• Tidak ada hasil yang ditemukan

159 PERILAKU LEGISLATIF DALAM PRAKTIK PENGANGGARAN, dan kearifan lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "159 PERILAKU LEGISLATIF DALAM PRAKTIK PENGANGGARAN, dan kearifan lokal"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU LEGISLATIF DALAM PRAKTIK PENGANGGARAN DENGAN PENDEKATAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

(NILAI BUDAYA SASAK)

LALU TAKDIR JUMAIDI Universitas Mataram

Abstract

The purpose of this research is to understanding the behavior of executive and legislative members on arranging Mataram public sector budget, based on the sensible value of Sasak culture. The phenomenology and paradigm method of this research is interpretive. Otherwise, this research also using the tools which are “patut, patuh and patju” that indicate the value of justice – balance, honesty – harmony, and discipline – sincerity. Based on the phenomenology analysis the writer found 3 basic underlying behaviours which are false participation, low social awareness, and budgeting not pro poor. Based on the result of sensible value “patut, patuh and patju”, false participation behavior, low social awareness and budgeting not pro poor, the result are opposite of local sensible value

“Patut, Patuh, Patju”, showed: justice, wise, love, affection, mandate, loyalty, solidarity, willingly sacrifice, simplicity-eficiency and balance (Onyak, Thao, Tindih, Rme, Adung, Jamak and Semaik). This executive and legislative behavior arrange the unfair budget can be happened because accumulation of false participation, low social awareness, huge power to control the budgeting without being offset by the balance of the division of authority to the community to be able to guard the nets tight budget processes. This condition can be proved with budget product that shows not pro poor. So the evaluation result behavior eksekutif and legislatif with

Patut, Patuh, Patju shows false participation, low social awareness, unfair budgeting or not pro poor have obscured the peak value obedient submissive

Patuh, Patuh, Patju which are justice – balance, honesty – harmony, discipline – sincerity.

The point is the writer’s noble of culture values is sensible, justice, honesty, love, affection, mandate, loyalty and balance, have a big impact on the arranging the good quality budgeting which is build the morality and profesionality on the arranging APBD that can shows us the Patut, Patuh,

Patju which are truth, justice - balance, honesty – harmoni, discipline - sincerity.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bila melihat realitas yang terjadi di masyarakat kita dewasa ini, khususnya realitas tentang perilaku para aktor penyusun, penetap dan pelaksana anggaran negara dan daerah, bisa dikatakan bahwa sebagian besar mereka tidak amanah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Hal itu telah memberikan dampak yang sangat luas terhadap penurunan kualitas kesejahteraan masyarakat maupun kerugian bagi negara. Penurunan derajat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari penurunan kualitas sektor pendidikan, kesehatan, tingkat pendapatan masyarakat dan bahkan tercermin dengan jelas dalam Indek Pembangunan Masyarakat (IPM). Wajah dan tata kelolanya yang berjalan seperti permainan sandiwara yang penuh dengan tipu daya, dengan tetap mendalihkan demi perjuangan untuk membela rakyat, yang ternyata diselipi oleh kepentingan politik dan pribadi, baik eksekutif maupun legislatif. Dalam realitas ini, Widavsky dan Caiden (2004) mengemukakan bahwa sepintas tampak bahwa anggaran berpihak pada rakyat, padahal sesungguhnya anggaran tersebut adalah sebuah realitas semu.

Berbagai modus perilaku oportunis sering terjadi seperti menetapkan alokasi anggaran yang dimodifikasi kembali, sehingga mengarah pada tercapainya titik kepentingan politik masing-masing untuk memenuhi kepentingan diri mereka, memasukkan usulan proyek-proyek besar yang sangat menguntungkan salah satu pihak ke dalam perencanaan anggaran, serta sikap cenderung lebih memperjuangkan realisasi penetapan anggaran atas proyek-proyek yang mudah dikorupsi dengan harapan mendapatkan kompensasi feeproject yang cukup besar. Banyak lagi perilaku oportunis yang dilakukan oleh anggota eksekutif serta anggota dewan dalam bentuk yang terselubung seperti malalui proses kompromi yang telah disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Muara akhir dari hasil perilaku individu legislatif dalam pematangan dan penetapan anggaran yang seperti itu adalah kerugian bagi negara dan penderitaan bagi masyarakat khususnya rakyat miskin. Perilaku oportunis ini jika dibiarkan dapat memberikan multiplier effect terhadap sektor-sektor kehidupan penting lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, kelayakan hidup, serta tumbuh kembangnya pondasi ekonomi kerakyatan.

(3)

juta atau 24% diantaranya berada dalam kelompok masyarakat miskin, angka ini terus bertahan dari tahun 2006 hingga pemerintahan sekarang ini. Begitu juga dari sisi IPM, masyarakat NTB berada pada rangking 32 dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Sedikit lebih baik dari propinsi Papua. Kondisi ini mangkin memperjelas gambaran penderitaan dan keterpurukan kita, kususnya rakyat NTB. Untuk Kota Mataram, tingkat angka kemiskinan mencapai 38 ribu (38%) rumah tangga atau 58.200 jiwa. Terhitung dari jumlah penduduk 402.843, dengan jumlah rumah tangga lebih dari 100 ribu rumah tangga (keluarga kecil).

