Studi Potensi Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Kepulauan
Riau dalam mengantisipasi Kegiatan Penambangan Pasir Laut
Oleh:
Muhammad Fauzi1, Elberizon, Feliatra, Deni Efizon dan T.Efrizal Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau
Email: m.fauzi@lecturer.unri.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memberikan keragaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dan analisis kecenderungan dampak penambangan pasir laut serta memberikan arahan pemanfaatan dan zona preservasi di Kabupaten Kepulauan Riau. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober – Desember 2003. Metode penelitian mengunakan metode survei dan analisis interprestasi citra satelit landsat ETM7. Potensi Ekosistem Mangrove seluas 24.091,03 ha, Ekosistem padang lamun seluas 7.548,66 ha, Ekosistem Terumbu Karang seluas 15.291,42 ha. Kondisi ekosistem mangrove dari sedang hingga baik, padang lamun keadaan sedang – baik serta terumbu karang dengan kondisi rusak hingga baik. Produksi perikanan tangkap mencapai 88.864,3 ton pada tahun 2002. Hasil analisis overlay kedudukan kuasa pertambangan (KP) dengan areal penangkapan, kawasan lindung dan kawasan budidaya perikanan terdapat 18 unit KP yaitu 12 KP pada daerah penangkapan tradisional (5-10 GT; <6 mil) dan 6 KP pada kawasan Lindung.
Keywords: Pesisir, Pulau Kecil, Pasir laut, terumbu karang, mangrove
Pendahuluan
Wilayah pesisir memiliki arti strategis, karena potensi sumberdaya alam dan potensi pengembangan jasa–jasa lingkungan. Kekayaan sumber daya alam dan jasa–jasa lingkungan wilayah pesisir Indonesia tersebar di garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km, 17.508 buah pulau dan perairan laut seluas 3,1 juta km2. Di kawasan ini, dapat ditemukan ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut yang di dalamnya terkandung sumberdaya hayati, non–hayati dan plasma nutfah.
Riau adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki letak geografis strategis, karena berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Kedua negara tetangga ini merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang paling dinamis di kawasan Asia Tenggara. Secara tidak langsung, Provinsi Riau berbatasan dengan negara–negara ASEAN lainnya, serta dilintasi Selat Malaka sampai ke Laut Cina Selatan, yang merupakan jalur pelayaran internasional terpadat di dunia. Riau terletak di bahagian tengah pesisir timur Sumatera. Provinsi ini memiliki lautan seluas 235.306 km2, ZEE seluas 379.000 km2 dan garis pantai sepanjang 1.800 mil, yang disusun oleh lingkungan rawa dengan hutan bakau seluas 300.000 ha dan kawasan pasang surut seluas 3.920.000 ha. Riau adalah provinsi dengan lingkungan laut terluas di Indonesia. Provinsi ini memiliki lebih dari 3.214 buah pulau besar dan kecil dan mengandung potensi yang sangat besar dibidang pertambangan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Kekayaan akan sumberdaya alam yang didukung oleh letak strategis, menyebabkan provinsi ini juga berpotensi bagi pengembangan kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan pelabuhan dan transportasi laut serta kawasan sentra perdagangan.
Kegiatan pengembangan ekonomi di sekitar kawasan pesisir dan laut kepulauan Riau. Pembangunan infrastruktur perekonomian dan berkembangnya kegiatan ekonomi yang berbasis kepada ekstraksi sumberdaya alam di perkirakan telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut Kabupaten Kepulaun Riau
1 Makalah disampaikan pada KONAS IV PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN UMUM,
dalam bentuk kerusakan dan pencemaran. Padahal, kelestarian lingkungan sangat diperlukan dalam mendukung keberlanjutan program pembangunan. Untuk itu perlu diketahui sebaran sumberdaya pesisir dikawasan tersebut sebagai keberlanjutan program pembangunan.
Tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah memetakan potensi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil hayati, yang meliputi jenis, sebaran, kualitas dan kapasitas secara terpadu dalam format Geographycal Information System (GIS). Memetakan permasalahan dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan sebagai akibat pengembangan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau–pulau kecil, dan Memberikan arahan pemanfaatan kawasan yang harus dikonservasi/preservasi.
