan yang dilaksanakan adalah memuja Mulajadi Nabolon melalui apa yang dinamakan dengan upacara mangase taon. Upacara ini adalah sakral untuk memuja pencipta alam semesta sehubungan dengan sektor pertanian. Masyarakat merasa wajib untuk melaksanakan upacara ini karena hasil pertanian melimpah ruah dan mermohon agar pada masa panen berikutnya hasil pertanian mereka tetap diberkati. Upacara mangase taondipimpin oleh Parbaringin, yang menurut para tetua adalah atas anjuran Si Singamangaraja (Sijabat, 2002; Purba, 2007). Namun upacara serupa itu lama kelamaan ditinggalkan penduduk sehubungan dengan semakin banyaknya penduduk yang menganut agama Kristen.

(16)

Makna kehadiran dalam penelitian ini adalah keikutsertaan mereka dalam acara keagamaan, yakni mengikuti kebaktian minggu dan acara kebaktian hari-hari besar agama Kristen. Sedangkan arti partisipasi adalah adanya dukungan material bagi upacara keagamaan tersebut, yang akan digunakan majelis gereja untuk meningkatkan pelayanan kepada jemaat. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari 90 persen responden melakukan aktivitas penangkapan ikan pora-pora pada hari Senin sampai Minggu. Namun hanya sekitar 9 persen dari responden mengatakan tingkat kehadiran dan kepedulian mereka dalam menghadiri acara keagamaan mengalami penurunan. Hal yang patut dibanggakan adalah adanya sekitar 53 persen responden yang tingkat kehadiran dan kepedulian mereka dalam mengikuti acara keagamaan/gereja meningkat dan sekitar 23 persen mengatakan sama saja dengan keadaan yang sebelumnya (Tabel 14).

Tabel 14. Kehadiran dan Partisipasi Dalam Acara Keagamaan

N

o Keterangan n %

1 Sama dengan yang lalu 12 22,7

2 Meningkat 28 52,8

3 Menurun 5 9,4

4 Tidak tahu 8 15,1

Jumlah 53 100,0

Sumber:Data primer (diolah)

c. Kunjungan Silaturahmi dengan Sanak Saudara

Frekuensi kunjungan silaturahmi dengan sanak keluarga terutama yang berada di luar kota pada umumnya adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Alasannya antara lain adalah membutuhkan biaya yang besar dalam perjalanan dan mengganggu waktu untuk melakukan pekerjaan rutin, terutama di bidang pertanian yang tidak boleh tertunda karena tergantung kepada musim. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 40 persen menyatakan melakukan hubungan silaturahmi dengan sanak saudara terutama yang berada di luar kota sama seperti sebelum melakukan kegiatan penangkapan ikan pora-pora. Hampir 42 persen menyatakan semakin jarang karena terlalu sibuk dalam kegiatan penangkapan ikan pora-pora (Tabel 15). Meninggalkan pekerjaan selama sehari atau lebih, mungkin dirasakan kaum nelayan sebagai “sia-sia” atau menghilangkan pendapatan karena pekerjaan ini berbeda dengan pertanian padi sawah atau tanaman bawang, dimana hasilnya dapat diterima setiap hari.

Walaupun cukup banyak yang menyatakan “semakin jarang” namun ada juga yang menyatakan “sering” atau meningkat oleh hampir 20 persen responden. Jawaban yang terakhir ini bermakna positif dalam hubungan silaturahmi dengan sanak keluarga. Meninggalkan pekerjaan sehari atau dua hari tidak dinilai tidak lebih besar nilainya dibandingkan dengan semakin eratnya hubungan silaturahmi. Selain itu, juga memberi arti bahwa kunjungan silaturahmi dengan sanak keluarga tidak boleh dikurangi kendatipun semakin banyak pekerjaan yang bernilai ekonomis.

