• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CONTINUANCE COMMITMENT 1. Definisi Continuance Commitment - Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CONTINUANCE COMMITMENT 1. Definisi Continuance Commitment - Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. CONTINUANCE COMMITMENT

1. Definisi Continuance Commitment

Continuance commitment berkaitan dengan an awareness of the costs

associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan terdapat

pertimbangan untung rugi dalam diri individu mengenai keinginan untuk tetap

bekerja atau meninggalkan organisasi. Continuance commitment sejalan dengan

pendapat (Becker’s, dalam Meyer dan Allen, 1997) yaitu bahwa komitmen adalah

kesadaran akan ketidakmungkinan untuk memilih identitas sosial lain ataupun

alternatif tingkah laku lain karena terdapat ancaman akan kerugian besar. Individu

yang bekerja berdasarkan continuance commitment bertahan dalam organisasi

karena mereka butuh (need to) untuk melakukan hal tersebut karena tidak adanya

pilihan lain (Meyer & Allen, 1997). Menurut Meyer dan Allen (1997),

continuance commitment menunjukkan adanya keterikatan psikologis terhadap

suatu organisasi yang berhubungan dengan persepsi nilai yang telah ditanamkan

dalam suatu organisasi dan efeknya pada inidividu jika keluar dari organisasi.

Menurut Beck & Wilson (2000) continuance commitment berperan sebagai

alat penolog bagi organisasi dimana asosiasi individu dengan organisasi tersebut

(2)

Kanter (1968) mendefenisikan continuance commitment sebagai komitmen

yang akan terjadi ketika ada keuntungan yang diterima dengan tetap berpartisipasi

sebagai anggota organisasi dan kerugian yang diterima jika keluar dari organisasi.

Meyer et al (1990) juga berpendapat bahwa investasi yang diterima dan alternatif

pekerjaan yang sedikit cenderung memaksa individu untuk mempertahankan

tanggung jawab mereka untuk tetap berkomitmen sebagai bagian dari organisasi .

Ini berarti bahwa individu tetap menjadi anggota organisasi karena terpikat oleh

keuntungan dari investasi yang bisa didapatkan seperti dana pensiun atau

keterampilan khusus yang diberikan oleh organisasi. Menurut Allen & Meyer

(1997) kekuatan dari continuance commitment yang merupakan kebutuhan untuk

tinggal, ditentukan oleh kerugian yang dirasakan jika meninggalkan organisasi.

Jadi continuance commitment merupakan kesadaran seseorang atas biaya dan

resiko yang akan diterima apabila meninggalkan organisasi.

2. Indikator Continuance Commitment

Indikator dari continuance commitment yang diungkapkan oleh Meyer J. P,

Natalie J. Allen, & Catherine A. Smith (1993) yaitu:

a. Merasa rugi atau kehilangan jika harus keluar atau meninggalkan organisasi

tempatnya bekerja

b. Menganggap bahwa bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan

c. Merasa bahwa bekerja pada organisasi tersebut merupakan pilihan yang baik

d. Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi

(3)

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Continuance Commitment

Allen & Meyer (1997) membagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

continuance commitment menjadi dua hal yaitu:

a. Investasi

Karyawan yang telah merasa berkorban ataupun memberikan investasi yang

besar terhadap organisasi akan merasa rugi jika harus meninggalkan organisasi

karena akan kehilangan apa yang telah diberikan selama individu bekerja dalam

organisasi. Investasi yang diberikan karyawan kepada organisasi merupakan

waktu, tenaga serta usaha yang telah diberikan selama bekerja dan menjadi

anggota dari organisasi sedangkan investasi yang individu harapkan diterima dari

organisasi adalah jaminan biaya pensiun, rekan kerja yang baik serta

keterampilan-keterampilan khusus yang diterima dari organisasi.

b. Alternatif

Faktor alternatif melibatkan persepsi karyawan terhadap alternatif pekerjaan.

Karyawan berpikir bahwa mereka memiliki alternatif yang sedikit. Ketiadaan

alternatif pekerjaan menjadi suatu hal yang memperkuat continuance commitment

pada individu. Karyawan yang tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih

menarik dan menguntungkan akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi

karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari pekerjaan yang

(4)

B. WORK-FAMILY CONFLICT

1. Definisi Work-Family Conflict

Work-Family Conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik antar

peranyaitu adanya tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran

dipekerjaan dengan peran didalam keluarga yaitu menjalankan peran di pekerjaan

akan menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di

keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran di keluarga menjadi akan

menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di dalam

pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja

yang berat merupakan sebuah pertanda akan terjadinya work-family conflict, yang

diakibatkan oleh waktu dan upaya yang berlebihan yang dipakai untuk bekerja

dan mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang dapat digunakan untuk

melakukan aktivitas-aktivitas dalam keluarga (Frone, 2003; Greenhause &

Beutell, 1985).