Metode Penelitian
Wilayah Studi
Lingkup wilayah studi meliputi wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil yang secara administratif berada di Kabupaten Kepulauan Riau sampai pada jarak 4 mil ke arah laut. Kegiatan Studi dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan melibatkan segenap komponen stakeholder di wilayah studi. Selain pendekatan partisipatif, kegiatan ini juga didasarkan atas kajian–kajian ilmiah, karena data dan informasi tentang keragaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil akan menjadi dasar bagi pengembangan kegiatan ekonomi berbasis kelautan dan perikanan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah studi.
Teknik Pemetaan (Peta Digital)
Tiga scene Citra Landsat 7 ETM+ digunakan untuk mendeteksi keberadaan sumberdaya wilayah pesisir, yaitu:
Path/Row 124/60, akuisisi tanggal 23 Mei 2000 Path/Row 125/59, akuisisi tanggal 02 April 2002 Path/Row 125/60, akuisisi tanggal 04 Maret 2003
Data diperoleh dari Biotrop Training and Information Center (BTIC) Bogor. Data pendukung berupa;
Reef Basemap Kepulauan Riau Tahun 2000 diperoleh dari Coral Reef Information and Training Center (CRITC), COREMAP – Propinsi Riau.
Peta Dishidros Skala 1 : 200.000.
Interpretasi Citra
Metode yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan ekosistem mangrove adalah visual interpetasi dengan menggunakan Citra Landsat 7 ETM+ kombinasi Band (kanal) 453 (RGB). Selanjutnya Citra Landsat yang mencakupi wilayah Kota Batam, Kabupaten Karimun dan Kabupaten Kepulauan Riau dilakukan klasifikasi Unsupervised dengan menggunakan klasifikasi ISOCLASS. Klasifikasi ini bertujuan untuk melakukan pengelompokan nilai pixel kedalam class – class tertentu. Pada studi ini dilakukan pengklasifikasian objek dilakukan sebanyak duapuluh (20) class dengan iterasi sebanyak 100 kali.
terdiri dari bermacam – macam class object. Untuk mempermudah pengelompokan jenis class maka perlu dilakukan pengklasifikasian, dalam hal ini dilakukan klasifikasi ISOCLASS.
Metode Pengumpulan Data
Penentuan Stasiun Pengambilan Contoh
Akuisisi data dimulai dengan identifikasi tipe ekosistem dan penutupan lahan melalui analisis citra satelit Landsat ETM 7+ dengan memanfaatkan teknologi Geographycal Information System (GIS). Analisis ini menghasilkan tipologi, sebaran dan luasan ekosistem pesisir dan pulau–pulau kecil. Analisis ini juga akan menghasilkan kondisi rona awal lingkungan dalam bentuk proporsi penutupan lahan oleh vegetasi pantai, kegiatan lain yang sedang dilakukan (perkebunan, pertanian, pemukiman lahan kritis) dan sebaran tingkat kekeruhan perairan. Informasi yang diperoleh dari analisis citra satelit Landsat ETM 7+ ini, selanjutnya dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan titik ground check (stasiun pengambilan contoh) komponen bio–geofisik.
Hasil dan Pembahasan
Kabupaten Kepulauan Riau terletak antara 2o00’ Lintang Utara, 1o20’ Lintang Selatan dan 104o00’ – 108o30’ Bujur Timur. Luas Kabupaten Kepulauan Riau sekitar 4.303,3 km2 daratan dan 96.866,00 km2 lautan. Kabupaten ini disusun oleh 513 pulau besar dan kecil.
Sebaran Subtrat Perairan
Wilayah pesisir Kabupaten Kepulauan Riau terdiri dari substrat pasir. Di Kabupaten Kepulauan Riau, substrat pasir ditemukan di sekitar Pulau Benan dan Pulau Duyung. Sementara substrat di Pulau Los, Pulau Matang dan Pulau Berakit didominasi oleh substrat pasir putih (Tabel 1).
