• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akuntabilitas Pendapatan dari Pajak (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Akuntabilitas Pendapatan dari Pajak (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. AKUNTABILITAS

Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean government) telah mendorong pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, teratur, dan efektif yang dikenal dengan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).

Penerapan sistem tersebut bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab dan bebas dari praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

Terdapat berbagai definisi tentang akuntabilitas, yang diuraikan sebagai berikut : 1. Sjahruddin Rasul (2003) menyatakan bahwa akuntabilitas didefinisikan secara sempit

sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat secara luas atau dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah, “seseorang” tersebut adalah pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima amanat yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat tersebut kepada masyarakat atau publik sebagai pemberi amanat.

2. J.B. Ghartey (2001) menyatakan bahwa akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship yaitu apa, mengapa, siapa, ke mana, yang mana, dan bagaimana suatu pertanggungjawaban harus dilaksanakan.

3. Ledvina V. Carino (2004) mengatakan bahwa akuntabilitas merupakan suatu evolusi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh seorang petugas baik yang masih berada pada jalur otoritasnya atau sudah keluar jauh dari tanggung jawab dan kewenangannya. Setiap orang harus benarbenar menyadari bahwa setiap tindakannya bukan hanya akan memberi pengaruh pada dirinya sendiri saja. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa tindakannya juga akan membawa dampak yang tidak kecil pada orang lain. Dengan demikian, dalam setiap tingkah lakunya seorang pejabat pemerintah harus memperhatikan lingkungannya. 4. Akuntabilitas juga dapat berarti sebagai perwujudan pertanggungjawaban seseorang atau

(2)

berupa sumber daya manusia, dana, sarana prasarana, dan metode kerja. Sedangkan pengertian sumber daya dalam konteks negara dapat berupa aparatur pemerintah, sumber daya alam, peralatan, uang, dan kekuasaan hukum dan politik.

5. Akuntabilitas juga dapat diuraikan sebagai kewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah diberikan wewenang untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini, pengertian akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolok ukur pengukuran kinerja.

Dari berbagai definisi akuntabilitas seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.

Akuntabilitas dapat dipandang dari berbagai perspektif. Dari perspektif akuntansi, American Accounting Association menyatakan bahwa akuntabilitas suatu entitas pemerintahan dapat dibagi dalam empat kelompok (Sadjiarto, 2000), yaitu akuntabilitas terhadap:

1. Sumber daya finansial

2. Kepatuhan terhadap aturan hukum dan kebijaksanaan administratif 3. Efisiensi dan ekonomisnya suatu kegiatan

4. Hasil program dan kegiatan pemerintah yang tercermin dalam pencapaian tujuan, manfaat dan efektivitas.

Sedangkan dari perspektif fungsional, akuntabilitas dilihat sebagai suatu tingkatan dengan lima tahap yang berbeda yang diawali dari tahap yang lebih banyak membutuhkan ukuran-ukuran obyektif (legal compliance) ke tahap yang membutuhkan lebih banyak ukuran-ukuran-ukuran-ukuran subyektif (Sadjiarto, 2000). Tahap-tahap tersebut adalah:

1. Probity and legality accountability

Hal ini menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana sesuai dengan anggaran yang telah disetujui dan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (compliance).

2. Process accountability

Dalam hal ini digunakan proses, prosedur, atau ukuran-ukuran dalam melaksanakan kegiatan yang ditentukan (planning, allocating and managing).

(3)

Pada level ini dilihat apakah kegiatan yang dilakukan sudah efisien (efficient and economy).

4. Program accountability

Di sini akan disoroti penetapan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut (outcomes and effectiveness).

5. Policy accountability

Dalam tahap ini dilakukan pemilihan berbagai kebijakan yang akan diterapkan atau tidak (value).

Dari perspektif sistem akuntabilitas, terdapat beberapa karakteristik pokok sistem akuntabilitas ini yaitu :

1. Berfokus pada hasil (outcomes)

2. Menggunakan beberapa indikator yang telah dipilih untuk mengukur kinerja

3. Menghasilkan informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan atas suatu program atau kebijakan

4. Menghasilkan data secara konsisten dari waktu ke waktu

5. Melaporkan hasil (outcomes) dan mempublikasikannya secara teratur

B. PENERIMAAN PAJAK

Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Penerimaan perpajakan dalam negeri meliputi semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang/jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai dan pajak lainnya. Sedangkan pajak perdagangan internasional merupakan semua penerimaan negara yang berasal dari bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.

