• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Psychological Well-Being Antara Wanita Menopause Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Psychological Well-Being Antara Wanita Menopause Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANTARA

WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK

BEKERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

NANA ZAHARA SIREGAR

071301066

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ANTARA

WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK

BEKERJA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

NANA ZAHARA SIREGAR

071301066

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 7 Mei 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Debby Aggraini Daulay, M.Psi, Psikolog Penguji I

NIP. 198101222008122002 Merangkap pembimbing

2. Meidriani Ayu Siregar, S.Psi, M.Kes, Psikolog Penguji II NIP. 196605111995022002

3. Ferry Novliadi, M.Si Penguji III

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja

dan yang tidak bekerja

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Mei 2013

NANA ZAHARA SIREGAR

(4)

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja

Nana Zahara Siregar dan Debby Anggraini

ABSTRAK

Menopause merupakan akhir siklus menstruasi yang pastinya dialami setiap wanita yang biasanya disertai dengan perubahan fisik dan psikologis. Masa menopause bagi beberapa wanita membuat wanita jadi lebih mudah tersinggung, sulit tidur, tertekan, gugup dan gelisah, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas bahkan depresi. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ini akan mempengaruhi psychological well-beingnya. Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Psychological well-being dipengaruhi oleh peran yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini banyak wanita yang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi juga menjadi wanita bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik incidental

sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang yang berusia 45-60 tahun.

Alat ukur yang digunakan berupa skala psychological well-being dari Ryff (1995) yang sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia yang terdiri dari 37 aitem dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.930.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test menunjukkan nilai t=6.575 dan p=0.000 (p<0.005), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Wanita menopause yang bekerja memiliki psychological well being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita menopause yang tidak bekerja. Keenam dimensi dari psychological well-being juga menunjukkan adanya perbedaan antara wanita menopause yang berkerja dan tidak bekerja.

(5)

The difference of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed

Nana Zahara Siregar and Debby Anggraini

ABSTRACT

Menopause is the end of the menstrual cycle that certainly experienced by every woman usually accompanied by change in physical and psychological. Menopause for some women to make women become more irritable, have trouble sleeping, stress, nervous, restless, lonely, tense, anxious and even depressed. Women who are not able to adjust to these conditions will affect her psychological well-being. Psychological well-being is realization and attainment of psychology potention individual. Psychological well-being is also influenced by the role in life. Recently, many women are being employed woman. This study aimed to determine differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed.

The sample was chosen using incidental sampling technique, and subjects were 100 in aged 45-60 years. Measurement tool used in this reaserch was the form of psychological well-being scale of Ryff (1995) that has been adapted to the conditions in Indonesia, which consists of 37 aitem Cronbach Alpha value of reliability of 0.930.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that the value of t = 6.575 and p = 0.000 (p <0.005), that concluded there was differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed. Menopausal employed women have the psychological well being better than menopausal unemployed women. The Sixth dimensions of psychological well-being also showed a difference between menopausal employed women and unemployed.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang

Strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul ―Perbedaan

psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan yang tidak

bekerja‖.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak

mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti

ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua

yang tidak lelah mendoakan dan memberi semangat kepada peneliti hingga skripsi

ini dapat selesai dengan baik. Peneliti juga ingin menyampaikan terimakasih yang

tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian skripsi ini.

Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi

USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Debby Anggraini, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah

sabar dalam membimbing peneliti, atas bimbingan, nasehat, saran, dan waktu

yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

(7)

3. Ibu Meidriani Ayu Siregar, S.Psi, M.Kes, Psikolog, selaku dosen penguji II

dan Bapak Ferry Novliadi, M.Si, sekalu dosen penguji III yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk menguji skripsi ini.

4. Ibu Liza Marini, M.Psi., Psikolog, Selaku dosen Pembimbing akademik yang

telah Membimbing peneliti dan memberikan masukan dalam bidang akademik

pada setiap semester perjalanan kuliah peneliti sehingga dapat memberikan

hasil yang terbaik.

5. Bapak Zulkarnain, Ph.D., Psikolog. Terima kasih atas segala kebaikan bapak.

6. Kedua orang tua saya yaitu Ayah Arwan Effendi Siregar dan Ibu Sutilah, yang

telah membesarkan, mengajari dan mendidik saya. Saya sangat berterima

kasih atas doa, ketulusan, kasih sayang, dan kesabaran yang telah diberikan

selama ini.

7. Kakak-kakak saya yaitu Yus Erlina, Dwi Kartina, Nur Erlina, dan Ade Irma

(Kagome). Beserta ke empat keponakan peneliti yang tercinta, Zahran, Zikri,

Zaki, dan Zahirah. Terima kasih atas setiap dukungan dan bantuannya yang

memberikan semangat peneliti untuk terus berusaha dan tidak putus asa.

8. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu

wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh

pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti

menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

9. Teman-teman dekat yang terus mendukung, memberi semangat dan ikut

membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk Ridya Tyastiti, Massita

(8)

Vety Dazeva, Khairiah Mulia Rahma, dan Nuzulia Rahmati atas semangat dan

dukungannya peneliti mengucapkan banyak terma kasih.

10.Temen-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu

atas kebersamaan yang menyenangkan. Terima kasih atas dukungan dan

semangatnya.

11.Noni dan keluarganya, terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah

diberikan kepada saya.

12.Adik-adik angkatan 2011 dan 2012 terutama Fitri 2010 dan teman-temannya.

Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

13.Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini,

yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun

untuk mencapai yang lebih baik lagi. Peneliti berharap kiranya skripsi ini dapat

bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Mei 2013

Peneliti

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GRAFIK ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 11

C. TUJUAN PENELITIAN ... 12

D. MANFAAT PENELITIAN... 12

E. SISTEMATIKA PENULISAN ... 13

BAB II LANDASAN TEORI ... 14

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ... 14

1. Definisi Psychological Well-Being ... 14

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-being .... 20

B. WANITA BEKERJA ... 24

(10)

2. Peran Wanita Bekerja... 26

C. WANITA TIDAK BEKERJA ... 28

1. Definisi Wanita Tidak Bekerja ... 28

2. Peran Wanita Tidak Bekerja ... 29

D. DEWASA MADYA ... 30

1. Definisi Dewasa Madya ... 30

2. Karakteristik Dewasa Madya ... 31

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 33

E. MENOPAUSE ... 34

1. Definisi Menopause ... 34

2. Gejala Fisik dan Psikologis ... 35

3. Tahap-tahap Menopause ... 39

4. Usia Memasuki Menopause ... 39

F. PERBEDAAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA WANITA MENOPAUSE YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA ... 40