Menurut Frone (1992) work-family conflict adalah bentuk konflik peran yaitu

tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan

dalam beberapa hal. Hal ini dapat terjadi pada saat seseorang berusaha untuk

memenuhi tuntutan dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh

kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi keluarganya, begitu juga

sebaliknya, pemenuhan tuntutan dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan

orang yang bersangkutan dalam memenuhi tuntutan dalam pekerjaan. Konflik

(5)

waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang

lain. Tuntutan pekerjaan berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu,

seperti adanya deadline. Tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang

dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak.Tuntutan

keluarga ditentukan oleh komposisi keluarga, besarnya keluarga dan jumlah

anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain

(Yang, Chen, Choi & Zhou, 2000).

Jadi work-family conflict merupakan konflik yang terjadi pada seseorang

akibat ketidakmampuan menyeimbangkan tuntutan dalam keluarga dan pekerjaan.

Kehadiran salah satu peran dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi

tuntutan peran yang lain sehingga individu sulit untuk membagi waktu dan sulit

untuk melaksanakan kewajiban dari salah satu peran karena hadirnya peran yang

lain.

2. Bentuk-Bentuk Work-Family Conflict

Greenhause dan Beutell (1985) menggambarkan tiga bentuk work-family

conflict, yaitu:

a. Time-based conflict

Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena waktu yang

digunakan untuk memenuhi salah satu peran tidak dapat digunakan untuk

menjalankan peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seseorang yang

mengalami konflik peran ganda tidak bisa melakukan dua atau lebih peran

(6)

tidak akan dapat digunakan untuk melaksanakan peran yang lain. Time based

conflict memiliki dua bentuk yaitu: (a) tuntutan waktu dari peran yang satu

membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspetasi dari peran yang

lain, (b) adanya tuntutan waktu dapat menyebabkan individu terokupasi dengan

peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba untuk memenuhi

tuntutan peran lain. Waktu yang digunakan untuk melaksanakan satu peran akan

menyisakan sedikit waktu untuk mengerjakan peran yang lain (Bartolome &

Evans, dalam Greenhause & Beutell, 1985).

b. Strain-based conflict

Strain-based conflict yaitu ketegangan atau keadaan emosional yang

dihasilkan oleh satu peran yang menyulitkan seseorang untuk memenuhi tuntutan

peran yang lain. Ketegangan peran bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat,

kecemasan, keadaan emosional, dan sakit kepala. Strain-based conflict muncul

pada saat ketegangan yang diakibatkan dari menjalankan peran yang satu

mempengaruhi performa individu dalam menjalankan peran yang lain.

Peran-peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat Peran-peran yang satu

dapat membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.

c. Behavior-based conflict

Behavior-based conflict yaitu konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku

yang efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran yang lain.

Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran

(7)

Perilaku-perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran yang satu

terkadang bertentangan dengan ekspetasi dari peran yang lain. Ketidaksesuaian

dapat terjadi karena adanya perbedaan norma dan harapan antara kedua peran.

C. SINGLE PARENT

1. Definisi Single Parent

Single parent menurut Sager (dalam Duvall & Miller, 1995) single parent

adalah orangtua yang seorang diri membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan

atau tanggung jawab dari pasangannya. Menurut Hurlock (2004) single parent

adalah orangtua yang telah menduda atau menjanda baik ayah atau ibu dan

mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak setelah kematian

pasangannya, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa single parent

adalah seorang ayah atau ibu yang membesarkan anak-anaknya seorang diri tanpa

disertai kehadiran atau tanggung jawab dari pasangannya.