(4)

Sedangkan, penerimaan perpajakan yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan anggaran negara/daerah, dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan pajak oleh setiap instansi pemerintah yang melakukan pembayaran atas beban negara/daerah. Oleh karena itu, dalam rangka intensifikasi penerimaan pajak negara, setiap bendahara instansi pemerintah baik pusat maupun daerah, BUMN/BUMD dan badan lainnya ditetapkan sebagai wajib pungut, wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya dalam waktu selambat-lambatnya satu hari setelah uang pajak diterima. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan intensifikasi penerimaan pajak, setiap instansi pemerintah, BUMN/BUMD serta badan lainnya diwajibkan untuk memberikan informasi perpajakan kepada pemerintah, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Keppres Nomor tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara mengatur ketentuan data dan informasi perpajakan sebagai berikut:

a. Mewajibkan setiap kementerian/lembaga, pemerintah daerah, kantor dan satuan kerja, proyek/bagian proyek, dan BUMN/D untuk menyampaikan bahan-bahan dan keterangan yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya guna keperluan perpajakan kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Pajak.

b. Untuk memadukan dan mensinerjikan data dan informasi perpajakan tersebut dibentuk Bank Data Nasional dan Nomor Identitas Tunggal yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan.

c. Menteri Keuangan cq Dirjen Pajak mengadministrasikan data dan informasi perpajakan dalam Bank Data Nasional dengan membentuk Nomor Identitas Bersama sebagai embrio Nomor Identitas Tunggal.

d. Menteri Keuangan cq Dirjen Pajak wajib memberikan Nomor Identitas Tunggal kepada masing-masing kementerian/lembaga, pemerintah daerah, kantor dan satuan kerja, proyek/bagian proyek, dan BUMN/D.

e. Menetapkan Setiap instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/D, bendahara dan badan lain yang melakukan pembayaran atas beban APBN/APBD, sebagai Wajib Pungut Pajak, sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

(5)

a. Pajak dipungut oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

b. Penerimaan pajak merupakan pendapatan pemerintah yang harus dimasukkan ke dalam kas negara/daerah.

c. Tidak terdapat hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu, akan tetapi kontra prestasi secara umum dimanifestasikan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah.

d. Pajak dipungut/dikenakan karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

e. Pajak bersifat memaksa, artinya bagi mereka yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pajak Negara

Dalam pelaksanaan penerimaan pajak-pajak negara, bendahara pada instansi pemerintah telah ditunjuk sebagai pemotong/pemungut atas penerimaan pajak-pajak negara khususnya pada transaksi belanja yang dilakukan oleh instansi pemerintah.

a. Bendahara Sebagai Pemotong Pph Pasal 21 Dan Pasal 26

PPh pasal 21 adalah PPh sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. PPh pasal 26 adalah PPh atas deviden, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang, royalty, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima oleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.

b. Bendahara Sebagai Pemotong PPH Pasal 22

Pajak penghasilan dipungut/dipotong sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, kecuali atas pembayaran:

1) penyerahan barang paling banyak 1 juta (bukan jumlah yang dipecah-pecah); 2) pembelian BBM, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos;

3) pencairan dana jaring pengaman sosial (JPS) oleh KPKN;

4) pembayaran pelaksanaan proyek yang dibiayai dengan hibah/pinjaman luar negeri. c. Bendahara Sebagai Pemotong PPH Pasal 23/26

(6)

telah dipotong PPh pasal 21. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah sebagai berikut.

1) Deviden, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan dengan pelaksanaan status kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain sewa atas tanah dan atau bangunan.

3) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, consultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 adalah penghasilan berikut. 1) Deviden, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang, royalty, hadiah dan penghargaan sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, selain sewa atas tanah dan atau bangunan.

3) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

4) Pensiun dan pembayaran berkala lainnya. Pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri selain BUT.

d. Bendahara Sebagai Pemotong PPN dan PPnBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang di dalam daerah pabean yang berdasarkan keputusan Menteri Keuangan tergolong barang mewah.

Pajak Daerah

Pembagian jenis pajak di Indonesia ditinjau dari lembaga pemungutnya dibedakan ke dalam pajak pusat dan pajak daerah. Pajak daerah menurut UU No. 34 tahun 2000 terbagi menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

1) Pajak Provinsi

Jenis pajak provinsi beserta tarif setinggi-tingginya yang dapat ditetapkan:

(7)

(d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT/AP):20%.