Tingkat kemiskinan yang cenderung bertambah, meningkatnya tingkat pengangguran dan menurunya tingkat indikator kesejahteraan yang lain seperti IPM, menyebabkan timbulnya pertanyaan, mengapa masalah ini terjadi? Atau apakah ada kecurangan dalam pelaksanaan anggaran, mulai dari perencanaan, penetapan dan realisasi anggaran. Jawaban dari semua pertanyaan itu tentu tertuju secara lebih khusus pada perilaku legislatif sebagai salah satu aktor utama dalam penganggaran telah mengalami penurunan nilai akhlak dan moral. Mensikapi kondisi menurunnya nilai etika ini, peneliti mencoba melakukan pendekatan dengan menggali, mengangkat dan membudayakan nilai-nilai kearifan lokal kita, khususnya nilai kearifan lokal budaya sasak.

Nilai-nilai kearifan lokal ini, diangkat oleh peneliti sebagai alat analisis dalam menilai perilaku oportunis dari eksekutif dan legislatif karena dari hasil beberapa penelitian telah ditunjukkan bahwa nilai-nilai budaya sangat mempengaruhi perilaku eksekutif dan legislatif terhadap kinerja kualitas anggaran. Berikut penelitian yang dilakukan Katraprawira (1983) dalam Harun dan Sumarno (2006:102) mengatakan bahwa perilaku politik merupakan cerminan dari budaya politik suatu masyarakat, sehingga peningkatan kinerja pengawasan terhadap APBD akan dicapai oleh setiap anggota DPRD jika di dalam dirinya terbentuk suatu nilai budaya, yaitu budaya kesadaran memperjuangkan kepentingan masyarakat, karena dengan kesadaran tersebut, anggota DPRD akan bekerja lebih optimal yang selanjutnya akan meningkatkan kinerjanya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa budaya politik dapat mempengaruhi kinerja anggota dewan.

(4)

Permasalahan dan Fokus Penelitian

Berangkat dari beberapa permasalahan tersebut, maka yang menjadi masalah penelitian adalah: “Bagaimanakah perilaku anggota legislatif dalam praktik pengkajian dan penetapan anggaran sektor publik Kabupaten Lombok Barat” ditinjau dari perspektif nilai-nilai kearifan budaya Sasak?.

Tujuan Penelitian

Memperhatikan dan memahami latar belakang serta permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah: “Memahami perilaku anggota legislatif dalam praktik penganggaran Sektor Publik Kota Mataram”, ditinjau dari perspektif nilai-nilai kearifan budaya Sasak.

Manfaat Penelitian

Memberikan pemahaman yang tepat tentang konsep dan praktik akuntansi keprilakuan dilingkungan eksekutif dan legislatif Pemerintahan Kabupaten Lombok Barat dilapangan. Dengan mengangkat dan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal sasak diharapkan dapat menyegarkan dan memotifasi pemerintah daerah dan dewan serta masyarakat sebagai salah satu pendekatan dalam mewujudkan anggaran yang benar-benar mampu menerapkan prinsip-prinsip partisipatif, transparansi dan akuntabilitas, keadilan, rasionalitas dan kesadaran hukum, sehingga mengarahkan anggaran yang direncanakan dan disusun pemerintah ke arah anggaran yang lebih pro poor di Pemerintahan Kabupaten Lombok Barat.

METODE MENYIBAK FENOMENA PERILAKU LEGISLATIF

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Corbach dalam Wahab (2003: 27), mengatakan bahwa metode kualitatif sangat cocok digunakan dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai hasil-hasil evaluasi kebijakan. Adapun paradigma yang digunakan adalah paradigma interpretif, dengan tujuan agar diperoleh gambaran yang akurat mengenai sikap, perilaku dan pandangan dari orang-orang yang menjadi target dalam menentukan kebijakan.

(5)

satu proses yang berlangsung (Burrell dan Morgan, 1979:28). Adapun metode pendekatan yang digunakan mengungkapan makna adalah pendekatan Fenomenologi, yaitu pandangan bahwa apa yang tampak di permukaan termasuk pola perilaku sehari-hari hanyalah suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “otak” sang pelaku. Informan kunci yang menjadi pusat intervew antara lain:

1. Ketua DPR 2. Waki Ketua DPR 3. Ketua Komisi 4. Mantan Dewan

5. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) 6. Dosen ( Sektor publik)

7. Sesepuh Masarakat

8. Ketua Adat dan Ahli Sejarah budaya Lombok

Proses dan Interprestasi Data dalam Fenomenologi

Hal penting yang harus dilakukan dalam pengambilan atas penafsiran data mentah dalam fenomenologi adalah:

1. Bracketing. Menurut Kuswarno (2009:31) bracketing adalah tahap reduksi fenomenologi

2. Epoche menurut Husserl, adalah kita menyampingkan penilaian, bias, dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek,

3. Memoing, yaitu tahap proses pemahaman dengan mengingat kembali data yang telah terkumpul dan diperoleh dari proses bracketing (Groenewald, 2004:13). 4. Tahap terakhir dalam interprestasi fenomenologi adalah mempresentasikan dan

memvisualisasikan dengan jalan menyajikan narasi inti pengalaman, membuat tabel atau figur dan memaknai unit yang diteliti (Sukoharsono, 2006: 243).

