• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Waktu Penyimpanan Ekstrak Renne

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Waktu Penyimpanan Ekstrak Renne"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1. Bahan Bioaktif Rennet

Rennet merupakan bahan bioaktif yang awalnya merupakan hasil ekstraksi

abomasum sapi muda yang digunakan sebagai starter dalam proses pembuatan

keju, karena mengandung enzim khimosin dengan kadar tinggi. Walaupun

sebagian besar enzim protease telah diketahui mampu menggumpalkan susu,

namun enzim khimosin memiliki kemampuan paling besar dalam

mengkoagulasikan susu (Schwimmer 1981). Selain dari sapi muda (Andren et al.

1982), rennet juga telah dikembangkan dari hewan ruminansia lain, tanaman

(Ogugua et al. 1987), dan mikroba yang direkayasa secara genetik (genetic

modified organism = GMO) (Van Dijck 1999).

Berbagai ekstrak rennet dapat dibuat dengan kemampuan mengkoagulasi

susu yang berbeda–beda, sehingga curd yang dihasilkan juga berbeda. Hal ini

sangat penting untuk mengukur kemampuan tiap ekstrak dalam

mengkoagulasikan susu (Scott 1986). Rennet yang diperoleh dari spesies hewan

yang berbeda memiliki kemampuan mengkoagulasikan susu yang bervariasi

(Daulay 1991).

Ekstrak rennet dari anak sapi muda mengandung 88–94% khimosin dan

6–12% pepsin dan sebaliknya ekstrak yang berasal dari sapi dewasa yaitu

mengandung 90–94 % pepsin dan hanya 6–10% khimosin (Scott 1986). Enzim

yang lazim digunakan dalam proses pembuatan keju adalah khimosin yang

dihasilkan oleh hewan muda, karena bersifat spesifik dalam mengkatalisis reaksi

hidrolisis k-kasein susu, sehingga menyebabkan koagulasi susu yang spesifik pula

dan memberikan cita rasa keju yang khas (Andren et al. 1982). Selain khimosin,

pepsin juga dapat digunakan sebagai enzim pengganti dalam pembuatan keju.

Penggunaan pepsin telah menarik perhatian terutama karena pepsin secara alami

terdapat bersama-sama dalam khimosin. Akan tetapi, penggunaan pepsin tidak

memuaskan dan enzim pepsin ini juga mudah terinaktivasi. Hal ini tidak

menguntungkan pada proses pemasakan keju yang menginginkan tekstur yang

padat. Apabila pepsin dicampur dengan khimosin, maka hasilnya akan lebih baik

(2)

1.1 Enzim Khimosin

Khimosin (dahulu dinamakan rennin) adalah suatu enzim proteolitik yang

dihasilkan oleh sel-sel utama (chief cells) di dalam lambung anak hewan mamalia.

Enzim ini dapat diperoleh dari ekstrak lambung abomasum hewan ruminansia

seperti anak sapi, domba, dan kambing (Yamamoto 1975). Selain diperoleh dari

lambung hewan, khimosin juga dapat diproduksi melalui proses mikrobial

(misalnya Mucor sp), sehingga lebih mudah disesuaikan dengan arus permintaan

pasar karena didasarkan pada cepatnya perkembangbiakan mikroba (Bailey dan

Ollis 1988). Menurut Matsubara dan Feder (1971) mikroba Endothia parasitica,

Mucor pusillus, M. meihei, Bacillus cereus, Aspergillus candidus dan

Byssochlamys fulva dapat menghasilkan enzim yang mirip dengan khimosin.

Akan tetapi, keju yang dihasilkan dari mikroba belum dapat bersaing di pasaran

karena memberikan cita rasa yang sedikit pahit (Daulay 1991).