2. Faktor-Faktor Penyebab Single Parent

Menurut Perlmutte dan Hall (1999), ada beberapa hal yang dapat

menyebabkan seseorang menjadi single parent yaitu disebabkan oleh kematian

pasangan, perceraian atau perpisahan, memiliki anak diluar nikah, adopsi anak

(8)

3.Masalah-Masalah yang Dihadapi Single Parent

Hurlock (2004), menjelaskan bahwa menjadi wanita yang berperan sebagai

single parent akan dihadapkan pada masalah-masalah seperti:

a. Masalah Ekonomi

Bagi beberapa individu yang mempunyai situasi keuangan yang lebih baik

ketika menjadi orangtua tunggal, mereka tidak perlu bekerja keras untuk

memenuhi kebutuhan dirinya maupun anak-anak. Namun tidak sedikit individu

yang mengalami masalah ekonomi dan memiliki pendapatan yang kurang

memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dibandingkan saat mereka memiliki

suami, dan apabila tidak memiliki ketrampilan yang memadai maka akan

menyebabkan kesulitan untuk mendapat pekerjaan yang diperlukan untuk

menghidupi dirinya dan anak-anaknya.

b. Masalah Sosial

Bagi wanita yang diceraikan, masalah sosial lebih sulit diatasi dari pada pria

yang menjadi duda. Wanita yang diceraikan bukan hanya dikucilkan dari kegiatan

sosial tetapi bisa lebih buruk lagi, mereka seringkali kehilangan teman lamanya

atau orang disekitarnya.

c. Masalah Keluarga

Apabila mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang wanita yang

menjadi single parent harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu

(9)

pasangan. Masalah lain yang biasa dihadapi yaitu berkaitan dengan keluarga dari

pihak suami.

d. Masalah Praktis

Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah tebiasa

dibantu oleh suami dalam mengatasi masalah praktis seperti membetulkan

peralatan rumah tangga, memangkas rumput dan sebagainya menjadikan banyak

masalah rumah tangga yang harus dihadapi oleh seorang wanita yang menjadi

single parent kecuali jika mereka memiliki anak yang dapat membantu

menyelesaikan masalah-masalah tersebut atau memiliki kemampuan untuk

mengatasi masalah yang terjadi.

e. Masalah seksual

Karena keinginan seksual yang tidak terpenuhi, beberapa wanita mencoba

mengatasi masalah kebutuhan seksual ini dengan melakukan hubungan gelap

dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa

menikah atau dengan menikah lagi atau sebagian tetap tenggelam dalam perasaan

frustasi atau melakukan masturbasi.

f. Masalah tempat tinggal

Tempat tinggal seorang wanita yang menjadi single parent biasanya

tergantung pada dua kondisi. Pertama status ekonominya dan kedua apakah ia

memiliki seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kebanyakan dari wanita

(10)

ekonominya. Sehingga mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil atau

tinggal dengan orang tua atau anak yang sudah menikah.

D. HUBUNGAN WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN CONTINUANCE COMMITMENT PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI SINGLE PARENT

Continuance commitment tergolong dalam bentuk komitmen organisasi

yang rasional. Hal ini berkaitan dengan kerugian yang akan diterima karyawan

jika kelua dari organisasi tempatnya bekerja. Terdapat dua faktor yang dapat

mempengaruhi continuance commitment individu yaitu investasi dan ketiadaan

alternatif yang tersedia. Investasi yang diberikan oleh individu bagi organisasi

akan membuat dirinya merasa sulit untuk meninggalkan organisasi karena akan

mengakibatkan kerugian baginya dan ketiadaan alternatif juga akan membuat

individu merasas rugi jika harus meninggalkan organisasinya karena sulitnya

untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih baik daripada pekerjaan yang

dimiliki saat ini (Allen & Meyer, 1997).

Karyawan pada umumnya akan menunjukkan continuance commitment

apabila mereka menerima keuntungan personal (School, 1981). Keuntungan

personal yang diterima pada umumnya berhubungan dengan alasan ekonomi.

Alasan ekonomi dapat menjadi salah satu alasan yang kuat dan mempengaruhi

continuance commitment individu untuk tetap menjadi bagian dari sebuah

organisasi. Alasan ekonomi menjadi sebagian besar alasan individu untuk bekerja

(11)

single parent. Bagi single parent, ekonomi menjadi suatu permasalahan utama

yang akan dihadapi (Egelman, 2004).

Dengan menjadi bagian dari organisasi dapat melindungi single parent dari

masalah ekonomi yang dihadapi tetapi dapat menimbulkan masalah baru seperti

adanya work-family confict. Work-family conflict merupakan bentuk dari konflik

antar peran yaitu adanya tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran

dipekerjaan dengan peran didalam keluarga yaitu menjalankan peran di pekerjaan

akan menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di

keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran di keluarga menjadi akan

menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di dalam

pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Greenhasus & Beutell (1985)

terdapat beberapa aspek dari work-family conflict yaitu time-based conflict,

strain-based conflict dan behavior based-conflict.

Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena waktu yang

digunakan untuk memenuhi salah satu peran tidak dapat digunakan untuk

menjalankan peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985) . Dengan menjadi bagian

dari organisasi individu memiliki keharusan untuk menyediakan waktunya untuk

mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Waktu yang

digunakan individu untuk bekerja dianggap menjadi bagian dari investasi yang

dilakukan oleh karyawan yang memiliki continuance commitment karena dengan

memberikan waktu mereka untuk bekerja diharapkan akan memberikan

(12)

Strain-based conflict merupakan ketegangan atau keadaan emosional yang

dihasilkan oleh satu peran yang menyulitkan seseorang untuk memenuhi tuntutan

peran yang lain. Ketegangan yang bisa dihasilkan seperti stress, tekanan darah

meningkat, kecemasan, keadaan emosional dan sakit kepala (Greenhaus &

Beutell, 1985). Ketegangan yang dihasilkan dari konflik yang ada dapat

menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam menjalani pekerjaan dan

mengurus keluarga terutama bagi single parent yang harus menjalani pekerjaan

dan juga mengurus keluarganya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Burden yang menyatakan (dalam Martin & Colbert, 1997) yang

menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent memiliki tingkat

stres yang paling tinggi ketika harus menangani berbagai tanggung jawab atas

rumah tangga dan pekerjaan. Stres dan ketegangan yang dirasakan dapat

mempengaruhi komitmen individu terhadap organisasinya dan berpikir untuk

keluar dari organisasi tetapi individu yang memiliki continuance commitment

akan merasa sulit untuk melakukan hal tersebut karena akan merasa kesulitan

dalam mencari alternatif pekerjaaan lain yang lebih baik.

Behavior-based conflict merupakan konflik yang muncul ketika suatu tingkah

laku yang efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran yang

lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya adalah tanggung jawab yang

harus dijalankan seseorang dalam pekerjaan dan dukungan keluarga (Greenhaus &

Beutell,1985). Bagi seorang pekerja yang memiliki continuance commitment

(13)

pekerjaan dengan lebih baik karena hal tersebut dianggap menjadi suatu investasi

yang nantinya akan digantikan dengan keuntungan yang lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan ekonomi

menjadi alasan yang kuat yang mempengaruhi continuance commitment dari

individu dan hal tersebut juga merupakan hal yang dirasakan oleh wanita yang

berperan sebagai single parent yang juga menghadapi permasalahan ekonomi.

Wanita yang berperan sebagai single parent memiliki kewajiban untuk bekerja

untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga individu memiliki kebutuhan

untuk tetap bertahan dalam organisasi. Wanita yang berperan sebagai single

parent lebih dihadapkan pada permintaan untuk menjalankan peran kerja dan

peran keluarga yang secara bersamaan memerlukan prioritas dalam menjalankan

kedua peran tersebut. Ketika kedua peran tidak dapat dijalankan secara seimbang

akan menimbulkan work-family conflict yang dapat mempengaruhi continuance

commitment individu dalam bekerja.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesa penelitian

adalah: ada hubungan antara work-family conflict dengan continuance

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi dalam pelaksanaannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga ketiganya talah melakukan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha karena

Analisis yang digunakan dengan menggunakan E-Views 8 menghasilkan nilai R2 sebesar 0.881432 menandakan bahwa variasi dari pertumbuhan ekonomi Bandar Lampung (Y)

Tujuan Perancangan dari Stasiun Kiaracondong ini diantaranya: Membangun bangunan yang memperhatikan keselarasan dan harmonisasi antara bangunan, pengguna, dan

Beberapa tanda-tanda awal NIHL (Walsh 2000); a) Tinitus (dengingan di dalam telinga). b) Sulit mendengar pembicaraan (berdiskusi) saat berada di pesta atau restoran yang sibuk,

Prinsip dasar dari uji penetrasi statik di lapangan adalah dengan anggapan berlaku hukum Aksi Reaksi (persamaan 10), seperti yang digunakan untuk perhitungan nilai perlawanan

Ada atau tidak efek frekuensi, durasi dan isi tayangan program Reportase Investigasi di TRANS TV terhadap persepsi Ibu-Ibu RW 22 Harapan Jaya, Bekasi Utara.. Ada atau tidak

Tesis Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan ..... ADLN - Perpustakaan

Dengan demikian teori dengan temuan penelitian sudah sesuai, sehingga bisa di jelaskan bahwasanya faktor yang mempengaruhi perilaku keagamaan pada perilaku siswa adanya