• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION

DAN HASSAN HANAFI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh: Rizki Maulana NIM: 11140331000014

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

STUDI KOMPARATIF TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI

Skripsi

Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh: Rizki Maulana NIM: 11140331000014

Dosen Pembimbing:

Kusen. Ph.D

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi” telah diajukan dalam sidang munaqasyah pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada program studi Aqidah dan Filsafat Islam.

Jakarta, 15 Juli 2021 Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang sekretaris Sidang

Dra. Tien Rahmatin, MA Dra. Banun Binaningrum, M. Pd NIP: 19680803 199403 2 002 NIP: 19680618 199903 2 001

Penguji I Penguji II

Dr. Kholid Al Walid, MA Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP: 19700920 200501 1 004 NIP: 19610827 199303 1 002

Dosen pembimbing

(4)
(5)

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h ha dengar garis di bawah

خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er ز z zet س s es ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

ض ḏ de dengan garis bawah

ط ṯ te dengan garis bawah

ظ ẕ zet dengan garis bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

(6)

v ل l el م m em ن n en و w we ه h ha ء ` apostrof ي y ye B. Vokal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan

َ ـ

َـــ

a fatḥ ah

َ ـ

َـــ

i kasrah

َ ـ

َـــ

u ḏammah

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ ـ

َيَــــ ai a dan i

َ ـ

َوَـــ au a dan u

C. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َﺎــ â a dengan topi di atas

َﻲــ î i dengan topi di atas

(7)

vi ABSTRAK

Rizki Maulana

Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi

Teologi merupakan suatu wacana ilmu pengetahuan yang di dalamnya memuat ajaran-ajaran dari suatu agama tertentu. Di dalam agama Islam, teologi Islam sering kali disebut dengan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Di dalam ajaran Islam, teologi menjadi sebuah perdebatan yang sangat mendalam di kalangan para Mutakallimin. Berbagai macam perbedaan maupun persamaan pendapat diutarakan oleh mereka. Di Indonesia kita mengenal sosok Harun Nasution, ia merupakan pembaharu dan pemikir Islam yang memiliki citra luar biasa dalam pemikiran teologinya. Harun Nasution berupaya mengenalkan ajaran teologinya yang bersifat rasional dan lebih filosofis. Setiap gagasan tentang teologi yang dikemukakan oleh Harun Nasution memiliki pengaruh atas sistem teologi yang dianut umat muslim di Indonesia. Di sisi lain, Hassan Hanafi juga merupakan tokoh rasionalis Islam yang melihat bahwa teologi tidak hanya berkisar pada persoalan agama saja, melainkan suatu ajaran yang bisa membawa pada perubahan dan dapat diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Maka dari itu, pada skripsi ini penulis berupaya untuk menjabarkan dan kemudian membandingkan, serta mengkorelasikan corak pemikiran teologi Islam dari kedua tokoh tersebut yaitu, Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan teknik studi kepustakaan (Library Research). Kemudian metode yang digunakan selanjutnya adalah metode deskriptif-komparatif. Dan dari hasil penelitian yang didapat, penulis menemukan bahwa pandangan teologi menurut Harun Nasution dan Hassan Hanafi memiliki perbedaan dan persamaan pendapat mengenai persoalan teologi Islam. Perbandingan itu dapat dilihat dalam masalah akal, wahyu, dan kebebasan manusia.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim

Segala puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT. Sang pencipta alam, Tuhan yang Maha Menghendaki atas segala sesuatu, sehingga atas kebesaran dan karunia-Nya pula lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat seiring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi suri tauladan bagi umatnya dan menjadi pelita yang menerangi kehidupan umatnya di dunia maupun di akhirat.

Dengan izin Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, akhirnya skripsi dengan judul “Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi” ini dapat penulis selesaikan walau dengan jangka waktu yang cukup panjang. Dan dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari tidak menyelesaikannya dengan jerih payah sendiri, melainkan dengan bantuan serta dukungan dari berbagai pihak dan orang-orang di sekitar penulis yang turut andil dalam terselesaikannya skripsi ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Kusen. Ph.D, sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, dan menjadi tempat bagi penulis untuk sekaligus menambah wawasan. Berkat bimbingan beliau lah skripsi ini bisa terselesaikan.

2. Ibu Dra. Tien Rahmatin, MA, sebagai Ketua Jurusan Aqidah Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin, serta sebagai Dosen Penasihat Akademik

(9)

viii

penulis, yang telah memberikan masukan kepada penulis ketika konsultasi.

3. Dr. Yusuf Rahman, MA. Sebagai dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Terimakasih kepada jajaran dosen pengajar Fakultas Ushuluddin, yang telah senantiasa tulus memberikan ilmu dan pemikirannya kepada penulis selama beberapa tahun ini.

5. Kepada kedua orang tua penulis, ayahanda tercinta Udin Syahrudin dan ibunda tercinta Tuti Alawiyah. Terimakasih sebesar-besarnya yang tanpa lelah selalu memberikan semangat, dukungan, serta motivasi kepada penulis. Dan terimakasih juga atas segala doa yang terus-menerus selama ini dipanjatkan kepada anak tunggalnya ini yang memiliki banyak kekurangan.

6. Teman kos-kosan penulis Fitrah Permana dan Fauzan Bimo yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun untuk hidup dan tinggal bersama di kos-kosan.

7. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa Aqidah Filsafat Islam angkatan 2014. Terimakasih untuk selalu ada disaat penulis membutuhkan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Dan terimakasih sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup penulis selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

(10)

ix

Semoga kebaikan mereka semua mendapat balasan dari Allah SWT. Dan mereka selalu dalam lindungan-Nya. Terakhir, penulis berharap skripsi yang jauh dari kesempurnaan ini bisa memberikan banyak manfaat bagi kita semua dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan.

Tangerang, 07 Januari 2021

(11)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TEOLOGI ISLAM ... 12

A. Pengertian Teologi Islam ... 12

B. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam ... 16

a. Masa Klasik ... 16

b. Masa Modern ... 23

c. Masa Kontemporer... 28

BAB III TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI ... 33

A. Harun Nasution ... 33

a. Riwayat Hidup Harun Nasution ... 33

b. Latar Belakang Intelektual ... 35

(12)

xi

d. Pemikiran Harun Nasution Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan

Manusia dan Takdir... 45

1. Akal ... 45

2. Wahyu ... 51

3. Kebebasan Manusia dan Takdir ... 56

B. Hassan Hanafi ... 61

a. Riwayat Hidup Hassan Hanafi ... 61

b. Latar Belakang Intelektual ... 64

c. Pokok Pikiran ... 67

d. Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Akal, Wahyu, Kebebasan Manusia dan Takdir... 74

1. Akal ... 74

2. Wahyu ... 78

3. Kebebasan Manusia dan Takdir ... 82

BAB IV PERBANDINGAN TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI... 86