Enzim ini disekresikan dalam bentuk inaktif (prokhimosin) dengan berat

molekul sebesar 36 kDa dan bentuk aktifnya (khimosin) sebesar 31 kDa

(Suhartono 1992), namun menurut Atallah (2007) enzim khimosin memiliki berat

molekul 35.6 kDa dan prokhimosin 40.8 kDa. Enzim khimosin mempunyai titik

isoelektrik sekitar pH 4.5 dan stabil pada pada pH 5.3 sampai 6.3. Pada pH 2.0

proses aktivasi sangat cepat, tetapi pada pH 5.0 aktivasi sangat lambat dan

umumnya hidrolisis terjadi karena proses autolisis. Asam amino yang terdapat

pada gugusan khimosin adalah lisin, histidin, arginin, triptofan, asam aspartat,

threonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valin, metionin, leusin,

isoleusin, tyrosin dan fenilalanin (Matsubara dan Feder 1971).

Khimosin bekerja mengkoagulasikan susu yang masuk ke lambung dan

merupakan suatu proses yang sangat penting pada hewan muda. Jika susu tidak

terkoagulasi, susu akan mengalir sepanjang lambung dengan cepat sehingga tidak

terjadi pencernaan protein (Bowen 1996). Khimosin ini juga memiliki peranan

penting dalam mengubah kasein dalam susu secara irreversibel menjadi

parakasein, selanjutnya pepsin bekerja pada parakasein ini (Mayes et al. 2003).

Susu digumpalkan dengan khimosin menjadi gumpalan berupa gel yang

lunak dan lembut yang dapat mengeluarkan whey dengan kecepatan yang

(3)

tidak dengan fleksibilitas yang sama. Penambahan khimosin ke dalam susu

menyebabkan berlangsungnya reaksi dua tahap. Tahap pertama adalah reaksi

enzimatis dan tahap kedua adalah reaksi non-enzimatis. Kedua reaksi tersebut

berlangsung secara terpisah dan tidak dapat dibedakan secara visual (Daulay

1991). Menurut Matsubara dan Feder (1971), koagulasi susu maksimum pada

suhu 40–45 °C untuk khimosin hewan dan suhu 75–80 °C untuk khimosin

mikroba.

1.2 Enzim Pepsin

Pepsin adalah enzim yang dihasilkan oleh sel-sel utama (chief cells) kelenjar

fundus mukosa lambung yang berguna untuk memecah protein. Pepsin adalah

salah satu dari tiga enzim proteolitik utama di dalam sistem pencernaan hewan

dewasa. Pepsin merupakan protease yang paling umum digunakan sebagai

pengganti khimosin dalam pembuatan keju. Penggunaan campuran khimosin dan

pepsin dianggap paling optimum dan umum digunakan. Pepsin jarang digunakan

secara sendiri karena waktu penggumpalan yang lama, koagulan yang lunak,

kehilangan lemak dalam whey, terbentuk peptida pahit, tekstur keju yang lebih

lunak, serta ketidakmampuan untuk aktif pada pH 6.5 (Kilara dan Iya 1984).

Pepsin merupakan enzim proteolitik alami yang terdapat dalam cairan

lambung hewan dewasa. Hewan muda mengandung pepsin yang masih sedikit.

Seiring bertambahnya umur, maka kandungan pepsin semakin bertambah

menggantikan khimosin (Daulay 1991).

Protein yang masuk ke dalam lambung akan merangsang pengeluaran

hormon gastrin yang selanjutnya merangsang pengeluaran HCl (asam lambung)

oleh sel parietal kelenjar lambung, dan pepsinogen dari chief cells. Pepsinogen

merupakan bentuk inaktif dari pepsin yang memiliki berat molekul 42 kDa.

Pepsinogen diubah menjadi bentuk aktif oleh HCl atau dengan autokatalisis oleh

pepsin sendiri, sehingga berat molekulnya menurun menjadi 35 kDa. Pepsin dapat

beraktivitas optimal pada pH 1.8–3.5 tergantung pada isoformnya. Pepsin inaktif

reversible pada pH 5 dan inaktif irreversible pada pH 7–8 (Ross 1996). Namun

menurut Winarno (1983), berat molekul dari pepsin adalah 33 kDa dan aktif pada

(4)

2. Susu

Standar Nasional Indonesia (SNI) (1988) nomor 01-3141-1998 tentang

syarat mutu susu segar menjelaskan bahwa susu segar adalah susu murni yang

tidak mendapatkan perlakuan apapun kecuali proses pendinginan dan tanpa

mempengaruhi kemurniannya. Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat

baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri

patogen. Pencemaran pada susu dapat terjadi sejak proses pemerahan, yang

berasal dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia,

peralatan dan udara.

