• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pneumonia - Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pneumonia - Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2013"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002b).

Definisi lainnya disebutkan pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada anak-anak tetapi lebih sering terjadi pada bayi dan awal masa kanak-kanak dan secara klinis pneumonia terjadi sebagai penyakit primer atau komplikasi dari penyakit lain (Hockenberry dan Wilson, 2009). Menurut Misnadiarly (2008), pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencim paru, dari broncheolus terminalis yang mencakup broncheolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. UNICEF/WHO (2006) menyatakan pneumonia merupakan sakit yang terbentuk dari infeksi akut dari daerah saluran pernafasan bagian bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru dan Depkes RI (2007) mendefenisikan pneumonia sebagai

(2)

salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli).

2.2 Etiologi Pneumonia

Diagnosis etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditegakkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari spesimen pungsi atau aspirasi paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan diagnosis etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen fungsi paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita akan tetapi pungsi paru merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian (Depkes RI, 2002b).

(3)

umumnya disebabkan oleh virus (Fein, dkk, 2006). Berikut beberapa agent penyebab terjadinya pneumonia.

2.2.1 Bakteri

1. Streptococcus pneumonia

(4)

Pada suatu saat tertentu, 40-70% manusia adalah pembawa pneumokokus virulen, selaput mukosa pernapasan normal harus mempunyai imunitas alami yang kuat terhadap pneumokokus. Infeksi pneumokokus menyebabkan melimpahnya cairan edema fibrinosa ke dalam alveoli, diikuti oleh sel-sel darah merah dan leukosit, yang mengakibatkan konsolidasi beberapa bagian paru-paru. Banyak pneumokokus ditemukan di seluruh eksudat, dan bakteri ini mencapai aliran darah melalui drainase getah bening paru-paru. Dinding alveoli tetap normal selama infeksi. Selanjutnya, sel-sel mononukleus secara aktif memfagositosis sisa-sisa, dan fase cair ini lambat-laun diabsorbsi kembali. Pneumokokus diambil oleh sel fagosit dan dicerna di dalam sel.

Pneumonia yang disertai bakteremia selalu menyebabkan angka kematian yang paling tinggi. Pneumonia pneumokokus kira-kira merupakan 60-80% dari semua kasus pneumonia oleh bakteri. Penyakit ini adalah endemik dengan jumlah pembawa bakteri yang tinggi. Imunisasi dengan polisakarida tipe-spesifik dapat memberikan perlindungan 90% terhadap bakteremia pneumonia (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2. Hemophylus influenza

(5)

Pneumonitis akibat Hemophylus influenzae dapat terjadi setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas pada anak-anak kecil dan pada orang tua atau orang yang lemah. Orang dewasa dapat menderita bronkitis atau pneumonia akibat influenzae. Hemophylus influenzae tidak menghasilkan eksotoksin. Organisme yang tidak bersimpai adalah anggota tetap flora normal saluran napas manusia. Simpai bersifat antifagositik bila tidak ada antibodi antisimpai khusus. Bentuk Hemophylus influenzae yang bersimpai, khususnya tipe b, menyebabkan infeksi pernapasan supuratif (sinusitis, laringotrakeitis, epiglotitis, otitis) dan, pada anak-anak kecil, meningitis. Darah dari kebanyakan orang yang berumur lebih dari 3-5 tahun mempunyai daya bakterisidal kuat terhadap Hemophylus influenzae, dan infeksi klinik lebih jarang terjadi. Hemophylus influenzae tipe b masuk melalui saluran pernapasan. Tipe lain jarang menimbulkan penyakit. Mungkin terjadi perluasan lokal yang mengenai sinus-sinus atau telinga tengah. Hemophylus influenzae tipe b dan pneumokokus merupakan dua bakteri penyebab paling sering pada otitis media bakterial dan sinusitis akut. Organisme ini dapat mencapai aliran darah dan dibawa ke selaput otak atau, jarang, dapat menetap dalam sendi-sendi dan menyebabkan artritis septik. Hemophylus influenzae sekarang merupakan penyebab tersering meningitis bakteri pada anak-anak berusia 5 bulan sampai 5 tahun di AS.