(6)

Alat Analisis dengan Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Jika diselami nilai-nilai budaya kearifan lokal Sasak terdiri dari: Lapisan I, merupakan akar dari nilai kearifan Patut,Patuh, Patju, yaitu: (Onyak, Tao, Tindih, Semaik, Adung, Rme, Jamak, memiliki makna masing-masing: cinta kasih sayang, solidaritas, amanah, seimban). Lapis II,, Merang maknanya sebagai simbul kekuatan jiwa untuk menjalankan sifat mulia dan menghindari sifat dan perilaku yang buruk. Lapisan III, menunjukkan perilaku aplikatif yaitu Patut, Patuh, Patju yang sarat dengan nilai mulia. Patut menunjukkan kepatutan, keteladanan, dari seluruh sikap perilaku mulia dalam aktifitas kehidupan, khususnya dalam proses pengayaan anggaran, hingga penetapan anggaran. Jiwa yang menghiasi Patut itu adalah: Onyak, Tao, Tindih, Semaik, Adung, Rme, Jamak. Patuh menunjukkan sikap dan perilaku bakti dan setia sepenuhnya dalam menghidupkan nilai-nilai luhur dalam proses praktik penganggaran. Patju menunjukkan sikap makna tekad yang kuat, penuh semangat, adil, arif bijaksana, penuh cinta dan bertanggung jawab dalam memegang dan menjalankan tugas dan

tanggungjawab

(7)

Gambar 1. Alur Makna Nilai-Nilai Kearifan Lokal.

tekad yang kuat, penuh semangat, adil, arif bijaksana, penuh cinta dan bertanggung jawab dalam memegang dan menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pemerintah, wakil rakyat pemberi pelayanan terbaik dan DPR wakil rakyat yang memperjuangkan dan diyakini karena didalamnya terpendam nilai-nilai kearifan lokal menghadirkan sikap kepatuhan yang sarat dengan nilai Takwa, Kesetiaan,Taat, dan amanah yang diberikan Sang Pencipta sebagai khalifatullah Fillarddan sebagai hamba Allah (Abdullah), dalam menghasilkan kebijakan danalokasi anggaran yang berkualitas

KEBIJAKAN ANGGARAN

Patut: Menghasilkan perilaku Cerdas diteladani. -*Masyarakat ikut serta aktif dalam Partisipasi

Musrembang berkualitas. Terkonsentrasi pada kebutuhan dasar, ekonomi, pendidikan,

kesehatan,perumahan. *Pemerintah dan Legislatif, menunjukkan teladan perilaku terpuji , dengan menegakkan kebenaran, keadilan kejujuran dalam kebijakan anggaran, dengan prioritas utama kepentingan kesejahteraan masyarakat, khususnya kebutuhan dasar,ekonomi, pendidikan kesehatan, perumahan. Setelah itu baru masuk pada tingkatan berikutnya pemerintah & dewan mengisi kepentingan politik & rumah tangga anggaran masing-masing.Meredam perilaku oportunis dan KKN. Patuh: Keimanan dan ketakwaan, Loyalitas, Disiplin dan Cinta penuh Tanggungjawab

*Pemerintah dan legislatif dalam menjalankan tugas penyusunan & penetapan anggaran bener-bener Patuh terhadap peraturan yang ada &didasari oleh nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai luhur budaya, Amanah & tanggung jawab Sehingga meredam perilaku oportunis. menghasilkan anggaran yang mumpuni dan meredam KKN Pacu: Masyarakat dengan tekad yang kuat,penuh semangat, mengikuti musrembang, dengan memperjuangkan kebutuhan mendasar. Pemerintah dan Legislatif menyusun anggaran yang benar,adil-seimbang didasarkan oleh sifat amanah &

(8)

PEMBAHASAN

PENJAJAKAN AWAL REALITAS PERAN PEMERINTAH DAN DEWAN

KOTA MATARAM DENGAN PROSES DAN INTERPRESTASI

FENOMENOLOGI

Fenomena-fenomena yang terjadi, setelah semakin terus didalami dari hasil wawancara dan observasi dengan ikut langsung dalam aktifitas perencanaan, pembahasan dan penetapan anggaran, maka peneliti dapat mengurai temuan perilaku eksekutif dan legislatif yang lebih mendalam. Temuan berdasarkan pendekatan dan interprestasi Fenomenologi antara lain:

1. "Partisipasi Semu" Masyarakat Hanya Sebagai Objek Partisipasi

Masyarakat yang kritis tidak menganggap MPBM sebagai bagian dari perencanaan partisipatif, karena tidak ada dialog antara desa untuk merumuskan program kecamatan. Yang terjadi adalah ceramah monolog program-program pembangunan yang ingin dilakukan camat. Sementara wakil dari masyarakat desa hanya mendengar dan menyampaikan usulannya secara tertulis kepada sekertaris camat. Waktu pertemuan yang hanya setengah hari itupun (sekitar tiga jam efektif) juga tidak memungkinkan pembahasan yang dinamis. Kondisi partisipasi masyarakat yang tidak efektif ini dipertegas dari hasil wawancara dengan DR. Kaharudin salah satu dosen fakultas hukum dan mantan anggota DPR.

(9)

Mekanisme partisipasi dibangun pada kedua tahap tersebut, cendrung menempatkan masyarakat sebagai pasien atau “objek” dan pemerintah dan dewan sebagai dokter atau sobjek. Masyarakat hanya punya hak dalam pengajuan usulan, sementara tidak punya peranan dalam pengambilan keputusan. Dalam proses pengajuan usulanpun masyarakat tidak punya ketrampilan untuk bernegosiasi dengan usulan-usulan yang diajukan oleh pemerintah. Musrembangdes/Kel, UDKP dan Rakorbang akhirnya menjadi mekanisme patisipatif pura-pura (pseudo participation).

