MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR: XX/PRT/M/2011
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
Menimbang : a. bahwa dalam penyusunan rencana tata ruang,
Pemerintah dan pemerintah daerah harus
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup melalui kajian lingkungan hidup strategis yang bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam rencana tata ruang;
b. bahwa untuk memberikan acuan dan arahan bagi
Pemerintah dan pemerintah daerah agar dapat
melaksanakan kajian lingkungan hidup strategis yang efektif dan efisien dalam penyusunan rencana tata ruang, perlu disusun pedoman pelaksanaan kajian lingkungan hidup strategis dalam penyusunan rencana tata ruang;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);
5. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 25);
6. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum;
10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang;
11. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Umum Penyusunan
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA
RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
3. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
4. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan tata ruang.
5. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia, serta makhluk hidup lain.
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya.
7. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
8. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.
9. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan tiga pilar, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
10. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
12. Menteri adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan KLHS untuk penyusunan RTR.
(2) Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan RTR
yang telah mengintegrasikan prinsip pembangunan
berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:
a. kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR;
b. prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan KLHS;
c. integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan
BAB II
KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
Bagian Kesatu
Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
Pasal 3
Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR yaitu:
a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR; b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan
c. pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan infrastruktur, dan arahan pola ruang dirumuskan
Bagian Kedua
Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR
Pasal 4
Muatan KLHS dalam penyusunan RTR antara lain berupa kajian:
a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal 5
BAB III
PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS
Bagian Kesatu
Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS
Pasal 6
Prinsip dasar pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi: a. KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;
b. pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema penataan BWP khusus bagi RDTR;
c. lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan lingkup perencanaan;
d. pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut: a. terintegrasi;
b. berkelanjutan; c. terfokus; dan d. iteratif ;
sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;
e. pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS; f. analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian
yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun; g. kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;
h. analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari sumber persoalan dampak lingkungan;
i. analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan hidup dan implikasi sosial;
j. data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif rekomendasi harus konsisten;
k. pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS sebelumnya;
m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi; dan
n. konsultasi publik dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali pada saat tahap pelingkupan dan setelah dirumuskannya rekomendasi (seminar akhir) atau dapat dilaksanakan pula bersamaan dengan konsultasi publik pada saat proses penyusunan RTR.
Bagian Kedua
Persyaratan Pelaksanaan KLHS
Pasal 7
Persyaratan pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi:
a. pelaksana KLHS yaitu Pemerintah atau pemerintah daerah yang dapat dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang perencanaan wilayah dan kota serta ilmu lingkungan;
b. pemangku kepentingan dalam pelaksanan KLHS yaitu Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;
c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara aktif;
d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS yaitu dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki delineasi wilayah yang tetap; dan
e. menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada peta rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai dengan RTR yang sedang disusun.
Bagian Ketiga
Mekanisme Pelaksanaan KLHS
Paragraf 1 Umum
Pasal 8
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap meliputi:
a. tahap persiapan;
c. tahap pelingkupan;
d. tahap kajian pengaruh; dan
e. tahap perumusan alternatif dan rekomendasi.
Paragraf 2 Tahap Persiapan
Pasal 9
Tahap persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a meliputi kegiatan:
a. pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki delineasi wilayah yang tetap;
b. penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan;
c. penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan d. penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.
Paragraf 3
Tahap Pra-Pelingkupan
Pasal 10
Tahap pra-pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b meliputi kegiatan:
a. penyusunan dan penyajian informasi dasar; b. penyusunan kajian konsep pengembangan; dan c. perumusan isu lingkungan hidup awal.
Pasal 11
Penyusunan dan penyajian informasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi kegiatan:
a. penguraian informasi dasar yang meliputi aspek fisik lingkungan (eksisting) dan lingkungan hidup serta ekologis dan sosial ekonomi yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah; dan
Pasal 12
Penyusunan kajian konsep pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi kegiatan:
a. pengidentifikasian tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan b. pengidentifikasian arahan rencana struktur ruang dan pola ruang.
Pasal 13
Perumusan isu lingkungan hidup awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c menghasilkan keluaran berupa:
a. data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan; dan
b. daftar potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait RTR yang sedang disusun.
Paragraf 4 Tahap Pelingkupan
Pasal 14
(1) Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c merupakan serangkaian proses untuk menetapkan:
a. nilai penting KLHS; b. tujuan KLHS;
c. isu pokok;
d. ruang lingkup KLHS;
e. kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen; f. pengenalan kondisi awal; dan
g. telaah awal kapasitas kelembagaan.
(2) Tahap pelingkupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. penilaian dan penetapan isu strategis; dan b. konsultasi publik.
Paragraf 5
Tahap Kajian Pengaruh Pasal 15
Paragraf 6
Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi
Pasal 16
Tahap perumusan alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf e dilakukan dengan mempertimbangkan hasil analisis dampak lingkungan setelah tahap kajian pengaruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan.
Pasal 17
Ketentuan lebih rinci mengenai tahap persiapan, tahap pra-pelingkupan, tahap pelingkupan, tahap kajian pengaruh, serta tahap perumusan alternatif dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 16 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
Pasal 18
KLHS dilaksanakan secara satu-kesatuan (embedded) dengan proses penyusunan RTR.
Pasal 19
Ketentuan lebih rinci mengenai integrasi KLHS dalam penyusunan RTR tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB V
DOKUMENTASI KLHS
Pasal 20
Pasal 21
Dokumentasi pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR meliputi: a. pelaporan hasil KLHS; dan
b. prosedur dalam pelaksanaan KLHS.
Pasal 22
(1) Laporan KLHS untuk penyusunan RTR paling sedikit memuat: a. gambaran tentang RTR;
b. penjelasan tentang informasi lingkungan;
c. peraturan terkait dan sasaran lingkungan yang ditetapkan; d. hasil KLHS pada isu strategis, meliputi:
1. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
2. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; 3. kinerja layanan/jasa ekosistem;
4. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
5. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
6. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati; e. rumusan alternatif penyempurnaan RTR; dan
f. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan.
(2) Dalam hal RTR yang disusun merupakan tindak lanjut dari proses revisi RTR sebelumnya, laporan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pula:
a. penjelasan tentang informasi lingkungan eksisting sebelum dan sesudah implementasi RTR; dan
b. isu-isu strategis lingkungan hidup yang mengacu pada KLHS sebelumnya atau isu strategis lingkungan hidup baru sesuai dengan hasil konsultasi publik.
Pasal 23
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal20 Desember
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,
ttd.
FERRY MURSYIDAN BALDAN
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA HAMONANGAN LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR…
PENJELASAN ATAS
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
I. UMUM
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang disusun dengan dasar pemikiran bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan harus menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan tata ruang wilayah. Dengan demikian, Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan tindakan strategis dalam menuntun dan mengarahkan agar tidak terjadi dampak negatif dari RTR terhadap lingkungan dan keberlanjutan. Kemampuan untuk melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR menjadi suatu hal yang penting dalam meningkatkan kualitas RTR,
Secara umum Peraturan Menteri ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan dokumentasi KLHS.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang beserta peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4 Huruf a
Daya dukung lingkungan hidup dilihat dari kapasitas penyediaan sumber daya alam yang dibandingkan dengan kebutuhan akan sumber daya alam tersebut, khususnya terkait kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan lahan dan air dalam suatu ruang atau wilayah. Kemampuan lahan berisi karakteristik lahan yang meliputi sifat fisik dan kimia tanah, topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Selain itu, identifikasi kemampuan lahan juga harus memperhatikan tingkat bahaya kerusakan dan hambatan dalam mengelola lahan, seperti kemiringan lahan, penghambat terhadap perakaran tanaman, tingkat erosi, dan genangan air.
Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat pencemaran dan kemampuan lingkungan mempertahankan habitat di dalamnya.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat diidentifikasi dari sejumlah komponen, seperti:
a. ketersediaan dan sebaran kawasan lindung dan kawasan budi daya;
b. keragaman ekosistem;
c. kondisi hidrologi, sumber air, daerah resapan air; d. kualitas udara;
e. kerawanan bencana;
f. sebaran komoditas pertanian dan perikanan; g. sebaran potensi energi dan sumber daya mineral; h. kebutuhan infrastruktur;
i. sebaran kegiatan perkotaan;
j. kondisi kependudukan; k. kondisi sosial ekonomi;
l. kapasitas lembaga pengelola; m. dan sebagainya.
Melalui kajian mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi rencana tata ruang akan melampaui kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup atau tidak.
Huruf b
Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup berkaitan dengan perkiraan perubahan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau kawasan. Dampak dan risiko lingkungan hidup dapat dilihat dari jumlah populasi yang terkena dampak, luasan wilayah atau kawasan yang terkena dampak, lamanya dampak, intensitas dampak, komponen lingkungan yang terkena dampak, dan pengaruh dampak pada wilayah atau kawasan yang lebih luas.
Huruf c
Melalui kajian mengenai kinerja layanan/jasa ekosistem ini dapat diketahui apakah suatu ekosistem masih dapat beroperasi atau tidak dalam mendukung implementasi rencana tata ruang.
Huruf d
Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam merupakan tingkat optimal pemanfaatan sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan namun tetap dapat menjaga kelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya yang dapat diukur dari kesesuaian antara tingkat pemanfaatan dan pencadangan potensi dan kebutuhan sumber daya alam.
Huruf e
Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat dari integrasi kapasitas adaptif dengan risiko bencana iklim. Selain itu, perlu
dilihat juga kebijakan nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota yang berlaku di wilayah perencanaan terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sedangkan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, mengurangi kerusakan, dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Huruf f
Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati dapat menjadi landasan untuk mengembangkan program koordinasi pengelolaan dampak lintas sektor maupun lintas wilayah untuk memperhitungkan berbagai dampak (baik positif maupun negatif) pada keanekaragaman hayati.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup Jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
i
LAMPI RAN PERATURAN MENTERI AGRARI A DAN TATA RUANG/
KEPALA BADAN PERTANAHAN NASI ONAL
NOMOR
:
TANGGAL
:
PEDOMAN PELAKSANAAN
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR TABEL ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Maksud dan Tujuan ... 1
1.3 Ruang Lingkup ... 1
1.4 Istilah dan Definisi ... 2
1.5 Acuan Normatif ... 2
1.6 Kedudukan Pedoman ... 3
1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman ... 3
1.8 Pengguna Pedoman ... 4
BAB II KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR ... 5
2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5
2.2. Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR……… 6
BAB III PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME PELAKSANAAN KLHS ... 8
3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS ……….. 8
3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS ... 9
3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS ... 9
3.3.1 Tahap Persiapan ... 9
3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan ... 10
3.3.3 Tahap Pelingkupan ... 16
3.3.4 Tahap Kajian Pengaruh ... 28
3.3.5 Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi ... 29
BAB IV INTEGRASI KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR... 37
BAB V DOKUMENTASI KLHS ... 39
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait
Lainnya ... 3
Gambar 2.1. Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR ... 5
Gambar 3.1. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Topografi dan
Ketinggian KSN Sorowako)... 12
Gambar 3.2. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan
Ekologi Kritis KSN Sorowako)... 13
Gambar 3.3. Pemetaan Informasi Dasar/Eksisiting (Peta Kawasan
Konservasi KSN Sorowako)... 14
Gambar 3.4. Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis... 17
Gambar 3.5. Overlay Area Pertambangan Eksisting dengan
Rencana Pola Ruang KSN Sorowako... 18
Gambar 3.6. Overlay Reseptor Fisika-Kimia Eksisting dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 19
Gambar 3.7. Overlay Kawasan Ekologi Kritis Eksisting dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 20
Gambar 3.8. Overlay Reseptor Sosial-Ekonomi dan Budaya dengan
Fitur-Fitur RTR KSN Sorowako... 21
Gambar 3.9. Peta Isu-isu Strategis untuk Analisis Lebih Lanjut KSN Sorowako... 23
Gambar 4.1. Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR secara Satu-Kesatuan
(Embedded)………... 37
iii
DAFTAR TABEL
Tabel III.1. Informasi Dasar KLHS ... ... 10
Tabel III.2. Contoh Isu-Isu Lingkungan Hidup Awal... 15
Tabel III.3. Contoh Matriks Pelingkupan Isu... 24
Tabel III.4. Contoh Format Identifikasi Pemangku Kepentingan... 27
Tabel III.5. Contoh Perancangan Pelibatan Masyarakat dan Pemangku Kepentingan
Lainnya... 27
Tabel III.6. Contoh Hasil Pelingkupan Isu Strategis Lingkungan Hidup untuk Dianalisis
Lebih Lanjut... ... 29
Tabel III.7. Alternatif Penyempurnaan RTR... 30
Tabel III.8. Rekomendasi Perbaikan RTR... 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tujuan dari penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Untuk memastikan bahwa pertimbangan lingkungan dan prinsip berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam perencanaan tata ruang wilayah, maka Pemerintah dan pemerintah daerah sebagai penanggungjawab penyusunan rencana tata ruang (RTR) perlu melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini dimaksudkan agar produk RTR yang dikeluarkan telah memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, perlu adanya pedoman pelaksanaan KLHS dalam perencanaan tata ruang, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang. Pedoman tersebut diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan KLHS di dalam penyusunan RTR.
1.2 Maksud dan Tujuan
a. Maksud
Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.
b. Tujuan
Pedoman ini bertujuan mewujudkan RTR yang sudah mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.3 Ruang Lingkup
Pedoman ini memuat kedudukan dan muatan KLHS dalam penyusunan RTR; prinsip dasar, persyaratan, dan mekanisme pelaksanaan KLHS; integrasi KLHS dalam penyusunan RTR; dan dokumentasi KLHS dalam penyusunan RTR, baik rencana umum tata ruang maupun rencana rinci tata ruang.
2 1.4 Istilah dan Definisi
Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan:
a. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah hasil perencanaan tata ruang.
b. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. c. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
d. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
e. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
f. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
g. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
h. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
i. Sumber Daya Alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. j. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan tiga pilar yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, serta mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. k. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia, serta makhluk hidup lain.
l. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
m. Mitigasi dan Adaptasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko dan/atau dampak negatif atas pelaksanaan program pembangunan.
n. Pemangku Kepentingan adalah Pemerintah; pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan/atau kota; akademisi; asosiasi; lembaga swadaya; dan masyarakat.
1.5 Acuan Normatif
Pedoman ini disusun dengan memperhatikan antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan
3 1.6 Kedudukan Pedoman
Pedoman ini berkaitan dengan pedoman lainnya yaitu pedoman umum pelaksanaan KLHS dan pedoman penyusunan RTR baik RTRW nasional/provinsi/kabupaten/kota maupun rencana rinci tata ruang yang telah ditetapkan. Secara diagramatis, keterkaitan pedoman ini dengan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang ditunjukkan pada Gambar 1.1 sebagai berikut:
Gambar 1.1
Kedudukan Pedoman terhadap Peraturan Perundang-undangan Terkait Lainnya
UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang; • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian
Lingkungan Hidup Strategis
PEDOMAN PELAKSANAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG
1.7 Fungsi dan Manfaat Pedoman
a. Fungsi
Fungsi pedoman ini yaitu sebagai:
1) acuan dalam memberikan pengertian dan wawasan dalam melaksanakan KLHS dalam penyusunan RTR; dan
4 b. Manfaat
Manfaat pedoman ini yaitu untuk dapat melaksanakan KLHS demi mewujudkan RTR yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1.8 Pengguna Pedoman
5
BAB II
KEDUDUKAN DAN MUATAN KLHS DALAM PENYUSUNAN RTR
2.1 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
Sesuai dengan tujuan pelaksanaan KLHS untuk mencapai kinerja pembangunan berkelanjutan, maka kedudukan pelaksanaan KLHS adalah:
a. bagian dari tahapan pengolahan dan analisis dalam penyusunan RTR; b. masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan
c. pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program setelah kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana jaringan infrastruktur dan arahan pola ruang dirumuskan.
Kedudukan KLHS dalam penyusunan RTR ditunjukkan pada Gambar 2.1. sebagai berikut:
Gambar 2.1.
6 2.2 Muatan KLHS dalam Penyusunan RTR
Isu lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang memiliki ruang lingkup yang luas. Pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTR harus dimulai dengan menetapkan sasaran keberlanjutan lingkungan yang akan mengarahkan keseluruhan proses dan muatannya. Untuk efektivitas dan efisiensi KLHS terhadap proses perencanaan tata ruang, perlu memfokuskan pada isu-isu keberlanjutan aktual yang terkait langsung terhadap RTR yang dikaji.
Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, KLHS memuat kajian antara lain:
a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan
Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Daya dukung lingkungan hidup dikaji untuk mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia sebagai pengguna ruang.
Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
b. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup
Perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup yang perlu dikaji dapat berupa dampak dan risiko lingkungan hidup yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Dampak dan risiko lingkungan bersifat kuantitaif adalah dampak dan risiko terkait dengan pengaruh fisik atau kimiawi seperti tingkat pencemaran udara, tingkat pencemaran air, dan sebagainya. Sementara itu, dampak dan risiko lingkungan bersifat kualitatif adalah dampak yang berkaitan dengan aspek sosial budaya, seperti respon masyarakat, dampak pembangunan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya. Melalui perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup ini dapat diketahui apakah implementasi rencana tata ruang menimbulkan dampak positif atau negatif terhadap ekosistem pada suatu wilayah atau kawasan.
Sedangkan dalam skala yang lebih rinci, di dalam penyelenggaraan suatu usaha maupun kegiatan harus selalu mempertimbangkan dampak dan resiko yang ditimbulkan. Hal ini perlu dikaji lebih mendalam khususnya bagi RTR yang berskala detail sehingga KLHS dapat menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.
c. Kinerja layanan/jasa ekosistem
Ekosistem mampu menyediakan manfaat baik secara fisik yang dapat langsung dirasakan oleh manusia, seperti bahan pangan, air, dan sebagainya, maupun tidak langsung misalnya untuk mengatur iklim global. Penyusunan kebijakan dan program pembangunan seharusnya tidak mengganggu lingkungan yang mengakibatkan jasa ekosistem berkurang.
Tingginya permintaan terhadap layanan/jasa ekosistem akan berlangsung sejalan dengan peningkatan degradasi lingkungan dan munculnya pertukaran antarjasa lingkungan. Untuk itu, dalam menelaah kinerja layanan/jasa ekosistem perlu memperhatikan perkiraan permintaan dan konsumsi sumber daya alam, jumlah populasi manusia yang menggunakan ekosistem, dan dampak pemanfaatan suatu ekosistem terhadap ekosistem lainnya.
d. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
Sumber daya alam sebagai salah satu modal dasar pembangunan harus dimanfaatkan sepenuhnya dengan cara yang tidak merusak. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara efisien. Apalagi di negara berkembang, terdapat cukup banyak hambatan dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tersebut.
7
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, dapat diperkirakan pula apakah implementasi suatu rencana tata ruang dapat memanfaatkan sumber daya alam secara efisien atau tidak.
e. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim
Kerentanan dampak perubahan iklim dapat dilihat melalui pemetaan kerentanan yang dilihat dari kondisi geografis wilayah atau kawasan, kondisi topografi, interaksi lautan-atmosfer-daratan, analisis iklim historis, dan analisis pola atau tren curah hujan. Kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim ini dapat dilihat dari daya dukung lingkungan, ketersediaan relugasi, adanya kelembagaan yang kuat, dan ketersediaan sumber daya manusia.
Dalam perencanaan tata ruang, kajian resiko sebagai salah satu masukan dalam proses perencanaan adaptasi perubahan iklim seharusnya sudah dilaksanakan. KLHS dapat menjadi pelengkap kajian tersebut dengan melaksanakan kajian mendalam yang mengarusutamakan perubahan iklim untuk diintegrasikan dalam proses perumusan kebijakan, rencana, maupun program-program dalam RTR.
f. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
Pembangunan ekonomi daerah dan infrastruktur memerlukan perencanaan yang matang sebab bukan tidak mungkin akan mengakibatkan dampak buruk bagi kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati pada jangka panjang. Terlebih untuk kawasan yang dilindungi, sejumlah ketentuan khusus harus ditetapkan dan ketentuan tersebut muncul dari hasil kajian terhadap perkiraan dampak dari pembangunan di sekitar kawasan tersebut.
8
BAB III
PRINSIP DASAR, PERSYARATAN, DAN MEKANISME
PELAKSANAAN KLHS
3.1 Prinsip Dasar Pelaksanaan KLHS
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR perlu merujuk pada prinsip dasar berikut:
a. KLHS dilakukan untuk 1 (satu) dokumen RTR;
b. pelaksanaan KLHS dilakukan setelah delineasinya ditetapkan dan setidaknya telah memiliki arahan kebijakan penataan ruang yang akan dituangkan ke dalam RTR atau setidaknya telah memiliki tema penataan BWP khusus bagi RDTR;
c. lingkup wilayah yang menjadi objek KLHS paling sedikit sama dengan lingkup perencanaan;
d. pelaksanaan KLHS memenuhi kriteria kinerja sebagai berikut:
1) terintegrasi;
2) berkelanjutan;
3) terfokus; dan
4) iteratif ;
sesuai dengan tahapan dan kedalaman penyusunan RTR;
e. pelaku pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR diutamakan yaitu penyusun RTR dengan ahli lingkungan sebagai tim penyusun KLHS;
f. analisis yang dilakukan dalam KLHS memiliki masa perkiraan kajian yang sama dengan analisis dalam RTR yaitu 20 (dua puluh) tahun;
g. kedetilan KLHS disesuaikan dengan kedetilan RTR;
h. analisis KLHS lebih difokuskan pada isu-isu strategis lingkungan hidup dan fokus pada agenda keberlanjutan yang bergerak dari sumber persoalan dampak lingkungan;
i. analisis KLHS yang dilaksanakan mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai dampak RTR terhadap kondisi fisik lingkungan hidup dan implikasi sosial;
j. data, rumusan isu strategis, analisis, serta rumusan alternatif rekomendasi harus konsisten;
k. pelaksanaan KLHS untuk revisi RTR, dimana telah terdapat dokumen KLHS sebelumnya, dilakukan dengan memperhatikan dokumen KLHS sebelumnya;
l. pelaksanaan KLHS bersifat partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam penentuan isu strategis dan dalam pengambilan keputusan rekomendasi;
m. pelaksana KLHS dapat menggunakan pedoman penjaminan kualitas KLHS yang disusun oleh kementerian/lembaga yang membidangi lingkungan hidup sebagai pengontrol kualitas proses dan substansi; dan
9 3.2 Persyaratan Pelaksanaan KLHS
Persyaratan dalam penerapan pedoman pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR adalah sebagai berikut:
a. pelaksana KLHS adalah Pemerintah dan pemerintah daerah yang dapat dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tim ahli yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang Perencanaan Wilayah dan Kota serta Ilmu Lingkungan;
b. pemangku kepentingan dalam pelaksanaan KLHS adalah Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;
c. pelaksanaan KLHS perlu melibatkan pemangku kepentingan secara aktif;
d. dokumen RTR yang dilaksanakan KLHS adalah dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap; dan
e. menggunakan peta kerja untuk melakukan kajian yang berbasis pada peta rencana struktur ruang dan pola ruang dengan skala sesuai RTR yang sedang disusun.
3.3 Mekanisme Pelaksanaan KLHS
Pelaksanaan KLHS dalam penyusunan RTR dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi:
a. Tahap Persiapan;
b. Tahap Pra-Pelingkupan;
c. Tahap Pelingkupan;
d. Tahap Kajian Pengaruh; dan
e. Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi.
3.3.1 Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi:
a. pengumpulan dokumen RTR yang sedang dalam proses penyusunan dan telah memiliki deliniasi wilayah yang tetap atau dokumen RTR yang akan direvisi;
b. penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan, berupa daftar informasi dasar;
c. penyiapan peta dasar guna lahan dengan skala sesuai dengan RTR; dan
d. penyusunan jadwal pelaksanaan KLHS.
10 TABEL III.1.
INFORMASI DASAR KLHS
Aspek Jenis Data Bentuk Data Keterangan
Fisika-Kimia
Geologi Peta
Iklim Deskripsi
Topografi Peta
Hidrologi Peta
Kualitas Air Tabel/Grafik Parameter
Kualitas udara Tabel/Grafik Parameter
Daerah rawan bencana Peta
…dst
Ekologi Fitur ekologi kritis/penting Deskripsi
Habitat penting Deskripsi
Spesies penting Deskripsi IUCN
Kawasan konservasi Peta, Deskripsi
…dst
Sosial-ekonomi
Penggunaan lahan Peta, Deskripsi Eksisting
Demografi Tabel, Deskripsi
Budaya dan tradisi Deskripsi
Ekonomi Deskripsi Time Series
Kegiatan ekonomi utama/khusus (pertambangan/perkebunan/pariwisata)
Peta, Deskripsi Time Series
Sarana dan prasarana Peta, Deskripsi Eksisting
…dst
3.3.2 Tahap Pra-Pelingkupan
Pra pelingkupan adalah rangkaian persiapan sebelum dilakukan proses pelingkupan, antara lain dilakukan dengan mempersiapkan daftar isu strategis lingkungan, isu sosial budaya, dan isu ekonomi.
Tahap pra-pelingkupan (pre-scoping) bertujuan untuk menyusun informasi dasar (baseline), melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis lingkungan hidup awal.
Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. deliniasi wilayah kajian sudah ditentukan; b. konsep pengembangan sudah ditentukan; dan
c. informasi dasar lingkungan yang meliputi aspek fisik lingkungan, keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi sudah tersusun.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan adalah:
a. Kegiatan Penyusunan dan Penyajian Informasi Dasar
Pemahaman kondisi lingkungan serta kecenderungannya dibutuhkan baik bagi perencanaan tata ruang dan pelaksanaan KLHS. Pada umumnya KLHS bergantung pada ketersediaan data sekunder, namun dapat dilakukan pengumpulan data primer untuk isu yang sensitif dan/atau informasi yang jumlahnya sedikit.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap penyusunan informasi dasar meliputi:
11 disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masing-masing wilayah.
a) informasi fisik lingkungan pada wilayah yang terpengaruh perencanaan tata ruang, antara lain:
iklim; topografi; geologi;
kualitas udara; dan kualitas air.
b) informasi ekologis, antara lain:
permasalahan kualitas lingkungan;
kawasan alami ataupun buatan yang berisiko dari pencemaran kegiatan industri eksisting, bencana alam antara lain tsunami, gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, dan/atau angin topan;
habitat darat atau laut sensitif seperti mangrove, koral, rawa, sungai, danau, hutan lindung; dan
kawasan konservasi atau perlindungan.
c) informasi sosial ekonomi, antara lain:
kegiatan ekonomi utama (industri/pertanian/pariwisata/dll); budaya;
permasalahan sosial-ekonomi eksisting; dan infrastruktur dan guna lahan eksisting.
2) memetakan kelompok informasi tersebut menggunakan pemetaan sistem informasi geografis (peta SIG). Data yang dibutuhkan antara lain:
a) informasi spasial dari lembaga pemerintah terkait (misal: pemerintah provinsi/kabupaten/kota, kementerian/lembaga, dan lainnya);
b) database spasial dari LSM, perguruan tinggi, atau asosiasi lokal;
c) informasi sekunder yang diterjemahkan kepada peta; dan d) peta hasil survey lokasi.
Peta SIG harus cukup jelas, sederhana, dan fokus untuk memastikan bahwa data yang relevan tersajikan dengan baik. Sebagai contoh, simbol yang menunjukkan lokasi dari spesies atau habitat sensitif, kawasan konflik guna lahan, atau melingkari kawasan terjadinya penurunan kualitas udara.
12 GAMBAR 3.1.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING
13 GAMBAR 3.2.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING
14 GAMBAR 3.3.
PEMETAAN INFORMASI DASAR/EKSISTING
(PETA KAWASAN KONSERVASI KSN SOROWAKO)
15 b. Kajian konsep pengembangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap kajian konsep pengembangan meliputi:
1) mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari RTR yang disusun; dan 2) mengidentifikasi arahan rencana struktur ruang dan rencana pola
ruang.
c. Perumusan Isu Lingkungan Hidup Awal
Keluaran dari kegiatan ini adalah data dan informasi dasar pada wilayah yang direncanakan serta daftar panjang potensi konflik dan masalah yang akan menjadi kendala terkait dengan RTR kawasan tersebut.
Contoh isu-isu lingkungan hidup awal dapat dilihat pada Tabel III.2. sebagai berikut:
TABEL III.2.
CONTOH ISU-ISU LINGKUNGAN HIDUP AWAL
Isu Deskripsi
Contoh KSN berbasis Pendayagunaan Sumber Daya Alam
Kualitas dan Sumber Air Di sepanjang lembah Danau Towuti, yang meliputi Danau Motano, populasi penduduk berkembang dengan cepat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenkins dkk, 2009, dibuktikan bahwa klasifikasi terancam punah dari Ikan Moncong Hitam (Nomorhamphus towoetii), danau ini tercemar oleh tambang nikel di dekatnya dan stasiun pembangkit listrik tenaga air.
Penggunaan Lahan - Konflik penggunaan lahan, misalnya untuk kehutanan dengan pertambangan, dan perkebunan dengan pertambangan serta kehutanan dan perkebunan.
- Masih banyak sengketa kepemilikan lahan dan izin penggunaan lahan. Di Kabupaten Morowali dan Konawe, terdapat perselisihan kepemilikan hak pertambangan antara beberapa KK dari perusahaan pertambangan dari pemerintah pusat, dan otoritas pertambangan dari pemerintah daerah, baik untuk eksplorasi maupun eksploitasi.
- Di daerah pegunungan, hutan mulai diekspos dan memburuk.
- Pergeseran fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan / ladang akan berpotensi menciptakan perubahan fungsi dalam cagar alam.
- Potensi lahan untuk perkebunan tidak digunakan secara optimal.
- Pola permukiman masih terkonsentrasi di kompleks perkebunan kota, pertambangan, dan area transmigrasi.
- Banyak konsesi pertambangan yang terletak di kawasan hutan produksi, beberapa bahkan berada dalam hutan lindung.
16 3.3.3 Tahap Pelingkupan
Pelingkupan adalah rangkaian langkah untuk menetapkan nilai penting KLHS, tujuan KLHS, isu pokok, ruang lingkup KLHS, kedalaman kajian dan kerincian penulisan dokumen, pengenalan kondisi awal, dan telaah awal kapasitas kelembagaan. Kegiatan ini dilakukan melalui pendekatan sistematis dan metodologis yang memenuhi kaidah ilmiah dan disertai konsultasi publik.
Tahap pelingkupan (scoping) bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
Persyaratan untuk melakukan tahap ini adalah: a. tahap pra-pelingkupan telah selesai dilakukan; b. isu lingkungan hidup awal telah dirumuskan; dan c. melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders).
Persiapan untuk melakukan pelingkupan meliputi:
a. persiapan peta-peta overlay antara peta rencana dengan kondisi eksisting; b. pengkajian hasil pra-pelingkupan dan peta-peta overlay oleh tim KLHS; dan c. persiapan material untuk sesi pelingkupan oleh kelompok keahlian (misal:
matriks pelingkupan).
Pada tahap perumusan isu strategis ini kegiatan yang dilakukan adalah menetapkan isu-isu strategis yang potensial sebagai akibat dari dampak perencanaan tata ruang yang disusun serta konflik lingkungan yang diperkirakan muncul.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah:
a. Penilaian dan Penetapan Isu Strategis
1) Penilaian isu strategis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a) penilaian dengan merujuk pada pandangan para pakar sesuai dengan bidang keahlian yang difokuskan pada kajian isu strategis lingkungan pada kawasan yang direncanakan; dan
b) konsultasi publik yang dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan dalam menetapkan isu-isu strategis.
2) Penetapan isu strategis didasarkan pada kriteria:
a) menjadi fokus perhatian utama di wilayah perencanaan dan memiliki relevansi tinggi terhadap kepentingan wilayah perencanaan.
b) skala dampak dari rencana tata ruang, yaitu dampak yang berpotensi berskala regional, nasional, atau bahkan internasional;
c) interaksi antar dampak, yaitu ketika terjadi konflik antar unsur-unsur RTR;
d) dampak yang dapat ditimbulkan akibat gabungan beberapa aspek dari RTR jika tidak ditangani; dan
17 Definisi isu strategis dapat dilihat pada Gambar 3.4. sebagai berikut:
Gambar 3.4.
Ilustrasi Definisi Isu Lingkungan Strategis
Berdasarkan gambar ilustrasi di atas, terlihat bahwa suatu isu lingkungan dikatakan sebagai isu strategis apabila suatu kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap aspek-aspek fisik lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, dan sosial-ekonomi. Masing-masing dampak tersebut saling terkait sehingga menghasilkan akumulasi dampak yang besar.
Untuk melakukan pelingkupan ini dapat digunakan berbagai metode seperti: matriks, pohon analisis, pemodelan dan simulasi, analisis multi-kriteria, analisis skenario dan kecenderungan, analisis hirarki (analytical
hierarchy process), analisis hubungan (kausalitas atau keterkaitan), model
analisis Delphi, atau model analisis lainnya. Selain itu hasil pelingkupan isu-isu strategis perlu dipresentasikan dalam bentuk peta isu-isu strategis.
Contoh overlay peta untuk mengidentifikasi isu strategis lingkungan hidup ditunjukkan dalam Gambar 3.5., Gambar 3.6., Gambar 3.7., Gambar 3.8., dan Gambar 3.9. sebagai berikut:
18 GAMBAR 3.5.
19 GAMBAR 3.6.
20 GAMBAR 3.7.
21 GAMBAR 3.8.
22 b. Konsultasi Publik (Pelibatan Pemangku Kepentingan)
Tujuan dari pelaksanaan konsultasi publik adalah:
1) untuk menyampaikan temuan isu-isu strategis lingkungan terkait kawasan yang direncanakan;
2) untuk memperoleh informasi tambahan yang dapat mendukung tahapan analisis KLHS lebih lanjut;
3) untuk menanggapi masukan dan tanggapan serta menyepakati isu strategis lingkungan hidup yang akan dikaji lebih lanjut; dan
4) untuk mendokumentasikan hasil diskusi dan kesepakatan pada forum FGD tahap pelingkupan sebagai bahan pertimbangan pada tahap analisis.
Pelibatan pemangku kepentingan dalam tahap pelingkupan ini diawali dengan pemetaan pemangku kepentingan. Pemetaan ini berguna untuk memilih pemangku kepentingan yang berpengaruh dan memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap rencana tata ruang yang akan disusun. Secara umum pemangku kepentingan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) penyusun rencana tata ruang, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah;
2) instansi lain terkait yang membidangi lingkungan hidup serta instansi sektor lain seperti: kehutanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, dan sektor lain sesuai dengan kekhususan rencana tata ruang yang disusun;
3) masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian, baik berasal dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur pemerhati lingkungan hidup;
4) masyarakat yang terkena dampak, meliputi: lembaga adat, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan unsur masyarakat lainnya.
23 GAMBAR 3.9.
24 Untuk mempermudah proses pelingkupan isu strategis dapat melihat Tabel III.3. sebagai berikut:
TABEL III.3.
CONTOH MATRIKS PELINGKUPAN ISU
Lingkungan yang
terpengaruh Isu Potensial
Penilaian KLHS sesuai dengan Pasal 16 UU No.32 tahun 2009
Dampak penambangan dapat menghasilkan perubahan pada pola aliran air. Hal ini akan memperparah
Isu sedimentasi terkait dengan aktivitas penambangan akan menyebabkan erosi dan tingginya endapan yang tertahan dalam aliran air. Sedimen ini dapat mengakibatkan perubahan hidrologis dan peningkatan volume banjir. Hal ini merupakan isu yang berskala besar dan
Perubahan karakter bentang alam akibat dari daerah penambangan yang mengubah bentuk geologis dan drainase kawasan
Berlaku kegiatan penambangan berakhir. Area rusak atau wasteland terbentuk sebagai akibat dari beberapa isu, termasuk penyingkiran tanah permukaan, erosi lahan, dan pembentukan tanah asam sebagai hasil dari mineral sulfat dari proses pembuangan limbah tambang dan tingginya tingkat logam berat yang terdapat di lokasi yang terkontaminasi. Ini merupakan isu yang berskala besar dan kumulatif.
Berlaku lokasi penambangan terbuka atau kolam air limbah dapat menghasilkan kualitas air yang
Berlaku
25
Lingkungan yang
terpengaruh Isu Potensial
Penilaian KLHS sesuai dengan Pasal 16 UU No.32 tahun 2009
Dampak Lokasi air penampungan limbah juga penting terhadap aspek ini, jika lokasinya terlalu dekat maka dikhawatirkan akan adanya resiko kumulatif meskipun pengoperasiannya sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Kualitas Udara
Proses pengolahan Nikel dalam industri
menghasilkan tingkat emisi yang tinggi, khususnya SO2. – area yang diusulkan untuk aktivitas ini
tersebar secara geografis dan memiliki kemungkinan yang kecil untuk berinteraksi satu sama lain. Namun, area yang direncanakan di Bahodopi telah sesuai dengan industri dan daerah pemukinan yang ada, termasuk ekspansi pelabuhannya. Dalam kasus ini, emisi seharusnya dipertimbangkan dalam dampak kumulatif dan interaktif
Aktivitas penambangan dilakukan di kawasan hutan lindung. Namun aktivitas ini telah memperoleh izin dan telah mendirikan area konsesi sehingga pertimbangan selanjutnya tidak akan dimasukan kedalam lingkup KLHS ini
Tidak
Diterapkan Tidak
Spesies Kunci
Area ini sangat penting khususnya bagi spesies endemik dan masyarakat, terutama yang terfokus kepada sistem danau. Meningkatnya produksi nikel secara potensial membawa gangguan bagi spesies-spesies ini. Dampak yang dihasilkan bersifat interaktif dan kumulatif dan dalam skala yang cukup besar sehingga dapat mengancam populasi spesies yang ada.
Berlaku
Produksi pertambangan nikel yang meningkat akan membawa pada meningkatnya penyingkiran tanaman vegetasi dan pembersihan lahan untuk menghasilkan lokasi penambangan terbuka baru.
26
Lingkungan yang
terpengaruh Isu Potensial
Penilaian KLHS sesuai dengan Pasal 16 UU No.32 tahun 2009
Dampak
Pembersihan vegetasi ini dapat menghasilkan deforestasi. Membangun kembali wilayah ini setelah berakhirnya kegiatan penambangan perlu dilakukan dengan cara yang berkelanjutan untuk memastikan bahwa wilayah ini sesuai untuk habitat dari komunitas penghuni yang asli , dan tidak diubah menjadi tempat kolonisasi spesies yang bukan merupakan hewan asli di habitat
Sosial - Ekonomi
Demografi
Peningkatan produksi tambang akan mengarah kepada peningkatan populasi pekerja secara besar-besaran yang menghasilkan jumlah populasi lokal yang tidak diinginkan.
Tidak
Diterapkan Tidak
Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
27 Sedangkan untuk membantu mengidentifikasi stakeholder dapat melihat contoh format yang termuat dalam Tabel III.4. dan Tabel III.5. sebagai berikut:
TABEL III.4.
CONTOH FORMAT IDENTIFIKASI PEMANGKU KEPENTINGAN
Pemangku Kepentingan
Yang mempengaruhi
RTR*
Yang Dipengaruhi RTR**
Pemerintah
1. Kemen PU, 2. Bappeda Provinsi, 3..., dst
1. Bappeda Provinsi,
2. Dinas Tata Ruang Kabupaten, 3..., dst
Organisasi Non Pemerintah 1..., 2..., 3..., dst
1..., 2..., 3..., dst
Perguruan Tinggi/Akademia 1..., 2...,
Institusi/Asoiasi/Organisasi 1..., 2..., 3..., dst
1..., 2..., 3..., dst
Tomas (Tokoh Masyarakat) Togag (Tokoh Agama)
1...,
* Pemangku kepentingan yang memiliki pengaruh di dalam penyusunan Rencana Tata Ruang ** Pemangku kepentingan yang akan terpengaruh oleh pelaksanaan Rencana Tata Ruang Catatan :
- Konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan dapat dilaksanakan bersamaan dengan konsultasi publik dalam penyusunan RTR.
TABEL III.5.
CONTOH PERANCANGAN PELIBATAN MASYARAKAT
DAN PEMANGKU KEPENTINGAN LAINNYA
Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
28 3.3.4 Tahap Kajian Pengaruh
Tahap kajian pengaruh merupakan tahap analisis lanjutan setelah isu-isu strategis disepakati. Hal ini bertujuan untuk memperkirakan dan menghitung besaran dampak dari isu strategis. Pada tahap ini dapat menggunakan beragam metode yang digunakan untuk analisis dan prediksi konsekuensi lingkungan, baik berupa:
a. Model Deskriptif, yaitu model yang menerangkan bagaimana kelompok mengambil keputusan tertentu dengan ciri:
1) bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek dan subjek yang diteliti secara tepat;
2) berdasar pada realitas observasi dan berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya;
3) tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian (non eksperimen);
4) penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal; dan
5) pengumpulan data dilakukan untuk menguji pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadan dan kejadian sekarang.
b. Model Black-Box Empiris Statistik, yaitu model yang menggunakan prosedur yang berbasis teori-teori dengan memanfaatkan parameter yang paling signifikan dan hanya memperhatikan input utama dan output dalam anailisis suatu sistem dengan ciri:
1) tidak bergantung pada pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar dan mekanisme yang ada dalam sistem yang dipelajari;
2) mencerminkan fakta bahwa hanya sedikit bagian dari mekanisme proses sebenarnya yang diketahui; dan
3) fenomena yang mendasari penelitian tidak diketahui atau dipahami dengan baik.
c. Model Skenario Kebijakan dan Analisis Kualitatif, yaitu model yang menggunakan teknik analisis mendalam yang mengkaji masalah kebijakan secara kasus per kasus untuk dapat melahirkan gagasan atau pemikiran mengenai cara-cara pemecahannya. Oleh karena sifat masalah yang berbeda satu sama lain, maka cara pemecahannya pun akan berbeda antara satu masalah dengan masalah yang lain.
Tahap ini pada akhirnya akan menghasilkan masukan alternatif perbaikan muatan rencana tata ruang, termasuk mencegah atau mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Telaah pengaruh sudah dapat dilakukan sejak dibuat:
a. rancangan/konsep kebijakan (dan strategi);
b. rancangan/konsep rencana struktur dan pola ruang; dan/atau
c. rancangan/konsep indikasi program.
Metode untuk kajian pengaruh ini disesuaikan dengan aspek kajian. Alat analisis yang dapat digunakan untuk pengkajian pengaruh antara lain:
Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
29 b. penggunaan standar dan kriteria (seperti: baku mutu pencemaran);
c. analisis sistem informasi geografis (SIG);
d. threshold analysis dan footprint analysis; atau
e. metode lainnya.
Kajian pengaruh dilakukan sesuai hasil pelingkupan isu strategis seperti yang dapat dilihat pada Tabel III.6. sebagai berikut:
TABEL III.6.
CONTOH HASIL PELINGKUPAN ISU STRATEGIS LINGKUNGAN HIDUP
UNTUK DIANALISIS LEBIH LANJUT
Tipe Konflik Kawasan yang
Terpengaruh/Terdampak
Fisik- kim a Masalah hidrologis KSN Sorowako secara m enyeluruh Menurunnya kualit as udara Sorowako, Bahodopi, Routa Menurunnya kualit as air Danau Mat ano, Mahalona dan
Tow ut i, dan kaw asan sekitarnya, t erm asuk perairan pant ai
Menurunnya kualit as t anah Kaw asan konsesi pertam bangan Ekologis Fragm entasi habitat KSN Sorow ko secara m enyeluruh
Potensi berpengaruhnya pada spesies int i dan spesies yang terancam punah
Lakes Matano, Mahalona dan Tow ut i, dan daerah sekit ar Sosial-ekonom i Ancam an- ancam an terhadap kehidupan
m asyarakat dan budaya local
Lem bo, Bungku Barat, Wasuponda, dll *sumber: KLHS KSN Soroako dan sekitarnya
Keluaran kegiatan ini adalah hasil penilaian yang bersifat komprehensif terhadap kajian perkiraan pengaruh dari (rancangan) rencana tata ruang terhadap aspek kajian sesuai dengan ketentuan muatan KLHS yang meliputi: daya dukung lingkungan, dampak lingkungan hidup, sumber daya alam, keanekaragaman hayati, jasa lingkungan dan perubahan iklim. Kajian pengaruh ini meliputi skala, periode dan/atau lokasi implementasi rencana yang akan berpengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup.
3.3.5 Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi
Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
30 a. alternatif skenario perencanaan guna lahan dan infrastruktur; atau
b. mitigasi terhadap dampak lingkungan yang potensial ditimbulkan dari suatu rencana yang ditetapkan.
Untuk menunjukkan konsistensi tiap pelaksanaan KLHS dan memperlihatkan hasil integrasi KLHS ke dalam RTR, dapat dibuat sebuah tabel sebagaimana contoh yang termuat dalam Tabel III.7. sebagai berikut:
TABEL III.7.
ALTERNATIF PENYEMPURNAAN RTR
Isu Muatan/
Selain itu, perlu adanya penjelasan tentang pihak-pihak terkait yang perlu menindaklanjuti rekomendasi yang dihasilkan, baik yang spasial maupun non-spasial, seperti dapat dilihat pada Tabel III.8. sebagai berikut:
TABEL III.8.
REKOMENDASI PERBAIKAN RTR
No Muatan RTR yang Akan Disempurnakan
Rekomendasi yang Dipilih atau Dirumuskan untuk Penyempurnaan RTR
Pihak yang Menindaklanjuti
1 Area pert anian I j in at as perkem bangan perkebunan dan pert anian diberikan di area- area yang at au yang lebih t inggi
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Kabupaten
Penyediaan dan perawatan koridor sat wa liar hut an (prim er at au sekunder), yang berkaitan dengan sist em Danau Malili
3 I nfrast rukt ur Jalan Perencanaan j alan yang j auh dari area danau
Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/ BPN,
Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
31 Secara umum tahap-tahap pelaksanaan KLHS untuk penyusunan semua jenis rencana tata ruang sama yakni persiapan, pra-pelingkupan, pelingkupan, kajian pengaruh, dan perumusan alternatif rekomendasi. Namun kedetilan informasi dasarnya dan muatan KLHS akan berbeda tergantung jenis dan skala rencana tata ruang yang akan disusun. Untuk rencana rinci, terutama RTR KSN berbasis objek dan RDTR, kedalaman informasinya akan lebih detil sehingga dalam rangka konsultasi publik sebaiknya melibatkan hingga lapisan masyarakat yang merasakan dampak pembangunan secara langsung.
Keterlibatan masyarakat melalui kegiatan konsultasi publik dalam proses KLHS juga penting dan dapat dilakukan bersamaan dengan konsultasi publik yang diselenggarakan dalam penyusunan atau revisi RTR. Forum konsultasi publik dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali, yakni: (1) menampung opini dan aspirasi masyarakat terkait kebijakan dan strategi penataan ruang serta rumusan RTR (tahap perumusan konsepsi RTR) serta untuk menyepakati isu strategis lingkungan (tahap pelingkupan KLHS); (2) menyampaikan keberatan/sanggahan masyarakat terhadap konsep RTR dan draft RTR (tahap perumusan konsepsi RTR) serta seminar akhir hasil KLHS yang telah diintegrasikan ke dalam RTR. KLHS nantinya akan memberikan masukan terhadap perumusan konsepsi RTR, baik tujuan, kebijakan, strategi, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, arahan pemanfaatan ruang wilayah, maupun pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.