Tabel 1. Substrat di Lokasi Ground Check di Wilayah Studi
No. Nama Lokasi Posisi Substrat
Lintang Utara Bujur Timur
O ’ ” O ’ ”
1. Pulau Los 00 57 48 104 24 24 Pasir Putih 2. Pulau Mantang 00 47 31 104 33 45 Pasir Putih 3. Pulau Berakit 01 14 25 104 34 30 Pasir Putih 4. Pulau Buaya 00 11 04 104 14 02 Pasir Putih 5. Pulau Benan 00 29 05 104 27 02 Pasir Putih 6. Pulau Duyung 00 21 45 104 27 35 Pasir Putih
Sumberdaya Hayati Terumbu Karang
Tabel 2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Lokasi Studi
No. Nama Lokasi Posisi Kondisi
Lintang Utara Bujur Timur
O ’ ” O ’ ”
1. Pulau Los 00 57 48 104 24 24 Sedang 2. Pulau Mantang 00 47 31 104 33 45 Sedang 3. Pulau Berakit 01 14 25 104 34 30 Sedang 4. Pulau Buaya 00 11 04 104 14 02 Sedang 5. Pulau Benan 00 29 05 104 27 02 Sedang 6. Pulau Duyung 00 21 45 104 27 35 Sedang Keterangan : Tutupan Terumbu Karang: 0–24 % Buruk, 25–49 % Sedang, 50–74 % Baik, 75–100 %
Sangat Baik
Nelayan yang beroperasi di perairan sekitar Pulau Talang Besar dan Pulau Numbing telah mulai menggunakan bahan peledak yang akan mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang. Penyebab lain dari kerusakan ekosistem terumbu karang adalah penambangan untuk bahan bangunan dan kematian karang secara alamiah oleh serangan predator.
Hasil Studi PRC (1998) menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang di Kepulauan Riau terbentang di paparan dangkal hampir di semua pulau. Tipe terumbu yang terdapat di Kepulauan Riau umumya berbentuk karang tepi (fringing reef). Kondisi terumbu di Kepulauan Riau bervariasi dari satu daerah ke daerah lain dengan kategori sedang hingga baik, meskipun ada beberapa spot terumbu mempunyai kondisi karang yang buruk. Keberadaan terumbu karang di Kepulauan Riau cukup luas mengingat topografi kawasan terdiri dari pulau–pulau dan perairan dangkal. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di beberapa tempat bervariasi dan berdasarkan persen tutupan, maka kondisi terumbu karang termasuk kategori sedang (29 %) hingga baik sekali (95,3 %).
Ekositem Mangrove
Luasan kawasan mangrove tertinggi terdapat di Kabupaten Kepulauan Riau yaitu seluas 24.091,033 ha (43,63 %) Daerah pinggiran pesisir Kepulauan Riau yang secara geografis terdiri dari pulau–pulau kecil didominasi oleh pantai pasir putih dan mangrove. Ekosistem mangrove banyak terdapat di bagian pulau yang terlindungi dan menyebar hampir di setiap pulau di wilayah studi. Jenis mangrove yang umum ditemukan antara lain Rhizophora mucronata, Sonneratia alba dan Avicennia alba, Avicennia marina, Rhizopora apiculata, Bruguiera gymnorhiza, Lumnitzera racemosa, Lumnitzera littorea, Bruguiera parviflora, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum dan Ceriops tagal.
Tabel 3. Kondisi Ekosistem Mangrove di Lokasi Studi
No. Nama Lokasi Posisi Kondisi
Lintang Utara Bujur Timur
O ’ ” O ’ ”
1. Pulau Los 00 57 48 104 24 24 Rapat
2. Pulau Mantang 00 47 31 104 33 45 Sedang 3. Pulau Berakit 01 14 25 104 34 30 Sedang 4. Pulau Buaya 00 11 04 104 14 02 Sedang 5. Pulau Benan 00 29 05 104 27 02 Sedang 6. Pulau Duyung 00 21 45 104 27 35 Sedang
Kerapatan Mangrove: <250 batang/ha Jarang, 250-500 batang/ha Sedang, >500 batang/ha Rapat
Ekosistem Padang Lamun
Dari hasil editing dan estimasi perhitungan luas yang diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ dapat diketahui luasan padang lamun di Kabupaten Kepulauan Riau seluas 7.548,66. Sebaram padang lamun di Kabupaten Kepulauan Riau terdapat di Pulau Dompak, Pulau Buton, Pulau Poto, Pulau Tengkulai, Pulau Ujan, Pantai Timur Laut Bintan dan Pantai Wisata Trikora. Sementara ekosistem padang lamun yang kondisinya jarang sampai sedang dapat ditemukan di Pulau Kongka Besar, Pulau Kongka Kecil, Pulau Empoh, Pulau Berai, Pulau Medang Besar, Pulau Aruko, Pulau Pangkil, Pulau Mamut dan Tanjung Berakit.