Tarif pajak tersebut ditetapkan dan diberlakukan seragam di seluruh Indonesia dan pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Hasil penerimaan pajak provinsi sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah provinsi terkait dengan ketentuan perimbangan sebagai berikut:

(a) PKB/KA dan BBN-KB/KA: maksimum 70%: bagian pemerintah provinsi minimum 30%: bagian pemerintah kab./kota

(b) PBB-KB dan P3ABT/AP : maksimum 30%: bagian pemerintah provinsi minimum 70%: bagian pemerintah kab./kota.

2) Pajak Kabupaten/Kota

Jenis pajak kabupaten/kota beserta tarif setinggitingginya yang dapat ditetapkan: (a) Pajak Hotel (PH): 10%

(b) Pajak Restoran (PR): 10% (c) Pajak Hiburan (PHi): 35% (d) Pajak Reklame (PRek): 25% (e) Pajak Penerangan Jalan (PPJ): 10%

(f) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C:20% (g) Pajak Parkir: 20%.

(h) Pajak Bumi dan Bangunan

Hasil penerimaan pajak kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi seluruh desa/kelurahan di wilayah kab/kota paling sedikit 10% (sepuluh persen) yang ditetapkan dengan peraturan daerah setelah memperhatikan aspek dan potensi antar desa. Pemerintah provinsi dapat memberikan salah satu atau beberapa jenis pajak yang menjadi wewenangnya kepada pemerintah kab/kota yang potensi pendapatan asli daerahnya kurang memadai. Khusus pemerintah provinsi yang tidak terbagi ke dalam daerah kabupten/kota seperti DKI Jakarta, jenis pajak daerah yang dipungut merupakan gabungan pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

(8)

(a) Bersifat pajak, bukan retribusi;

(b) Objek pajak terletak di wilayah kabupaten/kota yang ber-sangkutan, memiliki mobilitas cukup rendah, dan hanya me-layani masyarakat kabupaten/kota tersebut;

(c) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan ke-pentingan umum dan memperhatikan aspek ketenteraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan;

(d) Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan pusat;

(e) Potensi pajak memadai, artinya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah;

(f) Tidak memberi dampak ekonomi yang negatif;

(9)

BAB 2 PEMBAHASAN

Akuntabilitas Penerimaan dari Sektor Perpajakan tidak terlepas atau merupakan satu kesatuan utuh dari Akuntabilitas Keuangan Negara. Terdapat beberapa masalah terkait dengan Akuntabilitas Keuangan Negara dari faktor perpajakan antara lain (Setiyati dan Amir, 2005): 1. Upaya pencegahan korupsi masih rendah, hal ini ditandai dengan mencegah masih terjadi

pungutan di setiap instansi, adanya rekening liar, dan adanya upah pungut.

2. Rendahnya kualitas administrasi keuangan terutama kelambatan melaporkan keuangan serta tidak sesuai standar akuntansi pemerintah.

3. Kinerja penerimaan Pajak di Indonesia masih belum memadai, yang ditandai dengan angka pertambahan jumlah wajib pajak masih kurang bila dibandingkan dengan potensi yang ada. 4. Masih lemahnya Ditjen Pajak dalam mengimplementasikan ketentuan hukum dimana pemerintah lebih banyak bersikap pasif dalam menghadapi rendahnya kepatuhan pajak dan hanya berharap masyarakat patuh secara sukarela.

5. Banyak pelanggar hukum di bidang perpajakan yang tidak mendapatkan sanksi yang memadai sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, yang dapat memperluas tindakan Korupsi dan Kolusi di bidang perpajakan.

Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD (Sidik, 2002), terutama hal ini disebabkan oleh :

1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah

Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Provinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sebagian daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.

2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah

(10)

3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah

Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.

4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah

Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.

Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.

(11)

Mengingat pentingnya penerimaan pajak untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat juga sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi oleh aparat pajak, sangat mendesak untuk dilakukan revisi atau judicial review UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) khususnya pasal 34 yang menjadi penghambat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dapat mengakses data Wajib Pajak dalam rangka audit secara utuh dan menyeluruh terhadap penerimaan pajak. Akibat dari dirahasiakannya data Wajib Pajak maka akuntabilitas dan transparansi pemungutan dan penerimaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berpotensi bahkan telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat materiil.

Sebagaimana disebut di atas, salah satu alasan mengapa BPK memberikan opini disclaimer pada Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-satunya instansi negara yang berada di luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak negaranya sendiri. Terkait dengan kasus penggelapan, pencucian uang dan korupsi penerimaan pajak oleh pegawai Ditjen Pajak gayus tambunan menjadi sangat relevan mempertanyakan kerahasiaan data wajib pajak, agar dapat diakses oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam rangka melaksanakan audit penerimaan pajak.

