• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Manusia dan Takdir

BAB III TEOLOGI ISLAM DALAM PANDANGAN HARUN NASUTION

A. Harun Nasution

3. Kebebasan Manusia dan Takdir

Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Keyakinan manusia mengenai hubungan perbuatannya dengan Tuhan sangat penting sekali. Dalam teologi dan falsafah terdapat dua konsep mengenai hal ini. Satu pendapat mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Paham ini dalam Islam disebut dengan qadariah, dan dalam teologi barat atau istilah Inggrisnya disebut free will dan free act. Pendapat lain mengatakan bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak azal, sebelum ia lahir, dan paham ini dalam teologi Islam disebut dengan jabariah. Dalam teologi Barat dan istilah Inggrisnya paham ini disebut fatalisme atau predestination.50

Kaum qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan yang hendak dilaksanakannya. Kaum jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menetukan kehendak

49 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 60-61. 50 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 64.

dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.51

Harun Nasution berpendapat, menurut keterangan ahli-ahli teologi Islam paham qadariah ditimbulkan untuk pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad Juhani. Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Dalam paham ini tidak dikatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal.52

Aliran sebaliknya, yaitu paham jabariah, pertama kali dalam sejarah teologi Islam ditimbulkan oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyebarkan adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Paham yang dibawa oleh Jahm adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan. Manusia, menurut Jahm tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.

51 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 33. 52 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 34-35.

Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.53

Menurut Harun Nasution, dalam paham jabariah ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Manusia hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Sebagaimana wayang bergerak hanya karena digerakkan dalang, demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan oleh Tuhan. Maka tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.54

Dalam membicarakan perbuatan manusia, di dalam Risalah al-Tauhid, Muhammad Abduh mengatakan bahwa sebagaimana manusia tahu akan wujudnya tanpa memerlukan bukti apa pun, begitu pula lah ia mengetahui adanya perbuatan atas pilihan sendiri dalam dirinya. Hukum alam lah yang menentukan adanya perbuatan atas pilihannya sendiri itu dalam diri manusia. Hukum alam ciptaan Tuhan ini ia sebut sunnah Allah. Baginya manusia diciptakan sesuai dengan sifat-sifat dasar yang khusus baginya dan dua diantaranya menurut Muhammad Abduh, adalah berpikir dan memilih perbuatan sesuai dengan pikirannya.55

Jadi manusia selain mempunyai daya berpikir, juga mempunyai kebebasan memilih yang merupakan sifat dasar alami yang mesti ada dalam diri manusia. Manusia akan menjadi makhluk lain kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan

53 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 35. 54 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 36. 55 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 65.

dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada dalam dirinya.

Menurut Harun Nasution, dalam pandangan Muhammad Abduh manusia adalah manusia, semata-mata karena ia mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih. Oleh karena itu dalam pemberian wujud bagi manusia tidak termasuk paksaan berbuat. Manusia baginya tidak mempunyai kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagi orang yang takabur. Ia menjelaskan bahwa manusia, sungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri, tidaklah sempurna daya, kemauan dan pengetahuannya. Karena, kebebasan manusia mempunyai batasan-batasannya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kekuatan-kekuatan alam yang membatasi kemauan dan kekuasaan manusia, membuat manusia sadar bahwa di dalam wujud ini terdapat suatu kekuatan yang lebih tinggi, yang tak dapat dijangkau oleh kekuatan manusia dan masih ada kekuasaan yang tak dapat ditandingi oleh kekuasaan manusia. Kekuatan-kekuatan yang membatasi kebebasan manusia adalah kejadian-kejadian alami. Kejadian-kejadian alami ini sebagaimana akan dilihat, berlaku sesuai dengan sunnah Allah, hukum alam yang diciptakan sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya.56

Dalam pandangan Mu’tazilah, perbuatan manusia diciptakan oleh daya manusia sendiri dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam pewujudan perbuatan-perbuatan manusia. Perbuatan ini diwujudkan semata-mata oleh daya yang diciptakan Tuhan di dalam

diri manusia. Kemauan dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan tak turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.57

Perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, maka perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang tidak ingin berbuat sesuatu maka itu tidak terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka perbuatannya tidak akan terjadi kalaupun ia menginginkannya dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi kalaupun ia tidak menginginkannya dan tidak menghendaki perbuatan itu.

Menurut Harun Nasution, dalam soal kebebasan kemauan serta perbuatan dan fatalisme ini terdapat tiga hal yang saling berkaitan, yaitu, perbuatan, kemauan untuk berbuat dan daya untuk mewujudkan perbuatan itu. Jika kemauan dan daya adalah kepunyaan Tuhan, maka perbuatan adalah pula perbuatan Tuhan, dan ini adalah jabariah, fatalisme. Jika kehendak dan kemauan adalah dari manusia, maka perbuatan adalah perbuatan manusia, dan ini adalah qadariah, atau free will dan

free act, paham kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Jika kemauan dan daya

sama-sama dari Tuhan dan manusia, maka perbuatan adalah perbuatan Tuhan pada hakikatnya dan perbuatan manusia dalam arti kiasan.58

57 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, hlm. 104-105.

Lebih lanjut Harun mengatakan bahwa kebebasan manusia tidaklah mutlak. Kebebasan dan kekuasaan manusia dibatasi oleh hal-hal yang tak dapat dikuasai oleh manusia. Seperti halnya manusia datang ke dunia ini bukanlah atas kemauan dan kekuasannya. Kebebasan dan kekuasaan manusia, sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Pertama-tama manusia tersusun dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tak mau, manusia sesuai unsur materinya bersifat terbatas. Manusia hidup dengan dilingkungi oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Tuhan. Hukum alam ini tidak dapat diubah oleh manusia. Maka, manusia harus tunduk kepada hukum alam itu.59

Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia sebenarnya, hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hal ini perlu ditegaskan, karena paham

qadariah bisa disalahartikan mengandung paham, bahwa manusia adalah bebas

sebebasnya dan dapat melawan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan, yang tak dapat dilawan dan ditentang manusia.60

Dokumen terkait