• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION

A. Harun Nasution

2. Wahyu

Wahyu berasal dari kata al-wahy, dan al-wahy adalah berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu diartikan juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Didalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan tersebut mengandung ajaran, petunjuk serta pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.39

Harun Nasution berpendapat bahwa pertentangan antara wahyu dan akal, pada hakekatnya adalah pertentangan antara ulama-ulama mengenai pemahaman

38 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 144. 39 Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 15.

dan penafsiran nash atau teks wahyu. Sebagian ulama memberikan penafsiran yang lebih atau kurang liberal dari penafsiran yang diberikan oleh ulama lain. Pada umumnya penafsiran yang diberikan filosof lebih liberal daripada yang diberikan teolog, dan penafsiran teolog lebih liberal dari penafsiran ulama fiqih.40

Menurut Harun Nasution, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa wahyu terdiri dari tiga macam. Pertama, wahyu seperti yang diungkapkan dalam al-Qur’an;

ََى ِحوُيَف ًَلوُس َر ََلِس ْرُي َْوَأ َ باَج ِح َِئٓا َر َو نِم َْوَأ اًيْح َو ََلِإ ََُللّٱ َُهَمِ لَكُي َنَأ َ رَشَبِل ََناَك اَم َو

َاَن ِرْمَأ َْنِ م اًحو ُر ََكْيَلِإ َٓاَنْيَح ْوَأ ََكِلََٰذَك َو. َ ميِكَح َ ىِلََع َۥُهَنِإ ََُۚءٓاَشَي اَم َۦِهِنْذِإِب

“Tidaklah dapat terjadi pada manusia bahwa Tuhan berbicara dengannya kecuali melalui wahyu, atau dari belakang tabir, ataupun melalui utusan yang dikirim; maka sampaikanlah kepadanya dengan seizin Tuhan apa yang dikehendakinya. Sesungguhnya Tuhan Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Demikianlah Kami kirimkan kepadamu ruh atas perintah Kami.” (QS 42: 51-52)

Menurutnya wahyu dalam bentuk pertama tersebut adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan oleh seseorang yang timbul dalam dirinya, timbul secara tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tertidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu seperti ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.41

Tiap-tiap agama mempunyai ajaran yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan dan oleh karena itu bersifat benar secara absolut. Tapi, harus diakui bahwa

40 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 15.

tidak semua ajaran yang terdapat dalam agama merupakan wahyu dari Tuhan. Ajaran-ajaran yang merupakan wahyu dari Tuhan itu pada umumnya hanya datang secara garis besar, tanpa perincian dan tanpa penjelasan tentang cara pelaksanaannya. Karena tidak ada kejelasan dari wahyu tentang perintah dan cara pelaksanaannya tersebut, maka disini manusia memakai akal untuk menentukan perincian dan cara pelaksanaan dari ajaran-ajaran yang diwahyukan tersebut. Dengan demikian perincian dan cara pelaksanaan, telah masuk ke dalam ajaran-ajaran agama, dan sebenarnya bukanlah wahyu dari Tuhan, tetapi hasil pemikiran dari akal manusia.42

Oleh karena itu, dalam Islam lah wahyu dan akal menjalin hubungan persaudaraan. Dalam persaudaraan itu, akal menjadi tulang punggung agama yang terkuat, dan wahyu sendiri yang utama. Antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan. Mungkin agama membawa sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk memahaminya, tetapi tidak mungkin agama membawa sesuatu yang mustahil menurut akal. Jika wahyu membawa yang pada lahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, maka wajib bagi akal untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti secara harfiah.43

Maka, Harun Nasution disini menegaskan bahwa pemakaian kata-kata rasional, rasionalisme, dan rasionalis dalam Islam harus dilepaskan dari arti kata yang sebenarnya, yaitu percaya kepada rasio semata-mata dan tak mengindahkan

42 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 238. 43 Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 98.

wahyu, atau membuat akal lebih tinggi dari wahyu, sehingga wahyu dapat dibatalkan oleh akal.44

Menurut Harun Nasution, dalam pemikiran Islam baik di bidang filsafat, ilmu kalam, maupun di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Menurutnya akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal dipakai hanya untuk memahami teks wahyu dan sekali-kali tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi.45 Yang menjadi pertentangan sebenarnya adalah hasil penafsiran dari teks wahyu yang dilakukan oleh salah satu ulama dengan penafsiran teks wahyu dari ulama yang lain. Dalam hal ini disebut juga dengan ijtihad.

Satu dari peran terpenting agama atau wahyu adalah menjelaskan kekurangan dan keterbatasan akal. Wahyu meliputi seluruh dimensi dan potensi berpikir manusia. Karenanya, wahyu juga kerap mengingatkan soal keterbatasan akal agar manusia tidak sampai gegabah dan menerawangi ranah yang pada hakikatnya mustahil dijamah oleh akal.

Menurut Harun Nasution, salah satu bentuk kontribusi yang dimiliki oleh wahyu untuk akal ialah bahwa wahyu dapat menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan absolut yang terdapat dalam wahyu. Sifat sakral dan absolut lah yang membuat orang mau tunduk kepada sesuatu.46 Wahyu diperlukan untuk memperkuat apa yang diketahui oleh golongan kaum khawas, untuk memberikan

44 Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 101. 45 Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, hlm. 101.

46 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 61.

kekuatan yang sakral kepada hukum serta peraturan-peraturan yang mereka buat dan untuk memaksa manusia agar tunduk kepada hukum dan peraturan-peraturan tersebut.47

Menurut Harun Nasution, mengenai akal dapat mengetahui empat masalah dasar dan pokok dalam agama tidak lah diperlukan wahyu, namun tidak juga sepenuhnya dilakukan dengan akal. Tetapi, untuk dapat mengetahui suatu perincian dari keempat masalah dasar dan pokok keagamaan tersebut, wahyu sangat diperlukan. Akal mengetahui wajibnya manusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, tetapi bagaimana caranya, itu tidak dapat dijangkau oleh akal. Maka wahyu lah yang menjelaskan kepada umat manusia cara untuk berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan Harun berpendapat bahwa dalam agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad menjelaskan bahwa jalannya adalah dengan cara melakukan empat ibadah, yaitu salat, puasa, zakat, dan haji. Kemudian, begitu pula dalam soal kebaikan dan kejahatan, tidak semua yang baik dan semua yang jahat dapat diketahui akal. Wahyu perlu turun untuk menolong akal manusia dalam menyempurnakan pengetahuan.48 Maka, wahyu datang untuk memperkuat pengetahuan dan bukan untuk membawa pengetahuan yang baru.

Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan bahwa wahyu menolong akal untuk mengetahui alam akhirat dan keadaan hidup manusia di sana, wahyu untuk mengetahui sifat kesenangan serta kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan dihadapinya di hidup kedua nanti. Hanya wahyu lah yang memberi manusia informasi tentang hal-hal tersebut. Wahyu, selanjutnya, menolong akal dalam

47 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 62. 48 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, hlm. 371-372.

mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, dalam mendidik manusia untuk hidup dalam damai dengan sesamanya dan dalam membukakan rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman hidup dalam masyarakat. Menurutnya, wahyu selanjutnya membawa syariat yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran, berkata benar, menepati janji, dan lain sebagainya.49

Dokumen terkait