Makna dari fenomena perilaku eksekutif yang mensekenariokan partisipasi masyarakat dalam proses musrembang maupun dalam pembahasan dan penetapan anggaran hanyalah partisipasi semu belaka. Jadi pertisipasi semu adalah sesungguhnya pelaksanaan partisipasi masyarakat lebih bersifat menyenangkan hati rakyat, menjalankan atau memenuhi prosedur administrasi kehadiran, sehingga dengan demikian eksekutif berhasil mengelabui masyarakat untuk memenuhi apa yang menjadi harapan atau tujuan eksekutif. Harapan eksekutif yaitu menyusun kebijakan anggaran yang lebih mendominasi kepentingan pemerintah. Sehingga tidaklah berlebihan jika partisipasi masyarakat yang sedang berjalan saat ini adalah “partisipasi semu” (pseudo participation)

Kesadaran Sosial Rendah: Wujud Perilaku Eksekutif-Legislatif dalam Perencanaan, Pembahasan dan Penetapan Anggaran

Kondisi penyatuan hati untuk mensukseskan arah kebijakan anggaran agar benar-benar mendapatkan alokasi yang proporsional tidak kan pernah terealisasi jika ternyata political will ketua mengikuti keinginan pemerintah khususnya kepala daerah. Kondisi kelemahan ini, semakin terasa ketika dalam rapat, terdengar suara ajan mengalun merdu, dewan sama sekali tak bergeming sedikitpun, dewan terus menjalankan rapat tanpa rasa bersalah hingga akhirnya baru berhenti, sampai waktu magrib menjelang habis. Kondisi ini memberikan makna sensitifitas iman dan takwa eksekutif dan legislatif terhadap panggilan Sang Maha Pencipta sudah sangat tipis. Kondisi ini dipertegas dari hasil wawancara dengan ketua komisi II.

(10)

pembangunan infrastruktur lainnya. Sungguh perjuangan itu, setelah kita berjuang di rapat dewan, ternyata hasilnya nol. Hal ini disebabkan nilai-nilai kita telah banyak hilang, seperti sensitifitas, kepedulian, empati, rela berkorban, kesatuan hati. Ditambah lagi kurangnya kemampuam intelektual dan pengalaman yang matang. Inilah faktor penghambat kinerja kita selama ini, yang membuat tidak berhasilnya kita menggiring anggaran tersebut.

Demikian ungkapan yang diceritakan oleh ketua komisi II H. Wildan tersebut, menunjukkan lunturnya kesadaran sosial/ solidaritas anggota dewan dan eksekutif terhadap kepentingan masyarakat. Sikap ini akhirnya mewujudkan perilaku dewan, kurang semangat dan tidak bersahaja dalam memperjuangkan penderitaan masyarakat.

Kebijakan Alokasi Anggaran Tidak Pro Poor: Gambaran Perilaku Mengutamakan Kepentingan Pribadi dan Politik Eksekutif dan Legislatif

Perilaku eksekutif yang peneliti amati pada pengalokasian anggaran secara garis besar belum cukup proporsional. Alokasi anggaran lebih didominasi untuk kepentingan biaya rumah tangga birokrasi dan pembangunan yang bersifat fisik atau infra struktur, jika dibandingkan dengan anggaran untuk peningkatan sumber daya manusia. Walaupun usaha untuk alokasi anggaran ke sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat miskin sudah ada sedikit peningkatan namun dilihat dari perimbangan alokasi anggaran masih jauh dari proporsional. Berikut cuplikan wawancara dari pak Sekda. Drs, H, Makmur, yang menunjukkan alokasi anggaran masih sangat besar di dominasi oleh kebutuhan rumah tangga pemerintah

(11)

Usaha penguatan pembagian alokasi anggaran kemiskinan ini seharusnya dapat terus ditingkatkan mengingat jumlah masyarakat miskin Kota Mataram masih cukup besar yaitu 58.200 jiwa (data statistik NTB dalam angka) dari jumlah penduduk 402.843 jiwa. Masyarakat miskin dapat diperhatikan dari sektor pendidikan, kesehatan, mikro ekonomi dan sosial. Dari sisi pendidikan alokasi dana yang disalurkan baru mencapai 15 miliar dan dari sisi kesehatan 10 miliar. Sementara dana yang diperlukan sesuai dengan pencanangan pemerintah pusat untuk anggaran pendidikan adalah 20% dari total APBD. Jadi masih sangat jauh tertinggal.

Bentuk pengalokasian yang kurang proporsional ini dipertegas dengan komentar kepala bidang ekonomi L. Yoga

...“bahwa Kepala Daerah akan sangat cendrung mengarahkan anggarannya pada pembangunan fisik, lebih-lebih yang bersifat icon (pencerminan bukti kesuksesan). Inilah perilaku setiap kepala daerah yang tujuannya terutama untuk kepentingan politik dan pribadi, agar masyarakat menilai kesuksesan pemimpinnya saat itu, sehingga kedepan akan terpilih kembali sebagi kepala daerah. Selain itu sudah bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa dalam praktik realisasi proyek dari APBD, terjadi permainan FEE dan mark

UP yang sangat kuat. Akibat dari perilaku ini, rakyatlah yang menderita.

Demikian beberapa bentuk fenomena perilaku eksekutif di atas dalam pengalokasian anggaran penuh dengan makna yang tersembunyi dibailk pola arah penyununan alokasi anggaran. Jelas kandungan muatan politis terlihat sangat kuat, yang secara halus dan tidak langsung akan membentuk kekuatan politis untuk penguatan dan pengaman jabatan politis pada periode pemilihan yang akan datang.