A. Persamaan dalam Pandangan Fungsi Akal ... 86

B. Perbedaan Pandangan Tujuan Diturunkannya Wahyu ... 90

C. Persamaan Pandangan Manusia Memiliki Kebebasan ... 93

BAB V PENUTUP ... 98

A. Kesimpulan ... 98

B. Saran ... 99

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembaruan pemikiran umat Islam muncul sebagai akibat perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan yang dibawa oleh kemajuan pesat yang terjadi karena pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah-masalah yang ditimbulkannya dalam bidang keagamaan, termasuk Islam adalah lebih sulit jika dibandingkan dengan bidang kehidupan lainnya. Salah satu penyebab kerumitan itu karena dalam agama terdapat ajaran-ajaran absolut, mutlak, benar, kekal, tidak berubah, dan tidak bisa diubah.1 Manusia melalui beberapa periode,

yaitu dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Dalam berpikirnya manusia tentu mengalami tahapan-tahapan sebagaimana tesebut. Dalam beragama manusia dibekali akal untuk memahami ajaran-ajarannya. Agama bagi umat-umat yang terdahulu, yang dapat diibaratkan mereka itu masih taraf anak-anak, maka ajaran-ajaran agama yang diturunkan kepada mereka bersifat mutlak, perintah, larangan, dan penyerahan diri kepada Tuhan.2

Kepercayaan terhadap sesuatu agama tertentu merupakan pokok dasar. Islam sebagai yang mengingkari agama Yahudi dan Nasrani serta agama-agama berhala, merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dari

segi-1 Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hlm. 1.

2 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hlm. 309.

(14)

segi dakwah yang menjadi tujuannya. Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad saw banyak berisi pembicaraan tentang wujud Tuhan, keagungan, dan ke-Esaan-Nya.3 Karena, pada hakekatnya ajaran Islam yang sari patinya tersimpul dalam

kedua sumber utama itu mendidik manusia kepada pembentukan kepribadian yang sempurna.4

Dalam membahas persoalan ketuhanan yang ada dalam al-Qur’an dan hadis, umat Islam mengenalnya dengan sebutan ilmu kalam, ilmu tauhid , atau teologi. Sejarah pemikiran dalam Islam merupakan kajian perjalanan pergumulan pemikiran Islam yang membahas teologi atau ilmu kalam pada umumnya dengan pendekatan sejarah secara kronologis. Karena dalam ilmu teologi ini seseorang dapat memperkukuh keyakinannya sebagai seorang Muslim dari guncangan pemikiran serba benda pada abad modern saat ini.5 Dengan mempelajari teologi

akan memberikan seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman.6

Teologi seharusnya merupakan wacana keilmuan yang dihadapkan pada sejumlah dilema antara keabsolutan dengan kenisbian. Teologi pada generasi awal (Nabi), telah menekankan pada penciptaan masyarakat yang bermoral dan etika praktis, berkaitan dengan baik dan buruk serta keadilan, yang bertumpu pada kesadaran yang peka dan nyata akan adanya satu Tuhan. Teologi Islam pada masa kekhalifahan, masih menampakkan adanya kontinuitas yang sangat kental dengan

3 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), hlm. 11. 4 Achmad Ghalib, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Tangerang: UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 23.

5 Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 3.

6 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:

(15)

periode nabi yang bercorak “teologi praktis”. Meskipun fungsinya telah bergeser sebagai pembela kepercayaan dan kepentingan politik sekte tertentu, yang muncul sebagai akibat peristiwa “pembunuhan politik”.7

Teologi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Teologi merupakan penyerapan atau perefleksian ajaran agama atas realita dunia. Bahkan bagi manusia yang tidak beragamapun, tetap berteologi sekalipun tanpa agama. Menelusuri jejak-jejak teologi Islam tidak luput dari pemikiran serta gagasan-gagasan dari tokoh-tokoh pemikir Islam modern. Di Indonesia khususnya, kita mengenal nama-nama besar teolog muslim yang memiliki kekayaan intelektual dalam bidang teologi tersebut. Harun Nasution merupakan salah satunya, untuk pandangan teologi, Harun Nasution seringkali merujuk pada tradisi pemikiran teologi rasional Mu’tazilah dan juga para pemikir pembaharu berikutnya seperti Muhammad Abduh dan lainnya.8 Kaum Mu’tazilah

ialah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa aliran teologi lainnya. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.

Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri tuhan, dan wahyu

7 Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), hlm. 11-12.

(16)

sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.9

Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi, ada aliran yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan ajaran Islam.10 Harun Nasution membawa cakrawala

berpikir umat Islam untuk tidak berpandangan sempit dan tradisional. Pandangan sempit dan tradisionalisme tidak dapat berjalan sejajar dengan modernisasi, bahkan bertentangan. Menurutnya, karena kesalahan menjatuhkan pilihan teologi inilah akhirnya umat Islam mengalami keterbelakangan.

Menurut pendapat tokoh teolog yang lain, yaitu Hassan Hanafi, sejarah teologi adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam kitab suci. Setiap ahli teologi atau penafsir melihat bahwa kitab suci merupakan sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.11 Menurutnya lagi, bahwa teologi bukanlah

ilmu ketuhanan, teologi tidak lebih merupakan hasil pemikiran manusia yang terkondisikan oleh waktu dan keadaan sosial, sehingga posisinya sama dengan posisi ilmu-ilmu lainnya, tidak ada yang lebih utama di dalam ilmu-ilmu pengetahuan, karena sebagai pengetahuan dapat saja berubah-ubah pada

9 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 81. 10 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. x. 11 E. Kusnadiningrat, Hassan Hanafi: Islam adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=310.

(17)

perumusannya, sehingga memungkinkan untuk munculnya bentuk-bentuk teologi baru.12

Dalam menganalisis tentang Islam dan tauhid atau teologi tidak bisa hanya sebatas pada Tuhan dan mental saja. Karena itu, jalan terbaik untuk memahaminya adalah dengan mengartikannya sebagai “penyatuan”. Ketika gagasan itu dikembalikan kepada bidang ketuhanan, ia akan berarti Keesaan Tuhan”. Tetapi sebagaimana telah dilihat, bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniawian, mental, dan sekaligus ketuhanan.13 Teologi yang selama ini dipahami oleh umat

Islam menurut Hassan Hanafi, tidak membawa perubahan atau semangat kemajuan dikalangan umat Islam. Konsep-konsep Teologi yang ditafsirkan oleh para ahli teolog terlalu bersifat teosentris, dan sama sekali belum menjamah aspek antroposentri. Padahal manusia membutuhkan konsep-konsep teologi yang bersifat antroposentris yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan empirik.

Memahami berbagai macam pandangan dari Harun Nasution dan Hassan Hanafi tersebut, mengantarkan penulis untuk tetap hormat pada keduanya, atau paling tidak mengetahui alasan dan latar belakang suatu pandangan tersebut dapat memberikan kepada pihak lain kesempatan untuk menemukan dalih atau alasan pembenaran. Walaupun pemikiran yang dikemukakan itu tidak dapat diterima. Tentu, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya, dan setiap hasil renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu

12 Arfiansyah, Rekonstruksi Teologi Islam Hassan Hanafi, (Skripsi Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Ar-Raniry, 2004), hlm. 54-56.