Hasil ground check di beberapa lokasi (Tabel 4.) memperlihatkan kondisi ekosistem padang lamun. Beberapa jenis lamun yang ditemukan di lokasi studi antara lain Cymodecea rotundata, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Enhalus aconoides, Syringodium isoefifolium, dan Thalssodendron ciliatum. Ekosistem padang lamun di lokasi studi umumnya tipe campuran dengan habitat dominan Cymodecea rotundata yang terdapat pada habitat dengan substrat pasir berlumpur hingga pasir berkarang. Sebagian kecil bersubstrat lumpur berpasir dari jenis Enhalus aconoides.
Tabel 4. Kondisi Ekosistem Padang Lamun di Lokasi Studi
No. Nama Lokasi
Posisi
Kondisi
Lintang Utara Bujur Timur
O ’ ” O ’ ”
1. Pulau Los 00 57 48 104 24 24 Sedang 2. Pulau Mantang 00 47 31 104 33 45 Tidak Ada 3. Pulau Berakit 01 14 25 104 34 30 Sedang 4. Pulau Buaya 00 11 04 104 14 02 Tidak Ada 5. Pulau Benan 00 29 05 104 27 02 Sedang 6. Pulau Duyung 00 21 45 104 27 35 Tidak Ada
Rumput Laut
Dari hasil editing dan estimasi perhitungan luas yang diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ dapat diketahui luasan ekosistem rumput laut tertinggi terdapat di Kabupaten Kepulauan Riau yaitu seluas 18.507,823 ha (49,18 %). Jenis rumput laut yang banyak ditemukan di rataan terumbu karang maupun padang lamun di wilayah Kepulauan Riau antara lain kelompok alga merah (Gelidiella, Hypnea, Gracilaria, Neogoniolithon, Lithothamnion, Dictyota, Laurencia dan Fauche), kelompok alga hijau (Caulerpa, Halimeda, Chaetomorpha, Udoea, Chlorodermis, Valonia dan Ulva) dan kelompok alga coklat (Sargasum, Padina dan Turbinaria) (Tabel 5).
Tabel 5. Jenis–jenis Rumput Laut di Perairan Kabupaten Kepulauan
No. Kelompok Jenis Keterangan
1. Alga Merah Acanthophora spicifera Amphiroa rigida ekonomis seperti Eucheuma dan Gracilaria
No. Kelompok Jenis Keterangan Dictyosphaeria cavernosa
Halimeda opuntia Neomeris annulata Ulva lactuca
Valonia aegagrophila V. ventricosa
Sumberdaya Ikan
Jenis ikan, udang dan binatang lunak yang terdapat di perairan Kabupaten Kepulauan Riau adalah sebagai berikut; Ikan peperek (Pony fishes slip mouth), gerot-gerot (Grunters/Swet lips), merah/bambangan (Red snappers), kerapu (Groupers), Lencam (Emperors/Sacvengers), kakap (Glant seaperch), kurisi (Terad/Inbeams), swanggi (Big eyes), ekor kuning (Yellow tail/Fussilers), gulamah (Croakes), hiu/cucut (Shark), pari (Rays), Bawal hitam (Black pomfret), bawal putih (Silver pomfret), alu-alu (Baracudas), selar (Trevalles), kuwe (Jack tervelles), tetengkek (Hardeall sead), talang/daun bambu (Queen fishes/Sweet-lips), belanak (Mullets), julung-julung (Needle fishes), teri (Anchovies), tembang (Frinscale sardinella), Parang-parang (Parang/Wolf herrings), Kembung (Indian mackerels), tenggiri (Barredking mackerels), layur (Ca tlass fishes), kurau, tongkol (Little tuna), ikan lainnya (Other fishes), rajungan (Swimcrabs), kepiting (Mud crabs), udang barong (Pa nulirid spiny lobsters), udang putih (Banana prawn), udang windu (Glant tiger prawn) udang dogol (Metapeneus shrimps), jenis udang lain (Other schrimps) gonggong/simping (Scallops), remis (Hard clams), cumi-cumi (Common squids), sotong (Cuttle fishes), dan binatang lunak lainnya (Oteher Molusc),
Produksi perikanan tangkap di wilayah studi pada tahun 2002 mencapai Kabupaten Kepulauan Riau dan Kota Batam termasuk ke dalam kawasan Laut Cina Selatan yang potensinya mencapai 361.430 ton. Jika produksi kabupaten lain, yaitu Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Natuna dihitung, maka produksi perikanan tangkap Provinsi Riau di Laut Cina Selatan selama tahun 2002 mencapai 177.321,3 ton. Tingkat produksi demikian (49,06%) masih berada di bawah potensi lestari.
