DISKURSUS PERUBAHAN BENTUK NEGARA KESATUAN INDONESIA MENJADI NEGARA FEDERAL (KONTRA)
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara Semester 2 (Kelas 2A)
Oleh : Rilo Pambudi. S
160574201023
Dosen Pengampu :
Pery Rehendra Sucipta, S.H., M.H
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
▸ Baca selengkapnya: perdebatan mutakallimin adalah kalamullah yaitu tentang
(2)ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pengatur alam semesta yang
karena limpahan nikmat dan karuniaNya, penulis dapat menyusun makalah dengan
judul: “DISKURSUS PERUBAHAN BENTUK NEGARA KESATUAN
INDONESIA MENJADI NEGARA FEDERAL (KONTRA)”.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum
Tata Negara.Selain itu, makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan
bahan bacaan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya agar mengetahui
dan memahami tentang perlunya mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1) Kedua orang tua yang telah memberi dukungan moral dan materil serta doa
dalam setiap usaha saya.
2) Bapak Pery Rehendra Sucipta, S.H., M.H selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Hukum Tata Negara yang telah memberikan arahan dalam pembuatan
makalahdan materi yang harus dikembangkan.
3) Dan teman-teman yang membantu dan membari masukan serta kritikan dalam
penyusunan proyek ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini dan kebenaran akan ilmu pengetahuan
khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup Hukum Tata Negara.
Akhir kata semoga makalah ini dapat membawa manfaat yang positif bagi
pembaca terutama generasi muda bangsa sebagai agen perubahan dalam menjaga
keutuhan dan persatuan serta memegang teguh bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Amiin Yaa Rabbal „Alamiin.
Tanjungpinang, April 2017
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penulisan ... 3
1.4 Manfaat Penulisan ... 4
BAB II PEMBAHASAN ... 5
2.1 Teori Konstitusi ... 5
2.2 Bentuk dan Susunan Negara ... 6
2.2.1 Negara Kesatuan ... 7
2.2.2 Negara Federal ... 8
2.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 10
2.3.1 Historikal Singkat Perdebatan Bentuk Negara Indonesia ... 10
2.4 Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 13
2.4.1 Pancasila dan Pembukaan UUD Sebagai Staatsfundamentalnorm ... 14
2.4.2 Pembatasan Perubahan Terhadap UUD 1945 ... 17
2.5 Landasan Yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 18
2.5.1 Tinjauan dari UUD 1945 Setelah Amandemen ... 18
2.5.2 Tinjauan dari UU Pemerintahan Daerah ... 21
2.6 Landasan Sosiologis Negara Kesatuan Republik Indonesia ... 22
iv
BAB III PENUTUP ... 26
3.1 Kesimpulan ... 26
3.2 Saran ... 27
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdebatan mengenai bentuk negara selalu menjadi sesuatu yang menarik dalam
Hukum Tata Negara, meskipun hal ini sudah menjadi masalah klasik di kalangan
masyarakat Indonesia bahkan sejak BPUPKI berusaha merumuskan dasar falsafah
Indonesia.Kala itu, para founding fathers memperdebatkan tentang bentuk Negara
Indonesia, dimana muncul dua pilihan utama terkait bentuk negara yaitu kesatuan
dan federal.Beberapa tokoh seperti Ir. Soekarno, Mr. Soepomo, Moh.Yamin, dan
lainnya lebih memilih negara yang integralistik atau negara kesatuan. Sedangkan
Moh. Hatta berbeda pandangan, beliau lebih menyetujui bentuk negara
federal.Mohammad Hatta menyatakan bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat yang
majemuk, sehingga membutuhkan bentuk negara federal bagi Indonesia untuk
mempersatukan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.1Perdebatan
yang terjadi dapat difahami karena setiap anggota BPUPKI memiliki perbedaan latar
belakang keilmuan, unsur, etnis, dan agama.
Bentuk negara merupakan indentitas nasional dan merupakan suatu prinsip yang
mendasar sehingga sudah selayaknya hal ini diatur langsung oleh konstitusi sebagai
hukum tertinggi dalam suatu negara.Sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Konstitusi
MPR RI bahwa fungsi dan kedudukan konstitusi diantaranya adalah sebagai sumber
hukum tertinggi, sebagai identitas nasional, dan sumber legitimasi kekuasaan
negara.Konsekunsinya adalah bahwa setiap pemerintahan negara yang berkaitan
dengan bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan harus diatur
langsung di dalam konstitusi. Hal ini sesuai dengan prinsip negara hukum yang
dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum2.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah prestasi
dan simbol perjuangan serta kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia sekaligus
1
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm. 286.
2
2 menjadi hukum dasar tertulis, dalam melakukan perubahan UUD 1945, fraksi-fraksi
MPR perlu menetapkan kesepakatan dasar agar perubahan UUD NRI 1945
mempunyai arah, tujuan, dan batas yang jelas. Sehingga dapat dicegah kemungkinan
terjadinya perubahan tanpa arah.Selain itu, kesepakatan tersebut menjadi koridor dan
platform dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945.3
Dalam pembahasan perubahan, Panitia Ad Hoc I menyusun lima butir
kesepakatan dasar perubahan, yaitu:4
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2. Tetap mempertahankan NKRI;
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4. Penjelasan yang memuat hal normatif dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
5. Perubahan dilakukan dengan caraadendum.
Kemudian hal tersebut disepakati oleh Jimly dalam tulisannya yang menegaskan
bahwa pada Sidang Umum MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan
tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945, sepakat mempertahankan bentuk NKRI, sepakat untuk mempertahankan
sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakannya agar
betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil), sepakat untuk memindahkan
hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD ke dalam pasal-pasal, dan sepakat
untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen.
Meskipun fakta secara filosofis, yuridis, dan sosiologis menunjukkan bahwa saat
ini Indonesia berbentuk kesatuan, namun wacana untuk mengubah kembali menjadi
negara federal sebagaimana terjadi pada masa Konstitusi RIS tetap terjadi pasca
kemerdekaan.Terkait hal tersebut dan berdasarkan latar belakang di atas maka
penulis memposisikan sebagai pihak kontra terhadap wacana tersebut. Dalam hal ini
penulis akan membahas berbagai landasaran pemikiran baik filosofis, sosiologis,
maupun yuridis terkait perlunya mempertahankan bentuk NKRI sebagai bentuk
penolakan terhadap wacana di atas.
3
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI (Edisi Revisi), Cetakan XV, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta, 2016, hlm. 17.
4
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang
akan dibahas adalah:
1. Apa makna dari negara kesatuan Indonesia?
2. Apa landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dari penolakan terhadap wacana
perubahan bentuk Negara Indonesia menjadi federal?
3. Mengapa bentuk negara kesatuan sebagai pilihan Negara Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam suatu penulisan tentunya terdapat tujuan yang hendak dicapai yang
berkaitan dengan permasalahan yang diangkat sehingga menjadi masukan berarti
dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan
penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah penulis berusaha membuktikan dengan
berbagai dasar pemikiran terhadap penolakan diubahnya bentuk Negara Indonesia
menjadi federal.