G. HIPOTESA ... 45

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 46

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN... 47

1. psychological Well-Being ... 47

2. Wanita Bekerja dan Tidak Bekerja ... 47

(11)

b. Wanita Tidak Bekerja ... 48

C. SUBJEK PENELITIAN ... 48

1. Populasi dan Sampel ... 48

2. Metode Pengambilan Sampel ... 49

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 50

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR ... 51

1. Validitas Alat Ukur ... 51

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 53

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur... 53

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ... 55

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 56

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 56

3. Tahap Pengolahan Data ... 56

G. METODE ANALISA DATA ... 56

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 58

A. GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN ... 58

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 58

B. HASIL PENELITIAN ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

a. Uji Normalitas ... 59

b. Uji Homogenitas ... 61

2. Hasil Utama Penelitian ... 62

(12)

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 64

3. Hasil Tambahan ... 66

a. Perbedaan Psychological Well-Being Berdasarkan Dimensi-dimensinya ... 66

C. PEMBAHASAN ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

A. KESIMPULAN ... 76

B. SARAN ... 78

1. Saran Metodologis ... 78

2. Saran Praktis……….. 79

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Bobot Nilai Pernyataan Skala Psychological Well-being ... 51

Tabel 2 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being. ... 51

Tabel 3 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being Setelah Uji Coba. ... 54

Tabel 4 Blue Print Aitem Skala Psychological Well-being Saat Penelitian 54 Tabel 5 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 58

Tabel 6 Hasil Uji Normalitas Skala Psychological Well-being ... 60

Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas Skala Psychological Well-being ... 62

Tabel 8 Gambaran Skor Psychological Well-being ... 63

Tabel 9 Hasil Perhitungan Uji t Skala Psychological Well-being ... 63

Tabel 10 Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Psychological Well-being ... 64

(14)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Skala Adaptasi ... 84

Lampiran 2 Data dan Analisa Reliabilitas Uji Coba ... 92

Lampiran 3 Data Subjek Penelitian ... 104

Lampiran 4 Data Hasil Penelitian Skala Psychological Well-being... 108

Lampiran 5 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Hipotesis ... 115

Lampiran 6 Skala Psychological Well-being Sebelum Uji Coba ... 122

(16)

Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja

Nana Zahara Siregar dan Debby Anggraini

ABSTRAK

Menopause merupakan akhir siklus menstruasi yang pastinya dialami setiap wanita yang biasanya disertai dengan perubahan fisik dan psikologis. Masa menopause bagi beberapa wanita membuat wanita jadi lebih mudah tersinggung, sulit tidur, tertekan, gugup dan gelisah, kesepian, tidak sabar, tegang, cemas bahkan depresi. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ini akan mempengaruhi psychological well-beingnya. Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang. Psychological well-being dipengaruhi oleh peran yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini banyak wanita yang tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi juga menjadi wanita bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik incidental

sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 100 orang yang berusia 45-60 tahun.

Alat ukur yang digunakan berupa skala psychological well-being dari Ryff (1995) yang sudah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia yang terdiri dari 37 aitem dengan nilai reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0.930.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test menunjukkan nilai t=6.575 dan p=0.000 (p<0.005), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Wanita menopause yang bekerja memiliki psychological well being yang lebih baik dibandingkan dengan wanita menopause yang tidak bekerja. Keenam dimensi dari psychological well-being juga menunjukkan adanya perbedaan antara wanita menopause yang berkerja dan tidak bekerja.

(17)

The difference of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed

Nana Zahara Siregar and Debby Anggraini

ABSTRACT

Menopause is the end of the menstrual cycle that certainly experienced by every woman usually accompanied by change in physical and psychological. Menopause for some women to make women become more irritable, have trouble sleeping, stress, nervous, restless, lonely, tense, anxious and even depressed. Women who are not able to adjust to these conditions will affect her psychological well-being. Psychological well-being is realization and attainment of psychology potention individual. Psychological well-being is also influenced by the role in life. Recently, many women are being employed woman. This study aimed to determine differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed.

The sample was chosen using incidental sampling technique, and subjects were 100 in aged 45-60 years. Measurement tool used in this reaserch was the form of psychological well-being scale of Ryff (1995) that has been adapted to the conditions in Indonesia, which consists of 37 aitem Cronbach Alpha value of reliability of 0.930.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that the value of t = 6.575 and p = 0.000 (p <0.005), that concluded there was differences of psychological well-being between menopausal employed women and unemployed. Menopausal employed women have the psychological well being better than menopausal unemployed women. The Sixth dimensions of psychological well-being also showed a difference between menopausal employed women and unemployed.

(18)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dewasa madya merupakan masa transisi dari dewasa awal menuju masa

lanjut usia. Dewasa madya atau yang sering diistilahkan usia paruh baya dialami

oleh individu yang berusia antara 40 sampai 60 tahun. Secara spesifik masa ini

terbagi ke dalam dua subbagian, yaitu: usia madya dini yang membentang antara

usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya lanjut yang membentang antara usia 50

hingga 60 tahun (Hurlock, 1999).

Havinghurst (dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa individu dewasa

madya memiliki sejumlah tugas perkembangan yang harus diselesaikannya

sepanjang rentang kehidupan. Salah satu tugas perkembangan tersebut adalah

penyesuaian terhadap perubahan fisik yang tentunya akan terjadi seiring dengan

meningkatnya usia yaitu menopause yang terjadi pada wanita dan andropause

pada pria (Papalia, Olds dan Feldman, 2007). Dibandingkan dengan menopause,

andropause pada pria umumnya terjadi perlahan dan sangat lambat sehingga

seringkali gejala fisik dan psikologis yang muncul tidak terlalu kelihatan ataupun

terkadang bagi beberapa pria tidak menimbulkan gejala. Selain itu, Kebanyakan

wanita relatif lebih sulit menyesuaikan diri terhadap perubahan pola hidup yang

datang bersamaan dengan masa menopause dibandingkan pria (Hurlock, 1999).

Menopause merupakan peristiwa alamiah yang pasti akan dialami setiap

(19)

dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Kekhawatiran ini mungkin berawal

dari pemikiran bahwa dirinya akan menjadi tidak sehat, tidak bugar, dan tidak

cantik lagi. Munculnya kekhawatiran yang berlebihan itu menyebabkan wanita

sulit menjalani masa ini. Pada masa ini, wanita memasuki masa transisi yaitu

peralihan dari periode reproduktif menuju non-reproduktif dan wanita dapat

dikatakan mengalami menopause bila siklus menstruasinya telah berhenti selama

satu tahun (Kasdu, 2002). Usia wanita memasuki masa menopause cukup

bervariasi antara usia 45 tahun sampai 55 tahun dengan rata-rata usia 51 tahun dan

datangnya menopause juga merupakan pertanda terjadinya masa transisi yang

biasanya diiringi dengan perubahan fisik dan psikologisnya (Jones, 2007).

