• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Asal Usul Aliran Teologi Islam Ditulis oleh Mujtahid

LAHIRNYA aliran teologi Islam adalah reaksi dari skisme (perpecahan) politik umat Islam. Tragedi skisme itu terabadikan dalam sebuah ungkapan "al-fitnah al-kubra". Proses skisme itu berawal dari terbunuhnya Usman Ibn Affan, yang pada akhirnya berimplikasi serupa terhadap khalifah keempat yakni Ali ibn Abi Thalib. Ketika kedua khalifah tersebut terbunuh, wacana kemelut politik lalu berkembang menjadi wacana agama (teologi).

Dalam tradisi Islam, penggunaan istilah "teologi" agaknya kurang mengakar, bahkan sebagian kalangan memandang kurang tepat, dibandingkan dengan istilah kalam. Secara etimologis, kalam berasal dari bahasa Arab, yang berarti kata-kata. Artinya, kalam adalah sabda Tuhan, yang pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat Islam abad IX-X masehi, yang mendorong timbulnya pertikaian sesama umat Muslim. Istilah kalam juga bermakna ‘kata-kata manusia'. Karena dengan kalam (‘kata-kata-‘kata-kata), manusia bisa bersilat lidah dalam

mempertahankan argumen-argumennya. Meski demikian, kata "teologi" akhirnya dapat diterima dalam bidang kajian Islam.

Ada sebuah buku terkenal yang menjadi rujukan utama para pemikir intelektual muslim, yaitu al-Milal wa al-Nihal. Karya tersebut ditulis al-Syahrastani yang berbicara tentang sejarah teologi secara komprehensif dan sejumlah aliran-aliran teologi Islam, mulai dari pertumbuhan,

perkembangan dan titik kulminasi kemajuannya. Aliran-aliran yang terungkap, tidak saja terbatas pada aliran yang masih eksis (hidup), tetapi juga non-eksis (telah meninggal). Tak kurang dari enam aliran, serta cabang-cabangnya terkupas tuntas oleh al-Syahrastani dalam kitab tersebut.

Pembicaraan tentang teologi adalah pembicaraan yang mendasar. Berbeda dengan fiqh, teologi merupakan bahasan seputar aspek ushul (pokok atau pondasi agama). Sementara fiqh,

tinjauannya cenderung masalah furu' (cabang atau ranting). Sudah barang tentu kajian teologi adalah menyangkut pembahasan soal ke-Tuhanan, soal iman-kafir, siapa yang sebenarnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya kafir dan telah keluar dari Islam. Selain itu, pembahasan juga diarahkan mengenai posisi orang Muslim yang mengerjakan hal-hal yang haram dan mengenai orang kafir yang mengerjakan hal-hal yang baik.

Karakteristik masalah di atas pada akhirnya melahirkan sebuah perdebatan teologis. Aliran Khawarij misalnya,-kelompok yang memisahkan diri (seceders) dari barisan Ali ibn Abi Thalib, - menuding bahwa Ali ibn Abi Thalib dan Mu'awiyah beserta pengikut-pengikutnya, adalah kafir, sebab telah berbuat salah dan dosa besar. Alasannya, karena mereka tidak memutuskan perkara (persekutuan, peperangan) dengan hukum Allah.

(2)

memandang bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin, karena penentuan dosa besar atau tidak, hanyalah hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian, soal telah kafir atau tetap mukmin adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia. Sesuai dengan akar katanya ‘raja-yarju', artinya menunda atau menangguhkan. Yaitu menangguhkan keputusan tersebut sampai hari akhir, dan Tuhan sebagai hakim di kemudian hari kelak yang akan menentukan perkara tersebut .

Masih mengenai persoalan di atas, akhirnya muncul lagi aliran ketiga yakni Mu'tazilah. Sebuah aliran ‘rasionalis' yang berpandangan bahwa orang yang berbuat dosa besar ditempatkan pada posisi "netral" yaitu posisi antara kafir dan mukmin atau tidak kafir tapi juga tidak mukmin. Dalam ajaran Mu'tazilah posisi netral itu disebut al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Seseorang tidak boleh menganggap bahwa keburukan dan ketidakadilan, tidak beriman atau dosa itu berasal dari Tuhan, sebab sekiranya Dia (Tuhan) menciptakan ketidakadilan, maka Dia menjadi tidak adil.

Mu'tazilah juga punya paham al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), bahwa Tuhan pasti akan memenuhi janji dan ancamannya di hari akhir. Selain itu, ada paham al-Adl (keadilan), al-Tauhid (ke-Maha Esaan Tuhan), dan al-‘Amr bi al-Ma'ruf wa Nahy ‘an Munkar (perintah melakukan kebajikan dan larangan menjauhi kejelekan).

Namun, paham yang dikemukakan Mu'tazilah, akhirnya ditentang oleh pengikut aliran Asy'ariah. Aliran Asy'ariah berpaham bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan, paham ini disebut al-kasb. Dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada dalam diri manusia tidak punya pengaruh atau efek. Asy'ariyah juga menolak paham Mu'atazilah tentang al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman), keadilan Tuhan (al-‘Adl). Lebih-lebih terhadap paham Mu'tazilah tentang ‘posisi netral' (al-manzilah bain al-manzilatain).