2. Tujuan Objektif
Tujuan ini berkaitan dengan permasalahan yang ada sehingga dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a. Memahami apa makna sesungguhnya bentuk negara kesatuan bagi Indonesia.
b. Menganalisa landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis bahwa bentuk negara
yang sesuai adalah negara kesatuan.
c. Menganalisa mengapa negara kesatuan sebagai pilihan Indonesia.
3. Tujuan Subjektif
Tujuan ini merupakan tujuan yang kehendaki oleh penulis dalam penyusunan
makalah ini meliputi:
a. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara Semester II.
b. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis dan pembaca berkaitan dengan
perdebatan wacana perubahan bentuk Negara Indonesia menjadi federal.
c. Sebagai bahan referensi terkait penolakan diubahnya bentuk negara menjadi
4 4. Tujuan Khusus
Secara spesifik makalah ini merupakan bentuk saran dan masukan terhadap
pemerintah dan penguasa negarabahwa bentuk negara kesatuan yang sesuai dengan
Indonesia sebagaimana dihimpun dari para pakar dan tinjauan berbagai buku,
sehingga bentuk kesatuan harus tetap dipertahankan sebagaimana Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus menjaga keutuhan NKRI yang pada
hakikatnya mengusung Ekasila yaitu gotong royong.
1.4 Manfaat Penulisan
Dalam kajian ini diharapkan setidak-tidaknya memberikan manfaat bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai satu kesatuan Indonesia.
Dan penulis membagi manfaat penulisan ini kedalam dua bagian, yaitu:
1) Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari kajian dan hasil analisis ini adalah:
a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dalam lingkup bahasan Hukum Tata terutama pada wacana perubahan bentuk
NKRI.
b. Memberikan analisa terkait pentingnya dan keharusan bangsa Indonesia
mempertahankan bentuk negara kesatuan.
2) Manfaat Praktis
a. Dengan diketahuinya makna kesatuan bagi Indonesia maka dapat menjadi
pertimbangan di masa sekarang dan mendatang untuk tidak mengubah bentuk
negara.
b. Setelah mengetahui dasar pemikiran baik filosofis, yuridis, maupun sosiologis
diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam mempertahankan NKRI sebagai
bentuk negara.
c. Setelah mengetahui perlunya mempertahankan negara kesatuan maka dapat
5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Konstitusi
K.C Wheare mendefinisikan konstitusi dalam dua arti.Pertama,dalam arti yang
luas konstitusi digambarkan sebagai seluruh sistem ketatanegaraan suatu negara,
kumpulan peraturan yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan
pemerintahan, ada yang tertulis danada yang tidak tertulis. Kedua, dalam artian
sempit konstitusi merupakan hasil seleksi peraturan-peraturan hukum yang mengatur
pemerintahan negara tersebut dan telah dihimpun dalam suatu dokumen.5
Selain itu, tokoh lainnya yaitu Hans Kelsen memberikan pandangannya, beliau
menyatakan bahwa “The constitution is the highest level within national law”. Pengertian konstitusi ini ditarik dari istilah Grundnorm yang menjadi hukum
tertinggi dari suatu negara, dari Grundnorm inilah menurut Kelsen hukum-hukum
yang lain dalam suatu negara bersumber, dan tidak boleh bertentangan dengannya.
Jazim Hamidi dan Malik secara sederhana mendefinisikan konstitusi sebagai
suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan
sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.6
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi
merupakan aturan pokok, mendasar, dan fundamental yang berkedudukan sebagai
hukum tertinggi dan mengikat suatu negara yang memuat penyelenggaran dan
sendi-sendi pokok suatu negara.
Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan konstitusionalisme yang mana pada
prinsipnya memuat pembatasan kekuasaan dan jaminan Hak Asasi
Manusia.Konstitusionalisme adalah suatu pemahaman atau pemikiran yang
menghendaki pembatasan kekuasaan melalui sebuah konstitusi. Menurut Mc. Ilwan,
ada dua unsur fundamental dari paham konstitusionalisme, yaitu batas-batas hukum
terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang dan pertanggungjawaban politik
sepenuhnya dari pemerintah kepada yang diperintah.
5
K. C. Wheare, Modern Constitutions, Terjemahan Imam Baehaqie, Ceatakan V, Nusamedia, Bandung, 2011, hlm. 1-3.
6
6 Sepemikiran dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto berpendapat, ide
konstitusionalisme sebagaimana tumbuh dan berkembang di bumi aslinya, Eropa
Barat, dapat dipahami dalam dua esensi yaitu:
“Esensi pertama ialah konsep “negara hukum” (atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut Rule of law) yang menyatakan kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya).Esensi kedua ialah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi
saja”.7
Adanya pembatasan kekuasaan tersebut juga terdapat dalam materi muatan
konstitusi. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa setiap Undang-Undang Dasar
memuat ketentuan-ketentuan mengenai:8
1) Organisasi kekuasaan, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal daan
pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelenggaran
yuridiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
2) Hak-hak Asasi Manusia.
3) Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar.
4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar.
Dalam kaitannya dengan hal ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bagian
dari konstitusi dapat dilakukan perubahan karena terdapat pembatasan yang pada
umumnya diatur oleh konstitusi itu sendiri terutama terkait prinsip pokok negara
yang apabila diubah dapat membahayakan kelangsungan negara tersebut.
2.2 Bentuk dan Susunan Negara
Bentuk negara menekankan pada sistem penjelmaan politis daripada unsur-unsur
negara.Memahami bentuk negara tidak dapat dilepaskan dari pemikiran George
Jellinek sebagai bapak Ilmu Negara.Jellinek dalam bukunya Allgemeine Staatslehre
7
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum : Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, Cetakan Pertama, Elsam, Jakarta, 2002, hlm. 405.
8
7 membedakan bentuk negara menjadi negara Republik dan Monarchie berdasarkan
pembentukan kemauan negara. Bila cara pembentukan kemauan negara itu
ditentukan oleh seorang saja maka terjadilah Monarchie, sedangkan bila kemauan
negara itu ditentukan oleh dewan (lebih dari seorang) maka terjadilah Republik.9
Selain itu, Leon Duguit juga memberikan pemikiran dalam bukunya Traitede Droit
Constitutionel bahwa untuk menentukan apakah negera berbentuk Monarchie
ataukah Republik ialah dengan menggunakan cara penunjukkan atau pengangkatan
kepala negaranya. Monarchie bila kepala negara turun-temurun, diangkat
berdasarkan keturunan.Sedangkan bila diangkat atas dasar pemilihan maka
bentuknya Republik.10
Susunan atau bangunan negara juga menyangkut bentuk negara yang ditinjau
dari segi susunannya yaitu berupa negara yang bersususun tunggal dan bersusun
jamak.Dalam hal ini negara kesatuan dan federasi.11Susunan negara lebih
menekankan pada struktural dalam negara.Pada dasarnya bertitik tolak pada
pemisahan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.Pemisahan
kekuasaan dapat diakronimkan dengan pembagian kekuasaan, baik secara vertikal
maupun horizontal.Secara horizontal pada hakikatnya melahirkan pola Trias Politica
Montesquieu, yakni adanya kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
2.2.1 Negara Kesatuan
Negara kesatuan dapat juga disebut sebagai negara Unitaris.Apabila ditinjau dari
bangunannya negara ini bersifat tunggal, tidak tersusun dari beberapa negara atau
tidak ada negara dalam negara seperti halnya pada negara federal.Dengan demikian
di dalam negara kesatuan hanya terdapat satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat
yang mempunyai kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk membuat undang-undang
yang berlaku untuk seluruh wilayah negara tersebut, sedangkan pemerintah
daerah/lokal sifatnya hanya melaksanakan atau menyesuaikan dengan
undang-undang yang dibuat oleh pemerintah pusat.pemerintah daerah hanya dapat memiliki
kewenangan untuk membuat peraturan di tingkat lokal melalui delegasi maupun
atribusi kewenangan. Selain itu harus sesuai dengan asas Lex Superiori Derogat Legi
9
George Jellinek, dalam Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Ed. 1, Cetakan XI, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm. 57.