Perubahan yang terjadi selama masa transisi inilah yang membutuhkan

penyesuaian dan tidak semua wanita dapat menyesuaikan diri dengan baik selama

menopause. Menurut Ibrahim (2005) sebagian orang memandang menopause

sebagai masa kritis karena pada masa ini wanita mengalami penurunan jumlah

hormon estrogen yang nantinya akan menyebabkan perubahan-perubahan fisik

yang bersifat eksternal. Perubahan-perubahan fisik yang bersifat eksternal dapat

dilihat dari perubahan penampilan kewanitaan yang menurun seperti payudara

tidak kencang, bibir dan kulit menjadi kering dan kurang halus, rambut beruban,

menipis dan mudah rontok, selaput bening mata menjadi lebih kering, lekuk tubuh

menjadi rata, dan tubuh relatif menjadi lebih gemuk (Maspaitella, 2006).

Selain mengalami perubahan fisik, menurut Gulli (dalam Longe, 2002)

beberapa wanita juga merasakan gejala-gejala fisik yang menyertai menopause

(20)

atas dada, keluarnya keringat yang terlalu berlebih, sulit tidur, iritasi pada kulit,

kekeringan vagina, mudah lelah, sakit kepala, dan jantung berdebar kencang.

Perubahan dan gejala fisik yang terjadi ketika menopause seringkali juga

disertai dengan beberapa gejala psikologis. Papalia (2007) mengungkapkan bahwa

gejala-gejala psikologis yang muncul dapat meliputi stres, frustasi, dan adanya

penolakan terhadap menopause. Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa pada

masa menopause wanita menjadi lebih mudah tersinggung, tertekan, gelisah,

gugup, kesepian, tidak sabar, gangguan konsentrasi, tegang, cemas, bahkan

depresi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maartens (dalam Novi & Ross

2007) yang menyatakan bahwa dari hasil self report yang berkaitan dengan

depressed mood pada wanita menopause ditemukan bahwa 36% wanita

premenopause, 47% wanita perimenopause, dan 46% postmenopause mengalami

depressed mood.

Penelitian yang dilakukan oleh Robertson (dalam Christiani, 2000) di

Menopause Clinic Australia juga menemukan bahwa dari 300 pasien usia

menopause terdapat 31,3 % pasien mengalami kecemasan dan depresi.

Kecemasan dan depresi yang dialami wanita menopause umumnya berkaitan

dengan kesulitan-kesulitan emosi yang mereka alami pada saat menyesuaikan diri

dengan berbagai perubahan hormon dan psikologis yang terjadi selama

menopause (Becker, Orr, Weizman, 2007). Simptom depresi yang terjadi selama

menopause berkaitan juga dengan sikap yang negatif terhadap menopause yang

berujung pada rendahnya harga diri pada wanita. Wanita yang memiliki sikap

(21)

nyaman dengan gejala menopause yang muncul seringkali dikaitkan dengan

munculnya banyak keluhan selama menopause dibandingkan dengan wanita

dengan sikap positif. Begitu juga wanita dengan harga diri yang rendah

menunjukkan penyesuaian diri yang lebih sulit terhadap menopause dibandingkan

dengan wanita dengan harga diri yang tinggi. Mereka lebih sering mengalami

kecemasan terkait dengan gejala-gejala menopause. Selain itu, mereka juga

kurang percaya diri dan lebih sering mengeluhkan berbagai perubahan yang

terjadi pada dirinya (Lee, Kim, Park, Yang, Ko, dan Joe 2010).

Berger (1999) mengungkapkan bahwa saat ini masih banyak orang yang

menganggap menopause sebagai suatu masalah terkait dengan munculnya

berbagai gejala fisik dan psikologisnya. Bagi beberapa wanita yang tidak mampu

menyesuaikan diri dengan baik selama menopause, kondisi ini akan

mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraannya. Kesejahteraan sering diistilahkan

dengan well-being. Pimenta (2011) melalui hasil penelitiannya tentang menopause

dan well-being pada 1003 wanita menopause menemukan bahwa depressive mood

yang merupakan simptom menopause secara signifikan berkaitan dengan

penurunan well-being seseorang. Selain itu stress dan pengalaman hidup yang

negatif terkait krisis usia paruh baya juga memberi pengaruh yang besar terhadap

well-being seseorang.

Well-being sendiri diartikan sebagai fungsi optimal yang dimiliki individu

(Ryan & Deci, 2001). Menurut Ryff (1989), well-being itu sendiri terkait dengan

fungsi psikologi positif yang selanjutnya disebut sebagai psychological

(22)

potensi individu dimana individu dapat menerima masa lalunya dengan segala

kelebihan dan kekurangannya, menunjukkan sikap mandiri, mampu membina

hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya,

memiliki tujuan dalam hidup, serta mampu mengembangkan pribadinya. Menurut

Keyes, Shmotkin & Ryff (2002), psychological well-being juga tidak hanya

sebatas adanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan negatif,

namun juga berkaitan dengan pengalaman-pengalaman hidupnya. Psychological

well-being pada seseorang dapat dilihat dari keenam dimensinya yaitu memiliki

penerimaan terhadap diri sendiri, mandiri, memiliki hubungan yang positif dengan

orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta

mampu mengembangkan potensi dalam dirinya (Ryff dalam Papalia, 2007)

Kenyataannya, tidak semua wanita yang mengalami menopause

merasakan dampak negatif dari berbagai gejala fisik dan psikologis seperti yang

disebutkan sebelumnya. Beberapa wanita menganggap menopause sebagai hal

yang normal dalam hidupnya. Mereka justru menemukan kesenangan selama

menopause, salah satunya dengan memperkuat benteng agama. Wanita

menunjukkan perhatian yang lebih pada masalah agama dan persiapan

menghadapi kematian (Ibrahim, 2002). Hal yang sama juga diungkapkan Lock

(dalam Papalia, 2007) melalui penelitiannya terhadap wanita menopause yang

menyatakan bahwa wanita-wanita jepang tidak menunjukkan penolakan terhadap

menopause. Mereka memandang menopause sebagai masa perpaduan antara

(23)

Hal di atas menunjukkan bahwa beberapa wanita memiliki sikap yang

positif terhadap menopause sehingga dapat menerima datangnya menopause

dengan baik. Hal ini menunjukkan mereka memiliki psychological well-being

yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ryff (1995) yang mengungkapkan

bahwa salah satu kriteria seseorang dapat dikatakan memiliki psychological

well-being yang baik jika seseorang dapat menerima keadaan dirinya, dimana

seseorang itu mampu mengakui dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik

yang positif maupun negatif, memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, dan

memandang positif kehidupan yang dijalani sekarang dan juga masa lalunya.