Makna dari perilaku eksekutif maupun legislatif yang lebih cendrung mengarahkan kebijakan alokasi anggaran ke arah kepentingan pribadi dan politik, meminggirkan kepentingan masyarakat luas yang lebih mendasar adalah menunjukkan bahwa perjuangan pemerintah dan dewan selama ini dalam menjalankan proses perencanaan, pembahasan dan penetapan anggaran dengan menerapkan prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas ternyata hanya sebuah “kamuflase” belaka.

(12)

tercipta angaran yang tidak Pro Poor yang disinyalir penyebab tingkat angka kemiskinan tinggi dan sulit mengalami penurunan, maka teori atribusi dapat menjelaskannya. Menurut teori atribusi, kinerjanya eksekutif dan legislatif dipengaruhi oleh faktor yang paling mendasar dalam diri manusia yaitu internal locus of control dan dari pengaruh luar manusia ekternal locus of control. Internal seperti akhlak dan moral eksekutif dan legislatif, untuk Ekternal seperti besarnya kekuasaan yang dimiliki eksekutif dan legislatif yang full power sangat tidak seimbang dengan kewenangan yang dimiliki rakyat untuk mampu mengawal dan mengontrol proses penyusunan anggaran dari perencanaan, pembahasan dan penetapan APBD. Selain itu faktor belum cukupnya UU yang dilengkapi dengan kekuatan hukum yang tegas dan jelas.

Kondisi penyimpangan perilaku atas akhlak dan moral eksekutif dan legislatif ini dapat dijelaskan dengan “Teori Agensi”. Teori agensi menerangkan bahwa penguasaan informasi yang paling sempurna dikuasai oleh agen (eksekutif-legislatif) sementara masyarakat sebagai principle menguasai informasi jauh lebih sedikit dari agen. Kondisi inilah yang memicu eksekutif dan legislatif memiliki kesempatan dan cenderung berperilaku untuk memenuhi kepentingan dirinya dan mengabaikan kepentingan rakyat yang paling mendasar (dalam hal ini masyarakat sebagai principle). Berangkat dari asumsi bahwa penguasaan informasi yang paling sempurna berada pada eksekutif dan legislatif atas pengetahuan praktik anggaran besarnya potensi sumber daya anggaran, maka dalam hal praktik penganggaran cenderung perilaku eksekutif dan legislatif menciptakan dan memanfaatkan peluang oportunis, melakukan mark-up atas anggaran pengeluaran dan meminimaiz pendapatan, berusaha menyusun alokasi anggaran dengan menaikkan proyek-proyek besar yang mudah dikorupsi dan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh komitmen Fee.

(13)

REFLEKSI PERILAKU LEGISLATIF DALAM PRAKTEK PENGANGGARAN DIEVALUASI DENGAN NILAI KEARIFAN LOKAL

Evaluasi Nilai Kearifan “Patut” atas Refleksi Perilaku Eksekutif-Legislatif

Proses partisipasi, transparansi dan akuntabilitas yang terjadi hanyalah sebuah kamuflase belaka, karena sebelum sampai pada realisasi APBD eksekeutif dan legislatif telah bermain mata terlebih dahulu, bekerjasama, kongkalikong untuk dapat meraih kepentingan golongan dan pribadi masing-masing. Sementara partisipasi masyarakat telah dikerdilkan, transparansi dan akuntabilitas telah dilanggar dengan tidak diberikannya ruang gerak kepada masyarakat untuk melakukan pengawalan anggaran sampai pada tingkat atas.

Akhirnya sampailah kita pada suatu kesimpulan, setelah menemukan mengkaji dan menghayati perilaku eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran yaitu dari pandangan nilai “Patut” bahwa Partisipasi semu, kesadaran sosial rendah dan anggaran yang tidak pro poor telah melanggar akar nilai kearifan Patut yaitu “Onyak, Tao dan

Rme” sehingga akibatnya mengaburkan nilai “Keadilan-Keseimbangan”. Pernyataan ini seiring dengan pendapat Baban dan Subandi (2006) bahwa jika individu pemain anggaran tidak menguatkan moralitas dan profesionalitas dalam penyelenggaraan negara, maka terjadilah pengaburan nilai-nilai luhur yang mengakibatkan munculnya berbagai penyakit dalam masyarakat khususnya pemerintahan, termasuk penyimpangan anggaran dan KKN lainnya.

Evaluasi Nilai Kearifan “Patuh” Atas Refleksi Perilaku Eksekutif-Legislatif

“Partisipasi semu”, kesadaran sosial rendah dan alokasi anggaran tidak pro poor,

(14)

perilaku ini ditunjukkan dengan eksekutif tidak amanah (Tindih) pada Allah dan rakyat dalam membentuk alokasi anggaran sehingga tercipta anggaran yang tidak pro poor.

Akhirnya dari semua fenomena yang ditemukan, jika ditinjau dari nilai Patuh

mulai dari terjadinya perilaku eksekutif dan legislatif menciptakan partisipasi semu, kesadaran sosial rendah dan terwujudnya alokasi anggaran yang tidak Pro Poor adalah telah meninggalkan nilai “akar” kearifan Patuh yaitu “Tindih, Rme dan Semaik”, sehingga akibatnya telah mengaburkan nilai “kejujuran dan Keselarasan.”