(6)

penyakit pernapasan atau meningitis (Hemophylus influenzae adalah penyebab paling sering dari meningitis bakterial pada anak-anak dari umur 5 bulan sampai 5 tahun). Angka kematian meningitis Hemophylus influenzae yang tidak diobati dapat mencapai 90%. Influenzae tipe b dapat dicegah dengan pemberian vaksin konjugat Haemophilus b pada anak-anak. Anak-anak berusia 2 bulan atau lebih dapat diimunisasi dengan vaksin konjugat Hemophylus influenzae tipe 6 dengan satu dari dua pembawa dengan dosis boster yang diperlukan sesuai anjuran standard. Anak-anak berusia 15 bulan atau lebih dapat menerima vaksin konjugat

Hemophylus influenzae tipe b dengan toksoid difteri (yang tidak bersifat imunogenik pada anak-anak yang lebih muda). Vaksin tidak mencegah timbulnya pembawa untuk Hemophylus influenzae. Pemanfaatan vaksin Hemophylus influenzae tipe b secara luas telah sangat menurunkan kejadian meningitis Hemophylus influenzae pada anak-anak. Kontak dengan pasien yang menderita infeksi klinik Hemophylus influenzae memberi risiko kecil bagi orang dewasa, tetapi member risiko nyata bagi saudara kandung yang nonimun dan anak-anak nonimun lain yang berusia di bawah 4 tahun yang berkontak erat (Brooks, G.F, dkk, 1996).

2.2.2 Virus

(7)

terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bias berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

2.2.3 Mikoplasma

Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bias diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).

2.2.4 Protozoa

Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocysititis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru (Misnadiarly, 2008).

2.3 Patogenesis dan Penularan Pneumonia

(8)

ditemukan jenis mikroorganisme yang berbeda. Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Agen-agen mikroba yang menyebabkan pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer yaitu aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Aspirasi dan inhalasi agen-agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi (Perhimpunan Ahli Paru, 2003).

Menurut WHO (2010), pneumonia dapat menyebar dalam beberapa cara. Virus dan bakteri biasanya ditemukan di hidung atau tenggorokan anak yang dapat menginfeksi paru-paru jika dihirup. Virus juga dapat menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin. Selain itu, radang paru-paru bias menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah lahir.

2.4 Faktor Risiko

(9)

Menurut Depkes RI (2002), pneumonia dapat menyerang semua orang, semua umur, jenis kelamin serta tingkat sosial ekonomi. Kejadian kematian pneumonia pada balita berdasarkan SKRT (2001) urutan penyakit menular penyebab kematian pada bayi adalah pneumonia, diare, tetanus, infeksi saluran pernafasan akut sementara proporsi penyakit menular penyebab kematian pada balita yaitu pneumonia (22,5%), diare (19,2%), infeksi pernafasan akut (7,5%), malaria (7%) serta campak (5,2%).

Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar yang ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian pada balita di Indonesia. Kematian akibat pneumonia sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan akses pelayanan kesehatan. Lebih 98% kematian balita akibat pneumonia dan diare terjadi di Negara berkembang (Riskesdes 2007).

(10)

Sedangkan faktor risiko meningkatkan angka kematian pneumonia antara lain umur kurang dari 2 bulan, tingkat sosioekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, dan menderita penyakit kronis. (Depkes RI, 2000). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pneumonia dibagi menjadi 3 faktor yaitu: faktor balita, faktor lingkungan dam faktor perilaku.

