• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Makna Simbolis Dalam Kumpulan Puisi Doa Untuk Anak Cucu Karya W.S.Rendra.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Makna Simbolis Dalam Kumpulan Puisi Doa Untuk Anak Cucu Karya W.S.Rendra."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MAKNA SIMBOLIS DALAM KUMPULAN PUISI

DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA W.S. RENDRA

SKRIPSI

OLEH:

Rika S. Simbolon

NIM 100701014

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

▸ Baca selengkapnya: makna puisi malam karya avianti armand

(2)

Analisi Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra

Oleh: Rika S. Simbolon

NIM 100701014

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan mengikuti ujian sikripsi dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Isma Tantawi, M.A. Dra. Keristiana, M.Hum. NIP 196002071986011001 NIP196106101986012001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

(3)

Analisis Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra.

Rika S. Simbolon

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya orang yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis sebagai acuan dalam

naskah ini dan dituliskan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini

tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan

yang saya peroleh. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sadar dan bukan

karena ada tekanan maupun paksaan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Medan, November 2014

Penulis,

(4)

Analisis Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra

Oleh:

Rika Selvarina Simbolon

Abstrak

(5)

KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan terima kasih kepada Yesus Kristus atas berkat dan kebaikann-Nya sehingga pelaksanaan dan penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah Analisis Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra.

Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini terutama kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya , Dr. M. Husman Lubis, M.A., selaku Pembantu Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan, selaku Pembantu dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian M.A., selaku pembantu Dekan III, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku ketua Departemen

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara dan Bapak Dr. Haris Sutan Lubis, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Indonesia.

(6)

4. Ayah saya N. Simbolon yang terkasih yang senantiasa memberikan

kasih sayang, dukungan moril dan materil dan Almarhum Ibunda

saya R. Situmorang yang terkasih yang tidak sempat menikmati

kebahagiaan atas terselesaikannya skripsi ini, terima kasih telah

memberikan kasih sayang dan pendidikan yang sangat berharga

bagi saya.

5. Kepada sahabat saya Rosita Simbolon, Osen Hutasoit, Misni

Saragih, Sabatinni Hutajulu, Relica Naibaho, Hendra Aritonang,

dan seluruh teman-teman stambuk 2010 Sastra Indonesia yang

telah setia mendukung dan membantu demi terselesaikannya

skripsi ini.

6. Kepada Tommy Leonardo Sianturi yang telah memberikan

dukungan dan senantiasa berbagi menjadi yang terbaik.

7. Abang L.Simbolon, R.Simbolon, L.Simbolon, Kakak N.Simbolon

dan adik saya Robio sombolon, Terima kasih menjadi saudara dan

saudari yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis

sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Akhir

kata penulis mengucapkan terima kasih semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua yang membutuhkan.

Medan, November 2015 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.1.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.1.2 Manfaat Penelitian ... 5

1.1.2.1Manfaat Praktis ... 5

1.1.2.2Manfaat Teoretis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Konsep ... 7

2.1.1 Puisi ... 7

2.1.2 Simbolis ... 7

2.1.3 Makna simbolis ... 8

2.2 Landasan Teori ... 8

2.3 Tinjauan Pustaka ... 10

BAB III METODE PENELITIAN ... 13

(8)

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 13

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 14

3.4 Populasi dan Sampel ... 16

3.4.1 Populasi ... 16

3.4.2 Sampel ... 17

BAB IVANALISIS MAKNA SIMBOLIS DALAM KUMPULAN PUISI DOA UNTUK ANAK CUCU KARYA W.S.RENDRA ... 18

4.1 Penggunaan Simbolis dalam kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra ... 18

4.1.1 Syair Mata Bayi ... 19

4.1.2 Tentang Mata ... 20

4.1.3 Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia ... 22

4.1.4 Ibu di Atas Debu ... 24

4.1.5 Jangang Takut Ibu! ... 27

4.1.6 Tuhan Aku Cinta Pada-Mu ... 29

4.2 Analisi Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak cucu Karya W.S.Rendra ... 30

4.2.1 Puisi Syair Mata Bayi ... 31

4.1.2 Puisi Tentang mata ... 34

(9)

4.2.4 Puisi Ibu di Atas Debu ... 40

4.2.5 Puisi Jangan Takut, Ibu! ... 42

4.2.6 Puisi Tuhan Aku Cinta Pada-Mu ... 46

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Simpulan ... 48

5.2 Saran ... 48

(10)

Analisis Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra

Oleh:

Rika Selvarina Simbolon

Abstrak

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sastra adalah hasil seni kreatif manusia yang menampilkan gambaran

tentang kehidupan manusia, menggunakan seni bahasa sebagai mediumnya. Karya

sastra merupakan penjelasan ilham, perasaan, pikiran, dan angan-angan (cita-cita)

untuk memberikan suatu pengimajian dengan bahasa yang indah. Karya sastra

mengandung makna berupa pesan yang ingin disampaikan penulis kepada

pembaca. Namun, makna dan pesan ini sering disampaikan secara tersirat atau

tidak jelas, sehingga pembaca sulit untuk mendapatkan pesan yang ingin

disampaikan.

Wellek dan Werren (1995:25) menyatakan “Sastra adalah suatu kegiatan

kreatif, sebuah karya seni, segala sesuatu yang tertulis dan tercetak, karya

imajinatis.” Sastra bukan merupakan suatu komunikasi praktis, melainkan suatu

komunikasi yang mengandung makna. Salah satu bentuk karya sastra adalah puisi.

Puisi dapat menyampaikan pesan, ide, dan amanat kepada orang lain. Oleh karena

itu, pembaca diharapkan memiliki sikap kritis untuk mampu menganalisis dan

menemukan makna yang terkandung dalam puisi tersebut.

Puisi adalah ungkapan perasaan atau pikiran penyair yang dirangkai

menjadi suatu bentuk tulisan yang mengandung makna. Puisi merupakan hasil

(12)

pengalaman manusia ataupun sebuah gagasan. Pengungkapan puisi berbeda

dengan pengungkapan prosa. Dalam puisi terdapat pemadatan bahasa dan pokok

pikiran, sedangkan pada prosa bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai

suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain.

Menurut Altenbernd (dalam Pradopo, 1995:5) puisi adalah pendramaan

pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama

(bermetrum). Puisi bersifat abstrak dan imajinatif, maka dapat saja menceritakan

sesuatu hal yang sudah atau yang belum terjadi, yang mungkin dan yang tidak

mungkin terjadi. Penyampaian puisi juga kadang dilambangkan dengan

benda-benda lain atau diibaratkan dengan simbol atau tanda. Puisi yang disampaikan

pengarang hanya dapat diketahui wujud aslinya oleh pengarang yang

bersangkutan karena daya imajinasi yang dimiliki setiap orang berbeda-beda.

Dalam menulis puisi, pengarang berbicara kepada pembaca dengan kata-kata yang

mengandung makna di dalamnya, seperti makna simbolis, yaitu penanda tidak

merupakan sebab atau akibat dan tidak merupakan gambaran langsung dari

petanda tetapi hubungan antara tanda dan acuannya telah terbentuk secara

konvensional.

Simbol berasal dari suatu kajian semiotik yang dapat dianalisis sesuai

dengan bentuknya. Semiotik merupakan ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Hal tersebut bisa berupa pengalaman, pikiran, dan gagasan. Maka yang

dapat menjadi tanda bukan hanya dalam bentuk bahasa saja, melainkan berbagai

(13)

Secara umum, semiotik didefenisikan sebagai teori filsafat umum yang

berkenaan dengan tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode

yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik dapat meliputi

tanda-tanda visual dan verbal yang berupa tanda/sinyal yang dapat diakses dan

diterima oleh seluruh indra. Tanda- tanda tersebut akan membentuk sistem kode

yang secara sistematis menyampaikan pesan atau informasi secara tertulis disetiap

kegiatan dan perilaku manusia.

Berdasarkan hal di atas, suatu karya sastra dapat dikaji berdasarkan

semiotik karena karya sastra merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.

Tanpa memperhatikan sistem tanda, makna, dan konvensi tandanya karya sastra

tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal, begitu juga dengan

konsep-konsep yang dimiliki semiotik. Salah satu konsep-konsep semiotik yang dekat

hubungannya dengan karya sastra yang berbentuk puisi adalah simbol. Hal ini

disebabkan bahwa puisi merupakan genre sastra yang memiliki daya pengimajian

yang tinggi. Puisi juga memiliki ekspresi dan persepsi yang sangat membangun.

