i
PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA IBU YANG BERPERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
Gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
Wike asturina dany 08810120
FAKULTAS PSIKOLOGI
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul Psychological Well Being Pada Ibu Yang Berperan Sebagai Orang Tua Tunggal, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan, petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang.
2. Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku pembimbing I dan Yuni Nurhamida,
S.Psi,M.Si selaku pembimbing II atas segala bimbingan, kritikan, masukan,
kesabaran dalam meluangkan waktu selama ini.
3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UMM, terima kasih atas ketulusan dalam
memberikan ilmu kepada penulis. Khususnya kepada bunda
Hudaniah,S.Psi,M.Si selaku dosen wali yang mampu menjadi figur orang tua
bagi penulis selama menempuh dunia perkuliahan.
4. Seluruh keluarga subjek penelitian. Bu SR, Bu LL, Tante TT dan Mbak FT
atas segala waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis.
5. Kepada Papi dan Mami selaku orang yang memberikan kesempatan pada
penulis untuk hidup, tumbuh, dan berkembang guna mencapai tujuan hidup
dengan segala totalitas waktu, kesabaran,materi maupun tenaga. Kepada 8
saudaraku, Mas Dan,Mbak Din,Mbak Pit, Mas Han, Mas AL, Mas Fahis,
Mbak kiki, dan adik ku Ferdi. Serta keluarga besar Mudasir dan Saidi
terimakasih atas doa dan dukungannya.
6. Kepada seluruh keluarga organisasi penulis di Malang yang selalu ada untuk
di ajak diskusi berbagai macam topik. Keluarga besar HMI komisariat
vi
IMM komisariat Ekonomi UMM,dan HIMAHI FISIP. Dari kalian penulis
belajar bagaimana hidup dalam kesederhanaan dan kaya dalam berfikir.
7. Kepada jajaran staff dan anggota Laboratorium Psikologi UMM dan Pusat
Layanan Psikologi UMM, atas kesempatan, pembelajaran maupun
pengalaman yang terlahir sebagai hasil pembinaan dan pelatihan.
8. Segenap sahabat penulis Fitria, Syakib, anggota camp “PINK”, Annisa,
Yulinda, Kiki, Reni, dan Tyas. Terimakasih kawan, atas kebersamaan dan
suka duka yang ada.
9. Terakhir kepada “elmo dan om cwi ” yang selalu ada dan memberikan
semangat dan dukungan nyata atas kehadiran informan-informan penting
dalam penelitian ini. Ketulusan kalian menjadi semangat buat penulis untuk
menyusun karya ilmiah ini.
Peneliti sadar masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, untuk itu peneliti
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar lebih baik. Semoga skripsi ini
bermanfaat dan dapat memberikan pandangan baru pada para pembaca.
Malang , 22 September 2012
Penulis
vii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
INTISARI...iii
ABSTRACT...iv
DAFTAR ISI...v
DAFTAR TABEL...vii
DAFTAR LAMPIRAN...viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being... 8
B. Orang Tua Tunggal Wanita... 14
C. Perceraian... 15
D. Kematian pasangan... 18
E. PWB pada Ibu Yang Berperan Sebagai Orang Tua tunggal... 20
BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian... 23
B. Batasan Istilah... 23
C. Subjek Penelitian... 24
D. Teknik Pengumpulan Data... 24
E. Prosedur Penelitian... 25
F. Analisa Data... 26
viii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data... 28
a. Deskripsi Subjek Penelitian... 28
b. Deskripsi Data Psychological Well Being... 31
B. Analisa Data... 44
C. Pembahasan... 52
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 59
B. Saran... 59
DAFTAR PUSTAKA... 61
ix
DAFTAR TABEL
Nomor tabel Halaman
Tabel 3.1 : Jadwal Kegiatan... 65
Tabel 4.1 : Identitas Subjek Penelitian... 28
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Guide Interview... 63
Hasil Wawancara Subjek SR... 67
Hasil Wawancara Subjek LL... 73
Hasil Wawancara Subjek TT... 78
Hasil Wawancara Subjek FT... 85
Hasil Wawancara Triangulasi Subjek SR... 90
Hasil Wawancara Triangulasi Subjek LL... 94
Hasil Wawancara Triangulasi Subjek TT... 96
Hasil Wawancara Triangulasi Subjek FT... 100
Informed Concent SR... 103
Informed Concent LL... 104
Informed Concent TT... 105
xi
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, Anggun.(2001). Dampak psikologis kematian pasangan hidup pada ibu
rumah tangga usia dewasa awal. (Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas
Muhammadiyah Malang, Jawa Timur)
Compton,William C.(2005). An introduction to positive psychology.USA: Thomson Wadsworth.