Kesesuaian Pengusahaan Pasir Laut
Acuan kesesuaian pengusahaan pasir laut adalah Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut untuk Pengusahaan Pasir Laut sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2002, sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengawasan dan Pengendalian Pengusahaan Pasir Laut. Sampai akhir 2003, tercatat sebanyak 44 Kuasa Pertambangan (KP) pasir laut dengan izin eksplorasi dan eksploitasi.
Hasil analisis menunjukkan dari semua KP terletak di dalam zona terbuka untuk pegusahaan pasir laut. Sebanyak 11 KP berada dalam zona terlarang, 28 KP dalam zona dilarang dan terbuka dan 5 KP dalam zona bersyarat (Tabel 6).
Tabel 6. Jumlah Kuasa Pertambangan Pasir Laut Kabupaten Kepulauan Riau
No. Zona Pengusahaan Pasir Laut (SK Menteri DKP No. 33/2002)
Jumlah Kuasa Pertambangan (Unit)
Kabupaten Kepulauan Riau
1. Dalam Zona Dilarang 11
2. Dalam Zona Dilarang dan Terbuka 28
3. Dalam Zona Bersyarat 5
4. Dalam Zona Terbuka 0
Jumlah 44
Sumber : Dinas Pertambangan Kabupaten Kepulauan Riau 2003
Tabel 7. Kedudukan KP terhadap Areal Panangkapan, Kawasan lindung dan Kawasan Budidaya Perikanan
No. Kawasan Jumlah Kuasa Pertambangan
(Unit)
Kabupaten Kepulauan Riau
1. Penangkapan (5-10 GT); <6 mil 12
2. Kawasan Lindung 6
3. Kawasan Budidaya Perikanan
Jumlah 18
Tabel 7 menunjukkan bahwa di wilayah studi terdapat sekitar 18 KP yang tumpang tindih dengan kawasan penangkapan perikanan tradisional, kawasan lindung dan kawasan yang diplotkan untuk budidaya perikanan (budidaya rumput laut dan budidaya keramba jaring apung).
Pengembangan kawasan lindung di Kabupaten Kepulauan Riau, terbagi atas; kawasan lindung wilayah daratan (hutan lindung, pengembangan sumber daya air, perlindungan setempat, suaka alam, cagar budaya) dan kawasan lindung wilayah pesisir dan kelautan (konservasi laut, kawasan rawan laut, pulau-pulau kecil) yaitu :
Konservasi Laut : kawasan terumbu karang, terletak sekitar perairan Senayang, Tambelan, Lingga dan Singkep.
Kawasan Suaka Alam Laut, terletak di cagar alam Pulau Alut (memiliki kepentingan konservasi terhadap penyu) dan cagar alam Pulau Baruh (memiliki kepentingan konservasi terhadap dugong/duyung).
Kawasan Konservasi Terhadap Fauna yang Dilindungi, meliputi daerah perlindungan terhadap penyu laut tersebar diseluruh kepulauan Riau; daerah perlindungan terhadap Dugong sp. (duyung), penyebarannya di Kecamatan Bintan Utara, Bintan Timur, dan Senayang serta daerah perlindungan terhadap burung layang-layang di Tambelan.
Dalam pengembangannya perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam di kawasan suaka alam (cagar alam) laut untuk kepentingan plasma nutfah, keperluan pariwisata, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Untuk arahan pengelolaan kawasan suaka alam yang memiliki potensi pariwisata memerlukan penataan ruang tersendiri dalam pemanfaatannya, sehingga berhasil guna dengan tetap mendukung fungsi konservasi.
