• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA NARAPIDANA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

FIFI YUDIANTO

071301069

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi mana pun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juli 2011

FIFI YUDIANTO

(3)

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

Fifi Yudianto dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Masuknya seorang pelanggar hukum ke dalam dinding penjara merupakan suatu perubahan hidup yang dramatis. Narapidana akan mengalami suatu moment kritis yang sulit untuk dijalani. Perubahan hidup dari seorang manusia yang hidup bebas menjadi manusia yang terkekang dan terbelenggu kebebasannya. Dalam diri narapidana sendiri, akan muncul rasa kesepian, kehilangan dan terjadinya konflik-konflik dalam batin. Keluarga, masyarakat, dan juga para petugas Lembaga Permasyarakatan memunculkan ketakutan tersendiri bagi narapidana. Secara umum, dampak kehidupan di penjara dapat merusak kondisi psikologis seseorang.

Masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan seorang narapidana dapat menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik dan psikologis yang akhirnya berdampak pada kondisi psychological well-being. Psychological well-being (PWB) merupakan kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan realisasi diri. Bagi narapidana, PWB merupakan kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Adapun dimensi dari PWB yaitu: penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika PWB pada narapidana yang berada di dalam LP. Melalui dimensi PWB yang dikemukakan oleh Ryff, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran PWB yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan snowball sampling. Penelitian dilakukan di wilayah Sibolga, tepatnya LP Kelas IIA Sibolga. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dengan pedoman umum dan mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, gambaran PWB pada saat memasuki LP berbeda dengan PWB pada kurun waktu ±1 tahun setelah menjalani hidup di LP. Salah seorang responden memiliki gambaran PWB yang baik, dimana ia mampu menjalani kehidupannya dengan lebih positif dibandingkan dengan kedua responden lainnya. Kedua responden lainnya mengalami masalah dalam dimensi pertumbuhan diri, tujuan hidup dan otonomi.

(4)

Dynamic of Psychological Well-Being in Inmate

Fifi Yudianto and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The enter of an offenders to prison can be seen as a dramatic life change. A critical and difficult moment will occur during imprisonment. Inmate will alter from a free man to fetter who experience lack of liberty. Family, community, even prison staff rise a fear in inmates. In general, life in prison could harm psychological condition in person.

Problems occured in their life may caused physical and psychological distress and lead to affect psychological well-being (PWB). PWB is a condition which indicate with excited feeling, life-satisfaction dan self-realization. The importance of PWB in inmates so they can run their life by develop their self potentials. Dimensions of PWB are self-acceptance, personal growth, purpose of life, environmental mastery, autonomy and positive relations with other.

This study aims to describe how PWB in inmates during their incarceration. By means of dimension of psychological well-being proposed by Ryff, researcher hope to obtain a comprehensive description of psychological well-being.

This study uses a qualitative method and by 3 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is accomplished based on snowball sampling. This study located in Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Meanwhile, the data collection method used is depth interview and open interview.

Result of this study shows that the dynamic of PWB when inmates first entered the prison is different after ±1 year during incarceration. One of the respondents have a good PWB, where he can running his life positively compared with two others. Two respondents having a problem in their personal growth, purpose of life and autonomy.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan berkat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul “Dinamika

Psychological Well-Being pada Narapidana” dengan baik. Segala syukur dan

pujian yang tertinggi penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat doa Bunda Maria dan perantaraan Roh Kudus, penulis dapat menjalani tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini dengan penuh pembelajaran dan suka cita.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan pembahasan dan penyajian, baik dengandisiplin ilmu yang diperoleh dari perkuliahan, menggunakan literatur serta bimbingan dan arahan dari Dosen Pembimbing.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mendapat banyak bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda (Alm) Yos Yudianto dan Ibunda Anisia Hui yang tidak henti-hentinya berdoa dan bersabar hingga skripsi ini rampung, saudara/saudari tersayang (Jimmy, Nancy, Maria) serta abang dan kakak ipar (Liansen, Krisna), yang selalu memberikan suntikan semangat yang tak pernah pudar pada penulis, kedua keponakan penulis (Adelaine dan Maureell) di rumah yang selalu menghibur dan menemani penulis, membantu penulis untuk tertawa ketika mengalami saat-saat yang berat.

2. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

(6)

Kakak dalam membimbing penulis tidak akan mampu penulis balas dengan apapun dan akan penulis kenang selalu. Makasih ya, Kak.

4. Staf pengajar Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu, wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis dan seluruh staf administrasi yang bersedia membantu penulis dalam pengurusan administrasi dan menyediakan segala keperluan selama perkuliahan, khususnya dalam penelitian ini.

5. Bapak Sugeng Sukarja, SH., selaku Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Terima kasih atas izin, fasilitas serta bimbingan dan saran yang diberikan selama melakukan penelitian.

6. Ketiga responden penulis, Bang Awan, Bang Na’O dan Bang Edo. Terima kasih karena abang bersedia membuka diri dan bercerita banyak hal kepada penulis serta atas dukungan dan wejangan-wejangan yang abang berikan kepada penulis. Semoga sekeluarnya abang dari LP, dapat menjadi pribadi baru yang lebih baik lagi, terutama bagi orangtua maupun masyarakat.

7. Semua staf petugas Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga dan narapidana yang berada di dalamnya. Terima kasih atas segala bantuan, inspirasi dan motivasi dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman terbaik penulis, (Debby, Dewi, Christy, Ayeth, Liana, Vivilia, Trisa, Idelia) yang tidak pernah berhenti memberikan persahabatan dan suntikan semangat kepada penulis. Love y’all. Terima kasih untuk semangat, motivasi, dukungan, serta doa yang kalian berikan. Semoga persahabatan ini terjalin selamanya.

9. Gang of Korea (Aurora, Esna, Masitah), yang telah menjadi sahabat terbaik

(7)

10. Teman-teman angkatan 2007, terima kasih atas segala perhatian, doa, dukungan dan motivasi dalam membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini serta kebersamaan kita dalam suka dan duka selama ini.

11. Teman-teman gereja penulis, Legio Maria Perawan Yang Murah Hati Katedral (Ci Agnes, Kak Lysna, Ci Silvi, Ci Donna, Ci Henny, Kak Anna, Bang Serdas, Ko Benny) yang tercinta dan tak kan terlupakan. Terima kasih atas dukungan doanya, serta selalu mendukung penulis untuk sama-sama memuji Tuhan dan untuk sama-sama menghilangkan penat kuliah dengan semua kebersamaan dan kegilaan yang akan selalu penulis kenang.