Maka dari itu karya sastra yang menempati posisi yang sangat istimewa adalah

puisi, karena bahasa yang dipakai dalam puisi tersebut memakai bahasa estetis

yang ditampilkan secara sublim, yaitu menunjukkan keindahan dalam bentuk

yang tinggi.

Untuk mengetahui dan mengerti bahasa puisi, perlu diadakan analisis agar

makna yang ingin disampaikan pengarang dapat diterima dan dimengerti oleh

(14)

Kumpulan puisi W.S. Rendra (Rendra) Doa untuk Anak Cucu banyak menggunakan penyimbolan. Kumpulan puisi ini menggunakan pilihan kata yang

sangat efektif. Perulangan yang sering kali ditampilkan Rendra yang kelihatan

sebagai pemborosan, digunakan dengan efektif untuk membentuk keindahan.

Kata-kata yang digunakan Rendra adalah kata-kata biasa, tetapi

menggunakan penyimbolan. Seperti dalam puisi Syair Mata Bayi, Rendra menyebutkan Mata yang memiliki arti denotasi berupa panca indra yang berfungsi

untuk melihat, tetapi dalam puisinya Rendra tidak hanya ingin menyebutkan

panca indra tersebut, tetapi Rendra melambangkan mata untuk menggambarkan

setiap perilaku manusia. Mata memiliki kedalamannya tersendiri, mata

menunjukkan suasana hati, pikiran dan setiap yang terjadi pada diri manusia.

Seperti dalam Baris pertama /aku merindukan mata bayi/ Rendra menggunakan simbol pada kata /mata bayi/ dengan makna suatu kemurniaan, kepolosan, dan ketulusan. Simbol yang digunakan Rendra dalam syair mata bayi ini berupa privat symbol yaitu simbol yang secara khusus diciptakan dan digunakan oleh pengarang.

Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu merupakan puisi Rendra yang belum pernah dipublikasikan. Berdasarkan hal di atas, sangat tepat jika kumpulan

puisi Rendra dianalisis berdasarkan pendekatan semiotik agar pembaca lebih

mudah memahami.

(15)

1. Bagaimanakah penggunaan simbolis yang terdapat dalam kumpulan puisi

Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra?

2. Bagaimanakah makna simbolis dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak

Cucu Karya W.S. Rendra?

1.3Tujuan dan manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan masalah yang ada, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana pengarang menggunakan simbolis

dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu Karya W.S. Rendra. 2. Untuk memahami makna simbolis dalam kumpulan Puisi Doa untuk

Anak Cucu Karya W.S. Rendra.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1.3.2.1Manfaat Teoretis

Secara teoretis, manfaat hasil penelitian ini adalah sbagai berikut

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujikan analisis makna

simbolis yang terdapat dalam puisi.

2. Bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca atau masyarakat

untuk lebih memahami dan mengetahui makna yang disampaikan

dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S.Rendra.

1.3.2.2Manfaat Praktis

(16)

1. Menambah khasanah pengetahuan bagi pengembangan Sastra

Indonesia khususnya puisi.

2. Menambah khasanah pengetahuan bagi penengembangan analisis

(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

lain. (Alwi, dkk. 2003:588).

2.1.1 Puisi

Puisi adalah suatu yang menyenangkan sekaligus cara pengungkapannya

atau kata-kata yang penyair gunakan untuk menyatakan ide dan perasaannya itu

berbeda-beda, puisi juga merupakan manifesta jiwa penyair dalam menghadapi

kehidupan yang penuh dengan gejolak dan sandungan-sandungan. (Siregar,

2000:2).

Menurut Slamet Mulyana dalam Mursini (2011:66) menyatakan bahwa

puisi merupakan intensitas bahasa dari pelbagai peristiwa bahasa yang telah

tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses jiwa mencari hakikat

pengalamannya tersusun dengan sistem korespondensi dalam suatu bentuk.

2.1.2 Simbolis

Simbolis adalah mengenai lambang; sebagai lambang; menjadi lambang.

(18)

keadaan digambarkan dengan maksud untuk menggambarkan benda, kejadian

atau keadaan lain. (Saini, 1993:186).

2.1.3 Makna Simbolis

Makna adalah arti; pengertian yang diberikan pada suatu kebahasaan.

Simbol merupakan bahasa kias yang sering dijumpai penggunaanya dibandingkan

jenis bahasa kias yang lain. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang

mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Simbol dapat juga

diartikan sebagai bahasa kias yang melukiskan sesuatu dengan menggunakan

lambang untuk menyatakan maksud. Tujuannya untuk memperjelas makna dalam

puisi sehingga dapat mengugah jiwa pembaca. Simbolis adalah mengenai

lambang. Jadi makna simbolis adalah pengertian yang diberikan pada kata yang

diberikan pada kata yang digambarkan yang dibuat untuk mewakilkan suatu

gagasan.

2.2 Landasan Teori

1. Pendekatan Struktural

Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Struktur tersebut

merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya

terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Dengan pengertian seperti

itu maka analisis struktural adalah analisis karya dan penguraian bahwa tiap unsur

tersebut mempunyai makna hanya dalam kaitan dengan unsur-unsur

(19)

Pendekatan struktural dikenal juga dengan istilah lain yaitu pendekatan

intrinsik, objektif, analitik dan formal. Pendekatan analitis atau struktural dalam

apresiasi puisi adalah pendekatan secara sistematis objektif berusaha untuk

menelaah unsur-unsur intrinsik dalam puisi. (Aminuddin, 1995:164).

1. Pendekatan Semiotik

Semiotik merupakan ilmu tentang tanda. Secara etimologis semiotik

berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsiran tanda atau tanda dimana

sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana

sistem penandaan berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang

mempelajati “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori

dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan.

Roland Barthes dalam teorinya tersebut mengembangkan semiotika

menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi

adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada

realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah

tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di

dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

(Yusita Kusumarini, 2006) Tanda ini akan digunakan untuk menganalisis

kata-kata dengan makna simbolis dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra. Analisis ini akan dilakukan dengan penerapan teori semiotik

Rolland Bathes dengan penerapan kode simbolik. Kode simbolik menurut Rolland

Barhthes adalah dunia lambang yaitu, personifikasi manusia dalam menghayati

(20)

Menurut A.Teew (1984:6) semiotik adalah tanda sebagai tindak

komunikasi dan kemudian disempurnakan menjadi model sastra yang

mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman

gejala sastra sebagai alat komunikasi yang khas dalam masyarakat manapun.

1.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah

menyelidiki atau mempelajari) (KBBI, 2005:1198). Pustaka adalah kitab, buku

(KBBI, 2005:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan kumpulan puisi

Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra merupakan kumpulan puisi yang belum pernah dipublikasikan. Kumpulan puisi ini merupakan kumpulan puisi yang

Rendra berikan kepada istrinya Ken Zuraida, untuk disimpan. Akhirnya, Februari

2013 Ken Zuraida membuka diri dan member izin kepada Bentang Pustaka untuk

menerbitkan puisi-puisi Rendra.

Untuk dapat memecahkan masalah dalam penelitian ini, peneliti

mengumpulkan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

Sebagai bahan rujukan peneliti mengambil beberapa penelitian yang

menggunakan semiotik dan struktural sebagai teorinya,

Farida (2002), dalam skripsi yang berjudul Aku Ini Binatang Jalang Karya Chairil Anwar: Ketidak Berdayaannya Menghadapi Maut. Dalam sikripsinya tersebut Farida membahas pemahaman Chairil Anwar tentang Maut.

Saiful Munir dari fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang

(21)

Puisi Nyanyian dalam Kelam Karya Sutikno W.S: Kajian Stilistika

mengungkapkan bagaimana penggunaan diksi dalam Kumpulan Puisi Nyanyian

dalam Kelam karya Sutikno W.S. dalam skripsi ini juga di analisis bagaimana

penggunaan Gaya bahasa dalam puisi Sutikno W.S.

Skripsi Sitta Muftya yang berjudul Analisis Struktural-Semiotik Tiga Puisi Mik’hail Nu’aumah fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang membahas tentang Struktur batin dan struktur puisi.

Makalah yang berjudul analisis simbolik sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia yang dipublikasikan oleh A. M. Bayu Al-Ghazali. S. M Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam makalah ini dijelaskan

mengenai elemen-elemen simbolik yang terdapat pada puisi.