Selanjutnya, arahan kawasan rawan di wilayah Kabupaten Kepulauan Riau adalah sebagai berikut :
Daerah ranjau, terletak di Kecamatan Lingga dan Singkep
Daerah pembuangan amunisi, terletak di Kecamatan Bintan Utara Daerah yang dilalui oleh jaringan kabel/gas di perairan Pulau Bintan.
Pulau-pulau kecil yang memiliki luas kurang dari 100 Ha disarankan untuk tidak dikembangkan, namun diarahkan sebagai area konservasi, sesuai azas biogeografi kepulauan, pengembangan kegiatan budidaya di pulau-pulau kecil akan mengganggu kestabilan ekosistem dan pada gilirannya biodiversiti akan semakin terancam.
Arah pengembangan kawasan budidaya perikanan di wilayah Kabupaten Kepulauan Riau adalah dengan mengembangkan kawasan pesisir pantai yang potensial untuk budidaya ikan-ikan laut yang bernilai ekonomis (kerapu,kakap dan lain-lain), dengan kedalaman 0 – 5 meter yang tidak mengganggu keberadaan fungsi terumbu karang dan kawasan lindung lainnya. Arahan kawasan budidaya perikanan, adalah sebagai berikut :
Budidaya ikan, dikembangkan disekitar pulau-pulau kecil di selatan Kijang (Bintan Timur), disebelah selatan Pulau Temiang, pulau Batang (Senayang) dan Kabupaten Tambelan.
Budidaya rumput laut dikembangkan disekitar Pulau Alut (Lingga).
Budidaya kerang-kerangan dikembangkan di sebelah barat Pulau Senayang.
Pengembangan kawasan perikanan laut (Perikanan Tangkap) umumnya dikembangkan hampir diseluruh wilayah perairan laut Kabupaten Kepulauan Riau. Pengembangan kegiatan lebih diarahkan pada penangkapan dengan menggunakan alat tangkap dinamis, serta mengganggu fungsi lingkungan wilayah perairan.
Selain itu, pengembangan kawasan pertambangan di wilayah lautan adalah berupa pertambangan pasir pantai laut. Kawasan pertambangan yang potensial berada disebelah Barat sampai Utara Pulau Bintan (dengan luas mencapai 596,66 Km2).
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Saran
Instansi terkait diharapkan memberikan asistensi kepada daerah, terutama dalam mengembangkan sektor berbasis kelautan dan perikanan.
Pengembangan pariwisata bahari dapat meningkatkan kesadaran potensi bahari secara luas, meningkatkan jumlah armada/kapal wisata indonesia dan asing yang dapat beroperasi di perairan Kepulauan Riau dan meningkatkan investasi.
Pengembangan kegiatan perikanan juga dapat meningkatkan kesadaran bahari. Untuk itu, diperlukan pengaturan pola transaksi penjualan ikan agar retribusi masuk ke kas daerah, pengembangan sarana/prasarana dan naik untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Diperlukan pengembangan pendekatan spatial yang sinergis untuk mendorong pertumbuhan, keserasian antar kawasan/daerah, antar sektor dan antar strata sosial yang berwawasan lingkungan serta berbasis otonomi daerah.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan memberikan bantuan dana, oleh karena penelitian ini bagian dari hasil penelitian yang didanai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tahun anggaran 2003. Serta ucapan terimakasih kepada dinas instansi terkait yang banyak membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Daftar Pustaka
Bell, W; P. d’Ayala and P. Hein, ed. 1990. Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. Man and the Biosphere Series, Volume 5. Unesco and the Parthenon Publishing Group.
Bengen, D.G. 2000. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir, Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Dahuri, R., J. Rais, P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Dahuri, R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID.
_________. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat, Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri. Penerbit LISPI (Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia) Jakarta.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Island in Bell, W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds.). 1990. Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. UNESCO, Paris. P. 35.
Husni, M. 1998. Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil di Indonesia dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis (Marine Biology: An Ecological Approach), Edisi Terjemahan. PT. Gramedia, Jakarta.
Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID.
PPP, Dep. Trans. dan PPH (Pusat Penelitian dan Pengembangan, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan) dan LPWP-UNDIP (Laboratorium Pengembangan Wilayah Pantai Universitas Diponegoro). 1995. Pengembangan dan Perumusan Pola Agromarine Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, Laporan Akhir. Sugandhi, A. 1998. Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan – TPSA – BPPT - Coastal Resources Management Project (CRMP) USAID.