12. Terima kasih buat semua orang yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Bantuan yang telah diberikan sangat berharga bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi tercapainya penulisan yang lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Juli 2011 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ………. i

ABSTRAK ……… ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being ... 12

2. Dimensi Psychological Well-Being ... 13

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being ... 17

B. Narapidana 1. Pengertian Narapidana ... 18

(9)

3. Fakor-Faktor Penyebab Kejahatan ... 20

C. Gambaran Psychological Well-Being pada Narapidana ... 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ... 24

B. Responden Penelitian ... 25

C. Metode Pengumpulan Data ... 26

D. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 28

E. Prosedur Penelitian ... 29

F. Metode Analisis Data ... 32

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data I 1. Identitas Responden ... 34

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 35

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 46

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden I ... 51

B. Deskripsi Data II 1. Identitas Responden ... 72

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 72

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 79

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden II ... 83

C. Deskripsi Data III 1. Identitas Responden ... 98

2. Rangkuman Hasil Observasi ... 98

3. Rangkuman Hasil Wawancara ... 104

4. Gambaran Psychological Well-Being pada Responden I .... 110

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 138 B. SARAN

1. Saran Teoritis ... 140 2. Saran Praktis ... 140

(11)

DAFTAR TABEL

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Verbatim Halaman

Responden I Wawancara 1 ... 1

Responden I Wawancara 2 ... 10

Responden I Wawancara 3 ... 28

Responden II Wawancara 1 ... 42

Responden II Wawancara 2 ... 51

Responden II Wawancara 3 ... 59

Responden III Wawancara 1 ... 67

Responden III Wawancara 2 ... 81

Responden III Wawancara 3 ... 89

Lampiran 2 INFORMED CONSENT INFORMED CONSENT Responden 1 ... 100

INFORMED CONSENT Responden 2 ... 101

INFORMED CONSENT Responden 3 ... 102

Lampiran 3 DATA DIRI SUBJEK DATA DIRI Responden 1 ... 103

DATA DIRI Responden 2 ... 104

DATA DIRI Responden 3 ... 105

Lampiran 4 PEDOMAN WAWANCARA ... 106

(13)

Dinamika Psychological Well-Being Pada Narapidana

Fifi Yudianto dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Masuknya seorang pelanggar hukum ke dalam dinding penjara merupakan suatu perubahan hidup yang dramatis. Narapidana akan mengalami suatu moment kritis yang sulit untuk dijalani. Perubahan hidup dari seorang manusia yang hidup bebas menjadi manusia yang terkekang dan terbelenggu kebebasannya. Dalam diri narapidana sendiri, akan muncul rasa kesepian, kehilangan dan terjadinya konflik-konflik dalam batin. Keluarga, masyarakat, dan juga para petugas Lembaga Permasyarakatan memunculkan ketakutan tersendiri bagi narapidana. Secara umum, dampak kehidupan di penjara dapat merusak kondisi psikologis seseorang.

Masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan seorang narapidana dapat menimbulkan ketidaknyamanan secara fisik dan psikologis yang akhirnya berdampak pada kondisi psychological well-being. Psychological well-being (PWB) merupakan kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan hidup dan realisasi diri. Bagi narapidana, PWB merupakan kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Adapun dimensi dari PWB yaitu: penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika PWB pada narapidana yang berada di dalam LP. Melalui dimensi PWB yang dikemukakan oleh Ryff, peneliti berharap bisa mendapatkan gambaran PWB yang komprehensif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Prosedur pengambilan responden penelitian dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan snowball sampling. Penelitian dilakukan di wilayah Sibolga, tepatnya LP Kelas IIA Sibolga. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dengan pedoman umum dan mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, gambaran PWB pada saat memasuki LP berbeda dengan PWB pada kurun waktu ±1 tahun setelah menjalani hidup di LP. Salah seorang responden memiliki gambaran PWB yang baik, dimana ia mampu menjalani kehidupannya dengan lebih positif dibandingkan dengan kedua responden lainnya. Kedua responden lainnya mengalami masalah dalam dimensi pertumbuhan diri, tujuan hidup dan otonomi.

(14)

Dynamic of Psychological Well-Being in Inmate

Fifi Yudianto and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The enter of an offenders to prison can be seen as a dramatic life change. A critical and difficult moment will occur during imprisonment. Inmate will alter from a free man to fetter who experience lack of liberty. Family, community, even prison staff rise a fear in inmates. In general, life in prison could harm psychological condition in person.

Problems occured in their life may caused physical and psychological distress and lead to affect psychological well-being (PWB). PWB is a condition which indicate with excited feeling, life-satisfaction dan self-realization. The importance of PWB in inmates so they can run their life by develop their self potentials. Dimensions of PWB are self-acceptance, personal growth, purpose of life, environmental mastery, autonomy and positive relations with other.

This study aims to describe how PWB in inmates during their incarceration. By means of dimension of psychological well-being proposed by Ryff, researcher hope to obtain a comprehensive description of psychological well-being.

This study uses a qualitative method and by 3 subjects. The procedure of selecting subjects in this research is accomplished based on snowball sampling. This study located in Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Meanwhile, the data collection method used is depth interview and open interview.

Result of this study shows that the dynamic of PWB when inmates first entered the prison is different after ±1 year during incarceration. One of the respondents have a good PWB, where he can running his life positively compared with two others. Two respondents having a problem in their personal growth, purpose of life and autonomy.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga gejala sosial yang

bersifat universal. Pembunuhan, pencurian, penipuan, hingga kejahatan-kejahatan

lainnya telah dimulai dari dulu sampai sekarang. Dalam masyarakat praliterate

(sebelum mengenal huruf), tindakan kejahatan diartikan sebagai semua

perbuatan-perbuatan yang melawan kekuasaan-kekuasan supernatural atau yang melanggar

kekuasaan Tuhan. Sedangkan menurut hukum, kejahatan atau kriminalitas adalah

bentuk tingkah laku yang dilarang oleh Undang-Undang dengan sanksi-sanksi

hukuman tertentu (Kartono, 2009). Terhadap kejahatan, masyarakat berkehendak

untuk memberantas dan mencegah, sedangkan terhadap pelaku kejahatan,

masyarakat menumpahkan kebencian, sumpah serapah, cacian, serta

mengasingkannya dari pergaulan (Atmasasmita, 1997).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, seseorang yang sedang

menjalani hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya dinamakan terhukum

atau disebut narapidana. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sedangkan pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di

(16)

Haney (2001), menyatakan bahwa ketika seseorang pertama sekali

menginjakkan kaki ke dalam tembok penjara, ia dipaksa untuk mampu

menyesuaikan diri dengan rutinitas penjara yang kaku dan kasar, hilangnya

privasi, dan mengalami suatu kondisi kritis, tidak menyenangkan dan sulit. Dalam

“Social Readjustment Rating Scale” (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes

dan Rahe (1967), hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan

pengalaman hidup yang menimbulkan stress (dalam Sarafino, 2006). Harsono

(1995), kembali mempertegas bahwa narapidana adalah manusia yang tengah

menjalani krisis, berada di persimpangan jalan, mengalami dissosiasi dengan

masyarakat dan tengah merencanakan kehidupan baru setelah keluar dari

Lembaga Permasyarakatan (seterusnya akan disebut LP).

Dampak psikologis akibat dari pidana penjara jauh lebih berat

dibandingkan dengan pidana penjara itu sendiri, sehingga sebenarnya narapidana

tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis (Harsono, 1995).

Bartollas (dalam Bartol, 1994), menyatakan bahwa secara umum dampak

kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang.