10
Leon Duguit, dalam Abu Daud Busroh, Ibid, hlm. 58-59.
11
8 Inferiori (peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah),
artinya bahwa peraturan di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dan harus
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini peraturan di tingkat pusat.
Menurut Miriam Budiardjo negara kesatuan ialah negara yang kekuasaannya
terletak pada pemerintah pusat dan tidak ada pada pemerintah daerah, pemerintah
pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
daerah berdasarkan hak otonom, tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap
pada pemerintah pusat.12
Dewasa ini terdapat dua bentuk negara kesatuan menurut asas penyelenggaraan
pemerintahannya yang didasarkan pada ada tidaknya pendelegasian atau atribusi
kewenangan dari pusat, yaitu:
1. Negara kesatuan dengan asas sentralisasi, dimana pemerintahan lokal tidak dapat
membuat peraturan sendiri karena seluruh kebijakan negara sifatnya terpusat dan
pemerintah lokal hanya sebagai alat dari pemerintah pusat. Sistem ini lebih
mengarah pada kediktaktoran dan tirani kekuasaan.
2. Negara kesatuan dengan asas desentralisasi, dimana pemerintahan lokal dapat
membentuk Peraturan Perundang-undangan di tingkat lokal untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan (otonomi daerah) atas dasar delegasi dan
atribusi kewenangan.
Secara umum, ciri dari negara kesatuan adalah sebagai berikut:
1) Hanya terdapat masing-masing satu UUD, kepala negara, DPR, dan kabinet.
2) Kedaulatan bersifat ke dalam dan ke luar harus berdasarkan sertifikasi oleh
Pemerintah Pusat.
3) Hanya memiliki satu kebijakan berkaitan dengan masalah politik, sosio-budaya,
ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
2.2.2 Negara Federal
Negara federal atau negara serikat adalah negara yang bersusun jamak, yang
tersusun dari beberapa negara yang mulanya berdiri sendiri dan kemudian negara
tersebut mengadakan ikatan kerjasama yang efektif, namun negara tersebut masih
memiliki wewenang yang dapat diurus sendiri.Artinya tidak semua kewenangan
12
9 diserahkan kepada pemerintah federal tetapi lebih kepada pembagian kewenangan
antara pemerintah federal dengan negara bagian.
Federalisme dalam beberapa bentuk telah ada sejak Yunani Kuno yang disebut
dengan negara kotaPolis. Kemudian hal ini berlanjut pada abad pertengahan
(600-1400 M) di beberapa kota di Italia yang akhirnya terus berkembang dan muncul
negara Konferderasi Swiss. Sejarah mencatat dari waktu ke waktu federalime
semakin berkembang sesuai kebutuhan dari setiap negara yang membentuk.
Strong mengemukakan bahwa ciri utama dari negara federal adalah terjadinya
rekonsiliasi kedaulatan nasional dan kedaulatan negara bagian.Selanjutnya menurut
beliau bahwa syarat utama negara federal adalah adanya rasa kebangsaan dari
negara-negara yang membentuk federasi dan tidak ada niatan untuk menjadi satu
kesatuan, karena jika memiliki kehendak untuk bersatu maka bukan suatu negara
federal tetapi telah menjadi negara kesatuan.13Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kedaulatan ke luar yang berkaitan dengan kebijakan fiskal,
pertahanan dan keamanan, serta kebijakan yang sifatnya internasional dipegang oleh
pemerintah federal.Sedangkan kedaulatan ke dalam yang sifatnya intern dipegang
oleh negara bagian.
Menurut David Salomon ciri-ciri negara federal adalah:
1. Pemerintahan pusat mempunyai kekuasaan penuh atas nama negara bagian dalam
berhubungan dengan negara-negara lain;
2. Pemerintahan dibagi diantara pemerintahan pusat dan sejumlah negara bagian.
Kecuali ditentukan lain oleh konstitusi, dan masing-masing punya kedaulatan
sendiri;
3. Kekuasaan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan negara bagian diatur
sedemikian rupa sehingga masing-masing pemerintahan berpengaruh langsung
terhadap warga negara;
4. Biasanya ada badan peradilan yang berfungsi sebagai penengah.
2.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia
13
10 Negara Indonesia sebagai negara kesatuan dengan berbagai aneka ragam
budaya, suku, bahasa, ras, dan agama serta mempunyai 17.508 pulau yang tersebar di
wilayah Nusantara telah berdiri sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bernaung di
bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia.Konsep negara kesatuan lahir
karena adanya keinginan masyarakat Indonesia untuk membentuk suatu negara
kesatuan yang kokoh dalam suatu wujud yang bersifat nasional dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan.
Makna dan hakikat NKRI memandang bahwa volkgeist dan lingkungan
merupakan penjabaran dari falsafah bangsa, ideologi negara, atau
staatsfundamentalnorm sesuai dengan wilayah dan fakta historis pembentukan dan
perjalanan Negara Indonesia.Kemudian menjadi cerminan bangsa dalam
memanfaatkan geografis, sejarah, sosio-budaya dalam mewujudkan cita-cita nasional
yang berwawasan nusantara.Untuk itu Indonesia harus tetap memiliki daya pengikat
yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana
bunyi sila ke-3 Pancasila.
2.3.1 Historikal Singkat Perdebatan Bentuk Negara Indonesia
Perdebatan mengenai bentuk negara telah terjadi sebelum Proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Saat itu para founding fathers mengalami perbedaan
pendapat mengenai bentuk negara yang akan dimuat dalam konstitusi negara yang
umumnya terletak pada bagian pertama atau pasal yang paling awal. Hal ini
dimaksudkan karena bentuk negara merupakan sesuatu yang bersifat fundamental
dalam sebuah negara yang apabila dilakukan perubahan akan berdampak pada
kelangsungan negara dan dapat merubah seluruh bangunan negara. Selain itu, pasal
mengenai bentuk negara pada hakikatnya akan diimplementasikan terhadap
pasal-pasal lain.
