• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TEOLOGI ISLAM

B. Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Teologi Islam

Dalam perkembangan sejarah Islam, dari masa ke masa muncul berbagai macam aliran dan tokoh teologi Islam. Dan untuk memudahkan pembahasan berbagai macam aliran teologi dan tokoh-tokohnya tersebut, maka dapat digolongkan kepada aliran teologi Islam klasik, modern, dan kontemporer. Masa-masa aliran teologi Islam tersebut antara lain:

a. Masa Klasik

Pada masa klasik telah muncul beberapa aliran-aliran teologi Islam, diantaranya; khawarij, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah.

1. Khawarij

Dalam sejarah pemikiran Islam, pengaruh Khawarij tetap menjadi pokok problematika pemikiran Islam.13 Seperti yang banyak terdapat dalam sejarah gerakan umat Islam, gerakan kaum Khawarij mempunyai aspek politik dan keagamaan, ia dapat dianggap sebagai rangkaian pemberontak politik yang berdampak besar terhadap bidang teologi.14 Golongan Khawarij ini adalah sekelompok orang-orang yang memisahkan diri dan keluar dari kelompok Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian membentuk kekuatan baru. Kaum Khawarij terdiri atas pengikut-pengikut ‘Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali Ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang Khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan.15

Dalam perkembangannya kelompok Khawarij selalu menentang kelompok Ali dan Muawiyah dengan mengagungkan slogan “tidak ada hukum kecuali dari Allah”. Mereka menamakan diri mereka dengan Khawarij tetapi dengan makna yang lain, yaitu orang-orang yang keluar menegakkan kebenaran, hal ini menurut mereka sesuai dengan Firman Allah. Kaum Khawarij kadang-kadang menamakan golongan mereka dengan kaum Syurah yang artinya kaum yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan dan kerhidoan Allah.16

13 Nurcholish Madjid, Islam Doktri dan Paradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 206.

14 Ris’an Rusli, Teologi Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 6.

15 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 13. 16 Sirajuddin Abbas, I’tikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1991), hlm. 153-155.

Paham Khawarij yang menonjol dalam bidang teologi berkisar pada soal kufur dan dosa besar. Orang yang beriman kemudian melakukan dosa besar akan menjadi kafir, dalam arti keluar dari Islam, yaitu murtad dan wajib dibunuh. Dalam masalah kepemimpinan, menurut golongan Khawarij seorang pemimpin atau khalifah tidak harus dari kalangan Bani Quraisy. Siapa saja orang Islam dapat mencalonkan diri menjadi khalifah, selama mampu dan sanggup berlaku adil. Jika di kemudian hari ia tidak sanggup berlaku adil, maka rakyat wajib menjatuhkannya bahkan membunuhnya. Ketentuan khalifah dari kalangan Bani Quraisy dinilai sebagai bentuk ketidakadilan, sebab seyogyanya setiap orang memiliki derajat yang sama dan berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin umat.17 Apabila dilihat dari sisi keteguhan memegang prinsip, Khawarij termasuk kelompok yang berpegang teguh kepada prinsip yang diyakininya, akan tetapi kelemahannya sangat kaku dalam penerapan ajarannya. Hal ini pula yang mengakibatkan kurang kembangnya ajaran Khawarij.18

2. Mu’tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab “i’tazala” yang artinya adalah memisahkan diri atau menjauhkan diri, maka dengan demikian, kata Mu’tazilah mempunyai arti orang-orang yang memisahkan diri atau menjauhkan diri. Dalam Ilmu Kalam yang dimaksud dengan Mu’tazilah adalah golongan yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha’ (80-131 H/699-748 M), serta para penerusnya. Namun mereka lebih suka menamakan golongannya dengan “Ahlu al ‘Adli wa al - tauhid”

17 Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2015), hlm. 5.