Contoh kasus mafia pajak gayus tambunan yang memiliki Rp. 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara sisanya tidak jelas. Sebagai perbandingan gaji PNS golongan III/A dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar Rp.2,4 juta. Remunerasi Rp 8,2 juta, dan imbalan prestasi kerja rata-rata Rp.1,5 juta, jadi total gaji per bulan adalah Rp 12,1 juta. Apapun argumentasi dan resistensi yang timbul dari langkah untuk melakukan revisi atau judicial review UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP baik dari pihak Kementerian Keuangan, Mahkamah Konstitusi, atau bahkan DPR dapat diartikan sebagai sikap dan tindakan pembiaran terjadinya tindak pidana korupsi penerimaan pajak.

(12)

akuntabilitas penerimaan pajak. Juga tidak kalah penting adalah terungkapnya kasus mafia pajak lainnya yang bercokol dengan kuat, dan mengakar di tubuh instansi Ditjen Pajak. Terlepas dari persoalan itu, kasus yang menimpa gayus sebagai tersangka dalam penggelapan dan penyelewengan pajak mencerminkan bahwa gaji yang tinggi di tubuh birokrasi negara tidak menjadi jaminan bersihnya seseorang dari skandal suap maupun korupsi. Kita bisa melihat bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kultur masyarakat yang sulit dihilangkan di kalangan aparat negara.

Sudah saatnya lembaga hukum dan aparat pajak di Indonesia melakukan perbaikan dan reformasi birokrasi secara total. Lembaga hukum yang diharapkan menjadi pelindung dan poros utama penegakan hukum, ternyata juga tidak lepas dari skandal suap maupun korupsi. Semakin menjamurnya praktik mafia hukum dan makelar yang kasus yang menimpa aparat negara menunjukkan potret hukum di negara kita masih suram, karena dibalik beberapa kasus yang mencuat juga melibatkan aparat hukum di negeri ini. Sungguh polemik ini menjadi naif dan mencerminkan kebobrokan moral bangsa di tengah himpitan persoalan kebangsaan yang semakin berkepanjangan.

Proses meningkatkan akuntabilitas kerap berjalan lambat karena budaya organisasi besar yang sering bergonta-ganti kebijakan. Konsekuensinya, peningkatan yang simultan dari transparansi harus dilakukan untuk memberdayakan perubahan birokrasi.

Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1. Memperluas basis penerimaan

Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain yaitu mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan dari setiap jenis pungutan.

2. Memperkuat proses pemungutan

Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain mempercepat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tariff retribusi dan peningkatan SDM.

3. Meningkatkan pengawasan

(13)

pajak dan sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang diberikan oleh daerah.

4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan

Tindakan yang dilakukan oleh daerah yaitu antara lain memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penyederhanaan admnistrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan dari setiap jenis pemungutan.

5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik

Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di daerah. Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu melalui kebijaksanaan Pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia sendiri melalui system pembagian langsung atau beberapa basis pajak Pemerintah Pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.

Semenjak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change program) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat bahwa konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner.

Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:

a. Struktur organisasi

b. Business process dan teknologi informasi dan komunikasi c. Manajemen sumber daya manusia

d. Pelaksanaan good governance

(14)

penyelenggaraan pemerintahan Negara yang mempunyai dua tugas pokok yaitu penyelenggaraan pemerintahan umum dan tugas pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance. Dan untuk dapat mencapai penyelenggaraan pemerintahan Negara yang memenuhi kriteria good governance tersebut, diperlukan adanya pengawasan, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Internal auditor yang berwibawa dan profesional harus mampu memberikan tindakan-tindakan preventif untuk mencegah terjadinya KKN di lingkungan entitasnya.

Jika kasus mafia hukum dan makelar kasus tidak segera diselesaikan secara tuntas dan akuntabel, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan aparat pajak akan semakin tercemar dan buram. Kita bisa melihat dengan jelas bahwa skandal mafia hukum dan makelar kasus yang menimpa lembaga peradilan secara umum, tidak saja mempengaruhi citra mereka sebagai penegak hukum, tetapi juga berpotensi serius terhadap masa depan pembangunan bangsa ke depan. Jika citra penegak hukum kita semakin buram, maka akan terjadi apa yang kita sebut sebagai krisis kepercayaan masyarakat.