Hal senada diungkapkan oleh Arson (nama samaran), salah seorang

narapidana yang menghuni Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, mengungkapkan:

”Kami selalu dipukul dan disiksa kalau keluar kamar trus disuruh masuk oleh petugas tapi terlambat masuk. Tidak sampe satu jam kami diluar. Mungkin hanya tiga menit saja kami terlambat. Biarpun begitu tetap dipukul.. kata –kata kotor juga terus menerus dikeluarkan petugas lapas.. Ini akan bikin mental kami tambah rusak.. bisa-bisa napi dan tahanan lebih jahat lagi dari yang sebelumnya,”

(17)

Zamble (dalam Bartol, 1994), menjelaskan mengenai sikap menarik diri

dari kehidupan sosial yang dialami para tahanan di dalam penjara. Para tahanan

mempunyai kecenderungan menghabiskan waktu di dalam sel masing-masing

atau dengan beberapa teman dekat saja. Permasalahan-permasalahan tersebut

disebabkan oleh ketidakbebasan atas aturan-aturan di penjara. Sedangkan Kartono

(2009), menyatakan bahwa kehidupan yang berjalan di dalam penjara memiliki

kebudayaan tersendiri. Di kalangan narapidana, terdapat norma-norma,

hukum-hukum, kontrol dan sanksi-sanksi sosial serta bahasa dengan logat dan kode

tersendiri. Selain itu, banyak terjadi konflik-konflik terbuka dan konflik-konflik

batiniah yang serius.

Penolakan juga datang dari pihak keluarga narapidana sendiri. Keluarga

yang ditandai dengan kurangnya saling ketergantungan emosional dan kesatuan

yang erat akan memandang kejahatan sebagai salah satu masalah yang

mendatangkan aib pada seseorang maupun keluarganya. Para keluarga mencoba

untuk menyembunyikan tingkah laku tercela dari anggota keluarganya agar dapat

menghindari “getah” pada seluruh anggota keluarga lainnya. Sedangkan keluarga

yang memiliki tingkat kesatuan yang tinggi dan kasih sayang yang kuat dalam

keluarga, aib lebih sering dilihat sebagai masalah keluarga daripada masalah

pribadi (Khairuddin, 1997).

Meskipun sudah 10 tahun mendekam di dalam Lembaga Permasyarakatan

Cipinang, Aznani (40), tetap dengan setia mengunjungi suaminya selama ini. Jarak yang

ditempuh dan biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Selain itu, pihak keluarga juga

(18)

“Sedih sekali rasanya, sejak putri saya berumur 3 tahun, hingga kini tak pernah berkumpul sebagaimana keluarga lainnya. Walau saya sering menjenguknya setiap pekan, tapi tak lengkap rasanya kalau dia tidak bisa berkumpul di rumah bersama kami. Apalagi LP Cipinang cukup jauh dari tempat tinggal saya, jadi lumayan banyak biaya yang harus dikeluarkan, Dulu kami punya empat unit angkutan sebagai penopang hidup, awalnya suami saya juga bekerja sebagai agen mobil. Setelah dia ditangkap saya kewalahan memenuhi kebutuhan hidup, jadi beberapa mobil terpaksa kami jual. Sekarang hanya tinggal satu unit. Untunglah beberapa famili di Aceh masih ada yang membantu biaya hidup kami sehari-hari” (Tabloid Kontras. Edisi Rabu, 29 September 2010)

Ndoen (2009), dalam penelitiannya tentang pengungkapan diri pada

mantan narapidana menyatakan bahwa pada dasarnya, mantan narapidana yang

ingin berinteraksi kembali ke dalam masyarakat memiliki rasa rendah diri yang

besar dan cenderung tertutup. Secara garis besar hal ini disebabkan karena adanya

penolakan dari masyarakat dalam kehidupan yang normal. Menurut Harsono

(1995), rasa tidak aman yang dialami oleh bekas narapidana dalam kehidupan di

masyarakat bukan berasal dari petugas LP, tetapi dari masyarakat sekelilingnya

yang selalu menaruh curiga kepada mantan narapidana.

Harsono (1995), juga menyatakan bahwa sebelum kembali ke masyarakat,

mantan narapidana terlebih dahulu dididik, dibina, serta dikembangkan

kehidupannya agar menjadi orang yang aktif dan produktif serta kreatif sehingga

mantan narapidana dapat membuktikan diri, berinteraksi kembali dengan

masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup nya sendiri maupun untuk

keluarganya dengan jalan tidak melanggar hukum lagi.

LP Kelas II A sebagai satu-satunya Lembaga Pemasyarakatan yang berada

di Kota Sibolga turut mengambil andil dalam proses memanusiakan kembali para

narapidana, agar nantinya dapat diterima kembali dalam masyarakat. Sistem yang

(19)

binaannya, serta menciptakan suasana LP seperti narapidana berada dalam

lingkungan sendiri (Harsono, 1995). Bila perilaku narapidana dapat ditangani

secara efektif, LP dapat berfungsi menjadi tempat kerja yang nyaman, lingkungan

yang aman dan bersih, serta dapat memberikan layanan terhadap komunitas

(Hutchinson, dkk, 2009).

Menurut penuturan Sukarja, SH., selaku Kepala Seksi Pembinaan dan

Pendidikan, terdapat enam blok kurungan yang dihuni oleh para narapidana,

dimana Blok A, Blok B, Blok D dan Blok E dihuni oleh narapidana pria, Blok C

dihuni oleh narapidana wanita dan Blok F dihuni oleh narapidana anak. Pada

masing-masing blok terdapat jumlah kamar kurungan/sel yang berbeda pula.

Setiap kamar kurungan dilengkapi dengan kamar mandi sehingga mempermudah

narapidana mengakses air bersih meskipun berada dalam kamar kurungan. Selain

itu, setiap lantai kamar kurungan dibatasi dan dilapisi dengan papan agar para

narapidana dapat terhindar dari berbagai penyakit, seperti masuk angin dan

penyakit beri-beri yang muncul akibat bersentuhan langsung dengan lantai. Pada

setiap atap kamar, dilengkapi dengan jerjak atau plafon.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan informan dalam LP,

ditemukan bahwa mayoritas penghuni LP adalah pria dewasa dengan rentang usia

20-45 tahun. Berkaitan dengan daya tampung dan jumlah keseluruhan narapidana

di LP ini, terjadi over kapasitas narapidana. Adapun daya tampung LP berjumlah

332 narapidana sedangkan jumlah keseluruhan berjumlah 440 narapidana. Jadi,

terdapat over kapasitas sebanyak 108 narapidana. Selain itu, tidak ada perilaku

(20)

Menyinggung standar hidup dalam LP, terdapat sarana dan prasarana yang

memadai, yaitu ruang kunjungan untuk para tamu yang datang membesuk, kantin

yang menyediakan keperluan narapidana, tersedianya air bersih, tempat ibadah

seperti Gereja dan Mesjid, dan pelayanan kesehatan seperti klinik. Di dalam LP

sendiri, dipenuhi dengan tanaman dan pepohonan rindang sebagai tempat untuk

berteduh, bahkan di beberapa titik terdapat tempat duduk untuk para narapidana

dalam menghabiskan waktu sehari-hari.

Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh LP sendiri mencakup kegiatan

olahraga dan keterampilan kerja. Kegiatan ini dilakukan pada waktu-waktu

tertentu dan ditujukan kepada semua narapidana. Menurut Sukarja, SH., tujuan

dari dilakukannya pembinaan ini yaitu memberikan kesempatan kepada

narapidana untuk bekerja dan mengembangkan diri, sehingga setelah keluar dari

LP, dapat hidup secara mandiri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Hal ini

sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Harsono (1995). Untuk

menunjang kegiatan ini, terdapat aula yang digunakan untuk pelatihan

ketrampilan dan lapangan terbuka untuk kegiatan olahraga.

Menurut Haryadi (2010), beberapa permasalahan yang umumnya terdapat

di LP tidak lepas dari minimnya sarana dan prasarana, penganiayaan oleh oknum

petugas dan over kapasitas. Hal ini menyebabkan proses pendidikan dan

pembinaan tidak maksimal. Disamping itu, standar hidup disebagian Lembaga

Pemasyarakatan belum layak, seperti satu ruang tahanan yang harus dihuni oleh

sejumlah besar narapidana, minimnya air bersih, pelayanan kesehatan yang

(21)

Kondisi dan perubahan hidup yang dialami oleh para narapidana dapat

membawa mereka ke dalam suatu perasaan ketidaknyamanan fisik dan psikis.

Ketidaknyamanan secara fisik maupun psikis selama menjalani hukuman di

Lembaga Pemasyarakatan akan berdampak pada psychological well-being

narapidana. Ryff & Singer (dalam Papalia, 2008), menjelaskan mengenai

kesehatan mental bahwa orang yang sehat secara mental bukan hanya berarti

ketiadaan sakit secara mental. Kesehatan mental yang positif mencakup

psychological well-being, yang bisa didapat dengan perasaan sehat dari diri

sendiri. Individu yang mencapai psychological well-being dapat meningkatkan

kebahagiaan, kesehatan mental yang positif, dan pertumbuhan diri.

Psychological well-being dapat menjadikan gambaran mengenai level

tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya

sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya

(Snyder and Lopez, 2002). Ryff dan Keyes (dalam Hoyer, Rybash, dan Roodin,

1995), menyatakan bahwa individu yang memiliki psychological well-being yang

positif adalah individu yang memiliki respons positif terhadap dimensi-dimensi

kesejahteraan psikologis yang berkesinambungan. Pada intinya, psychological

well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya ketidakpuasan

hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif, misalnya

realisasi potensi atau aktualisasi diri (Bradburn, 1995).

S (29 tahun), salah seorang narapidana kasus Narkoba asal Aceh yang

(22)

“Sudah lima kali Lebaran saya di sini, saat-saat seperti ini saya teringat orangtua dan kerabat saya di Aceh, khususnya ibu yang sekarang seorang diri… Saya di sini tidak ada keluarga, jadi pas lihat teman-teman di sini dikunjungi keluarga, ada rasa iri, tapi saya tetap bersyukur teman-teman di sini baik-baik, termasuk petugas lapas yang terus membimbing kita… Dulu pertama masuk saya buta soal agama, sekarang syukurlah. Pesan saya kepada kawan-kawan yang sudah atau belum mengenal narkoba, janganlah memakai atau mencoba narkoba apalagi kenal, karena kasihan orangtua kita. Penyesalan itu akan datang di kemudian hari, contohnya seperti saya ini…”

(BANGKAPOS.com, Edisi 23 September 2009)

Ryff (1995), mengemukakan enam komponen fungsi psychological

well-being mencakup, evaluasi positif seseorang mengenai diri dan masa lalu (self

acceptance), pertumbuhan dan perkembangan individu (personal growth),

kepercayaan mengenai tujuan dan makna hidup individu (purpose in life), kualitas

hubungan dengan individu lain (positive relations with other), kapasitas untuk

mengatur kehidupan dan diri seseorang secara efektif (enviromental mastery), dan

perasaan self-determination (autonomy). Keyes (dalam Snyder and Lopez, 2002),

menyatakan bahwa psychological well-being menghadirkan kriteria personal yang

lebih pribadi dalam mengevaluasi fungsi seseorang.

Rogers (dalam Schulz, 1991), menggambarkan kepribadian sehat yang

dimiliki individu dapat terlihat dari aktualisasi diri yang dilakukannya. Ia

berpendapat bahwa kepribadian yang sehat itu bukan merupakan suatu keadaan

dari ada, melainkan suatu proses atau suatu arah, bukan suatu tujuan. Aktualisasi

diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan kondisi yang selesai atau statis.

Tujuannya yakni orientasi ke masa depan, atau menarik individu ke depan yang

(23)

Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti melihat bahwa narapidana sebagai

individu yang melakukan tindak pidana sehingga harus menjalani pidana penjara

akan mengalami efek-efek psikis dan psikologis yang buruk selama berada di

penjara, seperti munculnya rasa rendah diri yang hebat, hilangnya identitas, isolasi

dan stigma dari masyarakat, serta kepercayaan diri yang menurun secara drastis.

Kondisi ini akan mempengaruhi narapidana tersebut dalam melihat dirinya

sendiri, orang lain dan masyarakat di sekitarnya, hingga akhirnya akan

mempengaruhi psychological being yang dimilikinya. Psychological

well-being yang kurang baik akan memunculkan perasaan ketidakmampuan dalam diri

narapidana sehingga akan menghambat narapidana dalam memaksimalkan potensi

yang dimiliki. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana dinamika

psychological well-being yang dimiliki oleh narapidana.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, masalah yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah: Bagaimana dinamika psychological well-being pada

narapidana dengan menggunakan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Ryff

(1995).

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan dinamika

(24)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat, antara lain:

a. Manfaat teoritis

a. 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin

ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, terutama yang berkaitan

mengenai psychological well-being.

a. 2. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan

bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai

psychological well-being baik dalam bidang sosial, pendidikan maupun

perkembangan.

b. Manfaat Praktis

b. 1. Bagi para petugas LP, agar dapat lebih memperhatikan kondisi fisik

serta psikologis para narapidana yang sedang menjalani masa tahanan dan

memfasilitasi terciptanya hubungan yang lebih harmonis antara narapidana

dan petugas LP.

c. 2. Bagi narapidana sendiri, agar dapat mengupayakan serta meningkatkan

potensi yang ada dalam dirinya sehingga dapat memandang dirinya sendiri

secara lebih baik dan positif. Selain itu, diharapkan agar narapidana yang

sedang menjalaani masa tahanan dapat menggali potensi dirinya walaupun

(25)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Landasan Teori

Bab ini memuat teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian, yaitu:

teori tentang psychological well-being termasuk di dalamnya definisi

psychological well-being, dimensi psychological well-being dan

faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Disertai dengan

teori tentang narapidana.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini membahas metode yang digunakan dalam penelitian yaitu

metode penelitian kualitatif, termasuk di dalamnya responden penelitian,

metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, prosedur

penelitian dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan tentang deskripsi identitas diri, data hasil observasi

dan wawancara serta analisa data masing-masing responden.

Bab V Kesimpulan dan Saran

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well-Being

A. 1. Defenisi Psychological Well-Being

Ryan dan Deci (2001), mengemukakan dua perspektif mengenai

well-being. Pendekatan hedonic, yang mendefenisikan well-being sebagai kesenangan

atau kebahagiaan dan pendekatan eudaimonic, yang fokus pada realisasi diri,

ekspresi personal dan tingkat dimana individu mampu mengaktualisasikan

kemampuannya. Waterman (1993), menekankan bahwa eudaimonic terdiri dari

pemenuhan atau menyadari siapa dirinya sebenarnya. Beberapa literature dari para

ahli merujuk pada pendefinisian positive psychological functioning. Diantaranya

adalah teori Maslow (1968) tentang konsep aktualisasi diri (self-actualization),

pandangan Roger (1961) tentang individu yang berfungsi secara penuh (fully

functioning system), formulasi teori Jung (1933) tentang individuasi

(individuation), dan konsep kedewasaan (maturity) oleh Allport (1961).

Lawton (dalam Keyes, 2003), mendefinisikan psychological well-being

sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang

ditekankan pada hirarki tujuan individu. Menurut Ryff (1989), psychological

well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana

individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri,

mampu membina hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai

(27)

keinginannya, memiliki tujuan dalam hidup, serta terus mengembangkan

pribadinya. Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan

keseimbangan antara afek positif dan afek negative, namun juga melibatkan

persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes,

Shmotkin dan Ryff, 2002).

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa psychological well-being

adalah kondisi individu yang ditandai dengan perasaan bahagia, adanya kepuasan

hidup dan realisasi diri. Kondisi ini sendiri dipengaruhi oleh penerimaan diri,

pertumbuhan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan

positif dengan orang lain.

A. 2. Dimensi Psychological Well-Being

Konsep psychological well-being memiliki enam dimensi pendukung.

MAsing-masing dimensi dalam psychological well-being menjelaskan

tantangan-tantangan yang berbeda yang dihadapi individu untuk dapat berfungsi secara

penuh dan positif (Ryff, 1989a; Ryff & Singer, 2006; Ryff, dalam Keyes & Haidt,

2003). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

a. Penerimaan Diri (Self Acceptance)

Dimensi ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan

mental, aktualisasi diri, berfungsi optimal dan kematangan. Penerimaan diri

(28)

dalam aspek diri individu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang

baik ditandai dengan sikap yang positif terhadap diri sendiri, mengetahui dan

menerima segala aspek yang ada pada dirinya, baik kelebihan maupun

kekurangan, serta memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan di masa lalu.

Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik

ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, kecewa terhadap apa

yang terjadi di masa lalu, terganggu dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki dan

memiliki keinginan tidak menjadi dirinya.

b. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi ini didefenisikan sebagai kemampuan potensial yang dimiliki

seseorang, perkembangan diri, serta keterbukaan terhadap

pengalaman-pengalaman baru. Individu yang baik dalam dimensi ini memiliki perasaan untuk

terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang terus tumbuh,

menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam

diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, individu yang kurang baik

dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang stagnan,

kurang peningkatan dalam perilaku dari waktu ke waktu, merasa bosan dengan

hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang baru.

c. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pentingnya memiliki tujuan, pentingnya

keterarahan dalam hidup dan percaya bahwa hidup memiliki tujuan dan makna.

(29)

merasa bahwa baik kehidupan di masa lalu dan sekarang memiliki makna tertentu.

Individu tersebut juga memegang teguh kepercayaan tertentu yang dapat membuat

hidupnya lebih berarti. Sebaliknya, individu yang kurang memaknai hidup, tidak

memiliki tujuan dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan

kurang memiliki target dan cita-cita, menandakan bahwa individu tersebut kurang

memiliki dimensi tujuan hidup yang baik.

d. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Dimensi ini ditandai dengan kemampuan individu untuk memilih atau

menciptakan lingkungan yang cocok atau untuk mengatur lingkungan yang

kompleks. Individu yang baik dalam dimensi ini ditandai dengan kemampuannya

untuk memilih dan menciptakan sebuah lingkungan yang sesuai dengan

kebutuhan dan nilai-nilai pibadinya dan memanfaatkan secara maksimal

sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga mampu mengembangkan

dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu

yang kurang dapat menguasai lingkungannya akan mengalami kesulitan mengatur

kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan

apa yang ada diluar dirinya serta tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan.

e. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini dideskripsikan dengan individu yang mampu menampilkan

sikap kemandirian, memiliki standard internal dan menolak tekanan sosial yang

tidak sesuai. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan

(30)

bertingkah laku dengan cara tertentu, mampu mengatur tingkah laku diri sendiri

dan mengevaluasi diri sendiri dengan standard pribadi. Sebaliknya, individu yang

terlalu memikirkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada orang

lain untuk mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform

terhadap tekanan sosial, menandakan individu tersebut belum memiliki tingkat

otonomi yang baik.

f. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan,

saling percaya dengan orang lain serta memungkinkan untuk timbulnya empati

dan intimasi. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang

lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling

percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain,

dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman serta memiliki konsep

dalam memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sebaliknya,

individu yang hanya memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, susah

untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap

orang lain berarti memiliki tingkatan yang kurang baik dalam dimensi ini.

(31)

A. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada diri

seseorang, yaitu:

a) Usia

Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan

bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological

well being. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri,

hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin

dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan

penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam

Snyder & Lopez, 2002). b) Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Synder & Lopez, 2002) menemukan

bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

psychological well being yang dimiliki individu Individu yang memiliki

tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki psychological well being

yang lebih baik juga. c) Jenis Kelamin

Wanita menunjukkan psychological well being yang lebih positif jika

dibandingkan dengan pria. Ryff (1989) menunjukkan bahwa pada dimensi

relasi positif, wanita menunjukkan skor yang lebih tinggi dibandingkan

pria. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak

(32)

perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta

sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman, 2001). Inilah

yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi

dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan

yang baik dengan orang lain.

d) Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri,

tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu

yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung

membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial

ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff, dalam Snyder & Lopez,

2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan

mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological

well-being yang lebih tinggi.

B. Narapidana

B. 1. Pengertian Narapidana

Menurut KUHP pasal 10 (dalam KUHAP dan KUHP, 2002) narapidana

adalah predikat lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan pidana

hilang kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan). Sedangkan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia online, narapidana adalah orang hukuman atau

terhukum, atau seseorang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana

(33)

Narapidana adalah orang yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu

budaya, perilakunya dianggap tidak dapat ditoleransi dan harus diperbaiki dengan

penjatuhan sanksi pengambilan kemerdekaannya sebagai penegakkan

norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk

melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma

tersebut.

B. 2. Dampak Psikologis Pidana Penjara

Zamble, Porporino, Bartollas (dalam Bartol, 1994), menemukan bahwa

secara umum dampak kehidupan di penjara merusak kondisi psikologis seseorang.

Studi ini mendeskripsikan gejala-gejala psikologis yang diakibatkan oleh

pemenjaraan terhadap seseorang. Gejala-gejala psikologis yang muncul meliputi

depresi berat, kecemasan, dan sikap menarik diri dari kehidupan sosialnya.

Selanjutnya, Zamble (dalam Bartol, 1994), juga menjelaskan mengenai sikap

menarik diri dari kehidupan sosial yang dialami para tahanan di dalam penjara.

Para tahanan mempunyai kecenderungan menghabiskan waktu di dalam sel

masing-masing atau dengan beberapa teman dekat saja.

Permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan oleh ketidakbebasan atas aturan-aturan di

penjara.

Menurut Kartono (2009), isolasi yang lama karena disekap dalam penjara

akan menyebabkan narapidana tidak memiliki partisipasi sosial, terkucilkan dan

lekat dengan stigma-stigma negatif yang berkembang dalam masyarakat. Selain

(34)

dengan bertambahnya waktu pemenjaraan, munculnya

kecenderungan-kecenderungan autistik (menutup diri secara total) dan usaha melarikan diri dari

realitas yang bersifat traumatik. Para narapidana juga akan mengembangkan

reaksi-reaksi emosional yang stereotypis, yaitu cepat curiga, mudah marah, cepat

membenci dan pendendam.

B. 3.Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan

Bonger (1977), menyimpulkan adanya 6 faktor lingkungan sebagai

penyebab kejahatan, yaitu :

a. Terlantarnya anak-anak

Salah satu penyebab timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak

di bawah umur ialah karena mereka di telantarkan oleh orang tuanya,

orang tua bercerai atau orang tua tidak mampu menghidupi anak, hal ini

dapat membuat anak-anak berusaha mempertahankan hidup dengan segala

usahanya. Mulai dari hidup di jalan, mencuri, bahkan mereka harus

mencari makan di antara tumpukan sampah. b. Kesengsaraan dan kemiskinan

Tingginya mobilitas sosial semakin memperjelas jurang antara si miskin

dan si kaya, akibatnya timbul kesengsaraan dan kemiskinan yang

mendorong mereka untuk melakukan pencurian dan perampokan hanya

(35)

c. Rasa ingin memiliki

Seiring dengan perkembangan zaman dan meningkatnya teknologi dalam

berbagai bidang membuat pekerjaan manusia menjadi semakin ringan dan

semakin efektif, manusia semakin berlomba-lomba untuk meningkatkan

dan memenuhi kesejahteraan hidupnya. Sementara mereka yang tidak

mampu memenuhi dan meningkatkan kesejahteraannya, terkadang timbul

rasa ingin memiliki dan mereka mulai melakukan segala usahanya untuk

mencapai apa yang mereka inginkan, termasuk dengan melakukan

kejahatan.

d. Demoralisasi seksual

Munculnya rumah bordir dan maraknya perzinahan dalam kota-kota besar,

mengakibatkan kemerosotan dalam segi agama. Seiring dengan hal ini

sering terjadi penyimpangan-penyimpangan seksual dan mengakibatkan

munculnya perselingkuhan dan perkosaan.

e. Alkoholisme

Sudah hampir dipastikan efek dari alkohol dapat meningkatkan emosi dan

hilangnya kesadaran sementara waktu, sehingga tak jarang jika perbuatan

perkelahian, pencurian, sampai perbuatan yang paling fatal sekalipun,

yaitu pembunuhan dipicu dari minuman beralkohol.

f. Perang

Pada masa perang dunia kedua, banyak masyarakat yag kehilangan harta

benda dan sanak saudara mereka. Mereka tidak lagi memiliki tempat

(36)

penjarahan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung

jawab, tak dapat dihindari.

Adapun Sutherland (dalam Bonger, 1977), menerangkan bahwa terdapat 2

macam pengaruh penyebab kejahatan :

a. Pengaruh faktor yang berasal dari dalam diri individu dan merupakan

pembawaan yang ada secara alamiah pada dirinya atau juga sebagai adanya

tahapan perkembangan jiwa (pengaruh historis atau genetika), yang disebut

sebagai faktor internal.

b. Pengaruh faktor yang berasal dari luar diri individu baik itu yang berupa

lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, yang merupakan reaksi atas

situasi seketika yang dipandang dari mata individu tersebut, yang disebut

sebagai faktor eksternal.

C. Gambaran Psychological Well-Being pada Narapidana

Masuknya narapidana ke dalam sel penjara menjadi suatu perubahan hidup yang akan berdampak pada kondisi fisik dan psikologis narapidana. Sebagai pengalaman hidup yang penuh tekanan, narapidana mengalami efek-efek psikis dan psikologis yang buruk selama berada di lembaga permasyarakatan, seperti rasa

rendah diri yang besar, kegagalan, stress, hilangnya identitas diri hingga

mengalami depresi. Selain itu, sistem pemidanan yang buruk juga turut

(37)

Penolakan yang muncul dari keluarga dan masyarakat juga memperburuk kondisi

psikologis narapidana. Hal ini akan memunculkan isolasi dan keengganan untuk

berpartisipasi dalam lingkungan sosial nantinya.

Perbedaan antara kehidupan di luar lembaga permasyarakatan dan

kehidupan di dalam lembaga permasyarakatan akan membawa sejumlah

perubahan kehidupan sehingga tidak mampu memenuhi aspek-aspek

psychological well-being. Bagi narapidana, psychological well-being merupakan

kondisi yang penting agar bisa tetap menjalani kehidupannya dengan

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki. Psychological well-being

ditunjukkan dengan kriteria penerimaan diri, pertumbuhan diri, tujuan hidup,

penguasaan lingkungan, otonomi dan hubungan positif dengan orang lain

Kaitan antara psychological well-being dengan masalah psikologis yang

dialami narapidana yaitu pada efek negatif psikologis yang dialami individu. Efek

negative akan menghambat perkembangan dirinya dan dapat mengakibatkan

timbulnya ketidakberdayaan diri. Hal ini akan mengakibatkan individu hanya

mampu menerima keadaan apa adanya tanpa ada usaha dari dirinya untuk

membuat hidupnya menjadi lebih baik. Adanya psychological well-being yang

baik dalam diri individu, terutama narapidana yang sedang menjalani masa

tahanan, akan membuat individu mampu bertahan dalam menghadapi kondisi

(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian mengenai dinamika psychological well-being pada narapidana

ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode penelitian merupakan unsur yang

penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam

penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat

dipertanggungjawabkan (Hadi, 2003). Metode penelitian kualitatif ini diharapkan

dapat memberikan gambaran mengenai psychological well-being para narapidana

yang berada di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga.

A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali dan

mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam mengenai psychological

well-being narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini disebabkan

karena sebagian perilaku manusia, yang penghayatannya melibatkan berbagai

pengalaman pribadi, sulit dikuantifikasikan dan direduksi dalam bentuk elemen

atau angka, apalagi dituangkan dalam satuan numerik, dan akan lebih ”etis” dan

kontekstual bila diteliti dalam setting ilmiah. Artinya, tidak cukup hanya mencari

”what” dan ”how much”, tetapi perlu juga memahami ”why” dan ”how” dalam

konteksnya (Poerwandari, 2007).

Metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana

(39)

perilaku seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman tentang

kompleksitas perilaku dan penghayatan manusia sebagai mahluk yang memiliki

pemahaman tentang hidupnya (Poerwandari, 2007).

B. Responden Penelitian

B. 1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini berdasarkan ciri-ciri tertentu,

yaitu narapidana yang masih berada dalam masa pidana di lembaga

permasyarakatan. Penelitian ini menggunakan 3 orang responden dengan ciri-ciri

sampel sebagai berikut:

1. Berstatus narapidana.

2. Responden telah menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan

minimal 1,5 tahun. Menurut Zambel (dalam Bartol, 1994), pada rentang

waktu 1,5 tahun atau lebih, narapidana yang tinggal di penjara akan

menunjukkan reaksi kehilangan motivasi untuk berubah.

3. Responden berdomidili di Kota Sibolga.

4. Bersedia menjadi responden penelitian B. 2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di lembaga permasyarakatan yang terletak di

Kota Sibolga, tepatnya di Lembaga Permasyarakatan Klas IIA Sibolga. Hal ini

berhubungan dengan masalah praktis yaitu bahwa peneliti memiliki akses yang

(40)

Disamping belum adanya penelitian sejenis yang dilakukan dalam lingkup

lembaga permasyarakatan di daerah tersebut.

B. 3.Teknik Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan responden atau sampel dalam penelitian ini

menggunakan snowball sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara berantai

dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi

sebelumnya (Poerwandari, 2007).

C. Metode Pengumpulan Data

Rancangan penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes serta terbuka

terhadap kemungkinan bagi suatu perubahan serta penyesuaian-penyesuaian

ketika suatu proses berjalan. Meskipun tetap menjadi pedoman awal untuk masuk

ke lapangan, rancangan penelitian yang disusun tidak membelenggu peneliti untuk

tunduk terhadap pedoman awal manakala kenyataan di lapangan menunjukkan

kecenderungan yang berbeda dengan yang dipikirkan sebelumnya (Bungin, 2003).

Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode

pengumpulan data yang digunakan juga beragam, disesuaikan dengan masalah

tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode dasar yang umumnya

banyak dipakai dan dilibatkan dalam penelitian kualitatif adalah observasi dan

wawancara (Poerwandari, 2007).

Dalam penelitian ini pengumpulan data akan dilakukan dengan

menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum dan wawancara

mendalam sebagai metode utama. Selain itu juga akan menggunakan metode

(41)

C. 1.Wawancara

Menurut Bungin (2001), metode wawancara adalah proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka

antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan

atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Sedangkan Banister

(dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa wawancara merupakan

percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh

pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan

dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu

tersebut, suatu hal yang dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam

Poerwandari, 2007).

Ada tiga jenis wawancara yang dikemukakan oleh Patton (Poerwandari,

2007), diantaranya adalah wawancara informal, wawancara dengan pedoman

umum dan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka. Dalam penelitian

ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara dengan pedoman umum

dan wawancara mendalam.

Pada wawancara dengan pedoman umum, peneliti menetapkan pedoman

umum wawancara sebelum proses wawancara dilakukan, namun tidak menutup

kemungkinan akan beralih pada wawancara informal yang memunculkan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat spontan. Sedangkan dalam wawancara

mendalam, peneliti dapat mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi

(42)

memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life”

seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak

diteliti.

D. Alat Bantu Pengumpulan Data

Untuk mempermudah peneliti dalam mencatat hasil wawancara maka

peneliti menggunakan alat bantu berupa alat perekam (tape recorder) dan

pedoman wawancara. Penggunaan tape recorder diharapkan tidak ada informasi

yang terlewatkan ketika dilakukan wawancara oleh peneliti. Tape recorder

tentunya dapat digunakan dengan izin dan sepengetahuan responden.

Selain penggunaan tape recorder, peneliti juga menggunakan pedoman

wawancara sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban responden.

Pedoman tersebut digunakan untuk mempermudah dalam menganalisa data yang

diperoleh. Pedoman wawancara berkaitan dengan masalah yang ingin

diungkapkan.

Peneliti juga melakukan observasi terhadap reaksi responden, lingkungan

tempat wawancara berlangsung, tampilan responden dan hal-hal yang dapat

memperkaya konteks wawancara. Informasi yang diperoleh hanya digunakan

sebagai alat perantara antara apa yang dilihat, didengar dan dirasakan dengan

(43)

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan dalam

penelitian, diantaranya adalah:

a. Memilih lapangan peneltian. Lapangan penelitian dipilih berdasarkan tujuan

penelitian. Pilihan jatuh pada Lembaga Permasyarakatan Klas II A Sibolga

setelah melakukan beberapa pertimbangan.

b. Melakukan proses perizinan untuk melakukan penelitian di Lembaga

Permasyarakatan Klas II A Sibolga. Peneliti dilengkapi dengan surat izin

untuk melakukan penelitian dari pihak Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

c. Menggumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan psychological

well-being dan narapidana. Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan

teori-teori yang berhubungan dengan psychological well-being kemudian

membahas kaitan psychological well-being dengan narapidana yang berada

di lembaga permasyarakatan.

d. Membuat susunan pedoman wawancara. Pedoman ini disusun berdasarkan

kerangka teori psychological well-being yang digunakan.

e. Persiapan untuk pengumpulan data. Peneliti menjelaskan maksud dan

kepentingan peneliti kepada para pihak yang berwenang. Setelah mencapai

kesepakatan bersama, peneliti mengajukan beberapa kriteria responden yang

akan dijadikan responden penelitian. Kemudian memberikan 1 nama

(44)

diperhitungkan kemudian. Selanjutnya, peneliti menanyakan kesediaan

calon untuk menjadi responden penelitian.

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara. Setelah

memperoleh kesediaan dari responden, peneliti meminta kesediaan

responden untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah

membangun rapport awal, peneliti dan responden mengatur dan

menyepakati waktu untuk melakukan wawancara berikutnya.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah memperoleh responden yang memenuhi karakteristik responden

penelitian, peneliti kemudian meminta kesediaan responden penelitian untuk

diwawancarai melalui surat pernyataan yang telah disiapkan sekaligus

membangun rapport antara peneliti dan responden. Peneliti selanjutnya

menentukan lokasi wawancara dilakukan. Percakapan yang berlangsung akan

direkam dengan tape recorder mulai dari awal sampai akhir percakapan.

Keseluruhan wawancara dilakukan di Lembaga Permasyarakatan Klas II A

Sibolga, tepatnya di ruangan kantor KaSi BinaDik (Kepala Seksi Pembinaan dan

Pendidikan).

Tabel 1. Waktu Wawancara

Responden

I

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Sabtu, 12 Februari 2011 pukul 11.00-12.20 WIB

II Hari Senin, 28 Februari 2011 pukul 10.45-12.00 WIB

(45)

Responden

II

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Selasa, 01 Maret 2011 pukul 10.00-12.00 WIB

II Hari Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 10.00-11.30 WIB

III Hari Jumat, 08 April 2011 pukul 10.00-11.15 WIB

Responden

III

Wawancara ke: Hari/ Tanggal Waktu

I Hari Senin, 28 Maret 2011 pukul 10.00-11.30 WIB

II Hari Jumat, 01 April 2011 pukul 11.00-12.15 WIB

III Hari Jumat, 08 Maret 2011 pukul 11.00-12.30 WIB

3. Tahap Pencatatan Data

Poerwandari (2001) menyatakan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Peneliti kemudian membuat verbatim dari hasil wawancara yang dilakukan secara akurat.

Langkah selanjutnya adalah membuat koding sesuai dengan teori yang

digunakan. Hasil koding akan membantu peneliti dalam menganalisa dan

menginterpretasi data yang diperoleh dari masing-masing responden. Setelah

koding selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis dan membahas data

(46)

F. Metode Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia

dari berbagai sumber seperti wawancara, observasi dan sebagainya. Menurut

Poerwandari (2007), terdapat beberapa tahapan dalam menganalisa data kualitatif,

yaitu:

1. Organisasi Data

Pengolahan dan analisis sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan

data. Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, peneliti

berkewjiban untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan

selengkap mungkin. Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya

adalah data mentah (catatan lapangan, kaset hasil rekaman), data yang sudah

diproses sebagian (transkripsi wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang

sudah dibubuhi kode-kode dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai

pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Koding dan Analisis

Langkah penting pertama sebelum analisis dilakukan adalah

membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan

untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasikan data secara lengkap dan

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang

dipelajari. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data

yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang

(47)

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Begitu tema-tema dan pola-pola

muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus

menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang

memberikan gambaran atau fenomena berbeda dari pola-pola yang muncul

tersebut.

4. Strategi Analisis

Analisa terhadap data pengamatan sangat dipengaruhi oleh kejelasan

mengenai apa yang ingin diungkapkan peneliti melalui pengamatan yang

dilakukan. Patton (dalam Poerwandari, 2007), menjelaskan bahwa proses analisis

dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata

responden sendiri maupun konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk

menjelaskan fenomena yang dianalisis. Analisa yang dilakukan adalah dengan

cara menganalisa setiap responden terlebih dahulu yang kemudian diikuti dengan

analisa keseluruhan responden.