Evaluasi Nilai Kearifan “Patju” atas Refleksi Perilaku Eksekutif-Legislatif

Hasil temuan fenomena perilaku eksekutif dan legislati Partisipasi “semu”, kesadaran sosial rendah dan alokasi anggaran tidak pro poor, jika ditinjau dari nilai kearifan Lokal “Patju” (kesungguhan hati-disiplin yang tinggi) sebagai refleksi temuan lapangan dari perilaku eksekutif dan legislatif dapat ditunjukkan sebagai berikut: dari sisi perilaku partisipasi semu eksekutif tidak disiplin dalam penerapan partisipasi masyarakat ditunjukkan dengan jenjang partisipasi masyarakat sangat dibatasi, dan tidak ada dialog interataktif, dari perilaku legislatif tidak bersungguh-sungguh dalam merangkul dan memperjuangkan kepentingan kesejahteraan rakyat. Pelanggaran nilai kearifan Patju atas partisipasi semu ini, menunjukkan perilaku eksekutif dan legislatif telah melanggar akar nilai Onyak dan Tao (adil, cinta dan kasih sayang)

Setelah meruntut hasil temuan dan pembahasan mendalam dari fenomena perilaku eksekutif dan legislatif dengan pendekatan nilai kearifan Patju, mulai dari fenomena perilaku terciptanya partisipasi semu, kesadaran sosial rendah dan anggaran yang tidak pro poor, maka disimpulkan perilaku eksekutif dan legislatif telah menafikkan” akar” nilai Patju yaitu Jamak, Rme, Adung ( keseimbangan, solidaritas, rela berkorban). Selanjutnya dari terkikisnya akar nilai kearifan tersebut akibatnya telah mengaburkan nilai “Kedisplinan-Kesungguhan Hati”

Jika ditarik nilai inti dari nilai luhur kearifan lokal di atas dalam hubungannya dengan kajian fenomena perilaku eksekutif dan legislatif yang terjadi adalah Nilai “Keseimbangan”. Nilai keseimbangan yang tercipta dari terintegrasinya ketujuh akar nilai luhur kearifan lokal, yaitu Onyak, Tao, Tindih, Adung, Rme, Jamak dan semaik. Oleh karena itu perlu dipahami dan disadari oleh pemerintah dan DPR, bentuk nilai yang paling utama dalam kondisi perilaku eksekutif dan legislatif dewasa ini adalah

(15)

sebagai lembaga negara yang memiliki misi utama memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mensejahterakan masyarakat.

Setelah melaui proses analisis yang panjang baik dengan analisis interprestasi fenomenologi maupun analisis dengan mengangkat nilia-nilai kearifan lokal, maka peneliti dapat menemukan tiga preposisi (teori kecil) dan satu preposisi utama, yaitu: Preposisi pertama. Partisipasi semu terjadi karena akar nilai-nilai kearifan tidak menjadi ruh/jiwa eksekutif-legislatif dalam praktik penganggaran. Partisipasi semu merupakan perilaku eksekutif dan legislatif yang paling mendasar yang memberikan efek yang sangat luas, antara lain transparansi tidakkan terealisai, akuntabilitas tidakkan berkualitas, karena pondasi dasarnya adalah partisipasi maka transparansi dan akuntabilitas tidak akan berjalan dengan baik (Pseudeo Participation).

Preposisi kedua, bahwa perilaku kesadaran sosial rendah tercipta karena akar nilai-nilai kearifan budaya tidak menjadi ruh eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran untuk menghasilkan APBD. Dampak dari rendahnya kesadaran sosial ini telah mengaburkan nilai puncak keadilan-keseimbangan, kejujuran-keselarasan dan disiplin-kesungguhan hati. Akibat selanjutnya perilaku ini telah memicu dan mengkerdilkan proses dan makna partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Preposisi inti, yang dapat peneliti tarik disini adalah hidupnya nilai-nilai luhur budaya, atau nilai-nilai kearifan lokal yang merupakan akar nilai luhur budaya, yaitu kearifan, keadilan, cinta kasih sayang, amanah, solidaritas, rela berkorban, sederhana dan seimbang, ternyata memiliki pengaruh yang sangat kuat dan mendasar dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berkualitas, yaitu anggaran yang menunjukkan moralitas dan profesionalitas yang menghadirkan kebenaran, keadilan-keseimbangan, kejujuran-keselarasan, disiplin dan kesungguhan hati. Anggaran yang menunjukkan nilai Patut, Patuh, Patju. Preposisi inti ini diperkuat dengan pernyataan

(16)

Tabel 1. Kesimpulan Hasil analisis Gabungan Perilaku eksekutif dan Legislatif Berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal ”Patut Patuh Patju”

Fenomena Perilaku

Patut Patuh Patju Hasil Analisis Perilaku Kesimpulan

Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif 1. PArtisipasi

Semu

Eksekutif

-Undangan ditentukan sepihak, -Dominasi peserta MPBM dari PNS, -Tidak ada terjadi dialog interaktif

-Banyak pemangkasan hasil partisipasi

Legislatif

-Tidak mengawal partisipasi masyarakat

Eksekutif

-Tidak patuh-peraturan partisipasi

-Melanggar makna partisipasi Legislatif

-Tidak tunduk-amanah Allah dan rakyat dalam partisipasi. -Tidak menjiwai nilai luhur

budaya

Eksekutif

-Tidak disiplin- partisipasi. - Partipasi sangat dibatasi dan

tidak interaktif Legislatif

-Tidak bersungguh-sungguh memperjuangkan rakyat

Telah menafikkan akar nilai luhur budaya dari sisi:

Patut:(Onyak-Tao)adil-kasih sayang,

Patuh:(Tindih) amanah Patju:(Rme-Adung)

Solidaritas, rela berkorban -ikhlas Pengaburan Nilai

“Kejujuran-- Anggaran “Kejujuran--rakyat tidak proporsional.