Tak pelak lagi, lahirlah dua aliran "raksasa" yang termashur sampai saat ini menjadi pisau analisis, yaitu Qadariah dan Jabariah. Dua aliran yang masing-masing pandangannya selalu bertolak belakang secara diametral. Qadariyah memandang bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluq yang punya kemerdekaan dalam kehendak (free will) dan perbuatannya (free act). Sebaliknya, Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak, dan segala tingkah lakunya merupakan paksaan dari Tuhan, sehingga pahamnya dikenal predestination atau fatalism.

(3)

Secara garis besarnya, aliran Syi'ah dapat dipetakan menjadi lima golongan, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah. Dari kelima golongan tersebut, sebagian berpaham Mu'tazilah, sebagian lagi berpaham ortodoks, yang sebagian yang lain berpaham

antropomorfisme (tasybiyah).

Sebagai khazanah pemikiran Islam, apa yang diterangkan al-Syahrastani memang sangat penting sebagai bahan diskusi dan perbincangan secara mendalam, khususnya bagi peminat pemikiran teologi Islam. Dan sampai saat ini, studi tentang teologi Islam hampir semuanya merujuk pada pendapat-pendapatnya.

(4)

MURJI’AH

A. Pengertian aliran Murji’ah

Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.

Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.

Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.

(5)

kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).

B. Latar belakang munculnya aliran Murji’ah

Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah

(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.

Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.

(6)

C. Ajaran aliran Murji’ah

Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.

Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.

As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.

Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.

(7)

banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.

Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.

As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui

dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.

Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.

Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.

Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

(8)

AL-KHAWARIJ (جراوخلا)

Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim

(arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657). Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual

(mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti

Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).

Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islarn sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatawa,

“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”

Kemudian hadits-hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan Khawarij scdang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana-mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku-buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi

Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati-hati terhadap firqah ini.

Fakta munculnya Khawarij bukanlah pada masa Ali r.a. sebagaimana sebagian para ahli sejarah menyebutkan, tapi sudah muncul pada masa Utsman r.a. baik secara ajaran maupun dalam bentuk aksi nyata. Buku sejarah banyak menyebutkan ini seperti buku sejarahnya Imam

(9)

bahwa Ali telah berkhianat dan Aisyah telah berkhianat, maka terjadilah apa yang terjadi dalam Perang Jamal.

Pada waktu terjadi peperangan antara Ali r.a. dengan Muawiyah r.a., mereka juga bersama Ali dalam suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah disebut Perang Shiffin. Dalam buku-buku tarikh Syi’ah juga ditulis dalam buku-buku tarikh Sunnah, disebutkan ada pihak ketiga yang netral di antaranya Abdullah bin Umar, Abu Musa Al-Asyari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya yang mencoba mengadakan ishlah pada keduanya dan mempertemukan keduanya. Terjadilah suatu dialog antara utusan Ali r.a. dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.

“Apakah Anda memerangi Ali karena Anda ingin menjadi khalifah?” Muawiyah berkata, “Saya tahu diri saya. Saya tahu diri saya jauh di bawah Ali, dan tidak ada dalam benak saya keinginan untuk menjadi khalifah. Saya keluar berperang untuk menuntut darah Utsman.” “Apa betul Anda tidak ingin menjadi khalifah?” Berkata Muawiyah, “Andaikata Ali menyerahkan siapa

pembunuh Utsman niscaya saya orang yang pertama berbai’at.” Akantetapi suasana dikacaukan oleh orang-orang tadi yang akhirnya terjadi Perang Shifiin.

Ketika pihak Muawiyah hampir kalah, atas usulan Amru bin Al-Ash untuk meletakkan mushaf di pucuk pedang sebagai tanda ingin berunding. Ali r.a. tahu bahwa ini tipu daya tetapi orang-orang Khawarij meminta Ali untuk menerimanya bahkan memaksa dan mengancam:

Mu’tazilah. BAB I

PENDAHULUAN

Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan

(10)

Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang munculnya aliran Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

(11)

(masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.

Kaum mu'tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji'ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama "kaum rasionalis Islam".

Aliran mu'tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu'tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.

Aliran Mu'tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.

2. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah

Tokoh aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama-tama mendirikan aliran Mu’tazilah.

Perbedaan antara kedua aliran Mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota Baghdad, dan lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Dalam pada itu, meskipun Baghdad kota terbelakang didirikan, namun menjadi ibukota khilafat Abbasiyah.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.[27]

(12)

berikutnya lagi ialah Qadhi Abdul Jabar dan az Zamakhsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas urut-urutan geografis dan kronologis.[28]

1. Washil bin ‘Atha (699-748 M)

Nama lengkapnya Washil bin ‘ Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mu’tazilah

