• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persamaan dalam Pandangan Fungsi Akal

BAB IV PERBANDINGAN TEOLOGI ISLAM HARUN NASUTION DAN

A. Persamaan dalam Pandangan Fungsi Akal

Dalam pemikiran teologi Islam Harun Nasution dan Hassan Hanafi, akal adalah suatu daya yang dimiliki oleh manusia. Keduanya memiliki pandangan bahwa akal merupakan suatu daya yang diberikan oleh Tuhan, dan dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan.

Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, bukan hanya merupakan ajaran dalam teori, tetapi ialah ajaran yang telah pernah diamalkan oleh para cendikiawan dan ulama Islam pada zaman klasik, dan seterusnya pengaruh pemakaian akal dan peradaban Islam itu kepada kebebasan dalam berfikir.

Harun Nasution sebagai seorang cendikiawan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai rasionalitas. Dalam sejarah peradaban manusia, hanya pemikiran rasional yang mampu memajukan masyarakat. Bagi Harun Nasution, Pemikiran rasional mengembangkan berbagai teori pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi manusia dalam mengembangkan peradabannya. Dan pemikiran rasional baginya, adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Harun Nasution berpendapat bahwa selama ini umat Islam belum menggunakan potensi pemikiran rasional dengan optimal. Hal ini menjadi perbedaan mendasar antara Barat dan Timur, yaitu penggunaan akal secara maksimal. Masyarakat Barat menjadikan akal sebagai landasan dalam

pemikiran sehingga melahirkan karya-karya inovatif yang mendukung peradaban mereka.1

Harun Nasution lebih lanjut berasumsi bahwa pemaksimalan pemakaian akal dan berpikir teologi secara rasional dalam menuntut ilmu pengetahuan akan berdampak pada perbaikan akhlak dan peningkatan kemakmuran dalam masyarakat. Sebab berbagai aspek ajaran agama yang ada dalam Islam dipandang Harun Nasution memiliki dimensi akhlak di belakangnya. Dan hal ini hanya dapat dipahami jika sebuah pendidikan diberikan dengan menekankan penggunaan akal dan rasionalitas.2

Dengan akal, manusia mempunyai kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Akal manusia lah yang mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan kemudian ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia dapat mengubah dan mengatur alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik pada masa kini maupun pada masa mendatang.

Pengetahuan yang diperoleh akal menurut Harun Nasution bersifat relatif, artinya mungkin benar dan mungkin juga salah.3 Selain tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan keduniaan saja, akal dapat pula mengetahui empat masalah dasar dan pokok dalam agama. Masalah dasar dan pokok bagi agama yaitu,

pertama, mengetahui adanya Tuhan pencipta alam semesta, kedua, mengetahui

kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, ketiga, mengetahui mana

1 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 287.

2 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, hlm. 60.

perbuatan baik dan mana perbuatan jahat, dan keempat, akal dapat pula mengetahui bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk melakukan perbuatan baik dan kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat.4

Dan jika kita telusuri juga pemikiran Hassan Hanafi tentang akal. Hassan Hanafi berpendapat bahwa, akal merupakan suatu yang penting, pentingnya akal adalah untuk membangun pengetahuan, pengetahuan kegamaan dan menegakkan keadilan. Akal menurutnya tidak bisa dibatasi dengan kawasan sempit spekulasi rasional dan intelektual yang mengontrol pemikiran. Namun akal juga berkaitan dengan insting spiritual.5 Hassan Hanafi menekankan bahwa rasionalisme sangat diperlukan untuk revitalisasi khazanah Islam. Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian didalam dunia Islam.

Hassan Hanafi memiliki perhatian yang besar terhadap golongan Mu’tazilah dalam pemakaian akal. Hassan Hanafi masih mempertahankan pola pikir Mu’tazilah untuk dipopulerkan kembali karena sifat rasionalnya. Sistem mu’tazilah dipandang sebagai refleksi gerakan rasionalisme, naturalisme dan kebebasan manusia. Meski dalam konteks ini Hanafi tidak mengulang secara mutlak ajaran Mu’tazilah. Minimal semangat rasionalnya yang dapat diambil. Akibatnya konsep-konsep tertentu dalam doktrin Mu’tazilah ditonjolkan kembali sebagai landasan inspiratif rekontruksi kalam.6

4 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, hlm. 142.

5 Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, Telaah Kritis

Atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKIS ,1993), hlm. 69-70.

6 Muhammad Mansur, Kritik Hassan Hanafi atas Pemikiran Kalam Klasik, Esensia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. II, Juli 2000, hlm. 222.

Akal merupakan sarana untuk memahami prilaku, sehingga manusia tidak menjadi seperti robot atas perintah-perintah. Metode akal ialah metode manusiawi yang bertujuan untuk membela hak-hak manusia, akal, kebebasan, dan musyawarah. Akal ini juga membentuk peradaban dan tingkat kemajuan yang diukur dengan tingkat rasionalnya.7

Hassan Hanafi mengatakan, akal dan kenyataan merupakan dasar penerimaan kebenaran, pengetahuan mengenai yang benar dan yang salah tidak datang dari atas, melainkan dari perenungan atas data-data pemikiran dan kenyataan. Pengetahuan teoritis tidak merupakan anugerah, melainkan diperoleh melalui analisis rasional yang cermat terhadap ide-ide dan kenyataan dan dengan meneliti terjadinya berbagai peristiwa. Ini tidak berarti penolakan terhadap adanya ukuran-ukuran kebenaran dan garis-garis yang mengatur pemikiran. Ini semua ada, dan muncul dari tabiat akal sendiri dan ditangkap dengan intuisi, tidak berasal dari luar. Jadi, sesuatu yang baru dikatakan benar, manakala akal telah menyelidikinya dan membuktikannya dalam kenyataan bahwa itu memang benar.8

Dari argumen-argumen diatas Hanafi mengingatkan bahwa kita tidak boleh berharap dapat mengembangkan ilmu dan mendambakan kemajuan jika belum memiliki sikap rasional, karena ilmu merupakan kelanjutan akal. Dan hanafi mengatakan akal merupakan petunjuk bagi hidup ijtihad manusia.

7 Hassan Hanafi, Dari Aqidah Ke Revolusi, (Jakarta Selatan: Paramadina, 2003), hlm.188-189.

8 Hassan Hanafi, Min Aqidah Ila Tsawrah; Muhawalatun Li I’adat Bina’ Ushul

Dokumen terkait