Standar Nasional Indonesia (SNI) (2000) nomor 01-6366-2000 tentang

batas maksimun cemaran mikroba dan batas maksimun residu dalam bahan

makanan asal hewan menyebutkan bahwa jumlah bakteri maksimal pada susu

segar yaitu 1x106 CFU/ml sedangkan susu pasteurisasi <3x104 CFU/ml. Untuk

jenis koliform pada susu segar diperbolehkan sampai 2x101 MPN/ml dan pada

susu pasteurisasi <0,1x101 MPN/ml.

Komposisi susu sapi rata–rata menurut Webb et al. (1983) adalah 87% air,

3.5–3.7% lemak, 4.9% laktosa, 3.5% protein dan 0.7% mineral. Lemak yang

paling banyak di dalam susu adalah trigliserida yaitu 98–99% dari total lemak,

sedangkan lemak lainya sekitar 1–2% yang terdiri dari phospholipida, sterol,

karotenoid dan vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K).

Jannes dan Patton (1959) mengelompokkan protein susu menjadi dua

kelompok, yaitu kasein dan serum atau protein whey (laktoglobulin dan

laktalbumin). Menurut Anglemier dan Montgomery (1976) susu sapi mengandung

kasein 78%, beta laktoglobulin 12%, alfa laktalbumin 2%, immunoglobulin 2%,

albumin 1% dan lain-lain 5%. Kasein merupakan partikel besar yang terdiri dari

zat-zat organik dan zat anorganik sperti kalsium dan fosfor. Senyawa kompleks

kasein tersebut dinamakan kalsium-kaseinat-fosfat-kompleks.

Kasein merupakan komposisi terbesar (sekitar 80%) dari total protein yang

terkandung di dalam susu (Widodo 2003). Kasein merupakan kompleks dari

fosfoprotein yaitu alfa kasein, beta kasein, gamma kasein dan kappa kasein (Kuntz

1996). Kasein membentuk misela-misela di dalam susu. Misela terdiri atas kasein

sub misela yang tersusun oleh partikel terbuka dan berbentuk seperti bola. Kappa

kasein menyusun lapisan luar dari partikel misel kasein dan berfungsi menjaga

(5)

Gambar 1 Struktur umum misel kasein pada susu (Tranchant 1999).

3. Keju

3.1 Sejarah Ringkas Keju

Keju adalah curd yang digumpalkan dengan menggunakan aktivitas enzim

yang diikuti dengan pemisahan whey dari koagulan yang terbentuk untuk

menghasilkan curd yang lebih padat dan kompak. Menurut Food and Agricultural

Organization, keju adalah produk segar atau fermentasi yang dihasilkan dengan

pemisahan cairan (whey) dari koagulan setelah penggumpalan susu, skim, krim

susu atau kombinasinya (Daulay 1991).

Catatan-catatan kuno tentang keju menunjukkan bahwa proses pembuatan

keju ditemukan secara kebetulan beberapa abad sebelum masehi, yaitu ketika

bangsa-bangsa pengembara di Negara-negara Mediteranian bagian timur yang

beriklim panas menyimpan dan mengangkut susu yang diperoleh dari ternak

dalam kantung-kantung yang terbuat dari kulit hewan atau kantung jeroan hewan

seperti lambung dan kantung kemih. Fermentasi laktosa yang berlangsung oleh

iklim panas menyebabkan susu menggumpal dalam kantung tersebut yang

kemudian pecah oleh guncangan selama perjalanan. Gumpalan susu yang

terbentuk disebut curd sedangkan cairan di sekitarnya disebut whey (Daulay

1991).

