BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pendidikan Kesehatan 2.1.1 Defenisi Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan dapat memberikan pengaruh dalam meningkatkan
kesehatan dan mencegah penyakit. Bagi negara berkembang pendidikan kesehatan
penting dilakukan dalam upaya pencegahan dan menjaga kesehatan. Pendidikan
kesehatan adalah kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada
masyarakat, kelompok, atau individu (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan tentang
kesehatan diberikan dengan harapan berpengaruh terhadap perilaku.
Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang
yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat.
Selain itu, pendidikan kesehatan juga merupakan suatu proses perkembangan yang
berubah secara dinamis, yang didalamnya seseorang dapat menerima atau menolak
informasi, sikap maupun praktek baru yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat
(Notoatmodjo, 2003). Menurut Nyswander pendidikan kesehatan adalah proses pada
perubahan diri manusia yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan kesehatan
perseorangan dan masyarakat.
Berdasarkan berbagai defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan perilaku yang dinamis
praktik yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat baik secara individu, kelompok,
maupun masyarakat, serta merupakan komponen dari program kesehatan.
2.1.2 Prinsip-prinsip pendidikan kesehatan
Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu
penting untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. Akan tetapi,
pengakuan ini tidak didukung oleh kenyataannya. Artinya, dalam program-program
pelayanan kesehatan kurang melibatkan pendidikan kesehatan. Meskipun program itu
telah melibatkan pendidikan kesehatan, tetapi kurang memberikan bobot.
Argumentasi mereka adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan jelas
memperlihatkan hasil. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan itu tidak segera
membawa manfaat bagi masyarakat dan tidak mudah dilihat atau diukur. Hasil
investasi pendidikan kesehatan baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian. Dalam
waktu yang pendek pendidikan kesehatan hanya menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan masyarakat. Sedangkan peningkatan pengetahuan saja
belum akan berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan (Notoatmodjo, 2011)
2.1.3 Peranan Pendidikan Kesehatan
Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau
dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yaitu faktor predisposisi (faktor yang mendukung
dan faktor yang memperkuat atau mendorong atau penguat. Oleh sebab itu,
pendidikan kesehatan sebagai upaya intervensi perilaku harus diarahkan pada ketiga
faktor tersebut. Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor
nilai-nilai kesehatan. Dengan kata lain, pendiidikan kesehatan adalah suatu usaha untuk
memotivasi atau mengoordinasikan sasaran agar mereka berperilaku sesuai dengan
tuntutan nilai-nilai kesehatan (Notoatmodjo, 2011)
2.1.4 Konsep Pendidikan Kesehatann
Konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang diaplikasikan
pada bidang kesehatan. Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah
yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai mahluk
sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup dalam masyarakat selalu
memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih
pandai, lebih mampu, lebih tahu, dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut,
seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar
(Notoatmodjo, 2011).
2.1.5 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan suatu komunikasi untuk mencapai tujuan kesehatan yang positif dan mencegah atau meminimalkan sakit sehat baik dalam
individu maupun kelompok yang dipengaruhi oleh kepercayaan, tingkah laku dan
kebiasaan yang dapat dijadikan kekuatan untuk komunitas yang lebih besar (Smith,
1979)
Tujuan pendidikan kesehatan yang utama adalah tercapainya perubahan prilaku
aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Secara umum dan
operasional pendidikan kesehatan bertujuan untuk mengubah pemahaman individu,
kelompok, dan masyarakat di bidang kesehatan agar menjadi kesehatan sebagai
sesuatu yang bernilai mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat, serta dapat
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai
(Herawani, 2001). Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan
pendidikan kesehatan, antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat
istiadat dan kepercayaan masyarakat (Effendy, 1995).
Menurut Azwar (1983) dalam (Machfoedz & Suryani, 2008) bahwa perilaku
kesehatan sebagai pendidikan kesehatan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai yang bernilai di masyarakat. Dengan
demikian kader masyarakat mempunyai tanggung jawab di dalam penyuluhannya
mengarahkan kepada keadaan bahwa cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan
hidup masyarakat sehari-hari.
2. Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya sendiri maupun
menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok. Itulah sebabnya dalam hal ini
pelayanan kesehatan dasar diarahkan agar dikelola sendiri oleh masyarakat, dalam
hal bentuk yang nyata misalnya posyandu. Seterusnya dalam kegiatan ini
diharapkan adanya langkah-langkah mencegah timbulnya penyakit.
3. Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan yang ada secara
tepat. Ada kalanya masyarakat memanfaatkan sarana kesehatan yang ada secara
berlebihan. Sebaliknya sudah sakit belum pula menggunakan sarana kesehatan
2.1.6Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Menurut Effendy (1995) yang menjadi ruang lingkup pendidikan kesehatan
meliputi tiga aspek yaitu: materi/pesan, dan metode yang digunakan.
Menurut (Machfoedz & Suryani, 2008) ruang lingkup pendidikan kesehatan
dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi
tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari
dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
1. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu.
2. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
3. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.
2.1.7 Manfaat Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan yang dilakukan oleh perawat merupakan suatu upaya
meningkatkan kesejahteraan anak di dalam keluarga. Pendidikan kesehatan
merupakan suatu proses dan tanggung jawab secara bersama antara individu, keluarga
dan komunitas serta memiliki manfaat untuk meningkatkan kontrol kesehatan dan
kesakitan terhadap diri sendiri (Ramsay, 2008)
Pendidikan kesehatan memiliki manfaat untuk merubah tingkah laku atau
kebiasaan yang ada di dalam masyarakat. Pendidikan kesehatan dapat melalui
wawancara secara intensif (face to face). Dengan face to face pendidikan kesehatan
dapat disampaikan secara langsung oleh perawat kepada klien yang membutuhkan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkah laku terhadap kesehatan adalah status
sosial, usia tingkat pendidikan dan jenis kelamin (Jo et, 2003)
2.1.8 Sasaran Pendidikan Kesehatan
Sasaran pendidikan kesehatan di Indonesia, berdasarkan kepada program
pembangunan Indonesia adalah masyarakat umum dengan berorientasi pada
masyarakat pedesaan, masyarakat dengan kelompok tertentu, seperti wanita, pemuda,
remaja. Termasuk dalam kelompok khusus ini adalah kelompok lembaga pendidikan
mulai dari TK sampai perguruan tinggi, sekolah agama swasta maupun negeri,
sasaran individu dengan teknik pendidikan kesehatan individual. (Machfoedz &
Suryani, 2008).
2.1.9 Media Pendidikan Kesehatan
Yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan sebenarnya nama lain dari
alat bantu pendidikan AVA. Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut
merupakan alat saluran untuk menyampaikan informasi-informasi kesehatan.
Alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi
masyarakat atau klien. Terminologi media sebenarnya ditunjang dari istilah
komunikasi. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan
media, media ini dibagi menjadi tiga, yakni: media cetak, media elektronik, media
2.1.10 Pendidikan Kesehatan Tentang TB Paru
Menurut Murniasih, 2010 menyatakan bahwa pendidikan kesehatan sangat
penting untuk memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai TBC. Berikut
ini hal-hal yang perlu diperhatikan dalam program penyuluhan penderita TB yaitu :
1. Petugas baik dalam masa persiapan maupun dalam waktu berikutnya secara
berkala memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas melalui tatap muka,
ceramah, dan media massa yang tersedia di wilayahnya tentang cara pencegahan
TB.
2. Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu
kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat sebagai
upaya mengurangi penyebaran penyakit.
3. Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar
penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada
orang lain.
4. Menganjurkan perubahan sikap masyarakat dan perbaikan lingkungan demi
tercapainya masyarakat yang sehat.
5. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila di antara warganya ada yang
mempunyai gejala-gejala penyakit TBC.
6. Berusaha menghilangkan rasa malu penderita karena penyakit TB paru bukan
penyakit yang memalukan, dapat dicegah dan disembuhkan seperti sama halnya
penyakit lain.
7. Petugas harus mencatat dan melaporkan hasil kegiatannya kepada koordinatornya
2.2 Konsep Pengetahuan 2.2.1 Pengertian Pengetahuan
Soekanto dalam Mubarak (2007) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Yang
berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefes), takhayul (superstition), dan
penerangan-penerangan yang keliru (misinformation).
Wahit dalam Mubarak (2007) menyatakan bahwa pengetahuan adalah
merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali suatu hal,
termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja
maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontrak atau
pengamatan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2011)
Notoatmodjo (2011) menyatakan bahwa pengetahuan memiliki 6 tingkatan
yaitu: tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (aplication), analisis
(analysis), sintesis (syntesis), evaluasi (evaluation).
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan,
menyatakan.