Tabel 15. Tingkat Frekuensi Kunjungan Silaturahmi

N

o Keterangan n %

1 Sama dengan yang lalu 21 39,6

2 Semakin sering 10 19,9

3 Semakin jarang 22 41,5

Jumlah 53 100,0

(17)

d. Implikasinya Terhadap Lahan Pertanian

Dari data Tabel 16 menunjukkan terdapat hampir 72 persen responden menyatakan tidak ada jenis usahatani yang ditinggalkan walaupun mereka telah menggeluti penangkapan ikan pora-pora. Mereka tetap mengerjakan semua jenis usahatani sebelumnya adalah dengan dua alasan utama. Pertama, karena tidak terganggu waktunya walaupun melakukan pekerjaan menangkap ikan pora-pora (sekitar 30 persen). Alasan ini terutama adalah bagi keluarga responden yang dalam melakukan penangkapan ikan pora-pora dilakukan oleh suami sehingga istri dan anggota keluarga lainnya dapat mengunakan waktu untuk mengelola usahatani mereka. Kedua, karena pendapatan dari hasil penjualan ikan pora-pora tidak mencukupi kebutuhan keluarga sehingga mereka tetap mengerjakan semua jenis usahatani sebelumnya, yakni oleh sekitar 41 persen responden.

Tabel 16. Ada Tidaknya Usahatani yang Ditinggalkan Responden Setelah Menekuni Penangkapan Ikan Pora-pora

No Keterangan n %

1 Tidak ada jenis usahatani yang ditinggalkan a. Alasan tidak terganggu waktu

b. Alasan pendapatan dari penangkapan ikan pora-pora tidak cukup

16 22

30,1 41,4

2 Ada jenis usahatani yang ditinggalkan a. Alasan tidak cukup waktu

b. Alasan pendapatan dari penangkapan ikan pora-pora sudah mencukupi

c. Alasan lainnya

9 5

1

17,0 9,4

1,9

Jumlah 53 100,0

Sumber: Data primer (diolah)

Masih dari data tabel yang sama, ada juga sekitar 28 persen yang meninggalkan sebagian dari usahataninya, diantaranya sekitar 17 persen menyatakan tidak cukup waktu mengerjakan kedua-duanya, yakni karena tersita dalam penangkapan ikan pora-pora. Bahkan yang menarik lagi terdapat 9 persen yang menyatakan pendapatan dari hasil penjualan ikan pora-pora sudah mencukupi walaupun meninggalkan sebagian usahatani sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan, yaitu: pertama, ada peningkatan dalam kehadiran maupun partisipasi dalam acara suka maupun duka. Kedua, ada peningkatan dalam keikutsertaan dan partisipasi dalam upacara keagamaan. Ketiga,ada indikasi bahwa sebagian nelayan semakin jarang melakukan kunjungan silaturahmi untuk mempererat hubungan kekerabatan dengan sanak saudara di luar daerah. Keempat, ada petani yang meninggalkan sebagian jenis usahataninya karena menggeluti penangkapan ikan pora-pora, terutama disebabkan tidak cukup waktu untuk mengerjakan semuanya. Kelima, sebagian besar responden tidak mau meninggalkan lahan pertanian karena dapat mengatur waktunya sedemikian rupa dan pendapatan dari ikan pora-pora dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka.

5. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut:

(18)

2. masyarakat secara umum meningkat dibandingkan dengan keadaan sebelum ada ikan pora-pora.

3. Dampak sosial penangkapan ikan pora-pora bagi kehidupan keluarga nelayan dan masyarakat pada umumnya adalah positif. Antara lain dapat dilihat dari peningkatan dalam kehadiran maupun partisipasi dalam acara suka maupun duka, peningkatan dalam keikutsertaan dan partisipasi dalam acara keagamaan. Memang ada juga dampak negatifnya, misalnya sebagian nelayan menjadi jarang melakukan kunjungan silaturahmi untuk mempererat hubungan kekerabatan dengan sanak saudara di luar daerah.