Dariyo, Agoes.(2003). Psikologi perkembangan dewasa muda.Jakarta: PT. Grasindo Dariyo, Agoes.(2006).Psikologi perkembangan: anak tiga tahun pertama.
Bandung:PT. Refika Aditama.
Dayakisni,Tri & Hudaniah.(2009). Psikologi sosial. Malang: UMM Press. Dayakisni, Tri & Yuniardi, Salis.(2008). Psikologi lintas budaya: edisi
revisi.Malang:UMM Press.
Djiwandono, Sri.(2005).Konseling dan terapi dengan anak dan orang tua. Jakarta: PT.Grasindo.
Hoyer, William J. & Roodin,Paul A.(2003). Adult development and aging: fifth
edition.New York: McGraw-Hill Companies.
Ihromi, T.O.(1999). Bunga rampai sosiologi keluarga.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Laksono, Artanto Ridho.(2008).pemecahan masalah pada wanita sebagai orang tua
tunggal.Skripsi:Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lopez, Shane J.& Synder C.R.(2003). Positive psychological assessment: 1st edition. Washington DC: American Psychological Association.
Moleong, Lex.(2009). Metodologi penelitian kualitatif: edisi revisi. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya
Murad, Jeanet. (2004). Langgeng berumah tangga pasca bercerai.Intisari juni,491,30-31.
Papalia,Olds,Feldman. (2009). Human development edisi 10.Jakarta: Salemba. Pranandari, Kenes.(2008). Kecerdasan adversitas ditinjau dari pengatasan masalah
berbasis permasalahan dan emosi pada orang tua tunggal. Jurnal Psikologi
xii
Ryan, Richard.M & Deci,Edward L.(2001).On happines and human potentials: A
review of research on Hedonic and Eudaimonic well-being. New york:
University of Rochester.
Ryff, D.C. (1989). Happines is everything,or is it? Exploration on the meaning of
psychological well being. Madison : University of Wisconsin.
Ryff, D.C & Keyes,Corey lee M.(1995). The structure of psychological well-being
revisited. Madison : University of Wisconsin
Santrock, W. John.(2002). Life – span development :Perkembangan masa hidup jilid II. Jakarta : Erlangga.
Sinaga, Herna Juniar.(2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang berperan
sebagai orang tua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan. Skripsi:
universitas Sumatra Utara.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jumlah keluarga dengan orang tua tunggal semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Hal ini tentunya ikut mempengaruhi jumlah anak yang menjadi produk orang
tua tunggal ikut meningkat pula. Fenomena orang tua tunggal bukan hanya terjadi di
Indonesia sebagai negara berkembang, tetapi juga terjadi di negara maju. Bahkan
banyak di negara maju dan industri, single parent merupakan gejala yang biasa (Pranandari,2008). Hal ini karena adanya perubahan nilai-nilai secara drastis dalam
masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini. Pada berbagai kasus di indonesia,
bentuk keluarga dengan orang tua tunggal yang sering di jumpai adalah karena
adanya perceraian dan kematian pasangan.
Menurut Djiwandono (2005) Pengalaman perceraian ini merupakan stressor
bagi seluruh anggota keluarga, dimana perpisahan dan perceraian menggambarkan
situasi konflik dalam keluarga. Perceraian yang terjadi antara pasangan suami-istri
tentunya akan menimbulkan perubahan dalam ritme kehidupan sehari-hari, hubungan
orang tua dan anak, dan kesejahteraan psikologis maupun kesejahteraan secara
finansial.
Siapapun yang pernah bercerai pasti merasakan kerentanan emosional yang
tinggi. Terutama bagi pihak yang merasa ditinggalkan oleh pasangannya. Perasaan
tidak dibutuhkan, marah, bingung, merasa gagal, turunnya harga diri, tersingkirkan,
bahkan penyesalan dan benci pada diri sendiri, semua akan muncul campur aduk.
Hasil penelitian Hetherington (2002) menyatakan bahwa pada peristiwa perceraian
ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakan akibat dari perceraian itu. Apalagi
dalam perceraian itu terdapat anak-anak yang dihasilkan selama pernikahan. Kondisi
ini akan memunculkan masalah baru terkait dengan pengasuhan anak. Hal ini
didukung dengan hasil penelitian Hetherington ( Santrock, 2002) yang menyebutkan
bahwa selama tahun pertama setelah perceraian, kualitas pengasuhan yang dialami
anak-anak seringkali jelek; orang tua nampaknya sibuk dengan kebutuhan-kebutuhan
2
kebingungan dan instabilitas emosional. Hal ini yang mempengaruhi kemampuan
mereka untuk secara sensitif merespon kebutuhan-kebutuhan anak.
Selain perceraian penyebab seseorang menjadi orang tua tunggal dikarenakan
kematian pasangan hidupnya. Zisook (dalam santrock, 2002) menyebutkan bahwa
peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu
kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya
dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupan setelah
ditinggal pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak
hanya kehilangan dukungan emosional suami, namun harus menemukan cara untuk
memenuhi semua tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Hal ini dikarenakan
orang tua tunggal memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus ayah dalam
mengasuh anaknya.
Tugas pengasuhan yang seharusnya menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan oleh kedua belah pihak, karena suatu sebab, misalnya kematian salah
satu orang tua, perceraian atau perpisahan, terpaksa tugas pengasuhan ini hanya
dapat dijalankan oleh satu orang tua saja. Situasi seperti ini memunculkan apa yang
oleh Sager dinamakan sebagai orang tua tunggal (single parent). Karena kematian suami atau perceraian itu, ibu memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap
kehidupan keluarga. Oleh karena itu ia sebagai single parent harus menjalankan semua tugas yang dulu ia lakukan bersama dengan suaminya, seperti mengurus
rumah tangga dan memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini menyebabkan
orangtua tunggal wanita dikenai banyak tuntutan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal seperti ini yang dinyatakan oleh Perlmutter dan Hall (dalam Pranandari,
2008) bahwa menjadi orang tua tunggal berarti mengalami perubahan dimana
perubahan ini dapat menimbulkan masalah, sebab seseorang yang dulunya hanya
berperan hanya sebagai ibu atau ayah saja, saat ini harus berperan ganda. Melakukan
berbagai tugas yang semula dilakukan bersama dengan pasangan akan membuat
orangtua tunggal wanita melaksanakan tugas ganda.
Sebagai suatu tahapan kehidupan baru yang “ tidak lazim”, orangtua tunggal wanita tentunya akan menghadapi banyak persoalan baik dari segi ekonomi,
sosial,dan psikologis. Hal ini seperti yang dinyatakan Mahmudah (dalam Pranandari,
3
anggapan umum yang masih menganggap negatif kehidupan orangtua tunggal
wanita. Beratnya tekanan sosial (social stressor) yang dirasakan individu yang bercerai atau di tinggal mati pasangannya akan membawa dampak yang tidak baik
bagi ketenangan batin, pikiran, perasaan ataupun perilakunya dalam menjalani
kehidupannya.
Dari segi ekonomi persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan
bagaimana menopang kehidupan ekonomi keluarga, karena kebanyakan wanita
indonesia masih menggantungkan kehidupan ekonominya pada suami.
Dari segi psikologis, persoalan yang muncul biasanya berkaitan dengan
bagaimana menciptakan figur pengganti dari pasangannya. Dalam satu penelitian
Hetherington, 6 dari 48 pasangan yang bercerai terus melakukan hubungan seksual
selama 2 tahun pertama setelah berpisah. Tata dan pola interaksi sosial sebelumnya
sulit untuk dihilangkan. Meskipun perceraian adalah kejadian yang menandai
hubungan antar pasangan, seringkali hal itu tidak menandakan berakhirnya hubungan
(Santrock,2002). Disamping itu Menurut Sears ( dalam Sinaga,2007) kesepian akibat
berpisah dengan orang-orang yang dicintai dapat membangun suatu reaksi emosional
seperti kesedihan, kekecewaan bahkan rasa geram yang membuat kita marah pada
lingkungan dan diri sendiri.