2.4.1 Faktor Anak a. Umur

Bayi lebih mudah terkena pneumonia dibandingkan dengan anak balita. Anak berumur kurang dari 1 tahun mengalami batuk pilek 30% lebih besar dari kelompok anak berumur anatara 2 sampai 3 tahun. Mudahnya usia di bawah 1 tahun mendapatkan risiko pneumonia disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang saluran pernafasan yang relatif masih sempit. Menurut Daulaire (1991), risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak berumur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak dibawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran nafas yang masih sempit.

b. Jenis kelamin

(11)

tubuh antara anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian di Indramayu yang dilakukan selama 1,5 tahun didapatkan kesimpulan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita berjenis kelamin laki-laki (52,9%) dibandingkan perempuan (Sutrisna, 1993).

c. Status Imunisasi Campak

(12)

d. Imunisasi DPT

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia dalam dua cara. Pertama, vaksinasi membantu mencegah anak dari infeksi yang berkembang langsung menyebabkan pneumonia, misalnya Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit (misalnya, campak dan pertusis). Tiga vaksin yang memiliki potensi untuk mengurangi kematian anak dari pneumonia adalah vaksin campak, Hib, dan vaksin pneumokokus. Imunisasi DPT merupakan salah satu imunisasi yang efektif untuk mengurangi faktor yang meningkatkan kematian akibat ISPA (UNICEF, WHO 2006). Menurut Susi (2011), balita yang tidak mendapatkan imunisasi DPT mempunyai peluang mengalami pneumonia sebanyak 2,34 kali disbanding balita yang mendapatkan imunisasi DPT dan hasil uji statistic menyatakan ada hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi DPT pada balita dengan kejadian pneumonia (p value = 0,049: α = 0,05).

e. Status Pemberian Vitamin A

(13)

integritas epitel/fungsi barier, kekebalan tubuh dan mengatur pengembangan dan fungsi paru (Klemm, 2008).

Menurut Sutrisna (1993), dikatakan bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko terjadinya ISPA. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak dengan Xerophtalamin ringan memiliki risiko dua kali menderita ISPA, terutama anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun.

f. Status Gizi Balita

Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulnya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Sutrisna, 1993). Beberapa studi melaporkan kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004). Sjenileila Boer (2002) menjelaskan bahwa status gizi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan nilai OR: 3,194 (95% CI: 1,585-6,433).

g. Pemberian ASI Eksklusif

(14)

ASI secara Eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Hasil penelitian Naim (2001) di Jawa Barat menjelaskan anak usia 4 bulan – 24 bulan yang tidak mendapat ASI Eksklusif menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia dan memiliki risiko terjadinya pneumonia 4,76 kali disbanding anak umur 4 bulan-24 bulan yang diberi ASI eksklusif ditunjukkan dengan nilai statistic OR=4,76 (95% CI: 2,98-7,59).

h. Berat Badan Lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Hal ini terutama terjadi pada bulan-bulan pertama kelahiran sebagai akibat dari pembentukan zat anti kekebalan yang kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia dan penyakit saluran pernafasan lainnya. Hasil penelitian Herman (2002) di Sumatera Selatan menjelaskan balita yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah memilki risiko 1,9 kali untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mempunyai riwayat berat badan normal namun efek tersebut secara statistic tidak bermakna hal ini ditunjukkan dengan nilai OR= 1,9 (95% CI: 0,7-4,9) p=0,175.

i. Riwayat Asma

(15)

sebagai komplikasi dari influenza saat dirawat di rumah sakit. Bayi usia 6 bulan-2 tahun dengan asma mempunyai risiko dua kali lebih tinggi menderita pneumonia. 2.4.2 Faktor Lingkungan

a. Pendidikan Ibu

Pendidikan adalah suatu proses yang unsur-unsurnya terdiri dari masukan yaitu sasaran pendidikan dan keluaran yaitu suatu bentuk perilaku atau kemauan baru. Pendidikan formal maupun non formal mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dan bekerja. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu, semakin mudah pula ia menerima pesan-pesan kesehatan dan semakin tinggi pula tingkat pemahamannya terhadap pencegahan dan penatalaksanaan penyakit pada bayi dan anak balitanya. Hasil penelitian Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia pada anak balita dimana ibu yang berpendidikan rendah mempunyai risiko 2 kali anak balitanya menderita pneumonia dibanding ibu yang berpendidikan tinggi (95%CI: 0,95-4,21).