Tingkat well-being pada tiap orang berbeda. Menurut Keyes, Ryff dan

Shmotkin (2002) well-being setiap orang itu berbeda karena dipengaruhi oleh

faktor usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dan ciri kepribadian. Selain

faktor yang telah disebutkan diatas, kepercayaan terhadap peran yang mereka

jalankan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap psychological well-being

seseorang. Sollie dan Leslie (dalam Strong dan Devault, 1989) menjelaskan

bahwa Peran yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan

psychological well-being seseorang. Sebagain besar wanita yang menjalankan

perannya sebagai ibu rumah tangga lebih menunjukkan gejala-gejala distress dan

ketidakpuasan hidup dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Hal ini

dikarenakan peran sebagai ibu rumah tangga sering dikarakteristikkan sebagai

pekerjaan yang rutin dan monoton. Kondisi ini terkadang membuat mereka bosan

dan mengurangi kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih luas dengan

(24)

Hal yang berbeda dirasakan wanita yang bekerja, bagi mereka yang

memiliki pekerjaan yang memungkinkan baginya untuk mengembangkan diri dan

karirnya merasakan kebahagiaan dan meningkatnya harga diri (Azar dan

Vasudeva, 2006). Bekerja juga memungkin bagi wanita untuk menjalin hubungan

yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda dalam dunia kerja. Seperti yang

diungkapkan Berger (1999) yang menyatakan bahwa wanita menopause yang

bekerja bisa berbagi solusi terhadap berbagai masalah seputar menopause dengan

teman-teman kantornya hal ini memberikan kesempatan bagi wanita untuk

memperluas komunikasi yang dapat membantu mereka mampu menangani

berbagai masalah sehingga mengurangi resiko stres dan penyakit serta

meningkatkan kepuasan diri dan pekerjaan. Selain itu bekerja juga membuat

wanita dapat menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada suami.

Sejumlah peneliti yang mempelajari wanita pada paruh kehidupan juga

telah menemukan bahwa pekerjaan memainkan peranan penting dalam kesehatan

psikologis wanita (Baruch dan Barnett dalam Santrock, 2002). Kesehatan wanita

selama masa menopause seringkali dipengaruhi oleh kepercayaan mereka akan

peran-peran yang mereka yakini. Wanita menopause yang merasakan kepuasan

dalam pekerjaanya dikaitkan secara positif dengan tidak adanya gejala-gejala

somatic dan psikologis selama menopause. wanita bekerja juga menunjukkan

sedikitnya gejala-gejala menopause yang dialaminya dibandingkan dengan wanita

yang tidak bekerja (Dennerstein, Dudley, Guthrie, dan Barret, 2000; Lee, Kim,

(25)

Griffiths, MacLennan, & Wong, (2010) juga menyatakan bahwa wanita

menopause yang bekerja lebih positif memandang datangnya menopause dan

mampu menerima kondisinya dengan segala perubahan fisik dan psikologis.

Mereka merasakan kepercayaan diri yang meningkat karena merasa masa ini

merupakan pertanda mereka semakin matang dan dewasa serta dihormati oleh

rekan kerja. Mereka juga menganggap menopause sebagai keadaan yang justru

membuat mereka merasa bebas karena tidak direpotkan lagi dengan menstruasi

setiap bulannya. Beberapa dari mereka juga merasa bahwa berhenti menopause

bukanlah akhir dari segalanya tetapi merupakan tahapan yang menyenangkan

karena mereka umumnya mereka memiliki karir yang bagus pada masa ini (Jones,

2007).

Menurut Griffiths, MacLennan, & wong (2010) wanita bekerja umumnya

mampu mandang positif aktivitas sehari-harinya dan keterlibatan mereka dengan

rekan kerja lainnya. Hal ini juga mendorong mereka untuk merasa lebih yakin

terhadap dirinya dan mampu menghadapi menopause dengan lebih baik. Selain

itu, Carr (1996) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa kesuksesan dalam

pekerjaan memberi pengaruh yang positif bagi psychological well-being

khususnya tujuan hidup dan kondisi psikologisnya. Wanita yang memiliki

kepuasan dengan pekerjaannya diusia paruh bayanya umumnya lebih mampu

menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan. Namun tidak demikian halnya bagi

wanita yang tidak bekerja, mereka umumnya memiliki kualitas hidup yang lebih

rendah dibandingkan dengan wanita yang bekerja. Rendahnya kualitas hidup pada

(26)

terjadinya perubahan sosial dalam hidupnya yang dikaitkan dengan penuaan dan

perubahan pada tubuh yang dialaminya (Jacob, Hyland dan Ley, 2000).

Kenyataannya tidak semua wanita yang bekerja merasakan hal positif,

Beberapa wanita yang bekerja juga merasakan hal yang negatif terhadap

menopause. Mereka beranggapan bahwa menopause dan simptom-simptomnya

menyebabkan mereka malu, cemas, dan kehilangan kontrol dalam melaksanakan

pekerjaan mereka. Misalnya, munculnya rasa panas di tubuh saat bekerja ataupun

saat berada disekitar rekan kerja membuat mereka merasa tidak nyaman dan

kurang dapat fokus pada pekerjaan yang nantinya dapat berdampak pada

kompetensi dan profesionalisme mereka dalam bekerja. Selain itu beberapa

wanita yang bekerja juga mengalami simptom menopause lainnya seperti

gangguan mood, mudah lelah, konsentrasi menurun, dan kemampuan mengingat

yang berkurang sehingga membuat mereka kurang percaya diri dalam

menunjukkan performanya saat bekerja (Griffiths, MacLennan, & Wong, 2010).

Namun demikian, kondisi lingkungan kerja yang kondusif seperti rekan kerja,

atasan, ruang kerja yang mendukung dapat membuat wanita bekerja menjadi lebih

nyaman dan mampu menjalami masa ini dengan baik (Paul, 2003).

Selain itu peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan wanita bekerja juga

dapat memberikan tekanan. Beberapa wanita usia madya masih memiliki anak

yang belum dewasa sehingga mereka masih memiliki tanggung jawab sebagai ibu,

istri dan wanita bekerja (Lindsay dalam Elgar & Chester, 2007). Berger (1999)

mengungkapkan bahwa ketidakpuasan peran dikarenakan peran ganda ataupun

(27)

konflik dan menimbulkan berbagai tekanan yang akan menyulitkan wanita

menopause saat bekerja. Akan tetapi, keberadaan suami yang bisa memahami

berbagai perubahan fisik dan psikologis yang di alami selama masa menopause

serta dukungan suami dan orang-orang di sekitar akan membantu wanita bekerja

mengatasi berbagai masalah yang dihadapi sehingga mampu melewati masa ini

dan menjalani kehidupan rumah tangga dan pekerjaannya dengan lebih baik

Perubahan zaman saat ini telah mendorong terjadinya perubahan dalam

bentuk keluarga. Sekarang ini banyak ditemukan bentuk keluarga dimana suami

dan istri sama-sama bekerja di luar rumah. Terbukanya kesempatan bagi wanita

untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik juga telah mendorong

meningkatnya jumlah wanita yang terjun dalam dunia kerja.Wanita yang bekerja

umumnya termotivasi karena kebutuhan ekonomi. Tuntutan ekonomi yang begitu

besar mendorong mereka bekerja agar dapat menambah penghasilan keluarga.