13 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis

(18)

pengetahuan. Karena, pikiran merupakan cermin dari masyarakat, di mana setiap individu membaca konstruk-konstruk dan realitasnya di dalam cermin itu. Suatu persepsi tidak akan terjadi atau perilaku tidak akan terealisasi kecuali dengan kebebasan pikiran. Jika tidak demikian, maka pertarungan merupakan kebiadaban murni.14 Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis berupaya

untuk mengkaji pemikiran teologi dari kedua tokoh tersebut dengan judul “Studi Komparatif Teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis membatasi penelitian yang membahas teologi Islam ini pada persoalan akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir menurut Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Adapun berdasarkan dari batasan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka penulis menetapkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Harun Nasution dan Hassan Hanafi mengenai konsep akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir?

2. Apa persamaan dan perbedaan akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir menurut Harun Nasution dan Hassan Hanafi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam sebuah skripsi ini adalah sebagai berikut :

14 Hassan Hanafi, Studi Filsafat 1 Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 298.

(19)

1. Untuk memperkenalkan pemikiran konsep teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi.

2. Untuk mengetahui perbandingan teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi.

3. Untuk mendapatkan gelar sarjana Islam pada prodi Aqidah dan Filsafat Islam, fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menambah wawasan tentang berbagai pemikiran teologi dari dua tokoh

teolog terkemuka.

2. Memberikan gambaran teologi yang tidak hanya dilihat dari satu perspektif.

3. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan bacaan dan sumber referensi bagi masyarakat umum, dan khususnya bagi para mahasiswa.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa penelitian diantaranya sebagai berikut :

Pertama, skripsi dengan judul “Ibadah, Moral, dan Pemikiran dalam Kehidupan Harun Nasution”, tahun 2016, skripsi tersebut disusun oleh Abdul Kholik, mahasiswa prodi Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian tersebut membahas konsepsi ibadah dan moral menurut Harun Nasution, serta berbagai aspek pemikiran Harun Nasution seperti teologi, filsafat, dan mistisisme.

(20)

Kedua, skripsi yang disusun oleh Ach. Khomaidi, mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut berjudul “Akal dan Wahyu dalam Perspektif harun Nasution”, tahun 2005. Di dalamnya membahas fungsi akal dan wahyu, serta analisis kritisnya terhadap pemikiran Harun Nasution. Ketiga, penelitian yang berjudul “Kedudukan Akal dalam Pemikiran Teologi Rasional Harun Nasution”, tahun 1999, penelitian tersebut dibahas oleh Amsal Bachtiar dan Achmad Gholib di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian ini meneliti fungsi akal dalam mengetahui tuhan, kebaikan, dan kejahatan menurut Harun Nasution.

Keempat, skripsi yang berjudul “Humanisme Hassan Hanafi”, tahun 2017, yang ditulis oleh Taufik Rahman mahasiswa jurusan Aqidah dan Filsafat Islam fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini menelusuri gagasan-gagasan humanisme Hassan Hanafi dan juga membandingkan humanisme Hassan Hanafi dengan pemikir muslim yang lain.

Kelima, skripsi yang berjudul “Rasionalisme dalam Perspektif Hassan Hanafi”, tahun 2016, skripsi ini ditulis oleh Zulfikar mahasiswa jurusan ilmu aqidah fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Skripsi ini hanya meneliti pemikiran Hassan Hanafi mengenai Rasionalisme.

Keenam, skripsi dengan judul “Teologi Pembebasan dalam Islam (Studi atas Pemikiran Hassan Hanafi)”, skripsi tahun 2015 yang disusun oleh Muh. Alwi, mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat, fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, UIN Alauddin Makassar. Skripsi ini berfokus pada pemikiran Hassan Hanafi tentang teologi pembebasan.

(21)

Ketujuh, buku dengan judul “Kiri Islam”, karya Kazuo Shimogaki, buku tahun 1993 dan diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Dalam buku ini Kazuo Shimogaki menelaah posisi pimikiran Hassan Hanafi dan menelaah responsi hassan Hanafi atas dunia barat dan Islam.

Dari beberapa penelitian diatas, penulis mendapati berbagai penelitian yang membahas pemikiran Harun Nasution maupun Hassan Hanafi, tetapi penulis belum menemukan sebuah penelitian yang membandingkan pemikiran dari Harun Nasution dan Hassan Hanafi tentang teologi Islam, terutama pada persoalan akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir. Maka pada penelitian ini lah penulis mengenalkan perbandingan pemikiran dari kedua tokoh tersebut.

E. Metode Penelitian 1. Metode Pengumpulan Data

Dalam metode pengumpulan data, penulis menggunakan teknik library

research (studi kepustakaan) di dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan

mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun untuk sumber primer, penulis mengambil beberapa data dari beberapa karya Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Sedangkan untuk sumber sekunder, diperoleh dari bahan penelitian yang ditulis, baik berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan lain-lain, yang ada kaitannya dengan permasalahan dan pembahasan di dalam penelitian penulis.

(22)

2. Metode Pembahasan

Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode deskriptif-komparatif. Deskriptif adalah menggambarkan secara jelas pemikiran kedua tokoh terkait dengan masalah yang akan diteliti. Sedangkan komparatif adalah membandingkan pandangan Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan serta membandingkan pikiran-pikiran kedua tokoh yang berkenaan dengan judul penulisan penelitian ini. Sehingga hal tersebut dapat memberikan kejelasan yang sifatnya akurat dan akademik baik bagi penulis khususnya, maupun bagi masyarakat atau pembaca umumnya.

Komparatif atau penelitian komparasi adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui dan atau menguji perbedaan dan persamaan dua individu, dua kelompok atau lebih. Penelitian komparasi juga adalah penelitian yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda dan menemukan hubungan sebab-akibatnya. Objek yang diperbandingkan dalam penelitian ini dapat berwujud tokoh atau cendikiawan, aliran pemikiran, kelembagaan, manajemen, negara, maupun suatu peristiwa atau kondisi.

Dalam arti lain, penelitian komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk membandingkan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian ditarik ke dalam konklusi baru.

Adapun pedoman untuk penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku

Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

(23)

F. Sistematika Penulisan

Pada sistematika penulisan ini, penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, yang diantara lima bab tersebut terdiri dari beberapa sub bab bahasan, dengan perincian sebagai berikut :

BAB I : Bab yang berisi tentang uraian permasalahan secara mendetail dan menyeluruh mengenai materi, konteks, arah, dan ruang lingkup pembahasan yang terdiri dari; latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Pada bab ini membahas mengenai pengertian umum tentang teologi Islam, serta menguraikan beberapa aliran-aliran dan tokoh-tokoh teologi Islam dari masa ke masa.