(golongan Keadilan dan tauhid). Nama ini diambil dari pemikiran mereka, yaitu keadilan Allah dan Keesaan-Nya.19 Dalam paham Mu’tazilah, Tuhan Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Allah, tunggal tidak ada serikat bagi-Nya, sesuai dengan kandungan surah al-Ikhlas dan syahadat pertama dari syahadataini. Tuhan akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan zat yang unik. Tiada yang serupa dengan-Nya.20

Washil Ibn Atha’ sebagai pendiri ajaran ini memiliki dua ajaran pokok yakni

al-manzilah baina al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Kedua ajaran

tersebut merupakan bagian integral dari lima ajaran dasar Mu’tazilah (ushul

al-hamzah) yang belakangan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf. Adapun konsep

yang lain dari lima ajaran mu’tazilah adalah tauhid, keadilan Allah, janji dan ancaman, dan amar ma’ruf nahi mungkar.21

Golongan Mu’tazilah hadir dalam pentas pemikiran keislaman dengan ide-ide yang berkonotasi rasionalis liberalis. Persoalan-persoalan teologi yang dipaparkan lebih mendalam dan bersifat filosofis. Penggunaan rasio dalam kajian mereka sangat intens, namun demikian Al-Qur’an tidak diabaikan. Karena cara berpikir yang rasionalis dan liberalis inilah mereka dijuluki kaum “Rasionalis Islam”.22 Aliran ini pun diapresisasi karena telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pengembangan pemikiran Islam. Mu’tazilah telah mendiskusikan wacana-wacana penting seperti qada dan qadar, sifat-sifat

19 Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, hlm. 69.

20 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 52. 21 Muh Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 41.

ketuhanan, perbuatan manusia dengan sangat filosofis, dan memberikan kebebasan penuh pada akal dalam memahaminya.

Kaum Mu’tazilah sudah tidak ada lagi. Mereka mendapat tantangan keras dari umat Islam lain setelah mereka berusaha di abad kesembilan untuk memaksakan faham-faham mereka dengan memakai kekerasan pada umat Islam yang ada di waktu itu. Pemikiran rasionil Mu’tazilah dan sikap kekerasan mereka, membawa pada lahirnya aliran-aliran teologi lain dalam Islam. Aliran-aliran itu timbul untuk menjadi tantangan bagi aliran yang bercorak rasionil dan liberal tersebut.23

3. Asy’ariyah

Aliran Asy’ariyah dikenal dengan nama Ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang diberikan kepada golongan yang lebih mengutamakan sunnah atau hadis Nabi saw., daripada menggunakan pendapat akal pikiran dalam memahami aqidah. Istilah Ahlu al-Sunnah biasanya dipertentangkan dengan Ahlu Al-Ra’yi, yaitu golongan yang banyak menggunakan pendapat akal dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam serta dalam menetapkan hukum dari satu permasalahan yang tidak mereka temui pemecahannya dalam Al-Qur’an. Ahlu al-Sunnah dalam Ilmu Kalam adalah aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah.24

Teologi Asy’ariyah muncul karena tidak terlepas dari, atau malah dipicu oleh situasi sosial politik yang berkembang pada saat itu. Teologi Asy’ariyah muncul sebagai teologi tandingan dari aliran Mu’tazilah yang bercorak rasionil.

23 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 2018), hlm. 35.

Pendiri golongan ini ialah Abu al-Hasan al-Asy’ari. Al-Asy’ari adalah murid dan belajar ilmu kalam dari seorang tokoh Mu’tazilah, yaitu Abu ‘Ali al-Jubbai, malah Ibn ‘Asakir mengatakan bahwa al-Asy’ari belajar dan terus bersama gurunya selama 40 tahun, sehingga al-Asy’ari pun termasuk tokoh Mu’tazilah. Dan karena kepintaran serta kemahirannya, ia sering mewakili gurunya itu dalam berdiskusi. Namun pada perkembangan selanjutnya, al-Asy’ari menjauhkan diri dari pemikiran Mu’tazilah dan selanjutnya condong kepada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis.25

Dalam pandangannya, al-Asy’ari mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam hampir semua isu teologis yang menjadi perdebatan pada waktu itu. Ia membuat penalaran tunduk kepada wahyu dan menolak “kehendak bebas” manusia dalam kebaikan yang dilakukan secara sukarela, yang menghilangkan kehendak bebas manusia yang kreatif dan menekankan kekuasaan Tuhan dalam semua yang terjadi di belakang ayat-ayat al-Qur’an.26

Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal manusia, kaum Asy’ariyah banyak bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai kaum Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks wahyu atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariyah sebaliknya, menggunakan teks wahyu terlebih dahulu dan kemudian membawa argument-argumen rasionil untuk teks wahyu tersebut. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau intrepetasi dalam memahami teks wahyu, Asy’ariyah banyak

25 Ghufron A. Mas’adi, Ensiklopedi Islam, Cetakan III, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 41.

berpegang pada arti lafzi atau terletak dari teks wahyu. Dengan kata lain kalau Mu’tazilah membaca yang tersirat dalam teks, Asy’ariyah membaca yang tersurat.27

4. Maturidiyah

Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyah.28 Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi juga banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya.

Dalam kelanjutan dan pengembangan teologi Abu Mansur al-Maturidi terdapat dua golongan besar, yaitu golongan al-Maturidiyah versi Samarkand yaitu para pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu para pengikut dari al-Bazdawi. Golongan Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, sementara golongan Bukhara pendapat-pendapatnya lebih mengarah kepada paham Asy’ariyah.

Aliran Maturidiyah adalah aliran teologi yang termasuk golongan Ahli Sunnah dan Jama’ah dan aliran ini banyak dianut oleh umat Muslim yang memakai

27 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 42.

mazhab Hanafi. Beberapa pemikiran dan ajaran kaum Maturidiyah diantaranya yaitu:29

1. Akal dan Wahyu 2. Sifat-Sifat Tuhan 3. Keimanan 4. Perbuatan Tuhan

5. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan 6. Keadilan Tuhan

7. Perbuatan Manusia

b. Masa Modern

Menurut Muhammad Ahmad, para teolog modern merasa ditantang untuk merumuskan pemikiran keagamaan yang sesuai dengan tuntutan zaman, terutama atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan-perubahan sosial yang langsung secara drastis sebagai akibat infiltrasi kebudayaan Barat yang dibarengi kolonialisme Barat atas dunia Islam, telah memunculkan sejumlah pembaharuan yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern.30

Dengan demikian, seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman, teologi Islam mengalami perkembangan. Hal tersebut nampak pada pemikiran para tokoh teologi modern yang memiliki varian pemikiran yang merupakan gambaran

29 Ris’an Rusli, Teologi Islam, hlm. 155-161.

Khazanah pemikiran teologi yang berkembangan pada zaman di mana tokoh tersebut masih hidup. Tokoh-tokoh teologi modern antara lain:

1. Muhammad Abduh

Ciri gerakan Muhammad Abduh, adalah revolusioner sebab pilihan prioritasnya adalah pendidikan dan kemasyarakatan. Muhammad Abduh sebenarnya bukanlah seorang revolusioner yang ingin mengadakan pembaharuan dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang ingin membawa pembaharuan melalui pendidikan yang memakan waktu panjang, tetapi mewujudkan dasar yang kuat.31

Abduh dalam pemikiran teologinya tentang akal dalam pandangan Islam berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentangan maka ada dua kemungkinan: Pertama, Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal dan, kedua, kesalahan dalam menggunakan penalaran. Pemikiran teologi semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang umatnya bebas berpikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa Barat saat itu, di mana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya, manusia semacam inilah yang diharapkan oleh Islam.32

31 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 23.

Gagasan teologi Muhammad Abduh menunjukkan bahwa umat Islam harus menghargai peran akal manusia, bahkan akal dan wahyu bukanlah hal yang harus dipertentangkan. Wahyu pun bukanlah hal yang mustahil baginya dan dapat diterima oleh akal sehat manusia.Hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa beliau adalah seorang teolog Islam, di samping gelar yang dapat diberikan kepadanya seperti reformer, mufti, diplomat, jurnalis, mufassir, dan lainnya.

Beberapa pemikiran teologi Muhammad Abduh, antara lain: 1. Tuhan

2. Rasul-Rasul 3. Wahyu

4. Akal dan Wahyu 5. Perbuatan Manusia.33

2. Jamaluddin al-Afghani

Menurut Afghani, umat Islam selama ini tidak banyak memahami Qur’an sehingga pemikiran dan tindak tanduk mereka keluar dari garis-garis al-Qur’an. Karena tidak memahami al-Qur’an, maka orang mudah terjerumus ke dalam berbagai paham yang menyesatkan seperti faham Jabariyah yang tidak percaya diri dan meniadakan usaha, faham sufistik yang tidak mengakui dunia nyata, berbagai ajaran tasawuf yang mengajarkan khalwat, uzlah dan fanah yang membawa kelemahan bagi umat Islam.34

33 Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 82. 34 Muh. Rusli, Khazanah Teologi Islam Klasik dan Modern, hlm. 80.

Di dalam bukunya “Al-Raddu ala al Dahriyin” al-Afghani menyatakan bahwa agama mengajarkan kepada manusia, paling tidak dalam tiga kebenaran fundamental, yaitu; Pertama, manusia memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi sehingga ia merupakan makhluk yang tertinggi. Kedua, dasar keimanan umat beragama terletak kepada keunggulan kebenaran yang dianutnya sehingga akan membedakan mereka dari kelompok lain. Ketiga, agama membawa kepada keyakinan tentang kehidupan manusia di dunia ini sebagai persiapan bagi kehidupan abadi yang bebas dari segala penderitaan.

Gagasan teologi Jamaluddin perlu diapresi oleh umat Islam untuk kembali mencintai al-Qur’an dan Hadis, dan menjadikannya sebaga alat pemersatu di kalangan umat Islam. Gagasan tersebut tentu tidak lahir begitu saja, tetapi dipengaruhi oleh zaman yang melingkupinya, di mana ia hidup ketika umat Islam di bawa tekanan imperealisme Barat. Di samping itu, munculnya berbagai penafsiran yang kemudian melahirkan pertentangan dalam Islam dan berdampak pada melemahnya umat Islam. Untuk itu, dibutuhkan alat pemersatu yakni al-Qur’an dan Hadis.

3. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal dilahirkan pada 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Muhammad Iqbal merupakan salah seorang tokoh pembaharu yang dianggap sebagai Bapak Pakistan sekaligus teolog modern, yang mampu memadukan antara Mutakallimin dengan para sufi, dan ahli tasawuf.35

Muhammad Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray College, Sialkot. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Sialkot, Iqbal masuk ke

Government College (Sekolah Tinggi Pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa

kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di

Government College Lahore. Ia lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa

serta dua medali emas karena bahasa Inggris dan Arabnya baik. Ia memperoleh gelar M.A. dalam filsafat pada tahun 1899.36

Dalam pemikiran teologinya, secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan kepada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan.” Pandangannya tentang ontologi dan teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariah, umpamanya, menggunakan cara dan pola pikir ortodoksi Islam. Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari. bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dari pengalaman kongkrit merupakan kesalahan besar.37

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Muhammad Iqbal menolak argument kosmologis ataupun ontologis. Ia juga menolak argument teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada).

36 Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern India dan Pakistan, (Yogyakarta: Mizan, 1992), hlm. 174.

Untuk menopang hal ini, Muhammad Iqbal menolak pandangan yang statis tentang

matter serta menerima pandangan whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian

dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan Muhammad Iqbal dalam “jangka waktu murni-nya” Bergson.38

c. Masa Kontemporer

Pembahasan Teologi Islam saat ini haruslah membahas isu-isu kontemporer, dimana kita harus menyandingkan teks dogmatik dengan konteks realitas yang terus berkembang. Maka dengan begitu progresivitas umat Islam khususnya dibidang ilmu pengetahuan diharapkan akan berkembang. Teologi kontemporer tidak hanya bersifat teoritis, melainkan menyajikan langkah praktis perwujudan dari nash dalam menghadapi persoalan yang ada atau yang dihadapinya.

Pada masa kontemporer ini muncul nama-nama teolog muslim yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran teologi Islam, diantaranya: Fazlur Rahman, Harun Nasution, dan Hassan Hanafi.

1. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman merupakan salah satu tokoh ilmuan Muslim yang berasal dari Pakistan. Ia dikenal sebagai orang yang memperkenalkan istilah neo modernisme. Neo modernisme jika diartikan secara sederhana berarti “paham modernisme baru”. Istilah ini digunakan untuk memberikan identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang merupakan usaha sintesis antara pola

38 Heri Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 104.

pemikiran yang tradisonalis dan modernisme.39 Nama lengkapnya adalah Fazlur Rahman Malik. Rahman lahir pada tanggal 21 September tahun 1919 (21 Dzulhijjah 1337 H) di Hazara yang sebelumnya merupakan bagian dari India, daerah Hazara saat ini berada di sebelah barat laut Pakistan.40

Dalam pandangan teologinya, Fazlur Rahman menyatakan semata-mata Tuhan sebagai zat transenden tidaklah bersumber dari al-Qur’an, tetapi muncul dari perkembangan teologis Islam belakangan. Jikalau ditelaah secara cermat dari kandungan al-Qur’an akan sampai pada kesimpulan bahwa ia menghubungkan seluruh proses dan peristiwa alam kepada Tuhan, mulai dari turunnya hujan, proses bangun dan jatuhnya bangsa, sampai perjalanan benda-benda kosmis. Semua ini jelas menegaskan “Tuhan bukan saja yang paling transenden, tetapi juga yang paling immanen.” Karena ketidak terhinggaan-Nya merupakan eksistensi-Nya bersama-sama dengan ciptaan-Nya.

Menurut Fazlur Rahman, Tuhan itu memang dekat, namun bisa juga dipandang sangat jauh. Lebih lanjut ia mangatakan bahwa yang menjadi masalah bukanlah bagaimana membuat manusia beriman dengan mengemukakan bukti-bukti teologis yang Panjang lebar tentang eksistensi Tuhan, tetapi bagaimana membuatnya beriman dengan mengalihkan perhatiannya kepada berbagai fakta yang jelas dan mengubah fakta-fakta ini menjadi hal-hal yang mengingatkan manusia kepada eksistensi Tuhan. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap

39 Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 15.

40 M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Rahman, (Yogyakarta: UII Pers, 2000), hlm. 9.

sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah Dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga.41

2. Harun Nasution

Harun Nasution seorang ulama-cendikiawan yang diakui dan dihormati baik oleh pemerintah maupun masyarakat, lebih-lebih di lingkungan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia.

Perkembangan intelektual di Indonesia muncul sejak era 1970-an sampai dengan pertengahan 1990-an. Periode yang melahirkan neo-modernisme tersebut, selain menuai kontroversi, diakui sebagian pengamat sebagai perkembangan intelektual yang begitu progresif dan kreatif. Pemikiran Harun Nasution yang termasuk dalam salah satu pemikiran neo-modernisme Islam yaitu pemikiran rasionalnya. Harun Nasution berpandangan bahwa Islam bersifat rasionalis. Harun Nasution juga berobsesi membangun suatu teologi Islam rasional yang menegaskan fungsi wahyu bagi manusia, tentang sifat-sifat Tuhan dan sekitar perbuatan Tuhan terhadap manusia. Di dalam pemikirannya tersebut, Harun Nasution banyak terpengaruh oleh pemikiran rasionalitas kaum Mu’tazilah.42 Harun Nasution memandang teologi rasional sesuai untuk masyarakat modern karena ia memiliki konsekuensi erat dengan perbuatan manusia dalam hidup keseharian.

41 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 88. 42 Aqib Suminto, Refleksi Pemikiran Pembaharuan Islam 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 102-106.

Teologi Harun Nasution dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan serta kemunduran umat Islam Indonesia dan seluruh dunia disebabkan ada yang salah dengan sistem teologi mereka. Pandangan ini mirip dengan pandangan kaum modernis sebelumnya, yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, jika hendak merubah nasib umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah merubah teologi mereka menuju pada teologi yang berwatak free will atau bebas, rasional serta mandiri.43

Harun Nasution mengikuti Asy-Syahrastani, dalam pengungkapan bahwa

Dokumen terkait