Namun selain karena alasan ekonomi, sebagian besar wanita bekerja juga

termotivasi karena alasan psikologis seperti harga diri dan kontrol diri. Alasan

lainnya adalah dengan bekerja wanita mendapatkan dukungan sosial, pengakuan

dan apresiasi dari tempatnya bekerja yang terkadang belum tentu mereka dapatkan

di rumah (Hochschild dalam Strong & De Vault, dan Cohen 2011).

Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan bekerja, wanita juga mendapat

dukungan sosial dari rekan kerjanya. Menurut Berger (1999) wanita yang bekerja

dapat membentuk jaringan sosial yang mendukungnya dan bisa berbagi seputar

masalah yang dihadapi salah satunya menopause. Orang-orang dalam lingkungan

(28)

wanita memandang menopause dengan lebih positif dibandingkan dengan wanita

yang jauh dari dunia kerja dan semua waktunya dihabiskan hanya untuk menjadi

istri dan ibu rumah tangga saja. Menariknya, wanita yang bekerja dilaporkan

memiliki simptom menopause yang lebih sedikit dibandingkan dengan wanita

yang hanya menjadi ibu dan istri saja pada masa dewasa madya. Selain itu adanya

sense of control pada wanita bekerja dalam menyeimbangkan antara pekerjaan

dan rumah tangga juga dapat membantu wanita untuk memandang hidupnya lebih

positif sehingga mengarah pada kondisi psikologis yang lebih baik (Ahrens &

Ryff, 2006).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa menopause menimbulkan

berbagai gejala fisik dan psikologis yang dapat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis (psychological well being) wanita. Kesejahteraan psikologis wanita

menopause juga erat kaitannya dengan peran mereka. Beberapa wanita yang

bekerja memilki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan wanita yang

hanya menjadi ibu rumah tangga. Namun, disisi lain beberapa wanita menopause

yang bekerja juga mengeluhkan gejala menopause yang dapat mempengaruhi

performa mereka dalam bekerja dan well-being. Oleh karena itu peneliti ingin

mengetahui apakah perbedaan psychological well-being pada wanita menopause

(29)

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan

melalui pertanyaan: Apakah ada perbedaan psychological well-being pada wanita

menopause ditinjau dari status bekerja?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung

mengenai apakah ada perbedaan psychological well-being pada wanita menopause

ditinjau dari status bekerja.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik yang bersifat

teoritis maupun praktis

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat

pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan

mengenai psychological well-being pada wanita menopause ditinjau dari

status bekerja dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Beberapa manfaat praktis yang dapat diberikan dari penelitian ini:

a. Memberi informasi mengenai gambaran psychological well-being

wanita menopause dari sudut pandang wanita yang bekerja dan tidak

(30)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan atau referensi

untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan psychological

well-being.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan

sebagai berikut:

BAB I :Pendahuluan berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II :Landasan teori berisi teori-teori yang berkaitan dengan variabel yang

diteliti dan hubungan antara variabel dan hipotesa penelitian.

BAB III :Metode penelitian berisi uraian mengenai metodelogi penelitian yang

terdiri dari: identifikasi variabel, definisi variabel penelitian, populasi

dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur

penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV :Analisis data dan pembahasan yang berisi mengenai gambaran

mengenai subjek penelitian, laporan hasil penelitian, hasil uji asumsi

meliputi hasil uji asumsi normalitas dan homogenitas, hasil utama

penelitian, dan pembahasan.

BAB V : Kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dari penelitian ini dan

saran-saran untuk pengembangan penelitian dan saran praktis yang

(31)

A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological Well-Being

Diener & Johada (dalam Ryff, 1989) mengungkapkan bahwa penelitian

tentang psychological well-being mulai berkembang pesat sejak para ahli

menyadari bahwa ilmu psikologi lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan

dan penderitaan daripada bagaimana individu dapat berfungsi secara positif

(positive psychological functioning). Ryff (1989) menambahkan bahwa kesehatan

mental seringkali dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada

psikologis yang berfungsi secara positif. Oleh sebab itu, orang-orang lebih

mengenal kesehatan mental dengan istilah tidak adanya penyakit daripada berada

dalam kondisi well-being. Formulasi seperti itu seakan mengabaikan kapasitas dan

kebutuhan manusia untuk berkembang serta merealisasikan potensi-potensi yang

dimilikinya.

Well-being didefinisikan sebagai derajat seberapa jauh seseorang dapat

berfungsi secara optimal (Ryan & Deci, 2001). Menurut Bradburn (dalam Ryff &

Keyes, 1995), psychological well-being merujuk pada perasaan-perasaan

seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari

kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan hidup, kecemasan dan

sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya realisasi potensi atau

(32)

penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan

dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan

orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti dapat memodifikasi

lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta

terus mengembangkan pribadinya (Ryff, 1989).

Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki

psychological well being merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang

berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi

diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport

tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan

individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Psychological well being

dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasaan hidup dan tidak

adanya gejala-gejala depresi. Ryff menyebutkan bahwa psychological well being

terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan terhadap diri sendiri, memiliki

hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan terhadap

lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup serta pertumbuhan dan perkembangan

yang berkelanjutan (Ryff & Keyes, 1995).

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psychological

well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi psikologis

seseorang. Dimana individu dapat menerima segala kekurangan, kelebihan dan

masa lalunya, mandiri, mampu membina hubungan yang positif dengan orang

lain, dapat menguasai lingkungannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus

(33)

2. Dimensi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) pondasi untuk diperolehnya

psychological well-being adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi

secara positif (positive psycholigical functioning). Komponen individu yang

mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu:

a. Otonomi

Dimensi otonomi ini menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk

membuat keputusan sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

Individu tersebut tidak meminta persetujuan dari orang lain, namun

mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya. Individu

yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini adalah inidividu yang

mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan

cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar

personal. Sebaliknya, individu yang terlalu memikirkan ekspektasi dan

evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang lain untuk mengambil suatu

keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap tekanan sosial,

menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat otonomi yang baik

b. Penguasaan Lingkungan

Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk memilih atau

menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan

keinginannya. Penguasaan lingkungan yang baik dapat dilihat dari sejauh

(34)

di lingkungan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik pada dimensi ini

ditandai dengan kemampuan memilih atau menciptakan sebuah lingkungan

yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya dan memanfaatkan secara

maksimal sumber-sumber peluang yang ada di lingkungannya. Individu juga

mampu mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun

mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan

menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan

kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

c. Pertumbuhan Pribadi

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu

untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang

manusia. Memanfaatkan secara maksimal seluruh bakat dan kapasitas yang

dimiliki oleh individu merupakan hal yang penting untuk mencapai

psychological well-being. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah

adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan

keterbukaan terhadap pengalaman. Individu yang terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus

berkembang bukan hanya mencapai suatu titik dimana semua masalah

terselesaikan. Individu yang memiliki tingkatan yang baik dalam dimensi ini

berarti memiliki perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri

sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam

(35)

waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini

akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang membosankan,

kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan

dengan hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku baru

d. Hubungan Positif dengan Orang Lain

Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam

konsep psychological well-being. Ryff menekankan pentingnya menjalin

hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Kemampuan untuk

mencintai dilihat juga sebagai salah satu komponen kesehatan mental.

Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari

kedewasaan. Individu yang memiliki tingkatan yang tinggi atau baik dalam

dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan

saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan

orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta

memahami konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia.

Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang

lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan

(36)

e. Tujuan Hidup

Dimensi ini menjelaskan mengenai adanya keyakinan bahwa hidup ini

bermakna dan menuju ke sebuah tujuan tertentu. Individu mampu untuk

mencapai tujuan dalam hidupnya. Individu yang memiliki nilai yang baik

dalam dimensi ini adalah inividu yang memiliki target dan cita-cita dalam

hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalunya

bermakna. Individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan

tertentu yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, seseorang

yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada

tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam

masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat

membuat hidup lebih berarti.

f. Penerimaan Diri

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental

dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi

optimal, dan dewasa. Penerimaan diri berarti merasa baik tentang diri sendiri,

terhadap masa lalu, dan disaat yang bersamaan mengetahui kelebihan dan

kekurangan yang dimilikinya. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan

diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri,

mengetahui dan menerima segala aspek yang ada dalam dirinya, baik itu

yang merupakan kelebihan maupun kekurangan, serta memiliki sikap yang

(37)

seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik dapat

ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa

dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak

menjadi dirinya saat ini.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Ryff (dalam Wells, 2010) mengungkapkan bahwa variasi well well-being

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti berikut ini:

a. Usia

Usia dan tingkat pendidikan meletakkan individu dalan posisi tertentu dalam

struktur sosial. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989),

ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari

berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat

adanya peningkatan seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah

usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya.

Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur

lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. Individu

yang berada dalam tahap dewasa madya menunjukkan titik tertinggi dalam hal

kemampuan untuk mengambil keputusan dan memiliki pengaruh yang kuat

(38)

b. Tingkat pendidikan

Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi dikatakan juga memiliki

psychological well-being yang tinggi. Individu yang memiliki kesempatan

mendapatkan pendidikan yang lebih baik umumnya memiliki tingkat

psychological well-being yang juga lebih baik dibandingkan individu yang

berpendidikan rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang baik akan

mempengaruhi keputusan yang mereka pilih, pekerjaan dan kehidupan

keluarga mereka (Ryff, 2002).

c. Status sosial ekonomi

Psychological well-being sering dikaitkan dengan status sosial ekonomi

seseorang. Status sosial ekonomi berkaitan erat dengan beberapa dimensi

psychological well-bein seperti penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan

lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial

ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain

yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam

Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status

menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological

well-being yang lebih tinggi. Berbagai hal yang mempengaruhi yaitu

lingkungan sekitar, lingkungan pekerjaan, dan kesehatan berkaitan dengan

psychological well-being seseorang. Seseorang dengan tingkat ekonomi yang

rendah cenderung memiliki psychological well-being yang lebih rendah hal ini

terkait dengan berbagai kemampuan mereka dalam mendapatkan kesehatan,

(39)

sosial yang tinggi dikaitkan otonomi, pengembangan diri dan penguasaan

lingkungan yang lebih baik.

d. Peran Jenis Kelamin

Sejumlah penelitian menyatakan adanya kaitan yang erat antara peran yang

dijalankan dalam kehidupan sehari-hari dan psychological well-being

seseorang. Umumnya wanita memiliki nilai yang lebih baik dalam menjalin

hubungan positif dengan orang lain. Sedangkan secara keseluruhan pria

memiliki self esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan wanita.

Namun secara keseluruhan jika dilihat dari dimensi psychological well-being

lainnya, pria memiliki tingkat psychoilogical well-being yang lebih baik

dibandingkan dengan wanita. Pria dan wanita yang menikah memiliki self

esteem dan well-being yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak

menikah.

Saat ini, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja semakin meningkat

disamping itu mereka masih tetap mempunyai tanggung jawab rumah tangga

dan pengasuhan anak. Di saat seperti inilah wanita dituntut untuk mampu

menyesuaikan beban pekerjaan yang meningkat antara pekerjaan dan tugas

rumah tangga. Hal inilah yang dapat mempengaruhi kesehatan dan

kesejahteraan wanita. Tanggung jawab dalam keluarga penting peranannya

terhadap psychological well-being. Menurut Escriba-Aguir (2004) wanita

yang lebih banyak menghabiskan waktunya sebagi ibu rumah tangga memiliki

psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang

(40)

well-being yang tinggi terkait dengan kepuasaan yang mereka rasakan antara

keberhasilan dalam keluarga dan pekerjaan. sedan dapat menyeimbangkan

antara pekerjaan dan keluarga. Selain itu tingkat well-being juga terkait

dengan periode kehidupan, khususnya pada wanita yaitu terjadinya proses

menopause. Well-being meningkat dari awal menopause hingga mencapai

akhir tahapan menopause.

e. Kepribadian

Kepribadian sering kali dihubungkan dengan dimensi psychological

well-being, Scmutte dan Ryff (1997) menemukan bahwa sifat neurotic, ekstrovert

dan conscientiousness adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi

well-being khususnya, penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan

hidup. Walaupun begitu aspek-aspek psychological well-bieng yang lain juga

berkorelasi dengan sifat-sifat yang lainnya. Misalnya sifat keterbukaam

terhadap pengalaman baru dan esktrovert adalah prediktor dari dimensi

pertumbuhan diri, sedangkan sifat agreeableness adalah prediktor dari dimensi

hubungan positif dengan orang lain. Dimensi psychological well-being,

otonomi, diprediksi oleh beberapa sifat, namun yang paling menonjol adalah

neurotic

f. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme

memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu

masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi

(41)

menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi

hubungan positif dengan orang lain. Hal ini dikarenakan budaya individualism

mendorong seseorang mampu menerima segala kekurangan agar dapat

bertindak lebih mandiri dalam berbagai hal hal ini berbeda dengan budaya

kolektivisme yang mengutakan rasa kebersamaan yang terkadang membuat

seseorang tidak perlu berbuat banyak untuk dirinya dan orang-orang

disekilingnya karena mereka masih memiliki orang-orang yang bersedia

membantu.