Sesungguhnya perdebatan mengenai bentuk negara bukan hanya proses
konsensus atau musyawarah untuk mufakat tetapi telah masuk ranah keputusan
politik bangsa Indonesia.Beberapa tokoh BPUPKI dalam sidang untuk merumuskan
falsafah negara dan RUUD saling memaparkan pendapatnya mengenai bentuk negara
kesatuan atau federal.Pioner gagasan negara integralistik (negara atas dasar
11 lainnya. Soepomo berpendapat bahwa negara didirikan atas sebuah teori, dimana
dunia mengenal adanya tiga teori, yaitu:
1) Teori individualistik, masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara
masayarakat itu sendiri.
2) Teori kelas/golongan, menganggap negara merupakan alat suatu golongan untuk
menindas golongan yang lain, golongan kuat menindas yang lemah.
3) Teori integralistik, negara tidak menjamin kepentingan perorangan atau
kelompok, tetapi mencakup seluruh kepentingan komponen.14 Negara adalah
suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan mempunyai ikatan yang
erat dan berhubungan satu sama lainnya dan merupakan persatuan masyarakat
yang organis.
Soepomo berpendapat bahwa integralistik adalah faham yang cocok dengan
Indonesia bukan individualistik yang diajarkan oleh Hobbes, Jhon Locke, dan J.
Laski ataupun negara kelas yang dianut oleh Karl Marx, Lenin, dan Engels.Soepomo
dalam pemikirannya mengenai bentuk negara sangat diilhami oleh pandangan
Spinoza, Adam Muller, dan F. Hegel yang mengajarkan teori negara integralistik.
Hal ini sebagaimana dinukilkan dari pidatonya dalam sidang BPUPKI pada tanggal
31 Mei 1945 yang berbunyi:
“....bahwa jika hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan
keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongannya dalam
lapangan apa pun”.15
Mr. Muh. Yamin sehari sebelumnya telah berpendapat bahwa bentuk negara
yang sesuai dengan Indonesia adalah kesatuan bukan negara serikat.Muh.Yamin
mengusulkan Indonesia menjadi negara persatuan yang tidak terpecah belah, dan
dibentuk suatu badan bangsa yang tidak terbagi-bagi.Alasan utamanya adalah negara
federal mengarah pada perpecahan sedangkan kesatuan memperkuat persatuan dan
14
Tidak menjamin HAM setiap perorangan maupun kelompok, konsep negara integralistik Soepomo ini sedikit ditentang oleh Mr. Muhammad Yamin yang menghendaki adanya pengakuan dan jaminan terhadap HAM dalam UUD Negara Indonesia.
15
http://infoadasemua.blogspot.com/2014/11/paham-integralistik-Indonesia.html,
12 kesatuan bangsa.Lebih jauh Muh.Yamin menyatakan bahwa ide negara kesatuan
telah muncul sejak diirarkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, karena di dalamnya
telah memuat tekad seluruh pemuda-pemudi Indonesia tentang semangat satu
bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.Dengan demikian, Indonesia dengan bentuk
kesatuan bukan hanya ide dari sidang BPUPKI tetapi telah lama dicita-citakan oleh
bangsa Indonesia.
Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 juga memberikan pemikiran mengenai bentuk
negara Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari pemikirannya tentang lima asas
negara atau falsafah bangsa Indonesia. Rumusan tersebut adalah:16
1) Nasionalisme/kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme/peri kemanusiaan;
3) Mufakat/demokrasi;
4) Kesejahteraan sosial;
5) Ketuhanan Yang Maha Esa/Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Kelima rumusan ini kemudian diusulkan untuk diberi nama Pancasila. Dari
Pancasila dapat diambil inti sarinya sebagai Trisila, yaitu: Pertama, Sosio
Nasionalisme yang merupakan sintesis dari kebangsaan dan peri kemanusiaan.
Kedua, Sosio Demokrasi yang merupakan sintesis dari mufakat dan kesejahteraan
sosial.Ketiga, Ketuhanan. Selain itu, Soekarno mengusulkan bahwa Tri Sila dapat
diperas lagi menjadi Eka Sila yaitu Gotong Royong.Artinya bahwa ide persatuan dari
Soekarno seluruhnya terkonsentrasi di dalam setiap sila Pancasila yang
diusulkan.Maka melihat bentuk negara Indonesia tidak dapat dilepaskan dari setiap
uraian nilai-nilai Pancasila.
Lain halnya dengan Moh.Hatta, beliau lebih menyetujui bentuk negara
federal.Hatta mengemukakan bahwa Indonesia terbagi atas pulau-pulau dan
golongan bangsa, maka perlu tiap-tiap golongan kecil atau besar mendapatkan
otonominya, mendapatkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Selanjutnya
Mohd. Hatta menyatakan bahwa Indonesia terdiri atas masyarakat yang majemuk,
16
13 sehingga membutuhkan bentuk negara federal bagi bangsa Indonesia untuk
mempersatukan segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.17
Pada akhirnya karena untuk menetapkan konstitusi berdasar pada i’tikad politik
dan merupakan hasil referendum para pendiri bangsa maka hasil keputusan yang
diambil adalah negara kesatuan.Keputusan ini juga banyak dipengaruhi oleh
pandangan yang hidup dalam suku jawa yakni adanya konsep manunggaling kawulo
Gusti.Merujuk pada konsep yang digagas oleh Syekh Abdul Jalil atau yang lebih
dikenal sebagai Syekh Siti Jenar.Dalam konteks kenegaraan konsep tersebut dapat
diartikan sebagai menyatukan antara rakyat dan negara atau rakyat dan
penguasa.Keputusan tersebut terlihat dari rumusan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang
hingga kini tidak pernah dilakukan amandemen sekalipun.
2.4 Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berkaitan dengan dasar filosofis negara kesatuan Indonesia, maka kita tidak
dapat memahami tanpa bersandar pada konstitusi, Pancasila, dan Pembukaan UUD
1945.Disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.Maksudnya adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan (akuntabilitas kekuasaan).Sebelumnya pernyataan mengenai
negara hukum terdapat dalam penjelasan yang menyatakan bahwa Negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtstaats), tidak berdasarkan pada kekuasaan
belaka(machtsstaat).18Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap,
kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk serta mengenai hal-hal yang
sifatnya fundamental harus berdasarkan hukum atau konstitusi.
Salah satu prinsip yang diatur dalam konstitusi adalah negara kesatuan, yang
mana prinsip ini belum dan tidak pernah dilakukan amandemen meskipun
amandemen terhadap UUD 1945 telah dilakukan sebanyak empat kali yaitu tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002. Hal ini membuktikan kebulatan dan keteguhan para
penguasa untuk tetap mempertahankan hasil pemikiran, perjuangan, dan penetapan
para pendiri bangsa terhadap bentuk negara kesatuan.
17
Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, hlm. 286.