BAB III : Bab ini berisi tentang penjelasan secara rinci mengenai objek-objek pembahasan dalam teologi Islam, yang diantaranya yaitu akal, wahyu, kebebasan manusia dan takdir menurut kedua tokoh. Riwayat hidup dan latar belakang intelektual kedua tokoh juga dibahas dalam bab ini. Selain itu berisi juga tentang pokok-pokok pikiran dari kedua tokoh yang akan dibahas.

BAB IV : Bab ini merupakan inti dari penelitian ini, pada bab ini penulis membandingkan persoalan akal, wahyu, dan kebebasan manusia dari pandangan Harun Nasution dan Hassan Hanafi. Dan dari perbandingan tersebut terdapat persamaan dan perbedaan pemikiran dari kedua tokoh terkait

BAB V : Berisi penutup dari penulisan penelitian ini, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

(24)

12

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG TEOLOGI ISLAM

A. Pengertian Teologi Islam

Teologi merupakan “ilmu tentang ketuhanan”, yaitu membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan alam. Teologi yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen, dan juga Teologi Islam.1 Teologi dalam Islam disebut juga sebagai ilmu al-tauhid, kata tauhid

mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam disebut sebagai monotheisme yang merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat Tuhan. Kemudian, teologi Islam disebut juga dengan ‘ilmu al-kalam.2 Menurut Harun

Nasution, teologi juga membahas ajaran-ajaran dari suatu agama. Dalam Istilah Arab, ajaran-ajaran dasar tersebut disebut Ushuluddin. Oleh karena itu, buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam diberi nama kitab al-Ushul al-Din. Ajaran-ajaran tersebut disebut juga dengan akidah atau keyakinan.

Dalam sejarah perkembangan dunia Islam, ilmu kalam lahir lebih belakangan dibanding dengan ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu hadis dan ilmu fikih. Ilmu kalam tidak lahir secara spontan, melainkan telah melalui proses dan melintasi kurun waktu yang cukup panjang, didahului oleh munculnya berbagai

1 Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, cetakan 3, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), hlm. 8.

2 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2016), hlm. ix.

(25)

persoalan kalam secara parsial. Setiap suatu persoalan kalam muncul, pastilah muncul pula pendapat yang berbeda bahkan saling bertentangan, yang pada gilirannya melahirkan aliran. Sehingga aliran kalam pun mendahului lahirnya ilmu kalam itu sendiri.3

Persoalan kalam bukan yang pertama muncul di dunia Islam sepeninggal Rasulullah SAW, dan bukan pula sebagai hasil perenungan langsung terhadap masalah-masalah teologis yang termuat dalam sistem akidah Islam. Bersumber dari kemelut politik yang kemudian merambat ke masalah kalam. Jadi, masalah kalam atau teologi muncul di dunia Islam bermula dan bersumber dari fenomena politik. Sejak kaum Khawarij menggunakan term kafir terhadap lawan politik mereka, persoalan politik sudah berubah menjadi persoalan kalam.4

Istilah Ilmu Kalam terdiri dari dua kata ilmu dan kalam. Kata ilmu dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengandung arti pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu.5 Sedangkan kata

kalam, berasal dari Bahasa Arab yang berarti kata-kata. Ilmu kalam secara harfiah

berarti ilmu tentang kata-kata. Sebagaimana diketahui ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar dalam agama Islam. Ajaran-ajaran itu menyangkut wujud Allah, kerasulan Muhammad, dan al-Qur’an.6 Maka, teologi dalam Islam disebut ‘ilmu

al-kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan

pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam diberi nama

3 Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 1. 4 Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, hlm. 13.

5W. J. S, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 423.

6 M. Yunan Yusuf, Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 3.

(26)

Mutakallimin, yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata. Tujuan para Mutakallimin atau teolog Muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan, menanamkan, dan membela kebenaran akidah tauhid.

Ilmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai dasarnya sendiri dari sumber al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun materi. Ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan ilmu kalam bukan yang terlarang dalam Islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan demi terbangunnya keimanan yang kukuh diatas bukti dan argumen yang kuat. Tanpa ilmu kalam dengan metode rasionalnya, kaum Muslimin akan sulit membela dan memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di hadapan orang-orang, terutama kaum non-Islam yang terbiasa berpikir rasional.7

Dasar ilmu kalam atau teologi Islam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini tampak sangat jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadis), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran.8 Sumber utama dalam ilmu kalam yaitu al-Qur’an dan Hadis nabi yang

menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, dan persoalan akidah Islam lainnya. Oleh karena itu, pembahasan ilmu kalam ini selalu berdasarkan kepada dua hal, yaitu dalil naqli (al-Qur’an dan Hadis) dan dalil-dalil aqli (akal pikiran).9

Cukup banyak definisi yang telah dikemukakan oleh parah ahli mengenai ilmu kalam yang membahas masalah akidah ini. Sebagaimana menurut al-Farabi,

7 Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, hlm. 19-20.

8 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 5. 9 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 28-29.

(27)

ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin-doktrin Islam.

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah-akidah Imani yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional. Dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dan menyimpang dari kepercayaan Salaf dan Ahli Sunnah.10

Teologi Islam merupakan ilmu yang lebih mengutamakan pemahaman terhadap masalah-masalah ketuhanan dalam pendekatannya yang rasional dari tauhid yang bersama syariat membentuk orientasi keagamaan yang lebih bersifat eksoteris.

Teologi Islam pada dasarnya merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Teologi dalam Islam merupakan penegasan bahwa Tuhan itu satu, menciptakan manusia dengan tujuan menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Sementara itu menurut Muhammad Abduh, ilmu kalam atau tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib ditiadakan daripada-Nya. Juga membahas tentang rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib pada dirinya, hal-hal yang boleh, dan hal-hal yang terlarang dinisbahkan kepada diri mereka.11

Kemudian menurut Muhammad Iqbal, secara umum teologi yaitu sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan

10 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 3. 11 Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, hlm. 2.

(28)

inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan, dan kebebasmerdekaan”.12

Bukan hanya sebagai sebuah ilmu dan ajaran agama, teologi atau aqidah adalah sebuah world view bagi semua orang dan khususnya bagi umat Muslim, sebab dalam rumusan teologi ini, segala macam prinsip hidup dan pandangan seseorang telah diatur secara komperhensip. Dengan mempelajari teologi akan membuat seseorang lebih yakin dan memiliki landasan yang kuat dalam menganut agamanya, sehingga seseorang tersebut tidak mudah terombang-ambing dalam beragama. Oleh karena itu, seseorang dalam beragama harus didasari dengan akidah yang benar, yaitu dengan berpegang teguh kepada kitab suci al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang dan sikap yang lebih toleran dalam hal beragama.

B. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam

Dalam perkembangan sejarah Islam, dari masa ke masa muncul berbagai macam aliran dan tokoh teologi Islam. Dan untuk memudahkan pembahasan berbagai macam aliran teologi dan tokoh-tokohnya tersebut, maka dapat digolongkan kepada aliran teologi Islam klasik, modern, dan kontemporer. Masa-masa aliran teologi Islam tersebut antara lain:

a. Masa Klasik

Pada masa klasik telah muncul beberapa aliran-aliran teologi Islam, diantaranya; khawarij, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah.

(29)

1. Khawarij

Dalam sejarah pemikiran Islam, pengaruh Khawarij tetap menjadi pokok problematika pemikiran Islam.13 Seperti yang banyak terdapat dalam sejarah

gerakan umat Islam, gerakan kaum Khawarij mempunyai aspek politik dan keagamaan, ia dapat dianggap sebagai rangkaian pemberontak politik yang berdampak besar terhadap bidang teologi.14 Golongan Khawarij ini adalah

sekelompok orang-orang yang memisahkan diri dan keluar dari kelompok Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian membentuk kekuatan baru. Kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan.15

Dalam perkembangannya kelompok Khawarij selalu menentang kelompok Ali dan Muawiyah dengan mengagungkan slogan “tidak ada hukum kecuali dari Allah”. Mereka menamakan diri mereka dengan Khawarij tetapi dengan makna yang lain, yaitu orang-orang yang keluar menegakkan kebenaran, hal ini menurut mereka sesuai dengan Firman Allah. Kaum Khawarij kadang-kadang menamakan golongan mereka dengan kaum Syurah yang artinya kaum yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dan kerhidoan Allah.16

13 Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Paradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 206.

14 Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 6.

15 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 13. 16 Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hlm. 153-155.

(30)

Paham Khawarij yang menonjol dalam bidang teologi berkisar pada soal kufur dan dosa besar. Orang yang beriman kemudian melakukan dosa besar akan menjadi kafir, dalam arti keluar dari Islam, yaitu murtad dan wajib dibunuh. Dalam masalah kepemimpinan, menurut golongan Khawarij seorang pemimpin atau khalifah tidak harus dari kalangan Bani Quraisy. Siapa saja orang Islam dapat mencalonkan diri menjadi khalifah, selama mampu dan sanggup berlaku adil. Jika di kemudian hari ia tidak sanggup berlaku adil, maka rakyat wajib menjatuhkannya bahkan membunuhnya. Ketentuan khalifah dari kalangan Bani Quraisy dinilai sebagai bentuk ketidakadilan, sebab seyogyanya setiap orang memiliki derajat yang sama dan berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin umat.17 Apabila dilihat dari sisi keteguhan memegang prinsip, Khawarij termasuk

kelompok yang berpegang teguh kepada prinsip yang diyakininya, akan tetapi kelemahannya sangat kaku dalam penerapan ajarannya. Hal ini pula yang mengakibatkan kurang kembangnya ajaran Khawarij.18

2. Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab “i’tazala” yang artinya adalah memisahkan diri atau menjauhkan diri, maka dengan demikian, kata Mu’tazilah mempunyai arti orang-orang yang memisahkan diri atau menjauhkan diri. Dalam Ilmu Kalam yang dimaksud dengan Mu’tazilah adalah golongan yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha’ (80-131 H/699-748 M), serta para penerusnya. Namun mereka lebih suka menamakan golongannya dengan “Ahlu al ‘Adli wa al - tauhid”

17 Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015), hlm. 5.

(31)

(golongan Keadilan dan tauhid). Nama ini diambil dari pemikiran mereka, yaitu keadilan Allah dan Keesaan-Nya.19 Dalam paham Mu’tazilah, Tuhan Maha Esa,

tidak ada Tuhan selain Allah, tunggal tidak ada serikat bagi-Nya, sesuai dengan kandungan surah al-Ikhlas dan syahadat pertama dari syahadataini. Tuhan akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan zat yang unik. Tiada yang serupa dengan-Nya.20

Washil Ibn Atha’ sebagai pendiri ajaran ini memiliki dua ajaran pokok yakni

al-manzilah baina al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Kedua ajaran

tersebut merupakan bagian integral dari lima ajaran dasar Mu’tazilah (ushul

al-hamzah) yang belakangan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf. Adapun konsep

yang lain dari lima ajaran mu’tazilah adalah tauhid, keadilan Allah, janji dan ancaman, dan amar ma’ruf nahi mungkar.21

Golongan Mu’tazilah hadir dalam pentas pemikiran keislaman dengan ide-ide yang berkonotasi rasionalis liberalis. Persoalan-persoalan teologi yang dipaparkan lebih mendalam dan bersifat filosofis. Penggunaan rasio dalam kajian mereka sangat intens, namun demikian Al-Qur’an tidak diabaikan. Karena cara berpikir yang rasionalis dan liberalis inilah mereka dijuluki kaum “Rasionalis Islam”.22 Aliran ini pun diapresisasi karena telah memberikan kontribusi yang

cukup besar dalam pengembangan pemikiran Islam. Mu’tazilah telah mendiskusikan wacana-wacana penting seperti qada dan qadar, sifat-sifat

19 Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, hlm. 69.

20 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 52. 21 Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 41.

(32)

ketuhanan, perbuatan manusia dengan sangat filosofis, dan memberikan kebebasan penuh pada akal dalam memahaminya.

Kaum Mu’tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk memaksakan faham-faham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada di waktu itu. Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut.23

3. Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah dikenal dengan nama Ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang diberikan kepada golongan yang lebih mengutamakan sunnah atau hadis Nabi saw., daripada menggunakan pendapat akal pikiran dalam memahami aqidah. Istilah Ahlu al-Sunnah biasanya dipertentangkan dengan Ahlu Al-Ra’yi, yaitu golongan yang banyak menggunakan pendapat akal dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam serta dalam menetapkan hukum dari satu permasalahan yang tidak mereka temui pemecahannya dalam Al-Qur’an. Ahlu al-Sunnah dalam Ilmu Kalam adalah aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah.24

Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil.

23 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2018), hlm. 35.

(33)

Pendiri golongan ini ialah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Al-Asy’ari adalah murid dan belajar ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu ‘Ali al-Jubbai, malah Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa al-Asy’ari belajar dan terus bersama gurunya selama 40 tahun, sehingga al-Asy’ari pun termasuk tokoh Mu’tazilah. Dan karena kepintaran serta kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi. Namun pada perkembangan selanjutnya, al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis.25

Dalam pandangannya, al-Asy’ari mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam hampir semua isu teologis yang menjadi perdebatan pada waktu itu. Ia membuat penalaran tunduk kepada wahyu dan menolak “kehendak bebas” manusia dalam kebaikan yang dilakukan secara sukarela, yang menghilangkan kehendak bebas manusia yang kreatif dan menekankan kekuasaan Tuhan dalam semua yang terjadi di belakang ayat-ayat al-Qur’an.26

Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks wahyu atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah sebaliknya, menggunakan teks wahyu terlebih dahulu dan kemudian membawa argument-argumen rasionil untuk teks wahyu tersebut. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau intrepetasi dalam memahami teks wahyu, Asy’ariyah banyak

25 Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam, Cetakan III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 41.