5. Tahapan Interpretasi

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2007), interpretasi mengacu pada

upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti

memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data

(48)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, akan di uraikan analisa data dan pembahasan hasil penelitian

mengenai psychological well-being pada narapidana. Bab ini akan dibagi menjadi

dua bagian. Pada bagian pertama, akan diuraikan mengenai hasil observasi

masing-masing responden, rangkuman hasil wawancara dan analisa data.

Sedangkan pada bagian kedua, akan diuraikan interpretasi mengenai hasil

penelitian yang diperoleh.

Kutipan dalam setiap bagian analisa akan dilengkapi dengan kode-kode

tertentu untuk mempermudah diperolehnya pemahaman yang jelas dan utuh.

Contoh kode yang digunakan adalah: (W1.R1/b.100-105/h.6). Maksud kode ini

adalah kutipan dari Wawancara I, Responden I, baris 100 sampai 105, verbatim

halaman 5.

A. Deskripsi Data I

1. Identitas Responden

Nama : Awan (bukan nama sebenarnya)

Usia : 29 tahun

Suku : Batak

(49)

Pendidikan Terakhir : D2

Tanggal Masuk LP : 19 November 2008

Lama Masa Hukuman : 12 tahun

Kasus : Pelecehan Seksual Anak di Bawah Umur

II. Rangkuman Hasil Observasi

Untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai keadaan lingkungan

Lembaga Permasyarakatan, peneliti akan menggambarkan terlebih dahulu

bagaimana kondisi di sekeliling Lembaga Permasyarakatan.

II. a. Observasi Lingkungan Lembaga Permasyarakatan Kelas II A

Sibolga

Sebelum memasuki Lembaga Permasyarakatan (selanjutnya akan disebut

LP), peneliti harus melewati beberapa prosedur yang diwajbkan oleh LP. Pertama

sekali memasuki daerah LP, peneliti harus berjalan sekitar 700 meter untuk

mendapatkan pintu masuk LP. Walaupun jalan setapak yang dilalui sedikit

berbatu dan menanjak, terdapat banyak pepohonan hijau dan sebuah sungai kecil

yang mengalir di sebelah kanan jalan. Sedangkan di sebelah kiri, dipenuhi dengan

rerumputan dan tanaman bunga dalam areal yang luas. Di sepanjang jalan, peneliti

sering bertemu dengan orang-orang yang hendak membesuk kerabat di dalam

lembaga. Selain itu, peneliti juga sering berjumpa dengan para narapidana yang

(50)

Pintu masuk LP berupa pintu besi yang kokoh sepanjang 4 meter dan

menjulang tinggi serta berwarna coklat tua. Selain itu, pintu masuk ini dilapisi

dengan jeruji besi. Di pertengahan pintu masuk tersebut, terdapat pintu kecil

setinggi 1 meter sebagai jalur keluar-masuk pengunjung. Di pintu ini, terdapat

suatu jendela kecil berbentuk persegi yang akan dibuka tutup oleh petugas

penjaga untuk mananyakan kepentingan pengunjung. Di depan pintu ini, tersedia

tempat duduk untuk para pengunjung yang hendak membesuk narapidana di

dalamnya.

Setelah sampai di depan pintu masuk, jendela kecil tersebut harus diketuk

terlebih dahulu. Sejurus kemudian, seorang penjaga pintu, yang juga merupakan

seorang narapidana, akan membuka menanyakan keperluan dan tujuan peneliti.

Setelah itu, peneliti dipersilahkan untuk menunggu dan jendela ditutup kembali.

Beberapa waktu kemudian, pintu akan dibuka dan peneliti dipersilahkan masuk.

Setelah melewati pintu, petugas penjaga yang berpakaian lengkap akan

menanyakan kembali mengenai kepentingan peneliti berkunjung. Setelah itu,

peneliti diperiksa terlebih dahulu. Seorang petugas yang menjaga pintu masuk

akan memeriksa barang bawaan peneliti. Terkadang, petugas wanita kemudian

meraba pakaian peneliti. Petugas penjaga berbeda dengan penjaga pintu. Petugas

penjaga adalah oknum resmi yang ditunjuk oleh pihak LP untuk menjaga

keamanan. Oleh karena itu, petugas penjaga ini dilengkapi dengan pakaian resmi

hingga senjata. Sedangkan penjaga pintu merupakan narapidana yang sedang

menjalani masa tahanan dan bekerja untuk membantu petugas penjaga. Setelah

(51)

menunggu sebentar sementara petugas lainnya akan memanggil responden

penelitian peneliti.

II. b. Observasi Lingkungan Ruangan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan (KaSi BinaDik)

Wawancara dilakukan di ruangan kantor KaSi BinaDik. Ruangan ini

terletak di sebelah kiri pintu masuk. Untuk mencapai ruangan ini, peneliti harus

melewati dua ruangan lainnya terlebih dahulu. Ruangan tersebut berukuran 4m x

5m dengan pintu coklat berplitur, dimana engsel pintu tersebut telah rusak

sehingga pintu tidak dapat tertutup dengan rapat. Tepat berada di atas pintu,

tergantung papan bertuliskan Ruangan KaSi BinaDik berwarna coklat tua.

Ruangan tersebut berdinding putih dan pada dinding ruangan sebelah kiri

tepatnya di sebelah pintu masuk, terdapat papan yang menyerupai papan tulis

berukuran 1m x 2m yang memuat daftar narapidana khusus LP Kelas II A

Sibolga. Tepat di sudut sebelah kiri papan, terdapat satu lemari besi setinggi 2m

yang menghadap ke pintu masuk. Lemari tersebut memiliki 4 bagian dan bagian

atas lemari menutupi bagian sudut kiri bawah papan tersebut. Tepat di atas lemari,

terdapat kertas-kertas dan beberapa map yang tersusun kurang rapi, hingga ada

map yang hampir jatuh. Pada dinding atas lemari, tergantung sebuah foto

berbingkai yang memuat gambar pohon cemara.

Di tengah ruangan tersebut, terdapat 4 kursi yang saling berhadapan dan

dipisahkan dengan 1 meja kecil dilapisi kaca dengan kulit kayu yang mulai

Gambar

Tabel 1. Waktu Wawancara
Gambaran Psychological Well-BeingPenerimaan Diri  (Self Acceptance)
Tabel. Dimensi Psychological Well-Being Antar Responden

Referensi

Dokumen terkait

berbeda-beda yang disebut sebagai psychological well-being.  Psychological well-being pada karyawan kontrak di perusahaan “X” dapat. dilihat melalui enam dimensi, yaitu self

4.3 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain

Dimensi-dimensi yang ada pada konstruk psychological well-being, yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan

Dalam psychological well being Ryff (1989) menyebutkan ada enam dimensi yang membangun psychological well being yaitu 1) dimensi penerimaan diri ( self Acceptance), yang mengacu

Hasil Analisis Korelasi Antar Dimensi Psychological

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua partisipan penelitian ini sebagai aktivis dakwah kampus memiliki psychological well-being yang positif terutama pada dimensi

Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai pencapaian penuh dari

Adanya pengaruh dukungan sosial terhadap psychological well-being pada pengangguran terdidik ini berhubungan pula dengan salah satu dimensi psychological well-being, yaitu positive