18
14 Selain itu, berbicara mengenai filosofis kita juga tidak dapat terlepas dari teori
hukum berjejang Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, dalam hal ini kaitannya dengan
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm atau norma
fundamental negara. Norma fundamental negara merupakan norma tertinggi dalam
suatu negara yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi tetapi
pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan
merupakan norma tempat bergantungnya norma hukum di bawahnya.19 Lebih lanjut
Nawiasky mengemukakan, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan
dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara,
termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu staatsfundamentalnorm
adalah syarat bagi berlakunya suatu kontitusi atau UUD, di mana ia terlebih dahulu
ada sebelum adanya konstitusi atau UUD.20
2.4.1 Pancasila dan Pembukaan UUD Sebagai Staatsfundamentalnorm
Pancasila dan Pembukaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.Inti dari Pembukaan UUD 1945 pada hakikatnya terdapat dalam alenia
IV.Sebab segala aspek penyelenggaraan pemerintahan negara yang berdasarkan
Pancasila terdapat dalam Pembukaan alenia IV.Maka sesungguhnya antara
Pembukaan dan Pancasila terdapat hubungan yang kausatif dan timbal balik.
Secara formal, Pancasila menjadi dasar filsafat Negara Indonesia karena
dicantumkannya Pancasila di dalam Pembukaan, maka Pancasila memperoleh
kedudukan sebagai norma dasar hukum positif di Indonesia. Dengan demikian
seluruh tata kehidupan berbangsa dan bernegara harus bersumber pada perpaduan
antara asas religius, kultural, dan kenegaraan tidak hanya berpedoman pada asas
ekonomi, politik, maupun sosial, karena Pancasila merupakan bentuk kristalisasi dari
berbagai nilai dan asas yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan
masyarakat, begitu halnya dalam kehidupan bernegara masyarakat Indonesia.
Secara materil, Pembukaan merupakan tertib hukum Indonesia yang dijiwai oleh
Pancasila.Hal ini sejalan dengan urutan kronologis perumusan keduanya pada sidang
BPUPKI, yang dapat dianalisa berdasarkan rumusan Piagam Jakarta.Arti kata dijiwai
19Ni’matul Huda, Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan
, Nusamedia, Bandung, Cetakan III, 2011, hlm. 13.
20
15 sendiri adalah bahwa secara materil kaidah hukum di Indonesia merupakan
penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.Menurut Notonegoro
dalam hubungannya dengan hakikat dan kedudukan Pembukaan UUD sebagai pokok
kaidah negara yang fundamental, maka yang merupakan inti sari daripada pokok
kaidah tersebut tidak lain adalah Pancasila.
Pembukaan sebagai staatsfundamentalnorm dapat dilihat dari dua sudut
pandang, yaitu:
1) Dari proses terbentuknya atau terjadinya, bahwa Pembukaan dibentuk oleh
founding fathers dan merupakan penjelmaan suatu penyataan lahirnya suatu
negara atas kehendak pembentuk negara sehingga menjadi dasar-dasar negara
yang dibentuknya.
2) Dari substansinya, bahwa Pembukaan UUD 1945 memuat dasar pokok negara
atau norma dasar yang fundamental sebagai berikut:
a. Dasar tujuan negara, secara umum tujuan yang dikehendaki dari isi
Pembukaan adalah termuat dalam kalimat “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abdi dan keadilan sosial”. Tujuan ini menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang sifanya bebas
aktif. Sedangkan tujuan khususnya termuat dalam kalimat “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Tujuan ini merupakan tujuan bersama bangsa Indonesia dan merupakan
cita-cita nasional dalam membentuk sebuah negara.
b. Membentuk suatu UUD negara. Dapat dilihat dari alenia IV “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…” Hal ini sebagai pernyataan bahwa Indonesia berdiri harus berdasarkan hukum dan penyelenggaraannya harus
bersumber pada hukum.
c. Bentuk negara dan bentuk pemerintahan. Berdasarkan kalimat “…yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat…”. Berdasarkan rumusan tersebut bentuk negara yang
dikehendaki adalah negara kesatuan dan bentuk pemerintahannya Republik,
16 d. Dasar filsafat negara (asas kerohanian). Hal ini dapat dilihat berdasarkan
tercantumnya rumusan Pancasila pada alenia ke-IV.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka benarlah apabila dikatakan bahwa
Pembukaan merupakan bagian daristaatsfundamentalnorm karena memuat berbagai
aturan pokok negara yang sifatnya fundamental.Sedangkan Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorm dapat dilihat berdasarkan hubungan timbal baik antara
Pembukaan dan Pancasila yang dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Yang dikuatkan dengan rumusan pasal 2 UU
12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi
“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” yang dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan isi dari setiap sumber hukum di Indonesia di mana ia
menjadi filsafat atau pandangan hidup bangsa dalam bernegara. Artinya bahwa setiap
peraturan,termasuk dalam konteks kenegaraan harus dijiwai oleh Pancasila serta
tidak boleh bertentangan dengannya.
Selain itu, dalam pokok pikiran pertama yang terkandung dalam Pembukaan
menyatakan bahwa Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.21Dalam Pembukaan ini diterima
pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa
seluruhnya.Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan perseorangan dan
egara menghendaki persatuan.Inilah suatu dasar negara yang tidak dapat dan tidak
boleh dilupakan.
Pembukaan juga memuat cita-cita luhur dan filosofis di setiap alenia.Tepatnya
alenia ke-IV menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan
yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam mengejawantahkan keseluruhan
cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah
Negara Republik Indonesia. Dan jelaslah bahwa Indonesia dalam mencapai tujuan
dan yang menjadi dasar negara merupakanprinsip demokrasi konstitusional.
21
17
2.4.2 Pembatasan Perubahan Terhadap UUD 1945
Notonegoro mengatakan bahwa tidak semua ketentuan dalam UUD 1945 boleh
diubah.Beliau menghubungkan perubahan UUD 1945 dengan syarat-syarat
staatsfundamentalnorm sehingga diperoleh bagian yang tidak boleh diubah.
Ketentuan UUD 1945 yang memenuhi syarat-syarat staatsfundamentalnorm adalah
Pembukaan dan Pancasila sehingga tidak boleh diubah oleh siapapun termasuk MPR
hasil pemilihan umum yang merupakan satu-satunya lembaga negara yang diberi
kewenangan untuk merubah UUD 1945 sebab perubahan terhadap Pembukaan UUD
berarti berimplikasi pada pembubaran negara terutama mengingat keberadaan
Pancasila di alenia keempat.
Jikalau inti sari dari pembukaan bagian keempat disimpulkan dalam hubungan
dengan kesatuan dan tingkat kedudukan dari unsur yang satu terhadap yang lain,
maka Pancasila merupakan asas kerohanian (filsafat, pendirian, dan pandangaan
hidup), yang menjadi basis22 bagi asas kenegaraan berupa bentuk Republik yang
berkedaulatan rakyat.Keduanya menjadi basis bagi penyelenggaraan kemerdekaan
kebangsaan Indonesia, yang dicantumkan dalam peraturan pokok hukum positif yang
termuat dalam UUD. Selanjutnya UUD menjadi basis bagi bentuk pemerintahan dan
seluruh peraturan hukum positif, yang mencakup segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dalam kesatuan pertalian hidup bersama,
kekeluargaan, dan gotong royong untuk kebahagiaan nasional dan internasional, baik
rohani maupun jasmani.