4. Implikasi negatif dari kegiatan penangkapan ikan pora-pora bagi aktivitas pertanian sangat sedikit. Hanya sebagian kecil yang meninggalkan sebagian usahataninya karena tidak cukup waktu untuk mengerjakan semuanya. Hampir semua keluarga nelayan tidak mau meninggalkan pekerjaannya sebagai petani karena dapat mengatur waktunya sedemikian rupa, sehingga lahan pertanian dan penangkapan ikan pora-pora dapat dikerjakan.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Jan S., (1988) Sejarah Pendidikan di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

N.N., (2011), “Usaha Ikan Pora-pora, Mendulang Jutaan Rupiah di Kolong Jembatan Ajibata” dalam Media Komunitas Usaha Mikro Bank Sumut, Edisi V, hal. 1-2.

---, (2013),“Petani Tobasa Beralih Jadi Nelayan Ikan Pora-pora” dalam ANTARASUMUT (www.antarasumut.com) diakses pada 14 Mei.

---, (2013), “Ikan Pora-pora, Sumber Penghasilan Masyarakat Tobasa” dalam APAKABARSIDIMPUAN (www.apakabarsidimpuan.com) diakses pada 14 Mei.

---, (2013), “Ikan Pora-pora Dikembangkan di Danau Toba” dalam WASPADA (www.waspada.co.id) diakses 14 Mei.

---, (2013), “Banyak Nelayan Perempuan di Tobasa” dalam Tribun, 13 Mei, hal. 16.

Purba, O.H.S dan Purba, Elvis F., (1997), Migrasi Spontan Batak Toba: Sebab, Motip dan Akibat Perpindahan Penduduk Dari Dataran Tinggi Toba, Medan: Monora.

Purba, Elvis F., (2007), Lembah Bakara, Tinjauan Ringkas Bekas Ibukota Dinasti Si Singamangaraja. Medan.

---, (2009), Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan di Bakara Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 1980 – 2009. Laporan Penelitian, Medan: Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen.

---, (2010), Dinamika Pembangunan Kecamatan Bakti Raja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Laporan Penelitian, Medan: Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen.

Sijabat, W.B., (2002), Ahu Si Singamangaraja, Jakarta: Sinar Harapan.

Sitorus, Hasan, (2012), “Danau Toba Punya Ikan Bilih, Danau Singkarak Punya Nama” dalam Warta Nommensen Edisi 1 Oktober, hal. 78-81.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Responden Berdasarkan Umur dan Pendidikan
Tabel 2. Keragaan Usahatani Responden
Tabel 3. Lama Menjadi Nelayan dan Pihak yang Mendorong Menjadi Nelayan
Tabel 4. Lokasi Tangkapan dan Jenis Alat Tangkap Nelayan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 8. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh penulis dilokasi yang sama tahun 2003 diperoleh kisaran panjang 32,20 mm – 86,15 mm maka ukuran panjang cangkang yang

[5] Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan dukungan suami dengan bonding attachment pada ibu post partum di RSUD Kota

From the project time management perspective, during project monitoring activity, pro- ject team would need to make up-to-date predictions on the project total duration as

Pembatasan dari tindakan yang dilakukan berdasarkan SPS Agreement adalah tindakan tersebut tidak menjadi alat untuk melakukan diskriminasi terhadap negara anggota lain dengan

Namun dalam hal MoU yang mereka buat hanya merupakan ikatan moral saja maka keberadaan klausula evaluasi menjadi kurang diperlukan karena apabila dikemudian hari salah satu

Piutang Dagang Peralatan Kantor Hutang Dagang Modal Saham Penjualan Pembelian Beban Gaji Beban Iklan..

• Sido Muncul Kuku Bima Ener-G Drink adalah produk baru minuman serbuk, yang harus mampu. bersaing dengan pemain lama, yang selama ini dikuasai oleh Extra Joss, Hemaviton

PT Hutama Listrik &amp; telpon Pembelian Toko Merdeka PT Duta Angkasa Biaya Gaji.