B. WANITA BEKERJA

1. Definisi Wanita Bekerja

Kerja (work) didefinisikan sebagai aktivitas yang menghasilkan sesuatu

yang bernilai, baik barang maupun jasa. As’ad (1998) mengatakan bahwa bekerja adalah aktivitas manusia baik fisik maupun mental yang pada dasarnya adalah

bawaan dan mempunyai tujuan yaitu mendapatkan kepuasan. Konsep kerja juga

dinyatakan oleh Thomason (dalam Ndraha, 1999) sebagai aktivitas yang menuntut

pengeluaran energi atau usaha untuk menciptakan produk dan jasa yang bernilai

bagi manusia dari bahan/material mentah. Brown (dalam Anoraga, 2006)

mengatakan bahwa kerja sesungguhnya merupakan bagian penting dari kehidupan

manusia karena memberikan status dalam masyarakat, baik pria maupun wanita

sejak dahulu kala memang menyukai pekerjaan.

Wanita dapat dikatakan bekerja apabila mendapatkan penghasilan/gaji,

(42)

wanita yang bekerja dengan menggantikan istilah wanita karir. Menurut kamus

besar bahasa indonesia (1996), wanita karir adalah wanita yang mempunyai

pekerjaan atau jabatan, dimana diharapkan berkembang pada periode yang akan

datang. Umumnya, wanita yang bekerja memiliki level kepuasan hidup yang lebih

tinggi, merasa adekuat dan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan wanita yang

tidak bekerja (Hooyer dan Roodin 2003).

Hal utama yang didapatkan wanita yang bekerja dan mendapat upah

adalah menjadikannya lebih mandiri secara finansial dan menjadikan wanita lebih

tertantang untuk mampu bersaing dengan rekan kerja lainnya baik itu wanita

ataupun pria. Bekerja di luar juga menjadikan mereka memiliki kedudukan yang

lebih baik, meningkatkan status dan memberikan mereka arti keberadaan mereka

dalam dunia kerja, yang menjadi faktor utama emansipasi wanita. Selain itu,

bekerja dan mendapatkan upah juga memungkinkan wanita untuk menumbuhkan

rasa hormat dan kepercayaan diri dalam diri mereka. Dalam era globalisasi ini,

Pekerja wanita sudah menyatu dalam proses globalisasi. Dimana wanita yang

mendapatkan gaji dari pekerjaannya tidak hanya menjadi pelengkap tetapi juga

menyatu dengan berbagai dimensi perubahan ekonomi global. Kehadiran wanita

dapat merubah dinamika dan mempengaruhi trend globalisasi (ILO, 2007)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita bekerja

adalah wanita yang melakukan aktivitas pengeluaran energi/usaha dalam

menghasilkan produk atau jasa dan bertujuan untuk mempertahankan hidup,

(43)

2. Peran Wanita Bekerja

Saat ini tersedianya akses bagi wanita untuk mendapat pendidikan yang

lebih tinggi memungkin wanita untuk memiliki kesempatan menjadi seorang

profesional di berbagai bidang dan mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan

terkadang lebih baik dibandingkan gaji yang di dapatkan suaminya. Oakley

(dalam Berger, 1999) mengungkapkan catatan penting mengenai wanita bekerja,

wanita yang bekerja biasanya memandang pekerjaan sebagai peran kedua

disamping perannya menjadi istri dan ibu. Tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi,

bekerja juga dapat membuat wanita mampu mengembangkan potensi yang ada

dalam dirinya karena tidak jarang dengan bekerja wanita dituntut untuk memiliki

keahlian dan pendidikan yang lebih baik dan hasilnya adalah mendapatkan gaji

yang menambah pemasukan keluarga. Wanita bekerja yang menikah umumnya

mencari pekerja yang memungkinnya untuk tetap mengurusui suami, anak dan

rumahnya (Chafetz dalam Berger, 1999).

Banyak wanita yang memandang bahwa dengan mempunyai banyak

peran akan memberikan pengaruh yang baik bagi mereka. Khususnya, aktivitas

bekerja dapat dijadikan sebagai solusi melawan stres akibat berbagai masalah

keluarga, dan aktivitas kehidupan keluarga menjadi pengalih dari berbagai

masalah pekerjaan. Secara umum, wanita bekerja dilaporkan memiliki perasaan

kompeten dan kecakapan yang lebih baik dibandingkan wanita yang tidak bekerja.

Banyak wanita yang terdorong oleh tantangan akan tugas-tugas yang sulit dan

banyak kesenangan akan pencapaian kesuksesan dalam bekerja (Matlin, 2004).

(44)

berperan serta dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga. Adanya

kekuasan dan kemandirian yang lebih dalam mengambil keputusan inilah yang

diasumsikan memiliki efek yang menguntungkan bagi wanita menopause. selain

itu adanya dukungan dari rekan kerja yang dapat memberikan informasi mengenai

menopause juga membuat wanita dapat memiliki sikap yang positif terhadap

menopause (Berger, 1999).

Meskipun demikian bekerja di luar rumah juga membutuhkan waktu dan

energi yang lebih. Pekerjaan diluar rumah biasanya bersifat cepat, mudah berubah

dan membutuhkan usaha keras karena kualitas kerjanya akan dinilai. Selain itu,

pekerjaan itu biasanya membutuhkan usaha fisik dan pemikiran yang lebih dan

biasanya juga berkaitan dengan konflik keluarga. Konflik biasanya terjadi ketika

adanya kesulitan menyesuaikan peran mereka sebagai pekerja juga sebagai ibu

dan istri. Keadaan menjadi sulit dan penuh tekanan ketika wanita harus bekerja

dan juga diharapkan untuk selalu hadir di sisi suami dan anaknya. Peran ganda

inilah yang seringkali juga dapat meningkatkan tekanan karena masalah keluarga

dan dan pekerjaaan yang mungkin memberikan efek negative bagi well-being

wanita menopause (Berger, 1999).

Wanita bekerja adalah wanita yang memperoleh/mengalami

perkembangan dan kemajuan dalam bidang pekerjaannya (Anoraga, 2006).

Umumnya wanita bekerja memiliki jam kerja tertentu sekitar 30 jam atau lebih

(45)

C. WANITA TIDAK BEKERJA

1. Definisi wanita tidak bekerja

UU Perkawinan No.1/1974 pasal 31 ayat 3 mendefenisikan seorang istri

sebagai ibu rumah tangga. Definisi ini menunjukkan bahwa seorang istri

bertanggung jawab akan urusan rumah tangga, yang tidak menghasilkan, sehingga

ia tergantung pada hasil kerja suaminya (Adiningsih, 2004). Sedyono (dalam

Gardiner, Wagemann, Sulaeman dan Sulastri, 1996) mengungkapkan bahwa ibu

rumah tangga adalah para istri yang pekerjaannya terbatas pada mengatur

berbagai macam pekerjaan dalam rumah tangga mereka sendiri. Menurut Word

Reference (2006) ibu rumah tangga adalah seorang ibu yang mengatur rumah

tangga sementara suami bekerja mendapatkan gaji untuk pendapatan keluarga.