Berdasarkan pernyataan Notonegoro di atas dapat disimpulkan bahwa Pancasila
yang terdapat dalam Pembukaan merupakan basis perjuangan kemerdekaan
Indonesia, bentuk negara kesatuan dan Republik dari negara yang didirikan bangsa
Indonesia, susunan pemerintahan, dan seluruh hukum positif yang mencakup
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu
NKRI didirikan atas basis yang termuat dalam Pembukaan UUD dan sesuai
nilai-nilai Pancasila dapat dipahami bahwa negara akan runtuh atau bubar jika basis
pendirian tersebut diubah bahkan bila dihilangkan.
22
Basis berarti asas; dasar. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
18
2.5 Landasan Yuridis Negara Kesatuan Republik Indonesia
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,
negara yang didasarkan pada konstitusi.UUD 1945 sebagai konstitusi merupakan
aturan pokok negara yang memuat segala hal yang sifatnya fundamental.Bahkan
karena sifatnya ini UUD memberikan batasan terhadap perubahan pasal-pasal di
dalamnya.Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pembahasan yang melebar dan
perubahan tanpa arah yang jelas.
2.5.1 Tinjauan dari UUD 1945 Setelah Amandemen
Ditinjau dari sisi yuridis sebagaimana wujud negara hukum maka dalam
konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ke-4
pada tahun 2002, terdapat begitu banyak pasal yang menunjukkan bentuk negara
kesatuan Indonesia maupun yang dikaitkan dengan pasal tersebut berdasarkan suatu
keterkaitan yang erat, diantaranya:
1) Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Pasal ini merupakan salah satu dari beberapa pasal yang tidak pernah diubah hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa perubahan bentuk
negara dapat membahayakan bangunan negara itu sendiri. Selain itu merubah
pasal 1 ayat(1) akan berimplikasi kepada pasal lainnya, yang artinya dapat
merubah keseluruhan ketentuan dalam konstitusi. Bahkan hal ini tidak sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila yang memuat nilai persatuan dan kesatuan yang
berintikan pada gotong royong atau kekeluargaan serta tidak lagi mencerminkan
cita hukum (rechtsidee) dalam Pembukaan UUD termasuk pokok pikiran yang
termuat di dalam Pembukaan UUD. Pasal ini secara formal telah menetapkan
bentuk negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan dan Republik.23
2) Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Berdasarkan frasa tersebut dapat dipahami bahwa dalam negara Indonesia hanya terdapat satu
kekuasaan atau pemerintahan yaitu pemerintah pusat dalam hal ini kekuasaan
eksekutif. Selain itu ketentuan ini juga menegaskan bahwa hanya ada satu kepala
negara dan pemerintahan yaitu Presiden. Semua kriteria tersebut telah sesuai
dengan ciri dan karakteristik dari negara kesatuan.
23
19 3) Pasal 18 ayat (1) berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Ketentuan itu dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam NKRI yang meliputi daerah provinsi
dan dalam daerah provinsi terdapat daerah kabupaten dan kota. Ketentuan ini
juga mempunyai keterkaitan yang erat dengan Pasal 25A mengenai wilayah
NKRI. Frasa dibagiatas bukanlah istilah yang digunakan secara kebetulan. Ungkapan itu digunakan untuk menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah
negara kesatuan dan kedaulatan negara ada di tangan Pusat. Hal ini konsisten
dengan kesepakatan untuk tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan. Pasal
18 ayat (1) ini sesuai dengan sejarah Indonesia, yakni asal muasal negara
Indonesia adalah negara kesatuan.24
4) Pasal 18B ayat (1) dan (2) yang menegaskan dan memperjelas bahwa sistem
negara kesatuan yang dianut Indonesia adalah desentralisasi dengan adanya
otonomi. Indonesia secara hukum telah mengakui dan mendukung pemerintahan
daerah yang istimewa dan khusus berdasarkan pendekatan historis. Seperti
Yogyakarta, Aceh, Papua, dan DKI Jakarta. Selain itu juga merupakan
pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
kekhususan suatu daerah tetap berpegang pada prinsip negara kesatuan.
5) Pasal 25A yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang bercirikan Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Adanya ketentuan ini dimaksudkan untuk mengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI. Hal ini sekaligus
penegasan secara konstitusional batas wilayah Indonesia di tengah potensi
perubahan batas geografis sebuah negara akibat gerakan separatis, sengketa
perbatasan, atau pendudukan oleh negara asing. Berkaitan dengan wilayah negara
Indonesia, pada 13 Desember 1957 dicetuskan Deklarasi Djuanda yang
menyatakan “Bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia,
dengan tidak memandang luas dan lebarnya , adalah bagian yang wajar dari
24
20 wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian daripada perairan pedalaman dan perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. Penetuan batas laut 12
mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada
pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.”25 Deklarasi Djuanda ini menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan
wilayah Nusantara.Laut bukan lagi sebagai pemisah, tetapi sebagai pemersatu
bangsa Indonesia.Konsep yang terdapat dalam deklarasi ini adalah negara
kepulauan yang bercirikan Nusantara (archipelagic state).
6) Pasal 37 ayat (5) berbunyi “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Dalam ketentuan ini, Pembukaan tidak termasuk objek perubahan, sedangkan bentuk NKRI tidak dapat diubah.
Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas komitmen bangsa Indonesia terhadap
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan bentuk NKRI sekaligus melestarikan
putusan para pendiri negara pada tahun 1945. Rumusan ini juga menggambarkan
sikap konsistensi terhadap kesepakatan dasar yang dicapai fraksi-fraksi MPR
sebelum dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.26
Menurut Sri Soemantri tidak diaturnya masalah pembatasan dalam UUD 1945
menyebabkan timbulnya persoalan tentang dapat diubahnya atau tidaknya bentuk
pemerintahan, bentuk negara, Pasal 29 ayat (2), dan terutama Pembukaan
UUD.27Berkaitan pembatasan dalam pasal 37, Soemantri memberikan alasan
perlunya pembatasan tersebut adalah masalah bentuk pemerintahan dan bentuk
negara tidak dapat dilepaskan dari sejarah pergerakan nasional Indonesia.Baik
Republik sebagai bentuk pemerintahan, maupun negara kesatuan sebagai bentuk
negara adalah bagian-bagian dari tujuan untuk mencapai kemerdekaan yang
diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Sedangkan pembukaan yang berisi antara
lain dasar negara Pancasila berasal dari Piagam Jakarta dan merupakan hasil
musyawarah antara golongan Islam dan Kebangsaan.
25Ibid
, hlm. 169.
26Ibid
, hlm. 205
27
21
2.5.2 Tinjauan dari UU Pemerintahan Daerah
Undang-Undang tentang Pemda sendiri telah beberapa kali dilakukan perubahan,
yang terakhir adalah UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.
23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di sini penyusun akan meninjau
setidaknya dari tiga UU tentang Pemda yang pernah berlaku yaitu UU 22/1999, UU
32/2004, dan UU 23/2014.