Melihat situasi yang dihadapi orangtua tunggal wanita dalam keluarga, dapat
dikatakan bahwa orangtua tunggal wanita berada dalam situasi yang penuh tuntutan.
Disamping itu menurut Amato (dalam Papalia, 2009) perceraian juga cenderung
mengurangi kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi pihak yang tidak
memprakarsai perceraian. Alasan-alasan itu dapat mencakup gangguan hubungan
orangtua-anak, keributan dengan pasangan, kesulitan ekonomi, kehilangan dukungan
emosional, harus pindah dari rumah keluarga, penyesuaian kembali dengan peranan
masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial.
Menurut Mel Kranstler (dalam Ihromi,1999) sebagai seorang konsultan
masalah perceraian mengamati bahwa perceraian bagi kebanyakan orang sebagai
masa transisi yang penuh kesedihan. Masa transisi ini dirasakan sebagai masa-masa
sulit bila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat tentang perceraian.
Banyak hal yang berubah dalam kehidupan wanita pasca perceraian,
4
psikologis juga menjadi pembahasan yang sangat menarik bila di fokuskan dari segi
kesejahteraan psikologis pelaku perceraian terutama orang tua tunggal wanita.
Banyak individu yang bercerai mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
dengan komunitasnya. Mereka merasa terbuang dan terpisah dari lingkungan
hidupnya, merasa canggung dan tidak tahu harus bersikap bagaimana menghadapi
lingkungan lama (saudara kandung, ayah-ibu), lingkungan tempat kerja, atau
lingkungan masyarakat pada umunya (tetangga). Tidak sedikit pula, mereka merasa
kesepian, depresi, stres, kecewa, tidak tentram, tidak bahagia, dan terisolasi dari
lingkungan tersebut (Dariyo,2004). Hal ini menandakan psychological well being yang rendah.
Dampak negatif yang dialami anak setelah perceraian atau kematian salah
satu orang tua mereka, biasanya bukan hanya karena perceraian atau kematian itu
sendiri. Bahayanya justru datang dari konflik yang mengikuti perceraian itu,atau
gara-gara terjadinya pengasuhan yang kurang tepat terhadap si anak yang dilakukan
oleh orang dewasa dalam hal ini ibu yang mengalami stres akibat perceraian atau
kematian suami. Oleh sebab itu, orang tua tunggal wanita harus pulih dahulu
sebelum ia memulihkan kondisi psikologis anak-anaknya (Keluarga Single- Parent, 2009).
Dalam hal ini yang harus disiapkan oleh wanita yang menjadi orang tua
tunggal khususnya bagi wanita yang menjadi orang tua tunggal akibat perceraian
adalah mental. Sebab wanita yang bercerai akan merasa gagal mempertahankan
pernikahannya dan merasa dirinya tak berharga. Perasaan seperti ini yang bisa
menghambat orang tua tunggal dalam menjalankan fungsinya. Apalagi jika ia tidak
segera bangkit dari kesedihan karena bercerai atau ditinggal mati pasangan, maka
yang paling menderita adalah anak. Anak tidak hanya kehilangan sosok ayah , tapi
juga sosok ibu.
Menurut Jeanette dalam kondisi mental ibu yang labil, ia tentu tidak bisa
berbuat apa-apa. Ia tak bisa memperhatikan lingkungannya, termasuk anak yang
masih memerlukan perhatiannya dan cenderung untuk memperhatikan dirinya
sendiri. Menurut Gelfand perselisihan dan stres perkawinan dapat mendahului,
mempercepat, atau terjadi bersamaan dengan depresi perempuan. Di dalam keadaan
5
yang merupakan faktor kunci yang menyumbang bagi masalah-masalah penyesuaian
diri anak-anak akan adanya perceraian (Santrock,2002). Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Downey tentang anak-anak yang orang tuanya
mengalami depresi secara jelas mendokumentasikan bahwa depresi orang tua di
kaitkan dengan masalah penyesuaian dan kelainan, khususnya depresi pada
anak-anak mereka ( Santrock, 2002).
Untuk mampu mengasuh anak dengan baik dan benar pasca perceraian
maupun kematian pasangan , orang tua tunggal wanita harus memiliki sikap positif
terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga orang tua tunggal wanita mampu
dan siap untuk menghadapi konflik-konflik yang menyertai perceraian atau kematian
pasangan.
Sehingga dari keadaan bercerai maupun kematian pasangan hidup tersebut
secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi psychological well being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal wanita dimana salah satu terbentuknya
psychological well being adalah pengalaman hidup seseorang. Seperti yang
disebutkan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup seorang dapat mempengaruhi
PWB dalam dimensi-dimensi tertentu, apalagi pengalaman tersebut adalah
pengalaman yang sulit dilupakan.
Namun tidak semua wanita sebagai orang tua tunggal mengalami dampak
negatif seperti yang disebutkan diatas. Perubahan kondisi psikologis pada wanita
sebagai orang tua tunggal pasca perceraian atau kematian pasangan antara yang satu
dengan yang lain berbeda-beda. Sebagian orang tua tunggal wanita ada yang memilih
untuk menikah lagi dengan alasan untuk mengatasi masalah-masalah seperti yang
dijelaskan diatas, namun sebagian juga ada yang memilih untuk tetap menjadi orang
tua tunggal. Salah satu hal yang mendorong untuk tetap menjanda adalah masa depan
keluarga pasca bercerai atau kematian pasangannya. Ia memilih berkonsentrasi dan
memperhatikan secara penuh perkembangan anak-anaknya sebab mereka masih
membutuhkan bimbingan, pengarahan, dan keteladanan hidup yang bijaksana dari
orang tua dalam hal ini ibu. Tindakan ini akan mendorong anak-anak menempuh
masa depan yang lebih baik, mereka tidak putus asa dalam menghadapi keadaan
keluarga. Bagi orangtua tunggal yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara
6
peristiwa-peristiwa negatif seperti perceraian dan kematian pasangan yang tidak
diinginkan,dapat menjadi batu loncatan untuk pertumbuhan yang positif (Papalia
dkk,2009). Dengan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, single mother mampu menghadapi tantangan menjadi orang tua tunggal dan mampu untuk mewujudkan
kebahagiaan baik untuk dirinya secara pribadi maupun keluarganya. Hal ini
menandakan psychological well being yangtinggi.
Carol Ryff berpendapat (dalam Papalia,2009) bahwa orang-orang yang
sejahtera secara psikologis adalah orang-orang yang memiliki sikap positif terhadap
diri mereka dan orang lain. Mereka memiliki keputusan sendiri dan mengatur sendiri
perilaku mereka sendiri, dan mereka memilih dan membentuk lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki banyak tujuan yang membuat
hidup mereka bermakna, dan mereka berjuang untuk menjelajahi dan
mengembangkan diri mereka sendiri.
Dari uraian di atas permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam
penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well being pada orang tua tunggal wanita yang mengalami perceraian atau kematian pasangan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran
Psychological Well-Being padaibu yang berperan sebagai orang tua tunggal ? ”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal.
D. Manfaat Penelitian 1.Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan perluasan teori di
bidang psikologi sosial , mengenai gambaran psychological well-being pada ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi sosial sehingga hasil penelitian
7
2.Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
a. Ibu khususnya yang berperan sebagai orang tua tunggal agar mengetahui
gambaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi PWB maupun perilaku
sehingga mereka dapat lebih sejahtera secara psikologis.
b. Masyarakat umum, tentang manfaat mengetahui pentingnya PWB untuk
mencapai kesejahteraan psikologis sehingga dapat memberikan dukungan
emosional maupun sosial terhadap ibu yang berperan sebagai orang tua
tunggal yang ada dilingkungan sekitar.
c. Praktisi Psikologi, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi
dan masukan kepada para praktisi psikologi khususnya dalam menghadapi