b. Pekerjaan Ibu

Pekerjaan ibu akan mempengaruhi waktu terbanyak yang terpakai setiap harinya. Hal ini memiliki kecenderungan menyita waktu dan perhatian ibu terhadap balita baik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga kondisi atau pekerjaan ibu akan berisiko terhadap kemungkinan risiko balita terkena pneumonia.

c. Sosial Ekonomi

(16)

mempunyai daya tahan yang lebih baik untuk menangkal ISPA/pneumonia. Disamping itu, tingkat pendapatan yang tinggi juga akan memberikan peluang yang lebih besar untuk mempunyai perumahan yang lebih memenuhi syarat sehingga lebih memungkinkan terhindar dari serangan ISPA. Hasil penelitian yang dilakukan Hananto (2004) menjelaskan bahwa ada hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pneumonia dengan nilai p=0,0005 dengan nilai OR 2,39 yang artinya anak balita yang berasal dari keluarga status ekonomi rendah mempunyai risiko 2,39 kali terkena pneumonia daripada balita dari status ekonomi tinggi.

2.4.3 Faktor Perilaku

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapat ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA balita yang orang tuanya merokok mempunyai risiko 4,63 kali lebih besar terkena penyakit ISPA dibandingkan dengan balita yang orang tuanya tidak merokok (Suhandayani, 2007). Sunyataningkamto (2004), menjelaskan bahwa asap rokok akan mengurangi fungsi silia, menghancurkan sel epitel bersilia yang akan diubah menjadi sel skuamosa dan menurunkan humoral/imunitas seluler baik local maupun sistemik. Kebiasaan merokok juga dapat menambah pengeluaran rumah tangga yang tidak memiliki pengaruh penting terhadap peningkatan status kesehatan keluarga.

2.4.4 Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

(17)

yang dekat dengan sarana kesehatan mempunyai efek perlindungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang jauh dari sarana kesehatan.

2.5 Klasifikasi dan Diagnosis Pneumonia

2.5.1 Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu:

1. Community Acquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komunitas yaitu pneumonia yang terjadi infeksi diluar rumah sakit, seperti rumah jompo, home care (Schmidt, 2007).

2. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nosokomial yaitu pneumonia yang terjadi lebih 48 jam atau lebih setelah penderita dirawat di rumah sakit baik di ruang perawatan umum maupun di ICU tetapi tidak sedang menggunakan ventilator. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatan dan sepertiganya mungkin akan meninggal (Fein, dkk, 2006)

(18)

2.5.2 Pembagian Kuman Penyebab Pneumonia

Beberapa kuman penyebab terjadinya pneumonia dapat dibagi menjadi:

1. Pneumonia bacterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat terjadi pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya klebsiela pada penderita alkoholik dan staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.

2. Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh mycoplasma, legionella dan Chlamydia

3. Pneumonia virus

4. Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering merupakan infeksi sekunder, terutama pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)

Kriteria yang digunakan dalam tata laksana penderita ISPA adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.

2.5.3 Pola Tatalaksana Pneumonia Menurut Depkes RI (2000) Pola tata laksana ini dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: 1. Pemeriksaan

(19)

2.5.4. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Ditjen PP dan PL (2005)

Pada balita klasifikasi penyakit pneumonia dibedakan untuk golongan umur < 2 bulan dan umur 2 bulan sampai 5 tahun yaitu sebagai berikut:

1. Untuk golongan umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: a. Pneumonia berat: ditandai dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi

pernafasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke adalam (severe chest indrawing)

b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat

2. Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun, diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

a. Pneumonia berat: bila disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat anak diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta) b. Pneumonia: bila disertai nafas cepat

(20)

Tabel 2.1 Kriteria WHO terhadap Pengobatan pada Usia 2 Bulan Sampai 5 Tahun yang Memiliki Batuk atau Kesukaran Bernafas Sesuai dengan

Klasifikasi Klinis Penderita

Kriteria Pneumonia Gejala Klinis dan Pengobatannya Bukan Pneumonia

Pneumonia

Pneumonia Berat

Tidak ada sesak nafas, tidak ada tarikan dinding dada. Tidak diberikan antibiotik.