1) Berdasarkan UU 22/1999 tentang Pemda, sesungguhnya telah terdapat jawaban
akan perdebatan mengenai bentuk negara Indonesia. Pasal 4 ayat (1)
menyebutkan “Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan
disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat”. Frase “Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi” menegaskan bahwa otonomi yang diberikan kepada daerah itu tidak lain merupakan wujud dari pelaksanaan asas desentralisasi. Artinya
kewenangan yang diberikan tetap berasal dari Pusat berdasarkan delegasi dan
atribusi kewenangan. Selain itu, rumusan tersebut mengukuhkan bahwa negara
Indonesia menganut kesatuan yang berasaskan desentralisasi. Dalam Pasal 7 ayat
(1) dan (2), menjadi penegasan bahwa daerah dalam kewenangannya diberikan
batasan oleh pusat terkait politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, dan kewenangan bidang lain.28 Hal ini menjelaskan
bahwa hanya Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan multak dan
menyeluruh terhadap kelangsungan kehidupan bernegara Indonesia.
2) Dalam UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 10 bagian ketiga mengenai pembagian
urusan pemerintahan secara implisit menyatakan bahwa yang memegang
kekuasaan adalah Pemrintah Pusat. Sedangkan daerah menjalankan kewenangan
atas dasar otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan.
3) UU No. 23 Tahun 2014, Secara eksplisit telah menggambarkan nuansa negara
Kesatuan. Pasal 9 menyatakan bahwa yang menjadi urusan pemerintah pusat
adalah urusan pemerintahan absolut, kongruen, dan umum yang selanjutnya
dijelaskan pada ayat (2) sampai dengan (5). Yang pada dasarnya menunjukkan
dan menegaskan bahwa Pemerintah Pusat pemegang kekuasaan yang absolut dan
28
22 hanya satu pemerintahan, daerah menjalankan otonomi berdasarkan penyerahan,
dan Presiden yang mempunyai kewenangan sebagai kepala pemerintahan.
2.6 Landasan Sosiologis Negara Kesatuan Republik Indonesia
Indonesia adalah suatu negara yang multikultur yang memiliki keanekaragaman
budaya, bahasa, suku, ras, agama, dan golongan.Indonesia juga mempunyai 17.508
pulau yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.Selo Soemardjan mengungkapkan
bahwa saat disiapkannya Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila tampaknya
pemimpin bangsa telah menyadari realitas keanekaragaman kebudayaan yang
terdapat di tanah air.Realitas ini tidak dapat diabaikan dan secara rasional harus
diakui adanya.Founding fathersmenyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa
merupakan realitas yang harus dijaga eksistensinya dalam persatuan dan kesatuan
bangsa.
Keanekaragaman budaya Indonesia dilengkapi oleh keanekaragaman lain yang
ada pada tatanan hidup masyarakat baik perbedaan ras, suku, agama, dan bahasa
serta golongan politik, semuanya terhimpun dalam suatu ideologi Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika.Kansil dan C. Kansil menyatakan bahwa persatuan
dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi
kesatuan dan persatuan bangsa.29Sehingga Bhineka Tunggal Ika bukan hanya sebagai
slogan dan lambang sebagaimana terdapat dalam pita yang dicengkram oleh lambang
Garuda, namun merupakan wujud persatuan bangsa Indonesia.
Mahfud MD berpandangan bahwa pada hakikatnya sejak awal founding fathers
bangsa Indonesia telah menyadari keragaman bahasa, budaya, agama, suku dan etnis
kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur, maka bangsa Indonesia
menganut semangat Bhineka Tunggal Ika, hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan
persatuan yang menjadi kehendak rakyat kebanyakan.30
Berangkat dari pernyataan di atas, begitu banyak fenomena sosial yang meliputi
Indonesia baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Melihat dari berbagai
peristiwa sejarah dimana Indonesia memiliki begitu banyak bahasa, daerah,
golongan, suku, ras, agama, dan budaya, namun pada 28 Oktober 1928 para pemuda
29
Kansil dan C. Kansil, dalam Gina Lestari, Bhineka Tunggal Ika : Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA, Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta, Vol. 28, No. 1, Februari 2015, hlm. 35.
30
23 dan pemudi bangsa mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak dalam
persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia begitu banyak diliputi perjuangan
mempertahankan NKRI dari berbagai rongrongan kelompok separatis yang berusaha
mengubah dasar negara beserta bentuknya bahkan berbagai upaya dari kelompok
radikal, namun dengan semangat persatuan Indonesia tetap kokoh berdiri
menjunjung NKRI.
Perkembangan zaman tentunya membawa dampak pada kehidupan sosial,
globalisasi dan modernisasi masuk ke Indonesia dengan membawa beberapa budaya
baru.Meskipun sedikit banyak masyarakat telah terpengaruhi, sejauh ini Pancasila
masih membuktikan sistem filtrasi terhadap berbagai kebudayaan yang pada
akhirnya persatuan dan kesatuan termasuk bentuk negara sendiri masih bertahan
hingga saat ini.
Bukti nyata semangat persatuan dalam kehidupan sosial dan bernegara saat ini
adalah dianutnya sistem demokrasi yang bersumber pada nilai musyawarah untuk
mufakat, gotong royong dan semangat kekeluargaan.Indonesia telah lama berdiri
dengan multikutural namun semua itu tetap dapat teratasi dan Indonesia tetap
memegang kokoh serta konsisten mempertahankan bentuk negara kesatuan.Karena
pada dasarnya kehendak bersatu adalah kehendak rakyat Indonesia dan rakyat masih
tetap ingin mempertahankan NKRI dan Pancasila. Yang kemudian diikat oleh sebuah
aturan yang sifatnya pokok atau mendasar yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30,
bahwa terhadap segala bentuk ancaman rakyat berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara dengan sistem rakyat semesta, di mana TNI sebagai
kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Esensi dari negara kesatuan sendiri terletak pada Ontologytentang hakikat
manusia sebagai subjek pendukung negara menurut paham negara kesatuan. Negara
bukanlah sebuah organisasi dari perseorangan atau individu manusia akan tetapi
terbentuk berdasarkan fitrah manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Hakikat negara adalah masyarakat itu sendiri.Karena masyarakatlah yang
menyelenggaraan negara demi mencapai tujuan negara itu sendiri. Dalam konteks
negara kesatuan Indonesia yang terdiri dari begitu banyak pulau, bahasa, suku, etnis,
agama, ras, dan budaya, masyarakat tetap menyatakan satu bangsa, satu tanah air,
24 menyatakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dalam balutan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Tentunya sangat kontras dengan negara federal yang
terbagi-bagi menjadi beberapa pemerintahan dan negara terbagi-bagian.
2.7 Pertimbangan Atas Pilihan Negara Kesatuan bagi Indonesia
Beberapa alasan tentang dipilihnya bentuk negara kesatuan oleh para pakar
dapat disimpulkan :
1. Bentuk negara federal pada dasarnya hanya sebagai sebuah negara gabungan
yang tetap memberikan wewenang untuk mengurusi urusan sendiri, masih
berwujud negara bagian bukan menjadi daerah yang bersatu, sehingga
ditakutkan dapat menyebabkan perpecahan terhadap bangsa dan negara.