(34)

berpegang pada arti lafzi atau terletak dari teks wahyu. Dengan kata lain kalau Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, Asy’ariyah membaca yang tersurat.27

4. Maturidiyah

Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.28 Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam

pandangan keagamaannya, al-Maturidi juga banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya.

Dalam kelanjutan dan pengembangan teologi Abu Mansur al-Maturidi terdapat dua golongan besar, yaitu golongan al-Maturidiyah versi Samarkand yaitu para pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu para pengikut dari al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, sementara golongan Bukhara pendapat-pendapatnya lebih mengarah kepada paham Asy’ariyah.

Aliran Maturidiyah adalah aliran teologi yang termasuk golongan Ahli Sunnah dan Jama’ah dan aliran ini banyak dianut oleh umat Muslim yang memakai

27 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 42.

(35)

mazhab Hanafi. Beberapa pemikiran dan ajaran kaum Maturidiyah diantaranya yaitu:29

1. Akal dan Wahyu 2. Sifat-Sifat Tuhan 3. Keimanan 4. Perbuatan Tuhan

5. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan 6. Keadilan Tuhan

7. Perbuatan Manusia

b. Masa Modern

Menurut Muhammad Ahmad, para teolog modern merasa ditantang untuk merumuskan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan tuntutan zaman, terutama atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan-perubahan sosial yang langsung secara drastis sebagai akibat infiltrasi kebudayaan Barat yang dibarengi kolonialisme Barat atas dunia Islam, telah memunculkan sejumlah pembaharuan yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern.30

Dengan demikian, seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, teologi Islam mengalami perkembangan. Hal tersebut nampak pada pemikiran para tokoh teologi modern yang memiliki varian pemikiran yang merupakan gambaran

29 Ris’an Rusli, Teologi Islam, hlm. 155-161.

(36)

Khazanah pemikiran teologi yang berkembangan pada zaman di mana tokoh tersebut masih hidup. Tokoh-tokoh teologi modern antara lain:

1. Muhammad Abduh

Ciri gerakan Muhammad Abduh, adalah revolusioner sebab pilihan prioritasnya adalah pendidikan dan kemasyarakatan. Muhammad Abduh sebenarnya bukanlah seorang revolusioner yang ingin mengadakan pembaharuan dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang ingin membawa pembaharuan melalui pendidikan yang memakan waktu panjang, tetapi mewujudkan dasar yang kuat.31

Abduh dalam pemikiran teologinya tentang akal dalam pandangan Islam berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentangan maka ada dua kemungkinan: Pertama, Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal dan, kedua, kesalahan dalam menggunakan penalaran. Pemikiran teologi semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang umatnya bebas berpikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa Barat saat itu, di mana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya, manusia semacam inilah yang diharapkan oleh Islam.32

31 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 23.

(37)

Gagasan teologi Muhammad Abduh menunjukkan bahwa umat Islam harus menghargai peran akal manusia, bahkan akal dan wahyu bukanlah hal yang harus dipertentangkan. Wahyu pun bukanlah hal yang mustahil baginya dan dapat diterima oleh akal sehat manusia.Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa beliau adalah seorang teolog Islam, di samping gelar yang dapat diberikan kepadanya seperti reformer, mufti, diplomat, jurnalis, mufassir, dan lainnya.

Beberapa pemikiran teologi Muhammad Abduh, antara lain: 1. Tuhan

2. Rasul-Rasul 3. Wahyu

4. Akal dan Wahyu 5. Perbuatan Manusia.33

2. Jamaluddin al-Afghani

Menurut Afghani, umat Islam selama ini tidak banyak memahami Qur’an sehingga pemikiran dan tindak tanduk mereka keluar dari garis-garis al-Qur’an. Karena tidak memahami al-Qur’an, maka orang mudah terjerumus ke dalam berbagai paham yang menyesatkan seperti faham Jabariyah yang tidak percaya diri dan meniadakan usaha, faham sufistik yang tidak mengakui dunia nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengajarkan khalwat, uzlah dan fanah yang membawa kelemahan bagi umat Islam.34

33 Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 82. 34 Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 80.

(38)

Di dalam bukunya “Al-Raddu ala al Dahriyin” al-Afghani menyatakan bahwa agama mengajarkan kepada manusia, paling tidak dalam tiga kebenaran fundamental, yaitu; Pertama, manusia memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi sehingga ia merupakan makhluk yang tertinggi. Kedua, dasar keimanan umat beragama terletak kepada keunggulan kebenaran yang dianutnya sehingga akan membedakan mereka dari kelompok lain. Ketiga, agama membawa kepada keyakinan tentang kehidupan manusia di dunia ini sebagai persiapan bagi kehidupan abadi yang bebas dari segala penderitaan.

Gagasan teologi Jamaluddin perlu diapresi oleh umat Islam untuk kembali mencintai al-Qur’an dan Hadis, dan menjadikannya sebaga alat pemersatu di kalangan umat Islam. Gagasan tersebut tentu tidak lahir begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh zaman yang melingkupinya, di mana ia hidup ketika umat Islam di bawa tekanan imperealisme Barat. Di samping itu, munculnya berbagai penafsiran yang kemudian melahirkan pertentangan dalam Islam dan berdampak pada melemahnya umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan alat pemersatu yakni al-Qur’an dan Hadis.

3. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal dilahirkan pada 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Muhammad Iqbal merupakan salah seorang tokoh pembaharu yang dianggap sebagai Bapak Pakistan sekaligus teolog modern, yang mampu memadukan antara Mutakallimin dengan para sufi, dan ahli tasawuf.35

(39)

Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College, Sialkot. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Sialkot, Iqbal masuk ke

Government College (Sekolah Tinggi Pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa

kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di

Government College Lahore. Ia lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa

serta dua medali emas karena bahasa Inggris dan Arabnya baik. Ia memperoleh gelar M.A. dalam filsafat pada tahun 1899.36

Dalam pemikiran teologinya, secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan kepada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan.” Pandangannya tentang ontologi dan teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariah, umpamanya, menggunakan cara dan pola pikir ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari. bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkrit merupakan kesalahan besar.37

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Muhammad Iqbal menolak argument kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argument teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada).

36 Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern India dan Pakistan, (Yogyakarta: Mizan, 1992), hlm. 174.

(40)

Untuk menopang hal ini, Muhammad Iqbal menolak pandangan yang statis tentang

matter serta menerima pandangan whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian

dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan Muhammad Iqbal dalam “jangka waktu murni-nya” Bergson.38

c. Masa Kontemporer

Pembahasan Teologi Islam saat ini haruslah membahas isu-isu kontemporer, dimana kita harus menyandingkan teks dogmatik dengan konteks realitas yang terus berkembang. Maka dengan begitu progresivitas umat Islam khususnya dibidang ilmu pengetahuan diharapkan akan berkembang. Teologi kontemporer tidak hanya bersifat teoritis, melainkan menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau yang dihadapinya.

