ANALISIS RELEVANSI TEORI WALTER CHRISTALLER
PADA PELAYANAN KESEHATAN KOTA
BANDARLAMPUNG
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Lokasi Pola Ruang (TKP 341)
Dosen Pembimbing: Sri Rahayu, S.Si., M.Si.
Oleh:
Aufa Dirgahayu K 21040112130087 Pandu Farchan J 21040112140121
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
Pendahuluan
Pelayanan publik merupakan unsur yang sangat penting dalam sistem masyarakat modern. Semakin berkembangnya kompleksitas sebuah masyarakat menuntut adanya keragaman kebutuhan pelayanan publik: pertama, masyarakat semakin membutuhkan pelayanan publik tertentu, seperti pendidikan dan kesehatan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi; kedua, masyarakat juga membutuhkan pelayanan publik jenis lain seperti perijinan untuk mendorong aktivitas-aktivitas yang lain; dan ketiga, masyarakat atau daerah tertentu membutuhkan pelayanan khusus seperti sektor pertanian karena dianggap penting untuk mendapatkan perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor tersebut.
Tujuan pelayanan publik adalah untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi publik atau masyarakat. Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas pelayanan yang diterima.
Kajian Teori
Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari Christaller (Tarigan, 2005).
Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut: 1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh wilayah. 4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau biaya.
Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi. Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah pemasaran minimal disebut thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan kemudian muncul pengusaha baru.
Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut: 1. Mula-mula terbentuk
2. Areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut.
3. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
4. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.
Gambar: Central Place Theory
Secara hierarki Central Place Theory dibagi menjadi 3 (tiga) menurut jenis-jenis pusat/ tingkatan pelayanan, yaitu:
1. Hierarki K 3
Tempat sentral yang berhierarkhi 3 adalah pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang konsumsi bagi penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Hierarki 3 sering disebut sebagai kasus pasar optimal yang memiliki pengaruh 1/3 bagian dari wilayah tetangga di sekitarnya yang berbentuk heksagonal, selain memengaruhi itu sendiri.
2. Hierarki K 4
Tempat sentral yang berhierarki 4 dinamakan situasi lalu lintas yang optimum, artinya di daerah tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan rute lalu lintas yang paling efisien. Situasi lalu lintas optimum ini memiliki pengaruh ½ bagian dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya yang berbentuk segi enam selain mempegaruhi wilayah itu sendiri.
3. Hierarki K 7
Tempat sentral yang berhierarki 7 dinamakan situasi administratif yang optimum. Tempat sentral ini mempengaruhi seluruh baian (satu bagian) wilayah-wilayah tetangganya, selain mempengaruhi wilayah itu sendiri.
Pembahasan
Asumsi Christaller yang tidak relevan dengan kondisi fisik di Kota Bandarlampung yaitu tentang topografi di suatu daerah yang datar. Di kota Bandarlampung ini mempunyai topografi yang beragam yaitu datar hingga landai sekitar 60% luas wilayah, 35% yaitu kemiringan landai hingga curam dan sisanya kemiringan sangat curam. Akibatnya penempatansarana kesehatan di wilayah ini tidak bisa membentuk segi enam utuh karena bisa saja suatu sisi segi enam merupakan tempat yang curam dan tidak bisa didirikan bangunan pelayan kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit.
Panjang 33,9328
Kepadatan penduduk terbesar di kota Bandarlampung berdasarkan tabel diatas yaitu berada di kecamatan Sukabumi yang berada pada pinggiran kota dan merupakan kawasan permukiman baru di Bandarlampung. Sedangkan kepadatan penduduk terkecil yang ada pada kota Bandarlampung terdapat di kecamatan Enggal yang ada di pusat kota. Dari penjelasan itu dapat terlihat sekali bahwa asumsi Christaller dimana jumlah penduduk di suatu daerah tersebar merata itu tidak relevan lagi di masa sekarang. Ini dikarenakan beberapa alasan yang mendasar diantaranya topografi pada suatu daerah beragam dan terdapat lahan yang tidak bisa dijadikan hunian, kemudahan aksesibilitas dan mobilitas disetiap daerah di kota ini yang berbeda sehingga penduduk lebih memilih bermukim di tempat yang mempunyai mobilitas dan aksesibilitas tinggi serta adanya perbedaan dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Skala pelayanan yang mempunyai hierarki serta mempunyai bentuk segienam pun otomatis tidak konkrit lagi karena terdapat banyak asumsi yang tidak relevan dengan keadaan di Kota Bandarlampung. Bentuk segienam di kota Bandarlampung tidak dapat diaplikasikan karena perbedaan topografi yang erat hubungannya dengan persebaran penduduk yang ingin dilayani oleh suatu fasilitas. Persebaran fasilitas pun tidak merata pada kota Bandarlampung. Persebaran fasilitas puskesmas di Bandarlampung yang tidak merata ini disebabkan oleh perkembangan waktu. Maksudnya yaitu jika pada awal pembangunan puskesmas persebaran penduduk hanya tepusat di kecamatan seperti Teluk Betung, Tanjung Karang, Kedaton, Kemiling yang kemudian muncul permukiman-permukiman baru di wilayah seperti sukabumi yang tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas kesehatan seperti puskesmas di kecamatan itu. Otomatis dengan tumbuhnya permukiman baru tersebut membawa dampak kepada tidak adanya puskesmas pendukung yang mempunyai hierarki diatas atau dibawah fasilitas puskesmas yang dibangun di kecamatan yang baru berkembang tersebut.