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian
dalam satu bentuk keseluruhan yang baru. Contoh: dapat menyesuaikan,
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi
atau objek berdasarkan kriteria ketentuan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang ada. Contoh: dapat membandingkan.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang ingin dikukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat – tingkat tersebut di atas. ( Notoatmodjo, 2011)
Menurut Mubarak (2007) menyatakan bahwa pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang
ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pengetahuan seseorang:
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang di berikan seseorang pada orang lain
terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri
bahwa makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka
menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan
yang dimilikinya. Sebaliknya jika seseorang tingkat pendidikan rendah, akan
menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi
dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman
c. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek
fisik dan psikologis (mental). Pertumbuhan pada fisik secara garis besar ada
empat kategori perubahan pertama, perubahan ukuran, kedua, perubahan
proporsi, ketiga, hilangnya ciri-ciri lama, keempat, timbulnya ciri-ciri baru.
Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis atau
mental taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.
d. Minat
Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu.
Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan
pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
e. Pengalaman
Suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan
lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang
akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek
tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang
sangat mendalam dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya
dapat pula membentuk sikap positif dalam kehidupannya.
f. Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan menpunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai
budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin
lingkungan, karena lingkungan sangat berpengaruh dalam pembentukan
sikap pribadi atau sikap seseorang.
g. Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu
mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru.
2.3Konsep TB Paru
2.3.1 Pengertian TB Paru
Menurut Arif Mansjoer (2001), tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi,
dan menurut Djojodibroto (2003), tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru
karena infeksi kuman mycobacterium tuberculosis.
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri itu merupakan
bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk
mengobatinya. Bakteri tersebut lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia. ( Murniasih, 2010)
2.3.2 Penyebab Penyakit TB Paru
Penyebab penyakit Tuberkulosis adalah bakteri mycobacterium tuberculosis.
Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk
batang tipis,lurus atau agak bengkok, bergranula atau tidak mempunyai selubung,
tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat).
dengan asam dan alcohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta
tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberculosis uga tahan dalam keadaan
kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob.
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen M.
Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam
serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adalah
bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu,
Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya
tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis.
(Seomantri, 2008)
2.3.3 Gejala dan Tanda-tanda Penyakit TB Paru
Menurut Danusantoso (2012), gejala dan tanda-tanda penyakit tuberkulosis
adalah demam tingkat rendah, batuk berdahak lebih dari 3 minggu, keletihan,
anoreksia, hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada, sesak nafas dan batuk menetap
Tentu tidak semua pasien TB punya semua gejala di atas, kadang-kadang
hanya satu atau dua gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga amat
2.3.4 Klasifikasi TB Paru
Menurut Danusantoso (2012), klasifikasi TB Paru adalah sebagai berikut:
1. TB primer
Pada seseorang yang belum pernah kemasukan basil TB, tes tuberculin
akan negative karena system imunitas seluler belum mengenal basil TB. Bila
orang ini mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun segera difagositosis oleh
makrofad, basil TB tidak akan mati, bahkan mikrofagnya dapat mati. Dengan
demikian, basil TB ini lalu dapat berkembang biak secara leluasa dalam 2
minggu pertama di alveolus paru, dengan kecepatan 1 basil menjadi 2 basil
setiap 20 jam, sehingga pada infeksi oleh 1 basil saja, setelah 2 minggu akan
bertambah menjadi 100.000 basil.
2. TB Sekunder
Yang dimaksud dengan TB sekunder ialah penyakit TP yang baru timbul
setelah lewat 5 tahun sejak terjadinya infeksi primer. Dengan demikian, mulai
sekarang apa yang disebut TB post-primer, secara internasional diberi nama
baru TB sekunder.
2.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya TB Paru
Berhubung daya tahan tubuh terhadap penyakit TB terutama ditentukan oleh
ampuhnya sistem imunitas seluler, setiap faktor yang menggangu akan meningkatkan
kerentanan terhadap TB, seperti AIDS, pemakaian kortikosteroid sistemik jangka
Orang yang mempunyai bekas penyakit TB, walaupun termasuk klasifikasi
tenang, bila belum pernah menerima pengobatan spesifik lengkap, kemungkinan akan
menderita TB jauh lebih besar dibandingkan dengan normal. Akhir-akhir ini, juga
diketahui bahwa mereka yang tinggi dan kurus lebih besar kemungkinannya
mendapat TB bila dibandingkan dengan mereka yang tidak kurus. (Danusantoso,
2012)
2.3.6 Cara Penularan TB Paru
Crofton dalam Danusantoso (2012) menyatakan bilamana hinggap di saluran
yang agak besar, misalnya trakea dan bronkus, droplet nuclei akan segera dikeluarkan
oleh gerakan cilia selaput lendir saluran pernapasan ini. Namun, bilamana hasil
masuk sampai ke dalam alveolus maupun menempel ke dalam alveolus ataupun
menempel pada mukosa bronkeolus, droplet nuclei akan menetap dan basil-basil TB
akan mendapat kesempatan untuk berkembang biak setempat. Oleh karena itu infeksi
TB berhasil.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi misi-misi ini. Pertama-tama
ialah jumlah basil dan virulensinya. Dapatlah dimengerti bahwa makin banyak basil
di dalam dahak seorang penderita, maka makin besarlah bahaya penularan. Dengan
demikian, para penderita dengan dahak yang sudah positif pada pemeriksaan
langsung dengan mikroskop akan jauh lebih berbahaya dari mereka yang baru positif
pada pembenihan, yang jumlah basilnya di dalam dahak jauh lebih sedikit.