(6)

3.2 Klasifikasi Keju

Menurut Daulay (1991), keragaman jenis keju tergantung pada bahan dasar

yang digunakan, metode koagulasi susu, kadar whey dalam curd, dilakukan

pemeraman atau tidak dan metode pemeraman yang digunakan. Berdasarkan

perlakuan selama pengolahan dan bahan baku yang digunakan, tiap jenis keju

akan memiliki karakteristik tertentu seperti ukuran, bentuk, warna, penampilan

eksternal, aroma, cita rasa, kadar lemak, kadar garam, dan sebagainya.

Berdasarkan teksturnya, keju dibedakan menjadi keju keras dan keju lunak.

Keju keras dibedakan menjadi keju sangat keras (misalnya Swiss cheese) dan keju

setengah keras (misalnya Roquefort cheese dan Brick cheese). Keju lunak

dibedakan menjadi tiga, meliputi keju yang mengalami proses pemeraman oleh

bakteri yaitu Limburger cheese, pemeraman oleh kapang yaitu Camembert cheese

dan yang tidak mengalami pemeraman yaitu Cottage cheese (Eckles et al. 1980).

3.3 Pembuatan Keju

Karakteristik pembuatan keju adalah terbentuknya curd atau

terkoagulasinya susu. Koagulasi susu dapat terjadi karena kerja dari asam laktat

yang dihasilkan oleh mikroba (bakteri), penambahan rennet atau pepsin atau

kombinasi keduanya (Eckles et al. 1980).

Secara umum proses pembuatan keju menurut Scott (1986) terdiri dari

tahapan-tahapan : standardisasi, homogenisasi, dan pemanasan susu, penambahan

starter, pewarna, dan rennet, pembentukan, pemotongan dan pemasakan curd,

penirisan, penggaraman, pengepresan dan pelapisan. Namun tahap-tahap tersebut

dapat dikembangkan menjadi :

3.3.1 Persiapan susu

Susu dari semua jenis hewan dapat digunakan, agar didapatkan keju yang

mutunya konstan, maka susu harus distandardisasi. Standardisasi susu meliputi:

a. Variasi susu

Rasio protein-lemak (kasein/lemak) susu perlu diketahui untuk

mendapatkan variasi komposisi keju yang konstan, jika lemak terlalu tinggi maka

akan didapatkan keju yang lunak dan basah, sedangkan jika lemak terlalu rendah

(7)

untuk pembuatan keju berkisar antara 1:0.69 sampai dengan 1:0.70 (Scott 1986).

Rasio kasein/lemak susu berbeda-beda untuk setiap sapi seperti terlihat pada

Tabel 1.

Tabel 1 Rasio kasein/lemak susu pada berbagai ras sapi (Scott 1986)

Ras Sapi Lemak Kasein Rasio

Bahan-bahan ini umumnya disuntikkan pada sapi yang mengalami

mastitis. Jika bahan tersebut terdapat pada susu untuk pembuatan keju maka keju

yang dihasilkan rendah mutunya karena bahan tersebut akan menghambat

pertumbuhan bakteri starter yang digunakan.

c. Derajat Pemanasan

Susu harus dipasteurisasi terlebih dahulu untuk membunuh mikroba

patogen dan sebagian mikroba pembusuk (Frazier dan Westhoff 1981).

Pasteurisasi dapat menggunakan dua cara yaitu high temperature short time

(HTST) pada suhu 71.7 °C selama 15 detik atau low temperature low time (LTLT)

pada suhu 62.8 °C selama 30 menit (Potter 1978). Suhu yang digunakan untuk

pemanasan susu tidak boleh melebihi 72 °C, karena keju yang dihasilkan akan

lunak, terdapat protein diantara gumpalan-gumpalan susu yaitu laktoglobulin dan

laktalalbumin yang tidak dikehendaki pada pembuatan keju karena harus terpisah

dari kasein yang tidak larut air.

d. Derajat sanitasi dan higiene

Adanya kotoran-kotoran seperti debu, pasir, bulu, butir-butir darah dan

kotoran lainya pada susu akan mengganggu proses pembuatan keju. Mikroba yang

mengontaminasi susu, seperti Micrococcus sp dan Staphylococcus sp. dan berasal

dari kotoran tersebut akan mengganggu mikroba lain yang dibutuhkan dalam

pembuatan keju. Partikel-partikel kotoran tersebut juga akan menurunkan mutu

(8)

e. Kualitas Organoleptik

Kualitas organoleptik susu ditentukan berdasarkan penilaian terhadap rasa,

aroma, tekstur dan penampilan umum. Susu yang akan dibuat keju harus diterima

secara organoleptik.