Berdasarkan pengamatan, peneliti tidak menemukan adanya penelitian

yang pernah dilakukan pada puisi W.S. Rendra Doa untuk Anak Cucu penelitian tentang makna simbolis dalam puisi W.S. Rendra juga belum pernah diteliti.

Ada beberapa orang yang pernah meresensi buku ini yang menyampaikan

tentang kelemahan dan kelebihan buku ini dengan judul resensi Rendra Berdoa

Melalui Puisi oleh ahmad Faozan dan Sajak Rendra Yang Tertinggal oleh

Marzuki seorang pecinta sastra dan budaya.

Dalam Resensinya Ahmad Faozan dan Marzuki menyebutkan kelebihan

dan kelemahan kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu, tebal buku, serta bagaimana tanggapan mereka terhadap puisi Rendra. Menurut Marzuki, kumpulan

(22)

tertinggal. Sementara Ahmad Faozan mengatakan bahwa kumpulan puisi Doa untuk anak cucu adalah kumpulan doa yang dituangkan Rendra lewat puisi. Selain itu, ada beberapa artikel yang secara sekilas memasukkan judul dari kumpulan

puisi ini dalam tulisannya, tetapi tidak membahasnya secara lebih mendetail.

Untuk itu, peneliti berniat melakukan analisis terhadap kumpilan puisi

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI, 2003:680). Penelitian ini

dilakukan di perpustakaan yaitu dengan cara studi pustaka (library research).

Sumber data berupa buku-buku atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan

penelitian. Penelitian ini juga berlangsung di ruang belajar peneliti untuk

mengumpulkan data-data yang diperlukan. Penelitian ini dilakukan mulai dari Mei

2014 sanpai dengan Januari 2015.

3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara yang harus dilakukan sementara teknik adalah cara

melaknakan metode. Metode dan teknik pengumpulan data yang sesuai perlu

diperhatikan agar penelitian terarah. Penggunaan metode dan teknik pengumpulan

data yang tepat dapat membantu pencapaian hasildata yang sahih (valid).

Data pada penelitaian ini adalah data kualitatif, dengan sumber data yang

terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan sumber data

penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (Sangadji. E.M &

Sopiah, 2010:171). Penelitian ini melakukan analisis terhadap kumpulan data

yang bersumber dari kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya Rendra, dicetak dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan tebal 94 halaman. Subjek dalam

(24)

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari catatan

dokumen-dokumen dan juga sumber dari kepustakaan, (Sangadji. E.M & Sopiah,

2010:172). Peneliti memilih referensi dari beberapa buku dan website sebagai

rujukan dan pendukung data. Selain mencari data melalui sumber-sumber pustaka,

penelitian ini juga mencoba mendalami peristiwa dengan menggunakan beberapa

majalah terkait guna memperkuat data yang ada.

3.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik struktural sebagai kegiatan reseptif

yaitu penguraian makna yang terkandung dalam puisi, mengingat bahwa puisi

merupakan struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur sehingga

terbentuk sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu

dipahami secara utuh dan bulat. Selanjutnya, peneliti akan menerapkan metode

simak atau penyimakan.

Menurut Sudaryanto (1993:133) disebut metode simak atau penyimakan

karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu

menyimak penggunaan bahasa. Dalam hal ini tentunya adalah menyimak bahasa

(kata) yang dipergunakan Rendra dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu.

Untuk mengembangkan metode simak digunakan juga teknik sadap

sebagai teknik dasar. Teknik sadap digunakan dengan cara mengambil satu kata

dari kalimat yang menunjukkna adanya makna simbolis dalam kalimat tersebut.

(25)

metode simak. Teknik catat digunakan untuk mencatat kata-kata yang telah

disadap dari suatu kalimat yang menunjukkan adanya makna simbolis.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bersifat kualitatif.

Dalam hal ini Bodgan dan Taylor (dalam Maleong, 1993:3) mendefenisikan

bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dapat member

tanggapan. Pendekatan ini diarahkan pada latar individu secara holistic (utuh).

Pelaksanaa penelitian ini akan ditempuh dengan metode kerja yang

sistematis sebagai berikut:

1. Membaca dan memahami kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya Rendra dan mencatat bagian-bagian yang merupakan makna simbolis

dalam puisi.

2. Menganalisis dan menginterpretasi makna simbolik dalam kumpulan puisi

Doa untuk Anak Cucu karya Rendra.

3. Menganalisis data dengan menggunakan deskriptif interpretative

(penafsiran) yaitu dengan menemukan makna simbolis dalam kumpulan

puisi Doa untuk Anak Cucu karya Rendra.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Menurut KBBI (2005:889) populasi adalah sekelompok orang, benda, atau

hal yang menjadi pengambilan sampel: suatu kumpulan yang memenuhi syarat

(26)

adalah 22 puisi Rendra dari kumpulan puisinya yang berjudul Doa untuk Anak Cucu yakni:

1. Gumamku, Ya Allah

2. Doa

3. Syair Mata Bayi

4. Tentang Mata

5. Inilah Saatnya

6.Hak Oposisi

7. Kesaksian tentang Mastodon-Mastodon

8. Rakyat adalah Sumber Ilmu

9. Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

10.Ibu di Atas Debu

11.Pertanyaan Penting

12. Politisi itu adalah

13.‘he, Remco…’

14.Kesaksian Akhir Abad

15.Sagu Ambon

16.Jangan Takut, Ibu!

17.Perempuan yang Cemburu

18.Perempuan Malam

19.Perempuan yang Tergusur

20.Di mana Kamu, De’ Na?

(27)

22.Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu

3.4.2 Sampel

Menurut KBBI (2005:991), sampel adalah sesuatu yang digunakan untuk

menunjukkan sifat suatu kelompok yang lebih besar. Menurut Tantawi (2013:167)

sampel diambil lebih kurang dari 20-25% dari seluruh populasi. Mengingat

popuplasi yang terdiri dari 22, maka peneliti mengambil sampel 6 buah puisi yang

diperoleh dengan cara metode acak yaitu,

1. Syair Mata Bayi

2. Tentang Mata

3. Ibu di Atas Debu

4. Jangan Takut Ibu!

5. Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

(28)

BAB IV

ANALISIS MAKNA SIMBOLIS DALAM KUMPULAN PUISI DOA

UNTUK ANAK CUCU KARYA W.S. RENDRA

4.1 Penggunaan Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu

karya W.S. Rendra

Simbolis merupakan sesuatu yang digunakan pengarang untuk

menggambarkan buah pikiran. Puisi sebagai salah satu karya sastra diciptakan

pengarang dengan makna yang terkandung di dalamnya. Namun, makna tersebut

sering kali tidak disampaikan secara langsung tetapi melalui simbol atau pelukisan

dengan benda lain. Dengan demikian makna tersebut sering tidak dipahami oleh

pembaca.

Pengarang dalam menciptakan karya sastra memiliki kebebasan untuk

menggunakan kata-kata dan memberikan makna untuk kata itu dengan bebas,

baik dengan makna asalnya maupun berubah manjadi beberapa makna baru.

Tugas pembaca adalah menikmati, merasakan, menemukan dan memikirkan

makna apa yang terkandung dalam sebuah puisi. Seperti halnya W.S. Rendra,

dalam penciptaan puisinya Rendra banyak menggunakan simbolis dalam puisinya,

seperti yang terdapat dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu, seperti berikut ini.

(29)

Aku merindukan mata bayi

setelah aku dikhianati mata durjana. Aku merindukan matahari

karena aku dikerumuni mata gelap. Aku merindukan mata angin

karena aku disekap oleh mata merah saga. Wahai, mata pisau!

Mata pisau di mana-mana. Mata batin! Mata batin! Hadirlah kamu!

Hadirlah kamu disaat yang rawan ini. Wahai, mata batin!

Kedalaman yang tak terkira. Keluasan yang tak terduga.

Harapan ditengah gebalau Ancaman

Dalam puisi Syair Mata Bayi karya Rendra menggunakan simbolis. Dari judul puisi Syair Mata Bayi kita dapat melihat bahwa judul tersebut merupakan kata simbolis. /Syair/ merupakan puisi lama yang terdiri dari empat baris (larik) yang berakhir dengan bunyi sama. /Mata/ merupakan indra untuk melihat, sedangkan /bayi/ adalah anak yang belum lama lahir atau anak yang masih kecil. Jika disimpulkan Syair Mata Bayi merupakan sebuah puisi lama yang menceritakan tentang mata bayi, atau puisi dari panca indra bayi, tetapi makna

yang ingin dismpaikan Rendra bukanlah tentang syair yang menceritakan

mengenai mata anak kecil tetapi ada makna lain yang ingin disampaikannya

dalam puisinya.