Untuk melakukan perhitungan jumlah sarana kesehatan yang dapat menjangkau seluruh wilayah di kota Bandarlampung agar dapat menjadikan pelayanan yang maksimal menggunakan rumus sebagai berikut
Jangkauan Pelayanan = Luas Wilayah(m2)/ Standar Pelayanan (Radius Pencapaian dalam m2)
Jangkauan Pelayanan Puskesmas Pembantu = 205.330.100/π.r2
Jangkauan Pelayanan Puskesmas induk = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 3000m x 3000m) = 205.330.100/28.285.714,29
= 7,26 = 8 Puskesmas Induk Jangkauan Pelayanan Rumah Sakit = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 5000m x 5000m) = 2,62 = 3 Rumah sakit
Perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui jumlah fasilitas minimum puskesmas pembantu, puskesmas induk, dan rumah sakit yang ada di Kota Bandarlampung agar dapat melayani seluruh penduduk kota Bandarlampung, melalui rumus berikut:
Jumlah Fasilitas = Jumlah Penduduk di Bandarlampung/ Jumlah Penduduk Standar Jumlah Puskesmas Pembantu = 1.051.985/30.000
= 35,06 = 35
Jumlah Puskesmas Induk = 1.051.985/120.000 = 8,77 = 9
Jumlah Rumah Sakit = 1.051.985/240.000 = 4.38 = 5
Jumlah Pusat Pelayanan Kesehatan di Kota Bandarlampung Secara Perhitungan Minimum (Range dan Threshold) dan Secara Eksisting No Jenis Pelayanan
3 Puskesmas Pembantu 29 35 32 17
Sumber : Analisis Jannata dan Kencana ,2013
rumah sakit, 8 puskesmas induk, dan 29 puskesmas pembantu. Sedangkan untuk melayani semua penduduk kota Bandarlampung adalahsebanyak 35 buah puskesmas pembantu, 9 puskesmas induk, serta 5 rumah sakit umum. Dari keduanya maka didapatkan nilai rata-rata yang berupa intersect antara jumlah sarana kesehatan minimum yang dihitung berdasarkan cakupan pelayanan dan jumlah penduduk pendukung yaitu 4 rumah sakit, 9 puskesmas induk dan 32 puskesmas pembantu. Secara eksisting kota Bandarlampung mempunyai jumlah puskesmas induk serta rumah sakit yang dapat dikatakan menjangkau seluruh penduduk serta cakupan pelayanannya menjangkau seluruh penduduk (jika ditempatkan di lokasi yang tepat). Namun jumlah eksisting puskesmas pembantu belum dapat mewakili seluruh penduduk dan cakupan pelayanannya.
Kesimpulan
Teori Christaller merupakan teori yang menggunakan bentuk segienam sebagai acuan pelayanan agar terjadi pelayanan yang merata. Teori ini sebenarnya bagus apabila dapat dipraktikkan, namun memiliki kelemahan karena menggunakan asumsi-asumsi yang sudah tidak relevan di Indonesia dan di zaman sekarang. Saat ini setiap orang memiliki daya ekonomi yang berbeda-beda tergantung pada pendapatan. Selain itu, tiap wilayah di Indonesia memiliki bentuk topografi yang tidak sama.
Daftar Pustaka
Bandarlampung dalam angka. 2010
Rahayu, Sri. 2013. “Teori Tempat Pusat”, dalam Mata Kuliah Analisis Lokasi dan Pola Ruang. Semarang: JPWK UNDIP.