3.3.2 Penambahan Starter

Starter keju adalah kultur aktif dari mikroorganisme non-patogen yang

ditumbuhkan dalam susu atau whey yang berperan dalam pembentukan

karakteristik dan mutu-mutu tertentu pada berbagai jenis produk susu. Starter

tersebut dapat berasal dari starter galur tunggal yang berasal dari satu spesies

mikroorganisme atau starter galur campuran yang berasal dari beberapa spesies

mikroorganisme. Menurut Daulay (1991), terdapat sekitar 40 jenis kultur starter

fermentasi susu yang komposisi mikrofloranya dan penggunaanya berbeda.

Mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam starter keju adalah

kelompok bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan asam, terutama asam

laktat dengan memfermentasi laktosa. Asam ini memberikan cita rasa asam yang

segar pada curd, membantu terjadinya penggumpalan oleh rennet, membentuk

karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Nilai pH yang rendah dari

curd (5.0–5.2) membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri

pembusuk (Daulay 1991). Menurut Scott (1986) waktu yang diperlukan untuk

mengasamkan susu dengan penambahan starter adalah 5–20 menit dengan jumlah

starter berkisar 0.05–5.0% sesuai dengan jenis keju yang diinginkan. Beberapa

(9)

Tabel 2 Mikroorganisme yang digunakan sebagai starter keju (Scott 1986)

S. thermophillus Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu tinggi

S. durans Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu tinggi

S. faecalis Pembentuk asam laktat dan tahan terhadap suhu tinggi

S. citrovorus Tumbuh pada suhu tinggi dan menghasilkan cita rasa

Leuconostoc :

L. citrovorum Menghasilkan cita rasa L. dextrinicum Menghasilkan cita rasa

Lactobacillus :

L. bulgaricus Pembentuk asam laktat digunakan untuk pemanasan koagulum dengan suhu tinggi

Propionibacterium shermani Pembentuk asam laktat digunakan untuk pemanasan koagulum dengan suhu

sebagai starter tergantung pada suhu pembuatan yang digunakan. Bila curd tidak

dipanaskan atau pemanasan menggunakan suhu sekitar 38 °C (100 °F) maka dapat

digunakan Streptococcus lactis atau Streptococcus cremoris atau kombinasi

keduanya. Keju dengan pengolahan menggunakan suhu tinggi 49–50 °C

(120–129.9 °F) menggunakan bakteri asam laktat yang tahan pada suhu tinggi.

Starter yang digunakan biasanya merupakan campuran dari S. thermophilus

dengan Lactobacillus bulgaricus, L. helveticus atau L. lactis. Pembuatan keju

dengan menggunakan suhu antara 42–45 °C atau 110–115 °F biasanya

(10)

3.3.3 Pembentukan curd

Sifat rennet yang paling menonjol adalah kemampuannya yang besar dalam

mengkoagulasikan susu (Spreer 1998). Khimosin merupakan anzim protease yang

memiliki kemampuan paling besar dalam menggumpalkan susu (Schwimmer

1991). Menurut Adimulyo (1988), kekuatan aktivitas koagulasi susu pada enzim

khimosin 10 kali lebih besar dari enzim pepsin maupun enzim protease lainya.

Aktivitas proteolisis yang tinggi menyebabkan banyaknya fraksi protein yang

terlarut dalam whey sehingga mempengaruhi tekstur curd. Khimosin hewan pada

pH 5.5 bekerja optimum dalam menggumpalkan susu. Koagulasi susu maksimum

oleh khimosin asal hewan terjadi pada suhu 40–45 °C sedangkan khimosin dari

mikroba pada suhu 75–80 °C. Degradasi protein oleh khimosin Bacillus cereus

menghasilkan glikomakroprotein dengan berat molekul tinggi (Matsubara dan

Feder 1971).

Proses koagulasi dalam pembuatan keju terjadi melalui dua macam reaksi

yaitu terjadinya perubahan keasaman dan proses proteolisis (Adnan 1984). Kedua

reaksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

(1). Ca₃(PO4)₂ + 3H⁺↔ 3Ca⁺⁺ + HPO₄²⁻ + H₂PO₄⁻

Rennet

(2). Kappa–kasein Para–kasein + peptida

Ca²⁺

Curd

Gambar 2 Proses koagulasi dalam pembuatan keju.

Stabilitas kasein mulai terganggu pada pH 5.3. Terjadinya perubahan

keasaman yang dihasilkan oleh perubahan laktosa menjadi asam laktat

menyebabkan perubahan pada senyawa Ca-fosfat (Gambar 2). Bertambahnya ion

H⁺ dapat memecahkan senyawa Ca-fosfat sehingga Ca-fosfat menjadi tidak stabil.

Terbentuknya ion Ca²⁺ akan membantu pengendapan senyawa kompleks tersebut

(11)

Menurut Caroll (2003), koagulasi susu secara enzimatis oleh khimosin

terjadi karena putusnya ikatan peptida antara fenilalanina dengan metionina dari

polipeptida k-kasein sehingga menghasilkan para-kasein dan makropeptida

(Gambar 2). Makropeptida bersifat larut dalam air sedangkan kkasein bersifat

mengendap. Putusnya ikatan peptida antara fenilalanina dan metionina pada

k-kasein ini mengakibatkan hilangnya kestabilan misela kasein sehingga fraksi

kasein yang lain ikut mengendap.

Menurut Scott (1986), rennet bekerja pada kasein dalam tiga tahap yaitu

tahap pemecahan rantai asam amino, tahap penggumpalan kalsium-para-kaseinat

dan tahap proteolisis. Tahap pemecahan rantai asam amino dari k-kasein terjadi

pada ikatan ke-105 fenilalanina dan ikatan ke-106 metionina. Kappa kasein

merupakan salah satu fraksi dari kasein (fraksi dari kasein yaitu alfa, beta dan

gamma kasein) yang terdapat di bagian luar dari partikel kasein dan sangat

mempengaruhi stabilitas dari susu. Tahap penggumpalan kalsium-para-kaseinat

sangat tergantung pada suhu dan ion kalsium. Peranan k-kasein yang berfungsi

sebagai penyetabil misel kasein akan hilang dengan adanya ion kalsium, sehingga

misel kasein akan bergabung membentuk koagulum. Tahap proteolisis merupakan

tahap aktivitas rennet yang terjadi pada proses pemeraman. Pada tahap ini terjadi

penguraian alfa kasein dan beta kasein (Scott 1986). Penggumpalan susu oleh

khimosin akan menghasilkan curd seperti jeli, bersifat elastik, lembut, homogen

dan dapat diiris tanpa serabut.

3.3.4 Pemotongan Curd

Menurut Daulay (1991), tujuan pemotongan curd adalah untuk membentuk

ukuran curd menjadi lebih kecil dan menyeragamkan partikel, agar whey lebih

mudah keluar, meningkatkan luas permukaan curd dan tekstur curd menjadi lebih

keras. Umumnya pemotongan curd dilakukan dengan menggunakan pisau atau

harpa (terdiri dari rangkaian atau deretan kawat yang melengkung), dengan cara

memotong curd menjadi kubus-kubus berukuran antara 0.46–1.84 cm.

Cara praktis untuk mengetahui waktu yang tepat untuk pemotongan curd

yaitu dengan menekan jari, batang atau termometer ke dalam curd, apabila

(12)

apabila belahan yang terjadi tajam dan rata dengan whey yang berwarna hijau

kekuningan pada dasar belahanya maka curd dianggap sudah siap untuk dipotong

(Daulay 1991).