2. Abu Huzail al ‘Allaf (226 H/841 M)

Abu Huzzail al ‘Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mu’tazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mu’tazilah dan meramunya dengan informasi-informasi baru. Atas prakarsanya, tidak sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia dilahirkan di Basrah dan lama berdomisili di kota ini. Al ‘Allaf pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu, ia diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun lamanya. Hidup sezaman dengan gerakan penerjemahan Islam yang terbesar. Berhubungan dengan kebudayaan asing. Kelebihan al ‘Allaf ialah karena punya pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi yang kuat, dan Pendebat aliran dualisme dan rafidah. Seringkali dalam perdebatan al ‘Allaf berhasil membungkam lawannya. Ia begitu terampil dalam diskusi-diskusinya hingga mampu mematahkan (argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk memeluk Islam. Al ‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku, sayangnya kira-kira itu tidak diselamatkan dan musnah dimakan zaman, yang dalam masalah ini ia sampai pada sejumlah pandangan yang keras dan aneh, sehingga menjadi topik kritik pro dan kontra. Al ‘Allaf merupakan orang pertama dari kalangan kaum muslimim yang serius terjun menggeluti problematika ketuhanan, yang dibalut dengan label filosofis.[29]

3. Al Nazzam (231 H/ 845 M)

Al Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di samping orisinil pendapatnya di antara mereka. Al Nazzam adalah anak saudara perempuan Al ‘Allaf dan muridnya sekaligus. Belajar kepadanya kemudian memberontak dan berfikir merdeka. Al Nazzam sejalan dengan al ‘Allaf dalam hal keluasan cakrawala, kefasihan lisan dan kekuatan berargumentasi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia berdomisili di Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al ‘Allaf . Di antara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-70 tahun. Berkat kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik teori-teori yang berkembang di sekitarnya, dan membawa kesimpulan baru.[30]

4. Abu Hasyim al Jubba’i (321 H/ 932 M)

(13)

5. Bisyr bin Al Mu’tamir (226 H/ 840 M)

Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangan-pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya “al Bayan wa al Tabyin”, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.[32]

Beberapa pendapatnya tentang paham Mu’tazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang-orang yang pertama mengemukakan soal tawallud (reproduction) yang boleh dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya.

6. Al Khayyat (303 H/ 925 M)

Ia adalah Abu Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad dan pengarang buku ‘al Intisar’ yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.

7. Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray)

Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad.[33] Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama “al Mughni”.

8. Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)

Namanya Jaar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran Zamakhsyar, sebuah dusun di negeri Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah yang berarti tetangga Tuhan, dipakainya karena ia lama tinggal di Mekah dan bertempat di sebuah rumah dekat Ka’bah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan, dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.[34] Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan karya alran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’ dan kitab-kitab lainnya, seperti “al Fa-iq, Assaul Balaghahdan al Mufassal”.

(14)

BAB III PENUTUP

Demikian makalah yang kami buat, makalah ini hanyalah sedikit gambaran tentang latar belakang dan tokoh-tokoh aliran mu’tazilah dalam islam.

Dan kami mohon maaf sebesar-besarnya atas banyaknya kekurangan yang ada dalam makalah kami.

Semoga dengan dibuatnya makalah ini dapat menambahkan pengetahuan kita tentang latar belakang dan tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah. Sekian dari kami, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.anakciremai.com/2009/04/makalah-ilmu-kalam-tentang-aliran.html

http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2010/04/silabi-ilmu-kalam-aliran-mutazilah.html Husein, Ahmad. Gerakan Ingkarusunnah Dan Jawabanya, Jakarta, Media Da’wah, 1990.

Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.

Abdullah Mu’in, M. Thalib. Aliran Islam Pada Masa Khalifah, Yogyakarta, Widjaya, 1978. A. Nasir, Sahilun. Pengantar Ilmu Tauhid, Rajawali, Jakarta, 1991.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan secara makroskopis menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol dengan menggunakan aquades tidak tampak adanya plak yang muncul, berbeda pada pengenceran

Dari pemahaman mengenai nama Tuhan menurut orang Kei dan Paulus, dapat dijelaskan bahwa dalam dua budaya ini, pemahaman tentang Tuhan dianggap sebagai sesuatu

Namun demikian, belum semuanya dapat tertampung, sebagai akibatnya masih banyak tenaga kerja yang pada umumnya kurang trampil mau dan bersedia bekerja apa saja, asal mendapat upah

Karena fungsinya sebagai bahan aktif maka ABS mutlak ada pada pembuatan Karena fungsinya sebagai bahan aktif maka ABS mutlak ada pada pembuatan sabun colek (detergen).. Tanpa bahan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan ketahanan rusak dan energi minimum penyebab rusak kulit buah dengan berbagai tingkat kemasakan, dan mengetahui perubahan

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian empiris adalah metode kualitatif, yaitu hal yang dinyatakan responden atau narasumber baik secara tertulis maupun

Iklan Baris Iklan Baris BODETABEK Serba Serbi SABLON RUPA-RUPA Rumah Dijual Rumah Dikontrakan JAKARTA PUSAT JAKARTA SELATAN JAKARTA SELATAN JAKARTA TIMUR JAKARTA TIMUR JAKARTA

Hasil penelitian ini adalah (1) pemahaman guru terhadap strategi pembelajaran menulis puisi sudah baik karena guru sudah memahami teori dan pelaksanaan strategi pembelajaran;