Cara batuk memegang peranan penting. Kalau batuk ditahan, hanya akan
dikeluarkan sedikit basil, apalagi kalau pada saat batuk penderita menutup mulut
dengan kertas tissue. Faktor lain ialah cahaya matahari dan ventilasi. Karena basil TB
akan tahan cahaya matahari, kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat
kecil. (Danusantoso, 2012)
Juga mudah dimengerti bahwa ventilasi yang baik, dengan adanya pertukaran
udara dari dalam rumah dengan udara segar dari luar, dapat juga mengurangi bahaya
penularan terbesar terdapat di perumahan-perumahan yang berpenghuni padat dengan
ventilasi yang jelek serta cahaya matahari kurang/tidak dapat masuk. (Danusantoso,
2012)
Pada waktu berbicara, meludah, bersin, ataupun batuk, penderita TBC akan
mnengeluarkan kuman TBC yang ada di paru-parunya ke udara dalam bentuk
percikan dahak. Kemudian, tanpa sadar dan tanpa sengaja, orang lain akan menghirup
udara yang mengandung kuman TBC itu hingga masuk ke paru-paru dan kemudian
menyebar ke bgaian tuuh lainnya. Begitulah penularan penyakit TBC itu terjadi.
(Yoannes, 2008)
2.3.7 Komplikasi Penyakit TB Paru
Menurut Danusantoso (2012) komplikasi TB adalah pleuritis eksudatif, hemoptysis (batuk darah), TB laring, empiema, abses paru, cor pulmonale, bronchitis
2.3.8 Penatalaksanaan Penyakit TB Paru
Menurut Widoyono (2008), pengobatan Tuberkulosis paru menggunakan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) dengan metode Directly Observed Treatmend Shortcourse
(DOTS).
a. kategori I (2 HRZES/H3R3) untuk pasien TB baru
b. Kategori II (2HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan
c. Kategori III (2HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA(-), RO(+)
d. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir
tahap intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II
ditemukan BTA (+). Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan
pagi.
Menurut Soemantri (2008) penatalaksanaan terhadap pasien TB paru adalah
penyuluhan kesehatan, pencegahan, pemberian obat-obatan yaitu dengan OAT (Obat
Anti Tuberkulosis), bronkodilator, OBH (Obat Batuk Hitam), vitamin, fisioterapi dan
rehabilitasi, konsultasi secara teratur.
2.3.9 Pencegahan TB Pada Orang Dewasa
Hendaknya kita selalu ingat bahwa TB pada orang dewasa lebih sering
ditimbulkan oleh reinfeksi endogen (80%) daripada eksogen (20%). Bagi mereka
yang tergolong dalam high risk group (seperti penderita diabetes melitus, morbus
Hansen, orang yang mendapatkan pengobatan rutin dengan kortikosteroid, penderita
AIDS, dsb), pemberian profilaksis dengan INH dapat dipertimbangkan. Pada mereka
lengkap sebelumnya, pemberian profilaksis perlu demi mencegah kekambuhan di
kemudian hari. Untuk tujuan profilaksis ini, dapat dipakai INH dengan dosis 300-400
mg / hari selama 12 bulan. (Danusantoso, 2012)
Usaha pencegahan penularan penyakit TBC dapat dilakukan dengan cara
memutus rantai penularan yaitu mengobati penderita TBC sampai benar-benar
sembuh serta melaksanakan pola hidup bersih dan sehat. Pada anak balita pencegahan
diberikan dengan memberikan isoniazin selama 6 bulan. Bila belum mendapat
vaksinasi BCG setelah pemberian isoniazid selesai. (Yoannes, 2008)
2.3.10 Pengobatan TB Paru
Menurut Taufan (2008), pengobatan bagi penderita penyakit TB Paru akan
menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 8 bulan atau
bahkan bisa lebih. Penyakit TB Paru dapat disembuhkan secara total apabila
penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.
Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih
baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah,
sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Pada saat sekarang ini
seharusnya pengobatan penyakit TB Paru sudah tidak menjadi masalah lagi, karena :
a. Penyebab penyakit sudah diketahui dengan pasti, yaitu infeksi oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis
b. Obat-obatannya yang ampuh sudah tersedia diantaranya streptomisin,
c. Sarana pelayanan kesehatan tersedia mulai dari Puskesmas pembantu,
puskesmas, Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus TB Paru. Demikian
juga sarana pelayanan kesehatan swasta.
d. Tenaga medis tersedia di berbagai sarana pelayanan kesehatan mulai dari
dokter umum sampai dokter spesialis paru.
2.3.10.1 Pengobatan DOTS di Indonesia
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World
Health Organization (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama (WHO-
Indonesia Joint Evaluation) yang menghasilkan rekomendasi, “perlunya
segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di
Indonesia, yang kemudian disebut sebagai Strategi DOTS. Sejak saat itulah
dimulailah era baru pembrantasan TB di Indonesia (Depkes,1999).
Lima kunci strategi DOTS yaitu : (1) Komitmen, (2) Diagnosis yang
benar dan baik, (3) Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat , (4)
Pengawasan penderita minum obat, (5) Pencatatan dan pelaporan penderita
dengan system kohort (WHO,2006).
Sejak DOTS diterapkan secara intensif terjadi penurunan angka
kesakitan TB menular yaitu pada tahun 2001 sebesar 122 per 100.000
penduduk dan pada tahun 2005 menjadi 107 per 100.000 penduduk. Hasil
yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah
meningkat. Angka penemuan kasus TB menular yang ditemukan pada tahun
pada tahun 2005. Keberhasilan pengobatan TB dari 86,7 % pada kelompok
penderita yang ditemukan pada tahun 2003 meningkat menjadi 88,8 % pada
tahun 2004 (Depkes 2004).
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treament) oleh seorang
pengawas minum obat (PMO).
2.3.10.2Kategori Pengobatan TB Paru
a. Kategori 1
Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan yang terdiri dari H,R,Z,E
(2HRZE) pada tahap intensif yang kemudian diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan yang terdiri dari H dan R (4H3R3) pada tahap
lanjutan.
2HRZE/4H3R3, Untuk :
- Penderita baru TBC paru BTA positif
- Penderita TBC paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan,
- Penderita TBC Ekstra paru berat
b. Kategori 2
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Tahap intensif selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES
(2HRZES) dan 1 bulan HRZE (HRZE), kemudian dilanjutkan dengan
tahap lanjutan 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita kambuh (relaps)
- Penderita gagal (failure)
- Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
c. Kategori 3
2HRZ/4H3R3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
(2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan
diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
- Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan.
- Penderita ekstra paru ringan, yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis),
pleuritis eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal
d. OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HR2E) setiap hari selama 1 bulan. (Depkes RI, 2007)
2.3.11 Pemeriksaan TB Paru Menurut (Murniasih, 2010) adalah :
Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil protein TB
di bawah permukaan kulit bagian dalam lengan bawah. Hasil dikatakan
positif jika timbul benjolan merah dengan ukuran cukup besar (lebih dari 5
-15 mm) dalam dua hari. Uji tuberkulin tidak dapat menentukan apakah
infeksi TB masih berlangsung atau sudah tidak aktif.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dilakukan untuk memperkuat
diagnosis. Pada orang dewasa, bakteri TBC membangun sarangnya pada
paru-paru bagian atas sehingga pada hasil foto rontgennya akan terlihat
adanya bakteri yang menyusup (infiltrat) pada bagian tersebut.
3. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah kurang mendapat perhatian karena hasilnya
kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, dan tidak spesifik. Pada saat TB paru
baru mulai aktif akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meningkat.
Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju pengendapan darah mulai
meningkat.
4. Pemeriksaan sputum (dahak)
Pemeriksaan sputum (dahak) sangat penting karena dengan ditemukannya
bakteri Mycobacterium tuberculosis yang termasuk kelompok bakteri tahan
asam, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA (Bakteri
Tahan Asam) positif adalah jika sekurang-kurangnya ditemukan tiga