Nafas cepat, tidak ada tarikan dinding dada. Pengobatan di rumah dengan pemberian antibiotic kotrimoxal atau amoksisilin.

Nafas cepat, tarikan dinding dada, tidak ada sianosis, masih mampu makan/minum. Dirujuk ke rumah sakit

Pneumonia sangat Berat Nafas cepat, tarikan dinding dada, ada sianosis, tidak mampu makan/minum, kejang, sukar dibangunkan, stidor sewaktu tenang, gizi buruk. Dirujuk ke rumah sakit

2.5.5 Diagnosis Pneumonia

Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang dipakai program P2 ISPA, diagnosis pneumonia pada balita didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernafas disertai dengan peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat sesuai umur).

Panduan WHO dalam menentukan seorang anak menderita nafas cepat dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut (Rizanda, 2006):

Tabel 2.2 Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan Menurut Umur Anak

Umur Anak Nafas Cepat Bila Frekuensi Nafas Lebih Dari Kurang dari 2 bulan

2 bulan sampai 12 bulan 12 bulan sampai 5 tahun

60 kali per menit 50 kali permenit 40 kali permenit

(21)

otot bantu nafas, demam, cyanosis (kebiru-biruan), Thorax Photo menunjukkan infiltrasi melebar, sakit kepala, kekakuan dan nyeri otot, sesak nafas, menggigil, berkeringat, lelah, terkadang kulit menjadi lembab, mual dan muntah.

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak nafas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat bewarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan dan sakit kepala.

2.6 Penanggulangan Pneumonia

2.6.1 Upaya Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

(22)

2.6.2 Upaya Pencegahan Pneumonia

Menurut WHO (2010), WHO dan UNICEF pada tahun 2009 membuat rencana aksi global Global Action Plan For The Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan pengendalian pneumonia. Tujuannya adalah untuk mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk melindungi, mencegah dan mengobati pneumonia pada anak dengan tindakan yang meliputi 1) melindungi anak dari pneumonia termasuk mempromosikan pemberian ASI Eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi udara didalam rumah, 2) mencegah pneumonia dengan pemberian vaksinasi, 3) mengobati pneumonia difokuskan pada upaya bahwa setiap anak sakit memiliki akses ke perawatan yang tepat baik dari petugas kesehatan berbasis masyarakat atau di fasilitas kesehatan jika penyakitnya bertambah berat dan mendapatkan antibiotic serta oksigen yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.

Upaya pencegahan yang ditujukan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia antara lain dengan:

1. Status imunisasi campak

Imunisasi campak untuk mencegah kematian pneumonia yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit campak. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa imunisasi campak berperan dalam menurunkan kematian akibat pneumonia. 2. Perbaikan gizi keluarga untuk mengurangi malnutrisi sebagai salah satu faktor

risiko terjadinya pneumonia

(23)

4. Perbaikan kualitas lingkungan terutama mengurangi polusi udara dalam ruangan.

2.7 Landasan Teori

2.7.1 Pendekatan Model Segitiga Epidemiologi

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor penjamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Perubahan dari sektor lingkungan akan mempengaruhi host, sehingga akan timbul penyakit secara individu maupun keseluruhan populasi yang mengalami perubahan tersebut. Demikian juga dengan kejadian penyakit pneumonia yang berhubungan dengan penjamu, lingkungan dan agent. Pneumonia balita merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut, yaitu terjadi peradangan atau iritasi pada salah satu atau kedua paru, disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemiologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu penjamu, agen dan lingkungan seperti gambar 2.3 dibawah ini:

Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi Sumber: Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009)

AGENT

(24)

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah komponen lainnya, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.