3.3.5 Penirisan Curd

Tujuan penirisan curd adalah untuk mengeluarkan whey yang masih

terdapat pada curd dan untuk membentuk partikel-partikel koagulum menjadi

bentuk yang lebih kompak. Menurut Daulay (1991), proses penirisan dapat

dilakukan dengan cara mengangkat curd dari bak keju kemudian dimasukkan ke

dalam cetakan yang berlubang-lubang. Dapat juga dilakukan dengan memasukkan

curd pada kain saring, kemudian bungkusan kain tersebut diangkat dan digantung

beberapa saat untuk mengeluarkan whey yang terdapat pada curd.

3.3.6 Penggaraman

Proses penggaraman dilakukan dengan menambahkan garam (NaCl) pada

curd sebanyak 2–5% (Walstra et al. 2006). Fungsi garam menurut Foster et al.

(1957) adalah untuk membantu mengeluarkan whey dari curd, membantu

mengatur kadar air dan keasaman keju, membantu berlangsungnya pematangan

dan membantu pembentukan cita rasa. Selain mempengaruhi cita rasa,

penambahan garam dapat mempengaruhi tekstur, penampilan umum, kontrol

produksi asam laktat, menahan pertumbuhan bakteri pembusuk dan mengurangi

kadar air (Marth 1982). Dengan adanya garam, hanya mikroba yang bersifat

hidrofilik yang dapat bertahan hidup. Tanpa penggaraman maka keju yang

dihasilkan akan lunak, mudah pecah, proses pematangan tidak normal namun

penambahan garam yang terlalu banyak akan menyebabkan keju menjadi keras

dan proses pematangan berjalan lambat (Hammer dan Babel 1957). Terdapat tiga

cara penambahan garam, yaitu ditambahkan ke dalam partikel koagulum atau

pada saat penggilingan koagulum, ditaburkan ke permukaan keju secara merata

(13)

3.3.7 Pengepresan

Pengepresan curd bertujuan untuk mengeluarkan whey. Lama pengepresan

tergantung jenis pengolahan keju yang dilakukan (Eckles et al. 1980).

Pengepresan curd akan memperbaiki bentuk karakteristik dan berkontribusi

terhadap kekompakan keju serta mengurangi kadar air (Marth 1982).

3.3.8 Pemeraman

Pemeraman dilakukan dengan membungkus keju dengan parafin. Pelapisan

permukaan dengan parafin bertujuan untuk menutup semua bagian permukaan,

membunuh kapang yang terdapat pada permukaan, mengurangi kehilangan air

karena penguapan dan penetrasi oksigen (Eckles et al. 1980). Selama pemeraman

starter membebaskan enzim proteolitik yang berperan pada perubahan tekstur dan

cita rasa keju. Dalam proses pemeraman terjadi perubahan fisik dan kimia yang

disebabkan oleh aktivitas enzim dan mikroba (Foster et al. 1957).

Pemeraman dilakukan pada suhu 2–16 ºC, selama 2–16 bulan untuk keju

keras, 1–8 bulan untuk keju semi keras (Marth 1982). Pemeraman keju cheddar

dilakukan pada suhu 4.4–18.3 ºC selama 1–3 bulan (Eckles et al. 1980),

sedangkan menurut Pederson (1971) pemeraman dilakukan pada suhu rendah,

yaitu sekitar 2–15 ºC. Suhu pemeraman berpengaruh terhadap kecepatan

proteolitik dalam bekerja dan memproduksi asam. Produksi asam lebih cepat pada

suhu lebih tinggi sehingga timbul cita rasa asam yang kuat dan mempercepat

penguapan, sehingga mempertinggi kehilangan berat dan mempercepat

pembusukan.

Selama pemeraman akan terjadi perubahan yang disebabkan hidrolisa

protein oleh protease, hidrolisa lemak oleh lipase, perubahan asam amino dan

asam lemak oleh enzim tertentu yang mengakibatkan perubahan cita rasa, tekstur,

aroma dan penampilan (Meyer 1976). Semakin lama diperam maka tekstur

menjadi lebih lunak dan cita rasa lebih enak. Menurut Frazier dan Westhoff

(1981), senyawa utama yang mempengaruhi cita rasa keju peram (ripened cheese)

adalah garam, asam laktat, asam lemak, asam amino dan senyawa karbonil

(aldehid dan keton). Enzim yang aktif selama pemeraman adalah protease,

peptidase, lipase, dekarboksilase, deaminase yang membentuk senyawa kimia

(14)

Komponen utama pembentuk rasa keju adalah senyawa karbonil, nitrogen,

sulfur, asam lemak, alkohol, dan garam (Marth 1982). Penyimpangan rasa keju

meliputi (1) pahit yang disebabkan degradasi protein yang abnormal, (2) asam

yang disebabkan fermentasi laktosa yang berlebihan, (3) tengik disebabkan oleh

oksidasi asam lemak, dan (4) terfermentasi yang disebabkan pH keju yang tinggi

dan kandungan garam rendah, sehingga bakteri anaerobik pembentuk spora dapat

tumbuh. Penyimpangan tekstur dan penampilan terjadi karena terbentuknya

tekstur yang lunak atau mirip pasta, terbentuknya lubang–lubang udara, keju retak

(tekstur kurang kompak) dan warna yang menyimpang.

Selama pemeraman terbentuk asam lemak bebas dari hidrolisa lemak dan

gugus H₂S yang terbentuk dari residu gugus sistein pada beta kasein. Rasio asam

lemak berantai pendek dengan asam asetat harus 0.55:1.0, jika lemaknya lebih

tinggi maka akan terbentuk rasa tengik (Charley 1982).

Keju yang matang mengandung beberapa komponen rasa volatile esensial.

Komponen-komponen tersebut umumnya berasal dari degradasi produk asam

amino termsuk NH₃, berbagai macam amin, metional, H₂S, asam phenylacetic dan

komponen lainya. Komponen yang telah terindikasi sebelum tahap pematangan

yaitu aldehid, alkohol primer dan sekunder serta esternya, rantai pendek asam

lemak dan gamma laktone (Walstra et al. 2006).

3.4 Penilaian Kualitas Keju

Penilaian kualitas keju dilakukan terhadap tekstur, warna, aroma, rasa asin,

dan rasa pahit. Metode umum yang digunakan untuk menilai kualitas keju yaitu

penilaian sensorik (penilaian organoleptik) oleh panel melalui uji hedonik (uji

kesukaan). Panel ini mempunyai kemampuan untuk menilai sifat atau mutu benda

berdasarkan kesan subyektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

Terdapat enam macam panel yaitu panel pencicip perorangan, pencicip terbatas,

terlatih, tidak terlatih, agak terlatih dan panel konsumen. Panel tak terlatih

Gambar

Tabel 2 Mikroorganisme yang digunakan sebagai starter keju (Scott 1986)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kendala yang ada, penulis banyak bertanya kepada supervisor khususnya untuk menyamakan style yang sudah diterapkan, penulis juga berkoordinasi dengan rekan dari tim

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dan Pola Asuh Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Kota Padang Tahun 2015..

Sebuah konteks urban, informasi yang terdampak banjir di website, yang memungkinkannya online membantu meningkatkan risiko diskriminasi dan anda wajib untuk membahas capaian dan

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitria, Mega dkk (2019) tentang Analisis Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa Yang Menggunakan Model

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat dan bahan untuk proses pemeliharaan hewan percobaan, pembuatan ekstrak rimpang temulawak, pemberian

Rancangan penelitian pengaruh konsentrasi susu skim dan gelatin yang ditambahkan pada yoghurt jagung menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial

Saat ini telah diketahui bahwa perubahan susu menjadi gumpalan (keju) disebabkan rennin dalam tas yang berasal dari perut hewan muda tersebut ditambah dengan asam yang

jumlah perubahan kimia yang terjadi pada proses elektrolisis bergantung pada jumlah muatan listrik dan waktu kontak elektrolisis tersebut, pada hasil penelitian di atas penurunan