-Dibentuk-15 SKPD baru-eslon pejabat

-Anggaran membangun fisik lebih tinggi dari program pengentasan kemiskinan

UU Keterbukaan Informasi-Masyarakt yg dilengkpi tindakan hukum sangat kurang

Legislatif

-Negosiasi- peningkatan intensif dewan dengan usulan naiknya target PAD

-Perangkat UU-wewenang rakyat, transparansi akuntabilitas sangat kurang

.Eksekutif

-Tidak amanah-Tuhan dan Rakyat dalam prioritas-rakyat miskin

-Tidak patuh-jujur atas janji-politik

-Tidak menegakkan kejujurn & amanah sehingga terjadi KKN. Legislatif

-Kompromi politik agar kepentingn golongan & pribadi dapt tercapai,

-Tidak menjalin hubungan indah eksekutif-legislatif-rakyat.

Eksekutif

-Tidak disiplin melaksanakn transpansi, akuntabilitas -Tidak ada pembahasan mendalam- program SDM -Tidak dibuat tim ahli khusus- penguatan unit ekonomi mikro-mandiri

Legislatif

-Tidak terlihat terang berjuang- mewujudkan anggaran kemiskinan-proporsional

Telah menafikkan akar nilai luhur budaya dari sisi: Patut:(Rme- Tao) adil-cinta

(17)

Fenomena Perilaku

Patut Patuh Patju Hasil Analisis Perilaku Kesimpulan

Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif Eksekutif-Legislatif 3. Alokasi

Anggaran Tidak pro poor

Eksekutif

-proses partisipasi, transparansi, akuntabilitas jauh dari nilai budaya -Alokasi anggaranTidak

menunjukkan nilai ”keseimbangan” Legislatif

- Kinerja dewan tidak menempatkan “rakyat miskin” sebagai prioritas -Alokasi anggaran tidak disusun dengan dasar cinta-kasih sayang

Eksekutif

-Alokasi anggaran tidak Tindih-amanah- Allah dan rakyat. -Alokasi anggaran tidak menunjukan kebutuhan rakyat yg paling mendasar-paling besar efek kesejahtraanya

Legislatif

-Alokasi anggaran- tidak amanah dengan sumpah politiknya.

Eksekutif

-Tidak pro poor menunjukan tidak ada kesungguhan hati memperjuangkan rakyat

Legislatif

-Alokasi anggaran menunjukan prilaku tidak

bersungguh-sungguh

menerapkan partisipasi masyarakat,transparansi dan akuntabilitas

Telah menafikkan akar nilai luhur dari sisi:

Patju:(Jamak Rme dan Adung) Seimbang, Kasih Kasih Sayang, Solidaritas, ikhlas

Anggaran Tidak Pro Poor

Hasil Analisis Puncak Nilai

Dari Nilai Patut Mengaburkan Nilai “Keadilan-Keseimbangan”

Dari Nilai Patuh Mengaburkan Nilai

“Kejujuran-Keselarasan”

Dari Nilai Patju Mengaburkan Nilai

(18)

Tabel 2. Hasil Analisis Perilaku Eksekutif danLegislatif

Dalam Penyusunan Anggaran Dengan Pendekatan Nilai Kearifan Lokal “Patut, Patuh, Patju” Analisis dengan Nilai-Nilai kearifan Lokal

Perilaku Eksekutif:

Nilai Patut

-Undangan ditentukan sepihak, -Dominasi peserta MPBM-PNS, -Tidak ada dialog interaktif

-Eksekutif-legislatif tidak patuh dengan peraturan partisipasi.

-Dibentuk-15 SKPD baru-eslon pejabat

Nilai Patuh

-Melanggar makna partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. -Tidak disiplin-melaksanakan

transparansi & akuntabilitas -Terjadi negosiasi menaikkan target

APBD agar dewan memperoleh tambahan intensif

-Perangkat peraturan untuk wewenang rakyat terhadap partisipasi,

transparansi, akuntabilitas sangat kurang

-Tidak jujur atas janji-politik yang dibuat saat sebelum pemilu-KKN

Nilai Patju

-Kompromi politik agar kepentingn golongan & pribadi dapt tercapai, kepentingan rakyat terabaikan -program pengentasan kemiskinan tidak mendaptkan alokasi dana yang proporsional

-Partipasi sangat dibatasi dan tidak interaktif

-Tidak disiplin-melaksanakan transparansi & akuntabilitas

Perilaku Legislatif:

Nilai Patut

-Melanggar makna partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. -Tidak aktif-pengawalan partisipasi masyarakat

-Terjadi negosiasi khusus untuk mendapatkan peningkatan intensif dewan-usulan naiknya target PAD -Kualitas DPRD rendah-lemahnya sistem prekrutan

Nilai Patuh

-Tidak patuh-jujur atas janji-politik yang telah diamanahkan.

-Terjadi kompromi politik agar kepentingn golongan & pribadi dapt tercapai-KKN-rakyat terabaikan -Alokasi anggaran tidak bernilai

demokratis (tidak menempatkan “rakyat miskin” prioritas utama)

-Alokasi anggaran tidak melukiskan Tenggang Rasa dan solidaritas.

Nilai Patju:

-Hasil alokasi anggaran tidak menunjukkan kesungguhan hati memperjuangkan rakyat

-Alokasi anggaran melukiskn kepentingn diri pribadi, golongan politik

-Transparansi, akuntabilitas hanya kamuflase

Dari nilai Puncak

Patut telah

“Meengaburkan” Nilai Keadilan-Keseimbangan

Dari nilai Puncak

Patuh telah

“Mengaburakn” Nilai

Amanah-Kejujuran Keselarasan

Dari nilai Puncak

Patju

(19)

Tabel 2. Preposisi yang Dihasilkan dari Analisis Perilaku Eksekutif dan Legislatif Berdasarkan Nilai-Nilai Luhur Budaya Kearifan Lokal ”Patut Patuh Patju”

Preposisi 1 Preposisi 2 Preposisi 3 Preposisi Inti Kesimpulan

“Partisipasi semu” terjadi karena akar nilai-nilai kearifan tidak menjadi ruh eksekutif-legislatif dalam praktik penganggaran. Partisipasi semu merupakan perilaku eksekutif dan legislatif yang paling mendasar yang

menyebabkan transparansi dan akuntabilitas tidak berjalan dengan baik.

Perilaku “Kesadaran Sosial rendah” tercipta karena akar nilai-nilai luhur budaya telah

termarginalkan dan tidak dijiwai sebagai ruh kehidupan eksekutif dan legislatif dalam proses penyusunan anggaran.

“Kebijakan APBD yang tidak Pro Poor”

merupakan wujud akumulasi dari perilaku partisipasi semu dan kesadaran sosial rendah yang diakibatkan oleh tidak dihayatinya nilai-nilai kearifan lokal.

Hidupnya nilai-nilai kearifan lokal Sasak, yaitu kearifan, keadilan, kejujuran, cinta kasih sayang, amanah, solidaritas, rela berkorban, sederhana dan seimbang

(Onyak, Tao, Tindih, Jama’ Semaik, Adung, Rme) ternyata memiliki pengaruh yang sangat kuat dan mendasar dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berkualitas, yaitu anggaran yang menunjukkan moralitas dan profesionalitas.

Penyebab utama rendahnya perilaku anggota eksekutif dan legislatif adalah

termarginalkannya nilai-nilai kearifan lokal, dan nilai-nilai luhur itu tidak lagi menjadi ruh semangat hidup eksekutif dan legislatif dalam

melakukan perencanaan, pembahasan dan

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad YD, 2011. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sasak.

Burrel, G. Dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigm and Organisational Analysis. Ashgate Publishing Company, USA.

Groenewald, T. 2004. Phenomenological Research Design Illustrated. International Journal Of Qualitative Methods, 3 (1)April.

Kuswarno 2009, E (2009) Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran.

Sukoharsono, Eko G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntasi Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Ethnografi Kritis dan Study Kasus. Analisis Makro dan Mikro, BPFE Universitas Brawijaya Malang, 230-245.

Syafrudin dan Taifur, Werry Darta 2002. Peran DPRD Untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi dan Perspectif Daerah Tentang Pelaksanaan Desentralisasi

Fakulti of Economic Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas, Regional University Research, on Decentralization in Indonesia, Project 497-0357/204-000, ECG, USAID/ Indonesia. Center for Institutional Reform and the Informal Sector (IRIS) University of Maryland at college Park.

Sobandi, Baban, 2004. Etika Kebijakan Publik: Moralitas Propertis dan Profesionalitas aparat Birokrasi, Penyunting Usin S Artayasa. Cet. 1- Bandung. Humaniora Utama Press.

Harun, Rochajat dan Sumarno 2006. Komunikasi politik. Sebagai suatu pengantar

Penerbit CV. Mandar. Bandung Mujitahid, Lalu, 2000. Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Lingkungan Hidup Yang Harmonis. Makalah Penyuluhan dan Pembinaan Kebudayah Daerah NTB di Mataram.

Mujitahid, Lalu, 2000. Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Lingkungan Hidup Yang Harmonis. Makalah Penyuluhan dan Pembinaan Kebudayah Daerah NTB di Mataram.

Tim pengungkapan Nilai budaya Naskah Kuno (1995/1996) Kotaragama, Museum Negeri NTB. Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

Gambar

Gambar 1.  Alur Makna Nilai-Nilai Kearifan Lokal.
Tabel 1. Kesimpulan Hasil analisis Gabungan Perilaku eksekutif dan Legislatif Berdasarkan
Gambar 2. Hasil Analisis Perilaku Eksekutif dan Legislatif
Tabel 2. Preposisi yang Dihasilkan dari  Analisis Perilaku Eksekutif dan Legislatif Berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan sistem informasi akuntansi manual ini adalah tidak adanya bagian khusus yang menangani penggajian dan pengupahan karyawan sehingga menyebabkan kecurangan pengadaan

25 Saya merasa rendah diri bila bergaul dengan orang yang penampilannya lebih menarik dari saya. SS S TS

Untuk itu akan dilakikan penelitian dengan judul “ Aplikasi Media Animasi Dalam Meningkatkan Kemampuan Membaca Gambar Proyeksi Pada Pembelajaran Gambar Teknik Di SMKN

Air limpasan dari bak ekualisasi dialirkan ke bak aerasi secara overflow. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada akan

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA PRAKTIKUM (LKP) KENAIKAN TITIK D IDIH LARUTAN ELEKTROLIT BERBASIS INKUIRI TERBIMBING PAD A PROSES PEREBUSAN TELUR PUYUH.. Universitas Pendidikan Indonesia

Karena nilai signifikansi promosi dan word of mouth kurang dari 0,05 dan nilai signifikansi brand awareness lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

Seorang pemegang saham atau lebih yang (bersama-sama) mewakili 1/20 (satu per dua puluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah yang

 Aceh. Alat musik : SERUNE KALEE Cara memainkan : ditiup serta terdapat lubang yang dimainkan dengan jari sebagai pengatur