Shaadi (2006) mengatakan bahwa ibu rumah tangga adalah wanita yang memiliki

pekerjaan utama untuk menjaga atau merawat keluarga dan/ rumah, suatu bentuk

untuk menggambarkan wanita yang tidak dibayar sebagai tenaga kerja untuk

menjaga keluarganya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bekerja

adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau

merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar rumah, tidak memiliki

penghasilan sendiri dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk

(46)

2. Peran Wanita Tidak Bekerja

Berger (1999) mengukapkan bahwa sampai saat ini masih banyak yang

percaya tugas seorang wanita adalah di rumah. Apa yang diharapkan dari peran

tradisional dan alami seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga, istri dan

ibu bagi anak-anaknya. Beberapa pekerjaan yang termasuk pekerjaan rumah

tangga adalah

1. Membersihkan, mengatur dan merawat rumah

2. Memastikan kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarga

3. Membentuk dan membina hubungan sosial.

Ibu rumah tangga melakukan berbagai tugas di rumah sepanjang waktu.

Rumah adalah tempat utama wanita dan peran sebagai ibu rumah tangga memiliki

kelebihan dan kekurangan. Peran sebagai ibu rumah tangga sering

dikararakteristikan sebagai pekerjaan yang rutin dan monoton. Sebagai ibu rumah

tangga berarti wanita tidak dapat berhenti dari berbagai pekerjaan rumah,

pekerjaan rumah biasanya banyak dan berulang, waktu kerja yang panjang dan

pekerjaannya biasanya hanya dirumah saja. Selain itu Ibu rumah tangga juga lebih

beresiko mengalami tekanan dan lebih sering mengeluhkan adanya gejala fisik

dan psikologis yang dapat mempengaruhi kondisi psikologis mereka selama

menopause dibandingkan dengan wanita yang bekerja (Berger, 1999). Hal yang

sama diungkapkan Azar &Vasudeva (2006), dan Mickhuka (2011) bahwa wanita

bekerja cenderung memiliki kondisi psikologis yang lebih baik dibandingkan

(47)

Selain itu biasanya sering terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pria

dan wanita dalam rumah tangga jika wanita tidak bekerja dan hanya menjadi ibu

rumah tangga saja. Pada situasi seperti ini biasanya pria memiliki kekuasaan yang

lebi secara fisik dan keuangan untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga.

Namun di sisi lain berperan sebagai ibu rumah tangga saja berarti berarti tidak ada

atasan yang mengawasi, dapat menentukan sendiri waktu yang tepat untuk

melaksanakan berbagai pekerjaan rumah dan dapat terlibat langsung dalam

perawatan anak dan mendisain rumah. (Berger, 1999).

D. DEWASA MADYA

1. Definisi Dewasa Madya

Masa dewasa madya atau usia setengah baya adalah masa usia antara 40

sampai 60 tahun. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang

kehidupan manusia, yang dibagi ke dalam dua subbagian, yaitu : usia madya dini

(40-50 tahun) dan usia madya lanjut (50-60 tahun). Masa dewasa madya ditandai

dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mental (Hurlock, 1999).

Monks (2004) mengatakan bahwa pada usia 40 tahun tercapailah puncak

masa dewasa yang akan beralih menuju masa dewasa madya antara usia 40-45

tahun. permulaan dewasa madya antara 45-50 tahun yang selanjutnya ketika

mencapai 50-55 tahun seringkali dianggap sebagai masa krisis bila seseorang

tidak mampu menhadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Setelah itu

seseorang memasuki masa puncak pada usia 55-60 tahun yang sekaligus

(48)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa usia dewasa madya diawali

pada usia 40 tahun dan akan berakhir pada usia 60 tahun yang juga merupakan

pertanda memasuki masa dewasa akhir.

2. Karakteristik Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock,1999) mengatakan bahwa usia madya

diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda. Adapun

karakteristik tersebut adalah:

1. Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti

Terdapat kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan

mental, fisik dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa

pentingnya masa muda

2. Usia madya merupakan masa transisi

Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa yaitu perubahan pada ciri

jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan

pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

3. Usia madya adalah masa stres

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah

terutama karena perubahan fisik dimana terjadi perubahan homeostatis fisik

dan psikologis. Pada wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause

dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria umumnya terjadi pada

usia 50-an saat masuk pensiun. disertai berbagai perubahan fisik. Stres

(49)

4. Usia madya adalah usia yang berbahaya

Terjadi kesulitan fisik dikarekan terlalu banyak bekerja, cemas yang

berlebihan, dan kurang perhatian terhadap kehidupan. Kondisi ini dapat

mengganggu hubungan suami-isteri dan bisa terjadi perceraian, gangguan

jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

5. Usia madya adalah usia canggung

Serba canggung karena bukan ―muda‖ lagi dan bukan juga ‖tua‖. Kelompok usia madya seolah berdiri diantara generasi pemberontak yang lebih muda

dan generasi senior.

6. Usia madya adalah masa yang berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut

Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung

untuk menghasilkan) vs stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan

dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya.

7. Usia madya merupakan masa evaluasi

Terutama terjadi evaluasi diri. Mengevaluasi hidupnya berdasarkan aspirasi

mereka dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan

teman.

8. Usia madya di evaluasi dengan standar ganda

a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani yaitu rambut menjadi

putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur

b. Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu tetpa merasa muda dan aktif

Gambar

Tabel 1. Bobot Nilai Pernyataan Skala Psychological Well-being
Table 3. Blue Print Aitem Skala Psychological Well-Being Setelah Uji Coba
Table 5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Tabel 6. Hasil Uji Normalitas Skala psychological well-being
+7

Referensi

Dokumen terkait

orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini.. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being.. Beberapa faktor yang mempengaruhi

IO Saya akui bahwa saya memang membutuhkan pengetahuan yang banyak untuk menata perasaan dalam diri saya agar dapat menjalani masa menopause dengan baik. I I Saat menopause

Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan antara mahasiswa yang berpacaran dan yang tidak

Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang

DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LANJUT USIA (LANSIA) YANG BEKERJA DI BIDANG

Hasil Analisis Korelasi Antar Dimensi Psychological

sejalan dengan pendapat Jatman (2000), wanita menopause yang berpendidikan tinggi dan bekerja di luar rumah, juga tidak mudah terkena depresi karena dapat melibatkan

psychological well-being yang dimiliki. Psychological well-being dapat lebih optimal baik pada subjek yang bekerja di bidang akademik ataupun non-akademik, bila