(15)

BAB 3 KESIMPULAN

Sebagaimana layaknya negara berkembang, problematika pembiayaan negara dan pembangunan di Indonesia juga senantiasa dihadapkan pada keterbatasan sumber dana yang ada. Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara yang sukses melakukan reformasi perpajakan, juga dihadapkan pada persoalan pengembangan potensi perpajakan yang menunjukkan menurunnya tingkat pertumbuhan penerimaan pajak.

Untuk itu, terdapat kebutuhan besar bagi Indonesia untuk melakukan reformasi pajak lanjutan. Kinerja penerimaan pajak Indonesia yang dari ukuran angka cukup memuaskan, ternyata tidak didukung oleh pembangunan sistem mondial yang kuat. Oleh karena itu, reformasi perpajakan selanjutnya diharapkan dapat dilengkapi dengan perombakan sistem yang inemiliki pijakan hukum yang lebih konsisten. Pembenahan aspek sumber dava manusia harus menempati urutan teratas dalam pembenahan internal Direktorat Jenderal Pajak, terutama dalam masalah kualitas dan moralitas

Persoalan korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga harus diperhatikan dalam pembenahan Direktorat Jenderal Pajak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa DJP adalah unit organisasi yang berada dalam rangking atas unit organisasi pemerintahan yang rentan akan korupsi. Mengutip indikasi yang disampaikan oleh Jit B.S. Gill, sebenarnya kondisi ini juga terjadi di berbagai negara. Meski demikian, tetap saja fakta tersebut tidak boleh menjadi pembenaran, mengingat rangking Indonesia di bidang korupsi sangat memprihatinkan

Untuk menjalankan agenda pemberantasan KKN di Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan tidak hanya berlindung pada angka penegakan disiplin yang mungkin menyesatkan. Angka penegakan disiplin yang ditunjukkan Direktorat Jenderal Pajak belum cukup memadai dibandingkan keluhan masyarakat yang terus mengalir mengenai pelayanan kurang memuaskan dan biaya klaim hak pajak masyarakat Wajib Pajak yang masih tinggi. Juga mengenai indikasi korupsi yang dilakukan oknum Direktorat Jenderal Pajak sehingga kewajiban pajak oknum wajib pajak dapat direkayasa dengan jalan tertentu.

(16)
(17)

DAFTAR PUSTAKA

J.B. Ghartey. 2001. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.

Kadmasasmita, A. Dj. Akuntabilitas Keuangan Negara : Konsep dan Aplikasi. Jakarta : STIA LAN

Ledvina V. Carino. 2004. Organization and Management in The Public Sector, Alih Bahasa. Jakarta: Grasindo

Modul Pusdiklatwas. 2007. Akuntabilitas Instansi Pemerintah. Jakarta : Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan

Modul Pusdiklatwas. 2007. Pedoman Pelaksanaan Anggaran II. Jakarta : Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan

Modul Pusdiklatwas. 2007. Sistem Administrasi Keuangan Daerah II. Jakarta : Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan

Sadjiarto, A. 2000. Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Pemerintahan. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 2, Nopember 2000: 138 – 150

Setiyati, G dan Amir, H. 2005. Evaluasi Kinerja Sistem Perpajakan di Indonesia. Jurnal Ekonomi Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta , Edisi November 2005

Sidik, M. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah. Disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002 - di Bandung, 10 April 2002

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui tingkat kompetensi pedagogik ke-PLB-an bagi guru reguler di sekolah inklusi, (2) mengetahui model pelatihan komptensi

Laporan Pemisahan dan Penentuan Kadar Asam lemak dari sabun ( online ).. Pembagian solut antara dua cairan yang tak saling campur memberikan banyak kemungkinan yang

Berdasarkan tinjauan beberapa literatur penelitian dan pendapat para ahli tersebut (Bakker et al., 2015; Huang, 2019; Kim et al., 2018; Kusmaryono, Gufron, et

Tanaman bawang merah memiliki batang sejati (discus), yang merupakan bagian seperti kayu yang berada pada dasar umbi bawang merah, sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas

Dari buku pedoman mentoring yang sudah disusun kuikulumnya, buku-buku tentang keIslaman, terkadang juga dari internet, atau bahkan dari materi yang pernah disampaikan

Kompetensi guru berkaitan dengan profesionalisme, yaitu guru yang profesional adalah guru yang kompeten atau berkemampuan sehingga kompetensi profesional guru dapat

Safri Nurmantu (2003:45) menjelaskan Self Assessment System suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan