• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Masa Depan Demokrasi Lokal Den

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membangun Masa Depan Demokrasi Lokal Den"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Membangun Masa Depan Demokrasi Lokal Dengan Memperkuat

Pemberantasan Korupsi

Oleh: Rimas Kautsar1

Pada tanggal 25 September 2014 Rapat Paripurna DPR memutuskan untuk mengesahkan opsi pilkada oleh DPRD, ini adalah akhir dari pertarungan politik di DPR antara koalisi pendukung pilkada oleh DPRD (yang dimotori oleh fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih) dan koalisi pendukung pilkada langsung (yang dimotori oleh FPDI-P dan FPKB), sedangkan fraksi terbesar di parlemen yaitu FPD lebih memilih walk out karena usulan “jalan tengah”nya tidak direspon positif oleh fraksi-fraksi lain di DPR. Manuver politik walk out-nya FPD inilah yang dituduh oleh FPDI-P sebagai biang kekalahan voting opsi pilkada langsung.

Tulisan ini tidak untuk mempersoalkan kembali perdebatan antara pilkada langsung vs. pilkada oleh DPRD, namun lebih untuk memberi perenungan kembali politik hukum pasca disahkannya RUU Pilkada dan RUU Pemda. Parlemen ternyata lebih memilih untuk menerapkan opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD baik di tingkat Kota/Kabupaten dan Provinsi.Beberapa pihak menyatakan ini sebagai sebuah kemunduran bagi demokrasi karena memasung hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya, dan kekuatan partai politik seperti Partai Demokrat dan PDI-Perjuangan langsung menyatakan akan mengajukan permohonan uji materi UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, hal yang sama juga akan dilakukan oleh elemen masyarakat sipil seperti Perludem. Tindakan tersebut adalah suatu hal yang positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, karena masing-masing pihak yang merasa dirugikan dengan adanya UU Pilkada dan UU Pemda menempuh jalur yang konstitusional, meskipun di sisi lain media massa masih melakukan “perang opini” dengan memberi gambaran protagonis dan antagonis pada elit-elit politik negeri ini.

Namun demikian ada yang perlu diingat adalah mengenai apa selanjutnya yang akan terjadi pasca pengesahan oleh DPR terhadap RUU Pilkada? Karena yang menarik adalah Presiden SBY terkesan enggan untuk menandatangani UU tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan pribadinya yang lebih memilih opsi pilkada langsung. Hal yang demikian adalah bentuk penolakan moral saja, karena meskipun Presiden tidak menandatangani UU Pilkada yang sudah disahkan oleh DPR tersebut maka UU Pilkada akan otomatis diundangkan dan berlaku dalam tempo 30 hari setelah UU tersebut disahkan oleh DPR (Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945 Amandemen).

Hal yang menarik selanjutnya bagaimana nasib UU Pilkada dan UU Pemda ini? Meskipun UU Pilkada dan UU Pemda diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi

1 Rimas Kautsar, S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2013

(2)

bukan berarti UU ini tidak berlaku dan inskonstitusional, karena seperti halnya asas presumpstion of innocence dalam hukum pidana, yaitu seorang tersangka atau terdakwa harus dianggap tidak “bersalah” sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka dalam hukum konstitusi suatu undang-undang harus dianggap konstitusional sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebaliknya. Jadi semua pihak tanpa ada kecualinya harus menaati UU Pilkada dan UU Pemda ini.

Memperkuat KPK

Kekhawatiran terbesar mengenai Pilkada oleh DPRD ini adalah akan maraknya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme antara calon Kepala Daerah dengan para Anggota DPRD yang akan memilihnya sebagai Kepala Daerah. Tentu hal ini sangat tidak kita inginkan, untuk itu maka diperlukan adanya mekanisme untuk membatasi ruang gerak orang untuk berbuat korupsi, yaitu dengan upaya sebagai berikut:

1. Memperkuat kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi;

2. Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset.

Kelembagaan KPK perlu diperkuat sebab kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi seperti Polri dan Kejaksaan masih lebih rendah dibandingkan kepercayaan terhadap KPK. Polri dan Kejaksaan dianggap masih kurang gesit dalam memberantas korupsi dan adanya kekhawatiran masyarakat bahwa integritas aparat Polri dan Kejaksaan masih di bawah aparat KPK karena masih ada aparat Polri dan Kejaksaan yang terindikasi terlibat korupsi atau malah mempermainkan proses penegakkan hukum di bidang korupsi, contohnya seperti kasus Jaksa Urip Tri Gunawan dan Jaksa Cirus Sinaga yang menodai isntitusi Kejaksaan serta kasus Brigjen Pol. Samuel Ismoko dan Irjen Pol. Djoko Susilo yang menodai institusi Polri. Kita sama-sama yakin saat ini pimpinan Polri dan Kejaksaan berjuang keras untuk memperbaiki dan menegakkan disiplin dari jajarannya dalam rangka pemberantasan korupsi, namun tetap efek gentar penindakan kasus korupsi di mata masyarakat masih melekat pada sosok KPK, sehingga kelembagaan KPK harus lebih diperkuat. Lalu bagaimana cara memperuat kelembagaan KPK, hal ini dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Membentuk cabang regional KPK, misalnya untuk Indonesia bagian barat, tengah dan timur;

2. Menambah jumlah penyidik KPK yang hanya berkisar 50-an orang dan jaksa KPK;

3. Menambah anggaran pendanaan KPK;

(3)

Ada kritikan mengenai pembentukan cabang regional KPK ini karena dianggap sebagai pemborosan uang negara, dalam perspektif pemberantasan korupsi saya pikir ada hal-hal yang perlu dipertimbangka dalam hal ini:

1. Adanya cabang regional KPK adalah untuk mengimbangi rentang kendali wilayah NKRI yang begitu luas dan untuk memasifkan upaya pemberantasan korupsi sampai ke daerah-daerah sebab, lembaga-lembaga lain seperti peradilan Tipikor dan Badan Pemeriksa Keuangan juga sudah memiliki cabang dan perwakilan di daerah;

2. Besarnya uang negara yang bisa diselamatkan kita asumsikan lebih besar dibandingkan dengan besarnya biaya operasional KPK di cabang regional; 3. Upaya pemberantasan korupsi tidaklah semata-semata dimotifkan pada

aspek efektivitas dan efisiensi anggaran semata tetapi juga aspek menjaga wibawa hukum di mata masyarakat.

Optimisme mengenai penguatan kelembagaan KPK ini dapat peroleh dari janji politik para Capres/Cawapres pada saat kampanye Pilpres 2014 seperti janji Jokowi-JK yang akan terus mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi dengan meningkatkan anggaran KPK menjadi 10 kali lipat dan menambah ribuan penyidik (KPK Catat Janji Prabowo dan Jokowi, Sindonews.com, 27 Juni 2014) dan janji Prabowo-Hatta untuk memperkuat KPK (Prabowo Janji Perkuat KPK, Abraham Hanya Tersenyum, Merdeka.com, 25 Juni 2014), ini artinya bahwa ide penguatan kelembagaan KPK diharapkan tidak akan menemui hambatan politik sebab baik pemenang pemilu pilpres maupun koalisi oposisi di parlemen sama-sama telah membuat janji politik untuk memperkuat KPK.

Mewujudkan UU Perampasan Aset

Dalam sistem hukum di Indonesia perampasan aset sebebanrnya sudah diatur namun dalam porsi yang sangat terbatas, yaitu dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perampasan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lain. Meskipun sudah ada Perma dimaksud, namun cakupannya masih terbatas karena sebagai alasan berikut:

1. Perma No. 1 Tahun 2013 ini merupakan pelaksanaan Pasal 67 Ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, cakupannya hanya terbatas pada aset berupa uang yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang tidak dapat “ditemukan” siapa pemilik uang tersebut;

(4)

Dengan adanya Perma No. 1 Tahun 2013 jelas masih dirasa kurang sebagai alat untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan mempersempit ruang gerak para koruptor.

Lalu bagaimana dengan nasib RUU Perampasan Aset? Kepala PPATK Muhammad Yunus sudah mengajukan konsep perampasan aset tanpa tuntutan pidana (llicit enrichment). Konsep tersebut dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang naskahnya sudah diusulkan PPATK ke Kementerian Hukum dan HAM sejak tahun 2013 (PPATK Usulkan Ada RUU Perampasan Aset Koruptor, Tempo.com, 16 April 2013). Menurut Deputi Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Mas Achmat Santosa memberikan penjelasan mengenai apa itu illicit enrichment dalam RUU Perampasan Aset sebagai berikut:

1. Prinsip yang digunakan dalam dugaan illicit enrichment adalah logika deduktif, yang diperiksa adalah asapnya bukan apinya, yaitu tindak pidana yang memungkinkan kekayaan yang tidak wajar;

2. Penerapan metode pembuktian terbalik serta standar pembuktian yang lebih rendah. Kualitas standar pembuktian perampasan aset lebih rendah dibandingkan dengan standar pembuktian pengadilan pidana, karena biasanya menggunakan standar pembuktian mirip pengadilan perdata namun menggunakan konsep pembuktian terbalik, karena perampasan aset menerapkan asas in rem bukan in personam, jadi yang dikejar adalah aset hasil tindak pidana, aset yang terkait tindak pidana, atau aset yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana bukan pelaku tindak pidananya (-catatan dari penulis-);

3. Penerapan illicit enrichment diharapkan bisa mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi, terutama yang dilakukan oleh penyelenggaranegara.

Mas Achmad Santosa juga mengkritisi draft RUU Perampasan Aset tersebut dengan menyarankan agar objek pengaturan dibatasi pada pejabat negara, karena tujuan utamanya adalah pemberantasan korupsi (PPATK Usulkan Ada RUU Perampasan Aset Koruptor, Tempo.com, 16 April 2013).

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Dana Bagi Hasil Pajak Daerah dan

Dari kedua variabel tersebut, sarana sanitasi (jamban) dengan OR=5,245 dan 95%CI:1,707-16,117 merupakan faktor risiko yang lebih dominan berhubungan dengan kejadian infeksi

Beliau juga menjelaskan bahwa ada aturan-aturan yang harus dilakukan dalam melaksanakan suatu perkawinan menurut tradisi di Desa Kutukan, yaitu dari pihak

1 (satu) bentuk lain yang diakui oleh kelompok pakar yang ditetapkan senat perguruan tinggi. Dalam hal promotor tidak sesuai bidang ilmunya maka ko-promotor harus sesuai

Pengawasan yang dimaksud disini adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas secara intern yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa fokus pada bagian judul yaitu “Yummy vanilla sugar homemade body scrub recipe”.. Maka, teks itu adalah tata cara pembuatan “scrub”

lainnya yang telah ada < 1, maka selain titik data tersebut tidak akan diterima sebagai pusat klaster yang baru, dia sudah tidak dipertimbangkan lagi untuk

Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya pekerja