Komponen untuk terjadinya penyakit Pneumonia adalah: 1. Host

Penjamu adalah manusia atau organisme yang rentan terhadap pengaruh agent. Dalam penelitian ini yang diteliti dari faktor penjamu adalah faktor balita (umur, jenis kelamin, status imunisasi campak, imunisasi DPT, status pemberian vitamin A, riwayat menderita campak, status gizi balita, pemberian ASI Eksklusif, berat badan lahir, riwayat asma).

2. Agent

Agent penyebab Pneumonia disebabkan infeksi Streptococcus pneumoniae dan Hemophylus influenza, dimana merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi pneumonia di negara berkembang

3. Environment

(25)

2.7.2 Konsep Model Hendrik L.Blum

Menurut teori Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), status kesehatan dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu sama lain.

Keempat faktor tersebut adalah lingkungan, perilaku, keturunan dan pelayanan kesehatan.

Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan Sumber: Hitchock, Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)

Keempat faktor risiko yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita adalah:

1. Keturunan

Faktor yang sulit untuk diintervensi karena bersifat bawaan dari orang tua. Penyakit yang dapat diturunkan orang tua dan dapat menjadi faktor risiko infeksi pneumonia adalah penyakit asma.

2. Pelayanan Kesehatan

Dari hasil penelitian Djaja (2001), menjelaskan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi akan lebih sadar membawa anaknya berobat ke fasilitas kesehatan, tetapi ibu

PELAYANAN KESEHATAN

PERILAKU

LINGKUNGAN KETURUNAN

(26)

dengan pendidikan rendah akan lebih memilih anaknya untuk berobat ke dukun dan mengobati sendiri.

3. Perilaku

Menurut Depkes RI (2001), semakin banyak jumlah rokok yang dihisap oleh anggota keluarga semakin besar risiko terhadap kejadian ISPA, khususnya jika merokok dilakukan oleh ibu bayi.

4. Lingkungan

(27)

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.3. berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Sumber: Modifikasi Anderson (2000) dan Hockenberry, Wilson (2009), Hitchock, Schubert, Thomas (2001) dan Notoatmodjo (2007)

Dari gambar 2.3 di atas, dapat diketahui bahwa penyakit pneumonia dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor manusia dan perilakunya, faktor lingkungan dan faktor agen. Pada penelitian ini variabel dependen adalah kejadian Pneumonia Balita Faktor Balita:

a. Status imunisasi campak b. Status Imunisasi DPT c. Status pemberian vitamin A d. Status gizi balita

e. Pemberian ASI Eksklusif f. Berat badan lahir

(28)

Gambar

Tabel 2.2   Kriteria Nafas Cepat Menurut Frekuensi Pernafasan
Gambar 2.1. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi
Gambar. 2.2 Faktor yang mempengaruhi Status Kesehatan
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, Provinsi Riau juga memiliki hutan mangrove yang tersebar di tujuh (7) kabupaten/kota yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kepulauan

Komunikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam melakukan interaksi dengan sesama- nya. Di dalam dunia usaha komunikasi memiliki peranan yang sangat penting.

Dari hasil analisis zonasi kawasan kota pusaka tersebut didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan Kota Pusaka di Kota Palembang yaitu faktor

Selain sebagai kerangka kerja untuk berinteraksi dengan switch OpenFlow, kita menggunakannya sebagai dasar untuk beberapa pekerjaan berkelanjutan untuk membantu membangun

Jika ibu belum pernah memiliki pengalaman persalinan sebelumnya, sebaiknya ibu yang menginginkan kehamilan berada pada umur reproduksi (20-35 tahun) dan

Umur, lama kerja, pendidikan, jenis kelamin, beban kerja, kepemimpinan, dan budaya organisasi merupakan variabel yang tidak mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku

Dengan mengucapkan puji syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkat-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “PERCERAIAN

Dari dapat kita simpulkan bahwa suatu ideologi terbuka, karena bersifat demokratis, memiliki apa yang mungkin dapat kita sebut sebagai dinamika internal yang