(30)

Kata /mata bayi/ memiliki makna sebagai panca indra anak yang belum lama lahir atau anak yang masih kecil. Kata /mata durjana/ memiliki arti panca indra penjahat, /matahari/ adalah benda angkasa yang merupakan pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas di bumi. Kata /mata gelap/ memiliki arti panca indra yang kelam, tidak ada ada cahaya. Kata /mata angin/ memiliki arti arah jarum pedoman, asal angin dating (yaitu utara, timur, selatan, barat). Kata /mata merah saga/ mata merah memiliki arti panca indra yang merah, atau panca indra yang memerah, saga merupakan sejenis tumbuhan

melilit yang memiliki warna merah mengkilat dan memiliki bercak hitam. Jadi,

/mata merah saga/ adalah panca indra yang memiliki warna seperti saga, yaitu panca indra yang berwarna merah mengkilap dan memiliki bercak hitam. Kata

/mata pisau/ merupakan bagian yang tajam pada pisau. Kata /mata batin/

merupakan bagian terdalam dalam batin atau perasaan dalam hati. Kata /gebalau ancaman/ memiliki makna banyaknya keadaan yang merugikan, menyulitkan, menyusahkan atau mencelakakan atau kacau tidak karuan.

4.1.2 Tentang Mata

Mata Kejora! Mata Kejora!

Mata Kekasih dalam dekapan malam.

Dalam Kehidupan yang penuh mata bisul hatiku meronta ditawan rangkaian mata rantai. Sawah gersang tanpa mata bajak.

(31)

Mata sangkur! Mata sangkur!

Mata sangkur menghujam ke mata Batin. Mata kejora! Mata kejora!

Mata kekasih dalam dekapan malam.

Padang rumput termakan mata api. Tetapi, kekasihku,

di dalam kalbuku yang murni ini, engkaulah mata air pengharapanku!

Puisi di atas menggunakan simbolis /Mata Kejora/, /mata sangkur/, /mata kekasih/, /dekapan malam/, /ditawan mata rantai/, /sangkur menghujam ke mata batin/, /sawah gersang/, /mata bajak/, /mata bisul/, /mata gergaji merajalela di rimba raya/, /mata kail termangu tanpa umpan/, /mata air pengharapanku/, /mata kekasih/.

Kata /mata kejora/ memiliki arti bintang timur, yaitu bintang penunjuk arah yang biasanya bersinar lebih terang dan muncul menjelang pada pagi hari.

(32)

untuk menangkap ikan. Kata /mata air pengharapanku/ sumber air yang diharapkan.

4.1.3 Sajak Bulan Mei 199 di Indonesia

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalanan. Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampahkehidupan. Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah.

O, jaman edan!

O, malam kelam pikirn insan!

Koyak moyak sudah keteduhan tanda kepercayaan. Kitab undang-undang terletak di selokan.

Kepastian hidup terhuyunghuyung dalam comberan.

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilau dari mahkota raja-raja! Dari sejak jaman Ibrahindan Musa Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja dan tentara.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!

Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada.

Ratu Adil itu adalah tipu daya!

Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah hukum adil

Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara. Bau anyir darah yang kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata:

Apabila pemerintahan sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, Maka rakyat yang terkekang akan mencontoh penguasa, Lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya

(33)

Apakah masih akan menipu diri sendiri? Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan!

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Air mata mengalir dari sajakku ini.

Kata dengan simbolis yang digunakan pada puisi Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia adalah /bulan gelap raja-raja/, /sampah kehidupan/, /pikiran kusut/, /simpul-simpul sejarah/, /tenda kepercayaan/, /fatamorgana kepercayaan/, /sihir berkilauan dari mahkota raja-raja/, /kabut ketakutan/, /terbentur sangkur/, /ratu adil/, /bintang pedoman/, /cadar kabut duka cita/.

Kata /bulan gelap raja-raja/ memiliki makna hari- hari yang gelap oleh pemerintahan atau orang yang memerintah suatu bangsa atau negara. Kata

/sampah kehidupan/ memiliki makna yang tidak berguna bagi kehidupan. Kata

/pikiran kusut/ adalah keadaan bingung, susah hati. Kata /simpul-simpul sejarah/ adalah kumpulan peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa

lampau. Kata /tenda kepercayaan/ memiliki arti anggapan atau keyakinan tentang sesuatu yang dipercayai. Kata /fatamorgana kekuasaan/ memiliki arti angan-angan atau khayalan tentang pemerintahan, dan wewenang untuk menentukan

(34)

pemimpin yang terbaik, orang yang menjadi teladan. Kata /cadarkabut duka cita/

adalah hamparan kesedihan.

4.1.4 Ibu di Atas Debu

Perempuan tua yang termangu teronggok di tanah berdebu. Wajahnya bagai sepatu serdadu. Ibu! Ibu!

Kenapa kamu duduk di situ? Kenapa kamu termangu? Apakah yang kamu tunggu?

Jakarta menjadi lautan api. Mayat menjadi arang. Mayat hanyut di kali. Apakah kamu tak tahu Di mana kini putramu?

Perempuan tua yang termangu sendiri sepi megarungi waktu kenapa kamu duduk di situ? Ibu! Ibu!

Di mana rumahmu? Di mana rumahmu? Di mana rumah hukum? Di mana rumah daulat rakyar? Di mana gardu jaga tentara

yang mau melindungi rakyat tergusur? Di mana pos polisi

yang mau membela para petani dari pemerasan pejabat desa?

Ibu! Ibu!

Kamu yang duduk termangu

terapung bagai tempurung di samudra waktu Berapa lama sudah kamu duduk di situ? Berapa hari? Berapa minggu? Berapa buln? Berapa puluh tahun

(35)

Apakah harapan tunjangan tentara yang kehilangan satu kakinya?

Siapa yang mencuri laba dari rotan di hutan? Siapa yang menjarah kekayaan lautan?

Ibu! Ibu!

Dari mana asalmu?

Apakah kamu dari Ambon? Dari Aceh? Dari Kalimantan? Dari Timor-Timur? Dari Irian? Nusantara! Nusantra!

Untaian zamrud tenggelam di lumpur! Pengantin yang koyak dandanannya dicemarkan tangan asing

Tergolek di kebun kelapa kaya raya.

Indonesia! Indonesia! Kamu lihatkah itu ibu kita?

Duduk di situ. Teronggok di atas debu. Tak jelas menatap apa. Mata kosong tetapi mengandung tuntutan.

Terbatuk-batuk. Suara batuk.

Seperti ketukan lemah di pintu. Tapi mulutnya terus membisu.

Indonesia! Indonesia! Dengarlah suara batuk itu. Suara batuk ibu itu. Terbatuk-batuk. Suara batuk.

Dari sampah sejarah yang hanyut di kali.

Pada puisi Ibu di Atas Debu Rendra menggunakan simbolis pada kata

(36)

Kata /sepatu serdadu/ memiliki arti lapik atau pembungkus kaki prajurit atau tentara yang terbuat dari kulit atau karet bagian tumit dan telapaknya keras.

Kata /rumah hukum/ kantor yang mengurusi masalah yang berkaitan dengan aspek hukum (undang-undang dan peraturan). Kata /rumah daulat rakyat/ memiliki arti kesatuan dan kebahagian masyarakat atau orang-orang. Kata /gardu jaga tentara/

memiliki makna rumah jaga tentara atau rumah kecil di pinggir jalan yang

berfungsi sebagai tempat jaga bagi tentara. Kata /pos polisi/ adalah kantor badan pemerintahan yang bertugas memelihara ketertiban umum (menangkap

orang-orang yang melanggar undang-undang). Kata /tempurung/ memiliki makna kulit buah yang keras. Kata /di atas debu/ memiliki makna berada pada serbuk yang halus dari tanah. Kata /pensiun guru/ merupakan dana yang tetap diterima setelah berhenti bekerja. Kata /tunjangan tentara yang patah satu kakinya/ tambahan pendapatan di luar gaji yang diberi sebagai bantuan bagi para militer yang

mengalami cedera saat bertugas. Kata /rotan/ memiliki makna tumbuhan menjalar yang batangnya digunakan sebagai bahan untuk berbagai barang dan perabot.

Kata /kekayaan lautan/ adalah hasil dari laut. Kata /untaian zambrud/ memiliki arti dunia. Kata /lumpur/ memiliki arti tanah berlumpur, becek, luluk. Kata

/pengantin yang koyak dandanannya/ memiliki arti orang yang sedang melangsungkan perkawinannya; mempelai yang robek pakaian dan hiasannya,

(37)

pada tenggorokan sehingga merangsang penderita mengeluarkan bunyi yang keras

seperti menyalak. Kata /sampah sejarah/. Memiliki arti sisa-sisa dari peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lampau.

4.1.5 Jangan Takut, Ibu!

Matahari musti terbit. Matahari musti terbenam. Melewati hari-hari yang fana Ada kanker payudara, ada encok dan ada uban.

Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik Bupati mengunyah aspal,

anak-anak sekolah dijadikan bonsai. Jangan takut, Ibu!

Di antara kelahiran dan kematian

bom atom dijatuhkan di hiroshima dan nagasaki, serdadu-serdadu jepang

memenggal kepala patriot-patriot Asia, Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro, teroris Amerika meledakkan bom di Okhaloma memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi, di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh, Serdadu inggris membantai para pemuda di irlandia,

orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman. Jangan takut, Ibu!

Jangan mau digertak. Jangan mau diancam. Karena ketakutan

meningkatkan penjajahan.

Sungai waktu menghanyutkan keluh kesah dari mimpi yang meranggas.

(38)

Tapi jangan takut, Ibu!

Bulan bagi alis mata terbit di ulu hati. Rasi Bima Sakti berzikir di dahi. Aku cium tanganmu, Ibu!

Rahim dan susumu persemaian harapan. Kekuatan ajaib insane

dari zaman ke zaman.

Pada puisi Jangan Takut Ibu Penggunaan kata simbolis seperti /matahari/, /gubernur sarapan bangkai buruh pabrik/, /bupati mengunyah aspal/, /bonsai/, /ibu/, /manusia/, /sungai waktu menghanyutkan keluh kesah/, /mimpi yang meranggas/, /keringat bumi/, /uranium dan mercuri/, /bulan bagai alis mata terbit di ulu hati/, /Rasi Bima Sakti berzikir di dahi/, dan /rahim dan susumu adalah persemaian harapan/.

Kata /matahari/ memiliki arti benda angkasa, pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan hangat pada bumi. Kata /gubernur sarapan buruh pabrik/ kepala pemerintahan tingkat propinsi yang menjadikan orang-orang yang bekerja di pabrik sebagai santapan paginya. Kata /bupati mengunyah aspal/ kepala daerah kabupaten yang menghancurkan aspal atau memah aspal dengan mulut. Kata /bonsai/ tumbuhan kerdil atau tanaman yang dikerdilkan. Kata /ibu/ memiliki arti wanita yang telah melahirkan seseorang atau sebutan kepada wanita yang sudah bersuami atau belum. Kata /manusia/ mahluk yang berakal budi. Kata /sungai waktu menghanyutkan keluh kesah/ memiliki arti waktu yang berjalan terus menerus membawa segala ucapan yangterlahir karna

kesusahan. Kata /mimpi yang meranggas/ angan-angan yang mongering. Kata

(39)

air raksa. Kata /bulan bagai alis mata terbit di ulu hati/ memiliki makna bulan melengkung hadir di lekuk antara tulang rusuk dan dada. Kata /rasi bima sakti berzikir di dahi/ memiliki makna mengingat dan mengulang nama Allah dengan berulang- ulang seperti gugusan bintang di langit yang beribu banyaknya yang

terlihat seperti lajur cahaya. Kata /susumu adalah persemaian harapan/ memiliki organ tubuh yang terletak di bagian dada yang menjadi bibit harapan.

4.1.6 Tuhan, Aku Cinta Pada-Mu

Aku lemas tapi berdaya

Aku tak sambat rasa sakit atau gatal.

Aku pengen makan tajin Aku tidak pernah sesak napas tapi tubuhku tidak memuaskan

untuk punya posisi yang ideal dan wajar.

Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi.

Aku ingin kembali ke jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah.

Tuhan, Aku cinta pada-Mu.

Puisi aku cinta pada-Mu menggunakan bahasa yang sederhana yaitu bahasa yang kerap kali kita gunakan sehari hari. Pada puisi ini pengarang

menggunakan simbolis kata pada /tajin/, /sesak nafas/, /racun kimiawi/, dan /jalan alam/.

(40)

tersenggal-senggal. Kata /racun kimiawi/ memiliki arti gas kimia yang dapat menyebabkan sakit atau mati jika dihirup atau dimakan. Kata /jalan alam/

memiliki makna jalan yang alami, sesuai dengan alam.

4.2 Makna Simbolis dalam Kumpulan Puisi Doa untuk Anak Cucu Karya

W.S. Rendra

Dalam puisi, simbol yang digunakan pengarang akan memiliki perbedaan

makna ketika simbol tersebut berdiri sendiri dan ketika simbol berada atau

diartikan secara utuh dalam puisi.

4.2.1 Puisi Syair Mata Bayi

Makna simbolis yang terdapat dalam puisi Syair Mata bayi memiliki perubahan makna setelah puisi diartikan secara utuh. Makna kata /mata bayi/

ketika berdiri sendiri merupakan panca indra anak yang belum lama lahir atau

anak kecil, sedangkan dalam puisi, /mata bayi/ diciptakan pengarang untuk mengungkapkan suatu hal yang erat kaitannya dengan ketulusan dan kejujuran.

(41)

memberi terang, dan membukakan jalan. Kata /mata gelap/ diciptakan pengarang untuk menunjukkan keadaan gelap, manusia tak mampu melihat sesuatu yang

baik, tidak ada cahaya. Kata /mata angin/ merupakan arah yang akan memberi jalan. Kata /Mata merah saga/ merupakan kata yang diciptakan pengarang untuk sebuah kemarahan, adanya perasaan dililit oleh kemarahan dan tak ada kebaikan.

Kata /mata pisau/ menggambarkan keadaan yang sangat menyakitkan, seperti diiris. Kata /mata batin/ merupakan simbol yang diciptakan pengarang untuk menggambarkan kebenaran yang mampu berbicara kepada diri sendiri. Kata

/gebalau ancaman/ memiliki makna banyaknya keadaan yang merugikan, menyulitkan, dan menyusahkan.

Secara struktuktural dalam puisi di atas ada hubungan atau pertautan yang

erat antara unsur-unsurnya, satuan-satuan kebermaknaannya. Pada puisi terdapat

perulangan bunyi vocal seperti yang tampak pada larik aku merindukan mata

bayi, selain perulangan bunyi vokal ada juga perulangan kata seperti yang

terdapat pada kata mata batin, mata pisau, hadirlah, merindukan, semua

pengulangan kata yang dituliskan pengarang menandakan adanya penegasan dan

menambah kepuitisan puisi. Pengarang juga menciptakan ragam bunyi yang

mampu menciptakan ragam suasana. Ada kesatuan imaji-Imaji suram, suasana

kelam seperti yang terdapat pada kata mata gelap, mata durjana, mata pisau, mata

merah saga, disekap, rawan, gebalau ancaman. Ada juga suasana sepi seperti

rindu, Tiap bait pun dengan baik menggambarkan suasana, murung, suram, dan

(42)

diakhir membantu menuansakan setiap suansana tersebut seperti kata disekap,

rawan, harapan, dan ancaman. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, kalimat ada

persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puisinya.

Secara struktural hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya

sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi

gambaran adanya kerinduan pada hadirnya ketulusan dan kemurnian setelah

melewati berbagai hal yang jahat, bait ini juga mengharapkan sejuta harapan saat

ia merasa dipenuhi suasana yang kelam seperti tidak ada cahaya hal ini dikiaskan

dengan /aku merindukan matahari/, /karena aku dikerumuni mata gelap/. Bait

kedua menggambarkan suatu keadaan dimana pengarang merasa membutuhkan

arah yang akan menunjukkan jalan karena ia merasa terikat pada keadaan buruk

yang melilit yang dikiaskan dengan kata /aku merindukan mata angin/, /karena

aku disekap oleh mata merah saga/. Pada bait ketiga dikemukakan, bahwa adanya

keadaan yang sangat menyakitkan seperti mengiris yang diungkapkan pengarang

dengan kata /mata pisau di mana-mana/ Dan pada bait ini juga digambarkan suatu

keadaan yang mengharapkan suatu kebenaran hadir pengarang mengkiaskan

dengan kata /mata batin! Mata batin!/, /hadirlah kamu!/. Bait keempat

merupakan klimaks dari sajak di atas yang menggambarkan bahwa pengarang

sangat mengharapkan adanya kebenaran yang ia percaya dapat memberi solusi

terhadap keadaan yang sangat merugikan, menyulitkan, dan terasa mengikat.

Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, Rendra dengan jelas

mampu menggambarkan suasana muram yang mengharapkan suatu keadaan yang

(43)

bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak ada

satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan

bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari segi diksi,

banyak menggunakan simbolis yang memiliki makna ambiguitas sehingga

menimbulkan multi tafsir dari para pembaca. Puisi ini banyak dipengaruhi

ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri,

sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia seperti hidup merdeka, bebas dari

penindasan, dan menuntut kehidupan yang layak, serta kritik atas

penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah

kemanusiaan umum dengan jelas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan

kekuasaan, dan kekerasan.

4.2.2 Puisi Tentang Mata

Dalam Puisi Tentang Mata makna simbolis yang terdapat dalam puisi adalah kata /mata kejora/ diciptakan pengarang untuk mengungkapkan hadirnya cahaya di tengah kegelapan, cahaya yang jadi penuntun yang menerangi

kegelapan. Kata /mata sangkur/ mata sangkur menjadi simbol dari keadaan yang menyakitkan. Kata /mata kekasih dalam dekapan malam/ dapat diartikan sebagai suatu harapan di tengah-tengah kegelapan. Kata /hatiku meronta ditawan mata rantai/ kata /mata rantai/ berubah maknanya menjadi keadaan yang mengikat, maka arti dari baris secara keseluruhan menggambarkan adanya keinginan untuk

bebas, ia bergerak sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari keadaan yang

(44)

menyakitkan , atau melukai hati dan perasaan. Kata /mata kail termangu tanpa umpan/ memiliki makna tidak adanya pemeliharaan dan semakin menghilangnya hasil laut karena tindakan yang mencemarkan. Kata /mata air pengharapanku/ memiliki makna suatu harapan yang mampu menentramkan yang mampu

memberikan kesejukan dan kelegaan.

Secara struktural puisi di atas memiliki keterikatan antara unsur yang satu

dengan yang lainnya. Puisi tersebut menggunakan ragam bunyi yang berulang

yang menandakan penegasan seperti kata /Mata Kejora! Mata Kejora!/. Dalam

puisi juga terlihat adanya ragam bunyi yang menciptakan suasana ketertekanan,

kesedihan, suram, dan pilu ragam bunyi ini ditandai dengan banyaknya

penggunaan bunyi konsonan b, p, m, k, p, t, s, r, juga bunyi sengau ng, dan ny

seperti yang terdapat pada kata: dekapan, bisul, termangu, menghujam,

pengharapan, murung ,dan gersang. Tiap bait juga dengan baik menggambarkan

setiap suasana.

Hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat kompak

menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi gambaran tentang

harapan pada suatu cahaya yang terang yang hadir di tengah-tengah kegelapan,

yang mampu memberikan penerangan saat keadaan begitu kelam, ini dikiaskan

dengan kata /Mata kejora!/, /mata kekasih dalam dekapan malam/. Bait kedua menggambarkan suatu keadaan terikat pada hal yang menyakitkan. Dalam bait ini

juga digambarkan tentang keadaan tanah yang tidak terolah, penebangan yang

merajalela, kehidupan yang hanya mengejar materi, dan laut yang semakin tidak

(45)

menyakitkan, sangkur merupakan benda tajam yang berfungsi untuk menyayat

yang berbentuk seperti pisau. Dalam keadaan menyakitkan timbul harapan

hadirnya adanya cahaya yang menjadi penerang yang mampu melepaskan dari

setiap rasa sakit itu. Harapan ini ditegaskan dengan adanya pengulanggan pada

kata /mata kejora! mata kejora!/, /mata kekasih dalam dekapan malam/. Bait keempat merupakan klimaks dari puisi di atas yang menggambarkan harapan

pengarang pada suatu keadaan yang menentramkan ketika keadaan semakin tidak

terkendalikan yang diungkapkan dengan kata /di dalam kalbuku yang murung ini, engkaulah mata air pengharapanku/.

Dengan keeratan hubungan antara bait-bait puisi di atas, keprihatinan

Rendra pada kondisi negeri ini dengan jelas ia gambarkan. Tiap bait memiliki

hubungan yang erat antara bait yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada satu pun

bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak

dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari diksinya, menggunakan

bahasa kiasan dan simbolik yang memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan

multi tafsir bagi para pembaca. Ekstra estetik banyak dipengaruhi ekspresi

kehidupan batin manusia, puisi ini menggambarkan tentang keadaan alam

semesta: pertanian, penebangan hutan, hasil laut yang semakin memburuk. Selain

itu, ekstra estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas pencemaran terhadap

lingkungan , dan kritik atas penebangan-penebangan kayu di hutan. Dari segi

tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum yaitu

(46)

4.2.3 Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

Kata /bulan gelap raja-raja/ memiliki makna hari-hari yang penuh dengan gejolak dalam pemerintahan atau adanya keributan yang terjadi pada

petinggi-petinggi negara. Kata /sampah kehidupan/ memiliki makna yang tidak berguna bagi kehidupan. Kata /pikiran kusut/ adalah keadaan bingung, susah hati. Kata

/simpul-simpul sejarah/ adalah kumpulan peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Kata /tenda kepercayaan/ memiliki arti anggapan atau keyakinan tentang sesuatu yang dipercayai. Kata /fatamorgana kekuasaan/

memiliki arti angan-angan atau khayalan tentang pemerintahan, dan wewenang

untuk menentukan sesuatu. Kata /mahkota raja-raja/ merupakan hiasan kepala atau songkok kebesaran bagi raja. Kata /kabut ketakutan/ adalah hilangnya rasa keberanian, suram, kegelisahan dan kekhawatiran. Kata /terbentur sangkur/

memiliki arti tertumbuk pada pisau atau benda tajam. Kata /ratu adil/ merupakan tokoh yang diharapkan menjadi pembebas dari kesengsaraan. Kata /bintang pedoman/ adalah pemimpin yang terbaik, orang yang menjadi teladan. Kata

/cadarkabut duka cita/ adalah hamparan kesedihan.

Dalam sajak di atas ada hubungan atau pertautan yang erat antara

unsur-unsurnya, satuan-satuan kebermaknaannya. Ada kesatuan imaji. Imaji suram,

suasana kelam: bulan gelap, bangkai-bangkai, sampah kehidupan, malam kelam,

kebingungan, kabut ketakutan, putus asa, bau anyir darah, dan sudut-sudut gelap.

Sesuai dengan itu latarnya: aspal jalan, selokan, dan comberan. Tiap bait pun

(47)

kesedihan), lebih-lebih dalam kata-kata: bulan gelap, bangkai-bangkai, malam

kelam, kebingungan, kabut ketakutan, terbentur sangkur, tipu daya, prahara, bau

anyir darah, fana, pikiran-pikiran kalap, dan sudut-sudut gelap. Jadi, antara bunyi,

pemilihan kata, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek

puisinya.

Kegelisahan akan ketidakadilan hukum, serta ketamakan para penguasa,

semua ini dipaparkan dalam bait kedua, ketiga, dan keempat. Penggambaran

tersebut diperkuat dengan bunyi o pada dua baris pertama dari bait-bait tersebut. Dengan demikian, kegelisahan Rendra kian tergambar dan mengklimaks pada bait

kelima yang merupakan sebuah kontemplasi.

Begitu juga, hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya sangat

kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi gambaran

bahwa di saat kejatuhan sang penguasa, terjadi pergolakan di jalan-jalan di

Indonesia, yang akhirnya menelan korban jiwa, dikiaskan dengan /bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan/. Bait kedua menggambarkan suatu keadaan hukum tidak lagi berarti, sehingga kepercayaan antara rakyat dan

penguasa tak lagi ada yang digambarkan dengan kata /koyak moyak suda keteduhan tenda kepercayaan/, /kitab undang-undang tergeletak di selokan/. Pada bait ketiga, dikemukakan, bahwa untuk mengembalikan kepercayaan yang telah

hilang, maka hukum haruslah tidak berpihak yang digambarkan dengan kata

(48)

orang yang memegang kekuasaan. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang

menggambarkan bahwa untuk menegakkan keadilan, keadilan Tuhanlah yang

pentas ditegakkan, keadilan yang tidak pernah berpihak pada manusia manapun.

Terlepas dari Tuhan yang Mahaadil, kata /Ratu Adil/ pada bait ini merupakan sebuah simbol keadilan yang juga tidak memihak. Dalam berbagai kebudayaan,

Ratu Adil sering digambarkan sebagai seorang perempuan yang tangan kanannya

memegang sebuah timbangan dan tangan kirinya memegang sebilah pedang, serta

matanya tertutup oleh kain. Bait kelima merupakan klimaks dari sajak di atas

yang menggambarkan bahwa kondisi buram masyarakat suatu Negara diakibatkan

oleh penguasa yang semena-mena. Bait keenam adalah teguran Rendra untuk para

penguasa yang tak lagi memimpin dengan hati dan kebijaksanaan, mereka telah

larut terbuai dalam kekuasaan dan kedudukan. Pada bait terakhir, kembali Rendra

menegaskan keprihatinannya atas petaka yang menimpa negeri ini.

Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, keprihatinan Rendra

pada kondisi negeri ini dengan jelas ia gambarkan dalam sajak ini. Tiap-tiap bait

hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak

ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan

bahwa sajak dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari diksinya,

banyak menggunakan bahasa kiasan dan simbolik yang memiliki ambiguitas

sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Ekstra estetik banyak

dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri,

sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia: kebebasan bicara, hidup merdeka,

(49)

estetiknya juga mengemukakan kritik sosial atas kesewenangan terhadap kaum

lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak

tersebut di atas mengemukakan masalah kemanusiaan umum dengan jalas seperti

tentang kesengsaraan hidup, perebutan kekuasaan, kekerasan, dan kematian.

4.2.4 Puisi Ibu di Atas Debu

Dalam puisi Ibu di Atas Debu kata /sepatu serdadu/ memiliki arti keras dan tua. Kata /rumah hukum/ memiliki makna keadilan. Kata /rumah daulat rakyat/ memiliki arti jaminan terhadap kesatuan dan kebahagian masyarakat. Kata

/gardu jaga tentara/ militer yang bertugas menjaga keamanan masyarakat. Kata

/pos polisi/ adalah menuntut ketertiban umum (menangkap orang-orang yang melanggar undang-undang). Kata /tempurung/ merupakan suatu hal yang sudah tidak berguna lagi. Kata /di atas debu/ berada pada posisi yang tidak nyaman, pada keadaan yang tidak menyenangkan. Kata /pensiun guru/, /tunjangan tentara yang patah satu kakinya/ menggambarkan harapan tentang adanya perhatian pemerintah pada jasa-jasa yang telah diberikan oleh negara kepada para pejuang

dan orang-orangt yang berjasa terhadap ibu pertiwi. Kata /rotan/ /kekayaan lautan/ adalah menggambarkan hasil bumi dan hasil dari laut. Kata /untaian zambrud/ menggambarkan nusantara. Kata /lumpur/ memiliki arti keadaan yang tidak baik. Kata /pengantin yang koyak dandanannya/ menggambarkan perempuan-perempuan yang diperlakukan tidak adil, adanya pelecehan yang

(50)

ketidakberdayaan. Kata /sampah sejarah/ memiliki arti orang-orang yang menjadi korban dari keadaan, korban peristiwa masa lalu.

Secara struktural hubungan antara bait yang satu dengan yang lainnya

sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama memberi

gambaran tentang penantian yang tidak berkesudahan yang dilakukan oleh

seorang ibu yang sudah tua. Penantian dilakukan tanpa mengenal waktu, hal ini

dikiaskan dengan kata /perempuan tua yang termangu/, /teronggok di tanah yang berdebu/, /wajahnya bagai sepatu serdadu/. Pada bait ini juga mengungkapkan adanya penantian pada sesuatu hal yang ia tidak tau kapan datangnya. Bait kedua

menggambarkan tentang Jakarta, adanya peristiwa yang menyebabkan adanya

kebakaran sehingga menyebakan adanya korban jiwa yang banyak yang dikiaskan

pengarang denga kata /Jakarta menjadi lautan api/, /mayat menjadi arang, mayat hanyut dikali/. Pada bait ketiga adanya perulangan yang dibuat pengarang untuk menegaskan penantian yang dialami oleh seorang ibu yang menunggu tanpa kenal

lelah. Dalam bait ini juga menggambarkan tentang pertanyaan mengenai

keberadaan keadilan yang menjanjikan kenyamanan untuk masyarakat, yang

menjanjikan adanya perlindungan bagi rakyat kecil, janji terhadap perlindungan

pada hak setiap masyarakat yang diungkapkan pengarang dengan kata /di mana rumah hukum?/, /di mana rumah daulat rakyat?/, /di mana gardu jaga tentara yang akan melindungi rakyat tergusur?/. Pada bait keempat menggambarkan suasana tentang penantian yang belum usai, keingin tahuan pada penantian yang

dilakukan oleh sosok ibu. Ada pengulangan yang menunjukkan penegasan

(51)

diharapkan, apakah pada kebaikan dan balas jasa pada semua yang sudah terjadi,

atau kepada siapakah semua balas jasa itu diberikan. Bait kelima pengarang

bertanya tentang asal usul si ibu. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa alam

kehidupan ini sedang dilanda kesusahan yang disimbolkan dengan kata /zambrud tenggelam di lumpur/. selanjutnya digambarkan tentang keadaan wanita-wanita yang sering kali tidak mendapat perlakuan yang baik hal ini dikiaskan dengan

/pengantin yang koyak dandananya/, /dicemarkan tangan asing/, /tergolek dikebun kelapa raya/. Bait keenam adalah teguran Rendra untuk para penguasa agar melihat kepada orang-orang kecil yang dirampas haknya yang tak berdaya,

dan tak mampu menyuarakan apa-apa. Pada bait ketujuh, bait ini merupakan

penegasan dari bait sebelumnya, suatu teriakan kepada pemerintahan agar melihat

kepada orang-orang yang yang tak lagi memimpin dengan hati dan kebijaksanaan,

mereka telah larut terbuai dalam kekuasaan dan kedudukan. Mereka tidak melihat

orang-orang yang dirampas haknya, yang menjadi korban kekejaman dari

pemerintahan yang sedang terjadi.

Puisi ini memiliki hubungan tiap baitnya. Tiap-tiap bait hanya bermakna

dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya. Tidak ada satu pun

bait yang dapat dihilangkan atau dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak

dalam tiap bait tersebut hubungannya sangat erat. Dari segi diksi, menggunakan

simbolis yang memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para

pembaca. Ekstra estetik banyak dipengaruhi ekspresi kehidupan batin manusia

lewat peneropongan batin sendiri, sajak-sajaknya menuntut hak asasi manusia:

(52)

yang layak. Selain itu, puisi ini juga mengemukakan kritik sosial atas

kesewenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas

penyelewengan-penyelewengan. Dari segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah

kemanusiaan umum dengan jalas seperti tentang kesengsaraan hidup, perebutan

kekuasaan, kekerasan, dan kematian.

4.2.5 Puisi Jangan Takut Ibu

Dalam puisi Jangan Takut Ibu kata /matahari/ bukan lagi memiliki arti sebuah benda angkasa, pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan

terang dan hangat pada bumi, matahari dalam puisi berubah makna menjadi

sebuah harapan, mengungkapkan sebuah pengharapan yang akan mendatangkan

kebaikan untuk tetap melewati setiap hal yang terjadi. Kata /gubernur sarapan buruh pabrik/ memiliki makna adanya ketidak adilan yang dilakukan petinggi terhadap orang-orang kecil yang bekerja. Kata /bupati mengunyah aspal/

pembangunan yang tidak dijalankan dengan baik, adanya tindakan yang dilakukan

petinggi daerah yang berhubungan dengan dana yang dianjurkan untuk

pembangunan. Kata /anak-anak dijadikan bonsai/ memiliki makna adanya ketidak perdulian terhadap generasi muda, tidak adanya perhatian terhadap pendidikan

juga . Kata /ibu/ memiliki arti wanita yang telah melahirkan seseorang atau sebutan kepada wanita yang sudah bersuami atau belum, dalam puisi ini yang

ingin disebut dengan kata ibu bukanlah ibu dengan pengertian di atas melainkan

(53)

menghanyutkan keluh kesah/ ini menggambarkan tentang waktu yang akan terus berjalan dan menghapuskan setiap penderitaan. Kata /mimpi yang meranggas/

harapan atau cita-cita yang mulai pudar. Kata /keringat bumi yang menjadi peradaban insan menjadi uranium dan mercuri/ menggambarkan adanya perubahan di bumi, mata ait yang memberikan kehidupan sudah tercemar,

mengandung racun, tidak lagi seperti semula. Kata /bulan bagai alis mata terbit di ulu hati/ mengungkapkan tentang adanya harapan yang tetap hidup dalam diri. Kata /rasi bima sakti berzikir di dahi/ adanya aliran doa yang terus dipanjatkan dengan menyebut nama Allah berkali-kali.

Secara struktural puisi di atas saling berkaitan antara bait yang satu dengan

yang lainnya. Bait pertama pada puisi ini mengungkapkan tentang keadaan

adanya suatu keharusan untuk tetap melangkah meskipun banyak tantangan,

banyak kesakitan yang harus dilalui, ini digambarkan dengan kata /matahari musti terbit/, /matahari musti terbenam/. Bait kedua menggambarkan tentang suasana adanya suatu keharusan untuk kuat meski kehidupan semakin memburuk meski

hidup saling memanfaatkan untuk meraih kepentingannya sendiri, adanya

penipuan-penipuan yang dilakukan oleh para petinggi yang semakin menyulitkan

kehidupan yang diungkapkan dengan kata /ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik/, /bupati mengunyah aspal/, /anak-anak sekolah dijadikan bonsai/. Pada bait ini juga diungkapkan sebuah gerakan baru harus diciptakan. Harus adanya

keberanian untuk menghadapi segala ancaman yang dating baik dari dalam

maupun luar negri hal ini dikiaskan pengarang dengan menuliskan

(54)

ibu tidak pernah gentar, ibu yang dimaksudkan adalah ibu pertiwi, tanah air

Indonesia agar tidak takut pada setiap keadaan yang menjajah. Pada bait yang

terakhir ditegaskan agar tetap tidak takut karena setiap hal akan terlewati seiring

dengan berlalunya waktu.

Puisi ini memiliki kaitan erat antara bait yang satu dengan yang lain. Bait

yang selanjutnya merupakan penjelasan dari bait yang sebelumnya. Tak ada bait

yang bias dihilangkan, setiap bait harus ada untuk menyampaikan makna secara

lengkap. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut

hubungannya sangat erat.

Puisi di atas juga memiliki keterikatan antara unsur yang satu dengan yang

lainnya. Puisi tersebut menggunakan bunyi yang berulang yang menandakan

penegasan seperti kata /Jangan Takut Ibu!/. Dalam puisi juga terlihat adanya ragam bunyi yang menciptakan suasana ketertekanan, kesedihan, suram, dan pilu

ragam bunyi ini ditandai dengan banyaknya penggunaan bunyi konsonan b, p, m,

k, p, t, s, r, juga bunyi sengau ng,dan ny seperti yang terdapat pada kata: kanker,

encok, uban, bangkai, penindasan, kematian,digertak, diancam, menghanyutkan.

Dari diksinya, banyak menggunakan bahasa kiasan dan simbolik yang memiliki

ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Selain itu,

ekstra estetiknya juga mengemukakan kritik sosial dan ajaran kepada kita semua

khususnya generasi muda Indonesia yang merupakan penerus perjuangan para

pahlawan bangsa untuk selalu tidak takut oleh berbagai ancaman yang datang,

(55)

tersebut di atas mengemukakan masalah lingkungan dan keadaan Indonesia yang

semakin memburuk.

4.2.6 Tuhan Aku Cinta Pada-Mu

Kata /tajin/ memiliki makna air rebusan beras yang agak kental; air sagu; kanji. Kata /sesak nafas/ memiliki makna keadaan yang buruk dan tidak nyaman di badan. Kata /racun kimiawi/ memiliki arti suatu hal yang mampu merusak atau keadaan yang tidak baik. Kata /jalan alam/ memiliki makna jalan kebenaran, jalan yang sesuai dengan keinginan Tuhan.

Secara keseluruhan makna dan hubungan antara bait yang satu dengan

yang lainnya sangat erat. Bait pertama mengungkapkan tentang suatu keadaan

dimana ia merasa tidak kuat dan mudah dilentukkan, tetapi ada keinginannya

untuk melakukan sesuatu yang lebih, ada keinginan untuk bertindak karna tidak

ada yang mengikatnya atau keadaan yang tidak nyaman pada tubuhnya. Bait

kedua menggambarkan tentang adanya keinginan terhadap sesuatu. Ia tidak

pernah sakit tapi selalu merasa adanya ketidakpuasan dalam diri dan masih

mengiginkan suatu yang lebih lagi. Pada bait ketiga, ia ingin bersih dari setiap hal

yang tidak baik yang di kiaskan dengan kata /aku ingin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi/. Kata /racun/ menggambarkan suatu hal yang mampu merusak. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang menggambarkan

keinginanya untuk kembali kepada kebaikan, ia ingin kembali kepada jalan

(56)

pengabdian kepada Allah/. Bait kelima merupakan klimaks dari sajak di atas yang menggambarkan tentang kecintaanya pada Tuhan.

Pengarang juga menciptakan ragam bunyi yang mampu menciptakan

ragam suasana. Ada kesatuan imaji-imaji seperti suasana haru. Ada juga suasana

rindu. Tiap bait pun dengan baik menggambarkan suasana murung dan sedih,

maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan. selain itu bunyi konsonan yang berada di akhir membantu menuansakan setiap suansana tersebut

seperti kata lemas, sambat, sesak, dan racun. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata,

kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puisinya.

Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, kerinduan Rendra pada

kebaikan dan keinginannya kembali kepada pencipta dengan jelas ia gambarkan

dalam sajak ini. Tiap-tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang

lain dan keseluruhannya. Tidak ada satu pun bait yang dapat dihilangkan atau

dibalikkan. Semua ini menyatakan bahwa sajak dalam tiap bait tersebut

hubungannya sangat erat. Dari diksinya, puisi ini menggunakan simbolik yang

memiliki ambiguitas sehingga menimbulkan multi tafsir bagi para pembaca. Dari

segi tema, sajak tersebut di atas mengemukakan masalah batin yang merindukan

jalan kebaikan dan kembali kepada jalan kebenaran Tuhan.

(57)

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Setelah dilakukan penelitian terhadap kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra banyak menggunakan simbolis seperti /mata bayi, /mata kejora/, /mata

sangkur/, /ditawan mata rantai/, /sangkur menghujam ke mata

batin/, /sawah gersang/, /mata bajak/, /mata bisul/, /mata gergaji

merajalela di rimba raya/, /mata kail termangu tanpa umpan/, /mata

air pengharapanku/, /mata kekasih/.dll

2. Setiap simbolis yang digunakan di dalam kumpulan puisi Doa untuk Anak cucu karya W.S. Rendra memiliki makna yang mampu menandai sesuatu seperti /mata bayi/ untuk mengungkapkan ketulusan dan kejujuran, kata /matahari/ menggambarkan suatu harapan yang member terang. kata /mata batin/ bermakna kebenaran yang mampu berbicara kepada diri sendiri. Dll

5.2 Saran

Puisi merupakan imajinasi pengarang yang diungkapkan dalam bentuk

kata-kata, makna yang ada dalam puisi juga hanya pengarang sendiri yang tau

dengan jelas apa yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penulis

(58)

membentuk interpretasi yang berbeda dari setiap orang yang menganalisisnya.

Selain itu, analisis Simbolis juga mempermudah pembaca untuk memahami apa

yang ingin disampaikan pengarang dalam puisinya, dengan begitu pesan yang

Referensi

Dokumen terkait

a) Segi diksi pada kumpulan puisi Doa untuk Anak Cucu karya W.S. Rendra sangat menarik untuk dikaji dengan menggunakan kajian stilistika.. b) Segi pemaknaan atau isi

Aspek yang digunakan untuk menentukan relevan tidaknya kumpulan puisi Doa Untuk Anak Cucu sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah, yaitu aspek bahasa karena

CUCU KARYA W.S. RENDRA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA SERTA RELEVANSINYA SEBAGAI MATERI AJAR SASTRA DI SMA. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Selain itu, karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem lambang yang memiliki struktur (Aminuddin, 1997: 33). Pada ranah metafor sendiri, peneliti

Kecakapan yang bersifat penalaran, agar siswa dapat berpikir secara logis dalam memecahkan masalah dalam proses memahami puisi-puisi yang terdapat dalam kumpulan

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, teknik analisis konten digunakan untuk mengungkapkan bagaimana unsur sosiopsikologis yang meliputi hubungan antara kehidupan sosial

Kesepuluh puisi ini menggunakan beragam pencintraan yaitu citraan penglihatan (visual), pendengaran (audio), dan rabaan (taktil). Semua penggunaan citraan tersebut