Pada masa kontemporer ini muncul nama-nama teolog muslim yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran teologi Islam, diantaranya: Fazlur Rahman, Harun Nasution, dan Hassan Hanafi.

1. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh ilmuan Muslim yang berasal dari Pakistan. Ia dikenal sebagai orang yang memperkenalkan istilah neo modernisme. Neo modernisme jika diartikan secara sederhana berarti “paham modernisme baru”. Istilah ini digunakan untuk memberikan identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang merupakan usaha sintesis antara pola

38 Heri Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 104.

(41)

pemikiran yang tradisonalis dan modernisme.39 Nama lengkapnya adalah Fazlur

Rahman Malik. Rahman lahir pada tanggal 21 September tahun 1919 (21 Dzulhijjah 1337 H) di Hazara yang sebelumnya merupakan bagian dari India, daerah Hazara saat ini berada di sebelah barat laut Pakistan.40

Dalam pandangan teologinya, Fazlur Rahman menyatakan semata-mata Tuhan sebagai zat transenden tidaklah bersumber dari al-Qur’an, tetapi muncul dari perkembangan teologis Islam belakangan. Jikalau ditelaah secara cermat dari kandungan al-Qur’an akan sampai pada kesimpulan bahwa ia menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan, mulai dari turunnya hujan, proses bangun dan jatuhnya bangsa, sampai perjalanan benda-benda kosmis. Semua ini jelas menegaskan “Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang paling immanen.” Karena ketidak terhinggaan-Nya merupakan eksistensi-Nya bersama-sama dengan ciptaan-Nya.

Menurut Fazlur Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut ia mangatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang Panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapi bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap

39 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 15.

40 M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Rahman, (Yogyakarta: UII Pers, 2000), hlm. 9.

(42)

sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah Dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga.41

2. Harun Nasution

Harun Nasution seorang ulama-cendikiawan yang diakui dan dihormati baik oleh pemerintah maupun masyarakat, lebih-lebih di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia.

Perkembangan intelektual di Indonesia muncul sejak era 1970-an sampai dengan pertengahan 1990-an. Periode yang melahirkan neo-modernisme tersebut, selain menuai kontroversi, diakui sebagian pengamat sebagai perkembangan intelektual yang begitu progresif dan kreatif. Pemikiran Harun Nasution yang termasuk dalam salah satu pemikiran neo-modernisme Islam yaitu pemikiran rasionalnya. Harun Nasution berpandangan bahwa Islam bersifat rasionalis. Harun Nasution juga berobsesi membangun suatu teologi Islam rasional yang menegaskan fungsi wahyu bagi manusia, tentang sifat-sifat Tuhan dan sekitar perbuatan Tuhan terhadap manusia. Di dalam pemikirannya tersebut, Harun Nasution banyak terpengaruh oleh pemikiran rasionalitas kaum Mu’tazilah.42 Harun Nasution

memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern karena ia memiliki konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian.

41 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 88. 42 Aqib Suminto, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 102-106.

(43)

Teologi Harun Nasution dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan serta kemunduran umat Islam Indonesia dan seluruh dunia disebabkan ada yang salah dengan sistem teologi mereka. Pandangan ini mirip dengan pandangan kaum modernis sebelumnya, yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, jika hendak merubah nasib umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah merubah teologi mereka menuju pada teologi yang berwatak free will atau bebas, rasional serta mandiri.43

Harun Nasution mengikuti Asy-Syahrastani, dalam pengungkapan bahwa persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam. Selanjutnya Harun Nasution menjelaskan, bahwa dalam Islam teologi merupakan pembahasan mengenai Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan.44

3. Hassan Hanafi

Hassan Hanafi lahir pada 14 Februari 1935 di Kairo, Mesir dari keluarga Muslim yang taat. Sejak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 5 tahun Hassan Hanafi sudah mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan dasar ia tempuh pada Madrasah Sulaiman Ghawisy dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan guru al-Mua’llimin. Pada usia remaja ia mulai berkenalan dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin dalam masa pendidikannya di Sekolah Menengah Khalil Agha di Kairo pada 1948-1952. Ketika dia memasuki perguruan tinggi

43 Aqib Suminto, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution, hlm. 167.

(44)

dengan memasuki Universitas Kairo pada tahun 1952-1956, Hassan Hanafi telah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.45

Pemikiran Hassan Hanafi bertolak dari penjelajahan iman dan intelektualnya dalam menghidupkan kembali semangat ilmu kalam dari iman ken alar hingga menuju aksi. Proyek penjelajahan tersebut dia sebut dengan at-Turats

wa at-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan). Salah satu karya monumentalnya adalah Min al-‘Aqidah ila al-Tsawrah (Dari Aqidah ke Revolusi). Hassan Hanafi

merombak total isu-isu Ilmu Kalam, dari hanya semata-mata isu bangun teologi yang berkaitan dengan hal-hal yang bernuansa teosentris, menjadi isu problema kemanusiaan yang bernuansa antroposentris. Bahkan dengan latar belakang kehidupannya yang dibesarkan di tengah debu revolusi negeri-negeri Muslim yang terampas, Hassan Hanafi malah mengobarkan revolusi dari akidah tersebut.46

Menurut Hassan Hanafi, rumusan-rumusan teologis selama ini bertumpu pada pemaparan substansi wujud Tuhan Yang Maha Mutlak sebagaimana Yang Maha Kuasa dan Maha Berkehendak. Dia lah yang memulai segala sesuatu, dan Dia pulalah yang mengembalikan segala sesuatu itu. Dia yang memulai dan Dia pula yang metetapkan segalanya. Dia yang menghidupkan dan Dia pula yang mematikan. Maka, seorang teolog klasik seakan-akan bercengkrama dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Dahsyat ini, hingga mencapai derajat fana bersama-Nya.47

45 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 243.

46 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, hlm. 242.

47 Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, terjemahan Asep Usman Ismail, (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. iiv.

(45)

33

BAB III

TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION DAN HASSAN HANAFI

A. Harun Nasution

a. Riwayat Hidup Harun Nasution

Harun Nasution lahir pada hari selasa tepatnya pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama kelahiran Mandailing yang berkecukupan serta pernah menduduki jabatan sebagai qadi, penghulu, kepala agama, hakim agama dan imam masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya bernama Maimunah yang berasal dari Tanah Bato adalah seorang putri ulama asal boru Mandailing Tapanuli, dan masa gadisnya pernah bermukim di Makkah dan pandai bahasa Arab.1 Secara

ekonomi, keluarganya mendapatkan masukan uang yang cukup dari pekerjaan ayahnya yang sebagai kepala agama dan penghulu. Keadaan ini menempatkan keluarga Harun sebagai kelas menengah pada zamannya.2

Harun adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamanya bernama H. Muhammad Ayyub, beda sepuluh tahun dari Harun. Kakak keduanya bernama H. Khalil, seorang pegawai Departemen Agama di Pematang Siantar semasa hidupnya. Kakak ketiganya adalah seorang perempuan bernama Sa’idah

1 Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, (Jakarta: Ciputat Pers, 2001), hlm. 3. 2 Nurhidayat Muhammad Said, Pembaruan Pemikiran Islam Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Mapan, 2006), hlm. 9.