2. Dalam memahami konsep negara kesatuan tidak boleh setengah-setengah namun
harus keseluruhan agar tidak terjadi ketimpangan yang pada intinya
membutuhkan rasa nasionalisme tinggi.
3. Berbagai fakta sejarah terkait peristiwa atau gerakan separatis telah
membuktikan kepada kita bahwa pilihan negara kesatuan tepat adanya, sebagai
contoh NII ingin mengubah Indonesia sebagai negara Islam, PKI dengan paham
komunis, PRRI/PERMESTA, OPM, GAM, RMS telah memberikan penegasan
bahwa NKRI merupakan bangunan yang kokoh dalam mempersatukan seluruh
wilayahnya dari setiap rongrongan yang berusaha mengubah ideologi dan bentuk
negara Indonesia.
4. Volkgeist sebagaimana disebut Von Savigny merupakan jiwa bangsa dan jiwa
bangsa Indonesia adalah Pancasila yang memuat nilai-nilai persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara.
5. Indonesia telah memiliki berbagai prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang
mencerminkan persatuan, kekluargaan, dan musyawarah untuk mufakat bahkan
jauh sebelum Indonesia merdeka.
6. Dan berdasarkan konsensus serta i’tikad politik para founding fathers memilih negara kesatuan yang selanjutnya dimuat dalam konstitusi serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang terus berlaku hingga sekarang meskipun
banyak peraturan perundang-undangan setingkat UU yang dilakukan perubahan
25 ada satu pemerintahan yang memegang kekuasaan absolut, kongruen, dan umum
26
BAB III PENUTUP
3.1Kesimpulan
Negara kesatuan merupakan negara yang bersusun tunggal dan hanya memiliki
satu pemerintahan yang memegang kekuasaan dalam hal urusan yang absolut,
kongruen, dan umum untuk kelangsungan hajat hidup masyarakat dan negara
Indonesia.Perdebatan mengenai bentuk negara telah terjadi sejak lama, namun yang
perlu menjadi perhatian adalah bagaimana para pendiri bangsa terutam Soepomo
dalam memberikan pemahaman negara integralistik yang dijiwai oleh semangat
kekeluargaan dan gotong royong yang bersumber pada falsafah Pancasila.Negara
kesatuan yang termuat dalam Pembukaan sendiri merupakan negara yang berangkat
dari kehendak rakyat untuk bersatu sehingga negara hadir untuk melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Berdasarkan dari pemikiran para pendiri bangsa, kesepakatan dasar fraksi MPR,
serta perjuangan yang meliputi upaya mempertahankan bentuk negara kesatuan
Indonesia, maka sudah sepantasnya kita tetap konsisten terhadap hal tersebut.Bahwa
berdirinya RIS pada kala itu telah menyebabkan berbagai konflik berkepanjangan
sehingga berbagai upaya oleh rakyat terjadi untuk kembali kepada bentuk negara
kesatuan telah cukup menjadi bukti bahwa kehendak negara kesatuan adalah
kehendak rakyat Indonesia yang harus terus dipertahankan.
Dari segi yuridis dan sosiologis juga telah dipaparkan di atas sebagai landasan
bahwa negara Indonesia lebih pantas dan memang pantas dengan bentuk
NKRI.Itulah yang menjadi alasan oleh para pakar mengapa negara kesatuan menjadi
pilihan Indonesia. Dan berdasarkan pertimbangan yang ada baik dari makna negara
kesatuan bagi Indonesia, secara filosofis, yuridis, dan sosiologis, bahkan alasan
perlunya bentuk NKRI dipertahankan, maka penulis tetap pada pendirian yakni
27
3.2Saran
Pada dasarnya perbedaan pendapat maupun perdebatan mengenai bentuk negara
adalah hal yang wajar, mengingat negara juga mengalami proses sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman. Kunci utama dalam menjaga persatuan dan
kesatuan terhadap perdebatan yang ada adalah adanya toleransi yang tinggi.Hal ini
sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan semangat Bhineka
Tunggal Ika.
Namun, sebagaimana dinyatakan di awal bahwa penulis sebagai pihak yang
kontra terhadap wacana tersebut, maka hemat penulis bahwa segala aturan yang ada
mengenai bentuk negara dilaksanakan secara konsekuensi dan tegas.Kita tidak lagi
mencari formulasi baru mengenai bentuk negara yang pada akhirnya dapat
mengubah seluruh tatanan kenegaraan Indonesia. Tetapi seharusnya lebih
mempertegas dan konsisten terhadap apa yang telah berjalan sekian lama, hal ini juga
28
DAFTAR ISI
Literatur Buku dan Jurnal
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Budiardjo, Miriam. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Busroh, Abu Daud. 2015. Ilmu Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Djamali, R. Abdoel. 2011. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.
Hamidi, Jazim dan Malik. 2009. Hukum Perbandingan Konstitusi. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Handoyo, B. Hestu Cipto. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia : Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Huda, Ni’matul. 2011. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Bandung: Nusa Media.
Lestari, Gina. Februari 2015.Bhineka Tunggal Ika : Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Vol. 28. No. 1: 31-37.Diunduh [23 April 2017 pk. 20.44].
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2016. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Neagara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Soemantri, Sri. 1984. Prosedur Perubahan Konstitusi. Bandung: Alumni.
Strong, C. F. 2010. Konstitusi-konstitusi Politik Modern:Suatu Perbandingan Tentang Sejarah dan Bentuk. Terjemahan Daerta Sri Widowatie. Bandung: Nusamedia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wheare, K. C. 2011. Modern Constitutions.Terjemahan Imam Baehaqie. Bandung: Nusamedia.
29
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Republik Indonesia. 2015. Undang-Undang Nomor 09 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Artikel dari Internet
Anonim.Desember 2016.Perbedaan Ciri-ciri Negara Kesatuan dan Negara Serikat.Diakses melalui http://trendilmu.com/2016/12/perbedaan-ciri-ciri-negara-kesatuan-dan-negara-serikat.html?m=1# [27 April 2017 pk. 15.05].
Abi, Muhammad. 24 November 2014. Paham Integralistik Indonesia. Diakses melalui situs web http://infoadasemua.blogspot.com/2014/11/paham-integralistik-indonesia.html [21 April 2017 pk. 1937].
Chusnah, Lailatul. 02 Mei 2012.Sejarah Pemikiran Pancasila. Diakses melalui websitehttp://lailatul-chusnah.blogspot.com/2012/05/sejarah-pemikiran-pancasila.html [21 April 2017 pk. 19.42].
Hartono, Nugroho Dwi P. 11 April 2015. Teori Negara Integralistik. Diakses melalui website http://nusamagz.blogspot.com/2015/04/teori-negara-integralistik.html [23 April 2017 pk. 10.26].
Prima, Benny Agus. 28 Desember 2011.Teori Muatan Konstitusi. Diakses melalui situs ini http://bennyagusprima.blogspot.co.id/2011/12/teori-materi-muatan-konstitusi.html?m=1 [23 April 2017 pk. 11.13].
Rosdiana, Nurma Zapna. 06 Juli 2014.Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan RI. Diakses melalui website berikut ini