(46)

yang sehari-harinya hanya sebagai ibu rumah tangga. Dan adiknya yang bungsu juga seorang perempuan bernama Hafsah.3

Selain merupakan keturunan dari keluarga yang taat beragama dan terhormat, orang tua Harun juga tergolong orang yang mampu di bidang ekonomi saat itu. Di samping sebagai ulama, ayahnya juga seorang pedagang yang sukses dan bahkan pernah menjadi seorang Kepala Agama merangkap Hakim Agama pada masa pemerintahan Belanda.4 Sehingga tidak menjadi persoalan dan kendala bagi

Harun di dalam menempuh pendidikan, sebab dari segi biaya sekolah sudah dicukupi oleh orang tuanya. Orang tuanya sangat menginginkan Harun menajadi orang pintar di kemudian hari. Tentunya menjadi ahli di bidang keilmuwan keislaman, sebagai tongkat estafet keluarga ulama dari nenek moyangnya.

Keluarga Harun Nasution adalah keluarga yang agamis dan disiplin dalam menjalankan perintah agama, sehingga suasana keagamaan itu benar-benar tertanam di hatinya. Sejak kecil, pendidikan disiplin telah didapatkannya dari ibunya, dengan menetapkan peraturan tersendiri yang mesti dilaksanakan. Di rumah Harun belajar dari pukul empat hingga lima sore, kemudian setelah shalat maghrib ia diharuskan mengaji al-Qur’an. Setiap paginya sebelum berangkat sekolah Harun ditugaskan untuk mencuci piring, begitu pun setelah ia pulang sekolah sebelum ia pergi bermain. Pada bulan puasa, Harun bertadarrus al-Qur’an di masjid hingga pukul 12 malam, sehingga ia dapat menamatkan al-Qur’an sampai tiga kali. Di

3 Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989), hlm. 5.

4 Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, hlm. 5.

(47)

setiap pagi ia selalu bangun subuh untuk shalat berjamaah di masjid.5 Harun

mengatakan sikap kegamaan seperti itu sangat membekas di hati sanubarinya. Bukan hanya sebagai seorang pemikir, Harun juga seorang yang wara’ (patuh kepada Allah) sehingga dapat membantah keraguan orang-orang yang mempertanyakan keislaman beliau. Selain itu, Harun Nasution terkenal sebagai seorang yang kanaah atau puas dengan harta seadanya. Hal ini terlihat dari kesederhanaan beliau dalam menjalani kehidupan beliau yang jauh dari suasana kemewahan bila dibandingkan dengan orang lain.

b. Latar Belakang Intelektual

Harun memulai pendidikannya pada waktu berumur tujuh tahun di sekolah Belanda, yaitu Hollandsch Inlandsche School (HIS). Selama tujuh tahun Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS, di sekolah Belanda ini pula Harun diajari disiplin kuat. Pelajaran yang paling ia senangi semasa di HIS adalah pengetahuan alam dan sejarah. Setelah tamat dari HIS, Harun merencanakan sekolah ke MULO. Akan tetapi, kedua orang tuanya tidak merestui. Orang tua Harun sudah merasa cukup, ia mempunyai ilmu pengetahuan umum dengan sekolah di HIS. Akhirnya Harun melanjutkan pendidikan ke sekolah agama yang bersemangat modern, yaitu, Modern Islamietische Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukittinggi.6

5 Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 tahun Harun Nasution, hlm. 6.

6 Ris’an Rusli, Pemikiran Teologi Islam Modern, (Depok: Prenamedia Group, 2018), hlm. 230.

(48)

Sewaktu melanjutkan pendidikan ke Modern Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi, suatu sekolah yang setingkat SMP pada zaman Belanda, pelajaran agama yang diberikan disana banyak berupa hafalan. Bedanya, di MIK diberikan pelajaran bahasa Arab sehingga apa yang dibaca dan dihafal itu sedikit banyak diketahui maksudnya. Pelajaran agama yang ia peroleh saat itu menurutnya sangat membosankan jika ia bandingkan dengan ilmu-ilmu umum yang ia peroleh, baik di HIS, sekolah dasar Belanda, maupun di MIK. Kalau dalam pelajaran agama ia dituntut menghafal tanpa banyak mengerti, sedangkan di bidang ilmu pengetahuan umum ia dituntut untuk mengerti apa yang diajarkan dan menjadi terpaksa berpikir dan dibolehkan mengajukan pendapat.7

Setelah menamatkan pendidikannya di MIK, Harun dikirim orang tuanya ke Mekkah untuk meneruskan pelajaran agama di Masjid Al-Haram. Tidak hanya untuk belajar, disana Harun juga menunaikan ibadah haji. Tetapi, karena yang dipelajari disana adalah kitab kuning terutama tafsir, hadis, dan fiqih, ia tidak sanggup meneruskan pelajaran tersebut yang diberikan di Masjid Al-Haram. Menurutnya pelajaran agama yang diberikan disana tidak sesuai dengan keinginannya.

Merasa tidak kerasan di Mekkah, Arab Saudi, Harun kemudian pergi ke Kairo, Mesir. Di Mesir, ia mulai mendalami Islam pada Fakultas Ushuluddin, di Universitas Al-Azhar, karena di sana diberikan ilmu-ilmu non-agama seperti ilmu jiwa, etika, dan filsafat, di samping ilmu tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Di sana diberikan juga pelajaran Bahasa Iggris dan Perancis. Tetapi, untuk dapat

7 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 53.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat DSO dibuat, untuk tipe penjualan yang menggunakan Sales Program Subsidi, Subsidi Barang Bonus, dan TAC (Scheme dan Insentif Finance Company), maka One-D

Namun demikian, belum semuanya dapat tertampung, sebagai akibatnya masih banyak tenaga kerja yang pada umumnya kurang trampil mau dan bersedia bekerja apa saja, asal mendapat upah

Kerangka pikir adalah suatu konsep atau alur pikir yang berisikan hubungan kausal antara variabel bebas dan variabel terikat dalam rangka memberikan jawaban sementara

Kebijakan yang diterapkan oleh perusahaan terkait dengan metode yang digunakan dalam pengakuan pendapatan sudah baik, tapi penulis menyarankan agar apabila pihak

Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Kerjanya : bila roda-roda belakang menerima kejutan dari permukaan jalan akan diteruskan kerumah poros roda belakang yang mengakibatkan pegas koil mengalami pemendekan

Berdasarkan hal tersebut rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian yaitu: (1) apakah P e m e r i n t a h Kota Batam sudah efektif dalam memberikan dukungan

Kasus kekerasan seksual anak menjadi fenomena yang semakin marak di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh ketidakpekaan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap