• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN WONOTUNGGAL KABUPATEN BATANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN WONOTUNGGAL KABUPATEN BATANG"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR

DI KECAMATAN WONOTUNGGAL

KABUPATEN BATANG

SKRIPSI

disajikan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Jurusan Psikologi

oleh

Heri Setiawan

1550407024

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

▸ Baca selengkapnya: contoh sk tmt guru honorer

(2)

Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan pada

kode etik ilmiah.

Semarang, 20 Agustus 2014

▸ Baca selengkapnya: contoh surat resign guru honorer

(3)

Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang telah dipertahankan dalam sidang dihadapan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 27 Agustus 2014.

Panitia

Ketua Sekretaris

Drs. Budiyono, M.S. Rahmawati Prihastuti, S.Psi., M.Si. NIP 19631209 198703 1 002 NIP 19790502 200801 2 018

Penguji I Penguji II

Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A. NIP 19720204 200003 2 001 NIP 19780419 200312 2 001

Penguji III/ Pembimbing Utama

▸ Baca selengkapnya: contoh sk kolektif guru honorer

(4)

Untuk Benar-Benar Menjadi Besar, Seseorang Harus Berdampingan dengan Orang Lain, Bukan di Atas Orang Lain. (Charles de Montesquieu)

Esensi Menjadi Manusia Adalah Ketika Seseorang Tidak Mencari Kesempurnaan. (George Orwell)

PERSEMBAHAN :

Karya sederhana ini aku persembahkan kepada:

Keluargaku tercinta, bapak, ibu, kakak, dan adik

Seluruh teman-teman Jurusan Psikologi angkatan 2007

(5)

skripsi yang berjudul “Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah

Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang” dapat penulis selesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar

Sarjana Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Semarang.

2. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Negeri Semarang.

3. Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A, sebagai Dosen Pembimbing Utama

sekaligus sebagai Dosen Wali yang dengan sabar telah membimbing dan

memberikan petunjuk serta arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan.

4. Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si., sebagai Penguji I skripsi yang telah

memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh

peneliti.

5. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A., sebagai Penguji II skripsi yang telah memberikan

(6)

7. Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang

yang telah bersedia menjadi responden selama pelaksanaan penelitian.

8. Bapak Tumarjo, Ibu Rubinem, Bayu Setiaji, Shinta Aji Pratiwi dan seluruh

keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, cinta serta kasih sayangnya

kepada penulis.

9. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan ilmu dan

pengalaman selama proses kuliah.

10.Yang tercinta Astikha Lutfiana dan sahabat-sahabat penulis yang telah

memberikan dorongan semangat, dan membantu penulis (Ari

Suryaman/Bolor, Indra Aji, Tyo, Singgih Kemput, Adi, Singgih Agung,

Kulphunk, Budhe Mahardika, Agung, Gosong, Dheri, Cikal, Kak Ucup,

Adam, Kak Cireng, Kak Indra, Latif, Jeje Sport).

11.Teman-teman Psikologi Universitas Negeri Semarang Angkatan 2007 terima

kasih atas kebersamaan kita selama ini, tetaplah berjuang kawan.

Semoga segala kebaikan dan keikhlasan mendapat balasan dan rahmat

Allah SWT. Akhir kata semoga karya ini bermanfaat.

Semarang, 20 Agustus 2014

(7)

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing Utama Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A

Kata kunci:psychological well-being, guru honorer

Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta, sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam pelajaran, tingkatan jawaban, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Rendahnya penghasilan tersebut membuat guru honorer tentunya akan mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan, dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan psikologis mereka. Pemenuhan kebutuhan psikologis ini berkaitan dengan Psychological Well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka Psychological Well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri (self-realization).

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang yang berjumlah 67 orang. Penelitian ini menggunakan total sampling yang berjumlah 67 guru honorer sekolah dasar. Data penelitian diambil menggunakan skala psychological well-being, dengan jumlah item 57 yang valid dengan koefisien alpha cronbach reliabilitasnya sebesar 0,950. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif dengan metode statistik deskriptif prosentase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar atau 61,2 persen (41 orang) menyatakan dirinya memiliki psychological well-being pada kategori sedang. Sedangkan yang termasuk dalam kriteria tinggi hanya sebesar 7,5 persen persen (5 orang), dan kriteria rendah sebesar 31,3 persen (21 orang). Dari enam dimensi psychological well-being yang diteliti, yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi berada pada kategori yang sedang.

(8)

PERNGESAHAN ... ii

PERNYATAAN ... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1 Psychological Well-Being ... 14

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being ... 14

2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being ... 17

(9)

2.2. Guru Honorer ... 27

2.2.1 Pengertian Guru Honorer ... 27

2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer... ... 28

2.3 Psychological Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 29

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian ... 32

3.2 Desain Penelitian ... 33

3.3 Variabel Penelitian ... 33

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian... ... 33

3.3.2 Definisi Operasional Variabel... ... 33

3.4 Populasi ... 34

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 40

3.6.1 Validitas ... 40

3.6.2 Reabilitas ... 40

(10)

4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 43

4.1.2 Proses Perijinan ... 44

4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 44

4.2.1 Menyusun Instrumen Penelitian ... 44

4.2.2 Pengumpulan Data ... 45

4.2.3 Pelaksanaan Skoring ... 46

4.2.4 Hasil Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 46

4.3 Analisis Hasil Penelitian ... 49

4.3.1 Analisis Deskriptif ... 49

4.3.1.1 Gambaran Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50

4.3.1.1.1 Gambaran Umum Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50

4.3.1.1.2 Gambaran Spesifik Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau dari Tiap Dimensi... 52

4.3.1.2 Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi... ... 64

4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 67

(11)

BAB

5 PENUTUP ... 84

5.1 Simpulan ... 84

5.2 Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(12)

3.1 : Definisi-definisi Pedoman Teori Psychological Well-Being ... 37

3.2 : Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Psikologis ... 38

3.3 : Blue Print Skala Psychological Well-Being ... 38

4.1 : Skala Psychological Well-Being ... 47

4.2 : Interpretasi reliabilitas ... 49

4.3 : Penggolongan Kategori Analisis Berdasarkan Mean Teoritik ... 49

4.4 : Distribusi Umum Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar ... 51

4.5 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54

4.6 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56

4.7 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Otonomi ... 57

4.8 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 59

4.9 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 61

4.10 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 63

4.11 : Komposisi Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi ... 64

4.12 : Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi Psychological Well-Being ... 66

(13)

Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 73

(14)

4.1 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being... ... 52 4.2 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah

Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54

4.3 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56

4.4 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Otonomi... ... 58

4.5 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 60

4.6 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 62

4.7 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer

Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 64

4.8 : Diagram Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer

Sekolah Dasar ... 65

4.9 : Diagram Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi

Psychological Well-Being ... 66 4.10 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru

Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 25-35 Tahun... ... 69

4.11 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 40-59... 71

4.12 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 74

4.13 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada

(15)

1 Instrumen Penelitian ... 90

2 Tabulasi Data ... 102

3 Hasil Uji ... 109

1. Hasil Uji Validitas Skala Psychological Well-Being ... 110

2. Hasil Uji Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 115

4 Analisis Deskriptif... ... 116

1. Distribusi Statistik Deskriptif Instrumen... .... 117

2. Distribusi Statistik Frekuensi... ... 118

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia senantiasa beperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhannya.

Namun pencapaian kebutuhan setiap manusia berbeda-beda. Ada yang berhasil

memenuhi kebutuhannya, namun ada pula yang belum bisa memenuhi

kebutuhannya karena berbagai macam faktor penyebab.

Pencapaian kebutuhan tentunya akan membuat manusia menjadi bahagia

dan kegagalan dalam mencapai kebutuhan juga bisa menimbulkan permasalahan

meskipun tidak sedikit orang yang juga berhasil melewati kegagalannya dengan

baik, hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menerima kenyataan.

Aristoteles (dalam Ryff, 1989: 1070) berpendapat bahwa pengertian

bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari

rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui

tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu.

Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehingga

merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia,

merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil, atau gagal.

Teori hirarki kebutuhan Maslow menjadi salah satu tolak ukur yang bisa

digunakan dalam memahami kebutuhan manusia yang sangat beragam. Maslow

menyusun teori kebutuhan dalam bentuk hirarki yang dimulai dari kebutuhan

(17)

sebagainya hingga kebutuhan yang dianggap tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi

diri (http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow).

Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara berkelanjutan seperti

makan, minum, dan sebagainya manusia dituntut untuk memiliki pekerjaan yang

layak dan mapan agar dalam memenuhi kebutuhan itu tercukupi.

Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu tidak akan pernah

berhenti sepanjang hidupnya. Dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup dan

permasalahan yang dihadapi individu tersebut akan membuat individu

mendapatkan pengalaman-pengalaman, baik pengalaman yang menyenangkan

ataupun tidak menyenangkan, yang selanjutnya akan mengakibatkan kebahagiaan

dan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan dan tidak kebahagiaan itu juga disebut

kesejahteraan psikologis atau psychological well-being (Halim & Atmoko, 2005).

Menurut Ryff (1989: 1970) tingkat psychological well-being seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif yang terjadi dalam hidup orang

tersebut. Dengan kata lain, psychological well-being seseorang akan berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Ketika individu memiliki kondisi

psychological well-being yang baik maka ia mampu berfungsi secara psikologis dengan baik.

Bila hal ini dispesifikasikan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat

psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan hubungan dengan

(18)

Orang dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan bekerja.

Berbagai aktivitas yang terjadi ditempat kerja seperti rutinitas, supervisi, dan

kompleksitas tugas mempengaruhi kemampuan kontrol seseorang sehingga ia

mampu merasakan emosi dan persepsi yang positif mengenai tempat kerjanya.

Penilaian yang positif ini merupakan indikator dari kesejahteraan. Kesejahteraan

psikologis (psychological well-being) dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia. Ketika seseorang menilai lingkungan kerja sebagai lingkungan

yang menarik, menyenangkan, dan penuh dengan tantangan dapat dikatakan

bahwa ia merasa bahagia dan menunjukkan kinerja yang optimal.

Pekerjaan yang banyak diminati oleh sebagian masyarakat Indonesia

adalah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan bekerja sebagai PNS

mereka akan digaji oleh Negara, bahkan sudah pensiun pun masih tetap

mendapatkan gaji. Maka dari itu kebanyakan masyarakat Indonesia memilih

bekerja sebagai PNS karena mereka berpikiran hidupnya akan sejahtera.

Animo masyarakat yang tinggi dalam setiap penerimaan CPNS, baik yang

sudah berstatus Pegawai Honorer sebelumnya ataupun yang baru melamar,

mengindikasikan profesi tersebut masih begitu menjanjikan, sebagai sebuah

asumsinya, menjadi CPNS akan menjadi titik aman, menerima uang pensiunan,

mendapatkan gaji setiap bulan, dengan segala tunjangan keluarga, kesehatan,

transportasi, dan hingga adanya gaji ke-13, dan akan lebih menjanjikan lagi

apabila dihubungkan dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan gaji dan

kesejahteraan PNS yang hampir setiap tahunnya, pantas saja jika profesi ini akan

(19)

dampak dalam kehidupan bersosial, menjadi PNS biasanya status sosialnya

meningkat, lebih percaya diri, dan sudah barang tentu lebih dihormati dalam

kehidupan bermasyarakat.

Menurut KORAN SINDO pada hari Kamis, tanggal 24 April 2014,

profesi pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi incaran nomor wahid masyarakat

Indonesia. Tak heran, berjuta-juta pelamar selalu berebut posisi tersebut saat

dibuka rekrutmen calon abdi masyarakat ini. Dari survei yang dilakukan Litbang

KORAN SINDO, sebanyak 15% responden menyatakan mengidamkan menjadi

PNS dalam hidupnya. Survei ini dilakukan terhadap penduduk Indonesia berusia

15-25 tahun. (m.koran-sindo.com/node/384472).

Salah satu pekerjaan PNS yang paling banyak diminati masyarakat

Indonesia adalah bekerja sebagai guru. Dengan bekerja sebagai guru yang sudah

diangkat menjadi PNS hidup mereka akan tercukupi. Apalagi guru yang sudah

mendapatkan sertifikasi, gajinya bisa dikatakan lebih banyak dan bisa untuk

mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut hasil survei Media Indonesia hari

Selasa tanggal 9 November 2013, pekerjaan sebagai guru menduduki posisi kedua

terbanyak pekerjaan yang paling diminati masyarakat Indonesia setelah Dokter.

(forinsight.wordpress.com/2013/11/9/10-pekerjaan-tervaforit/)

Dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai

dilirik orang, karena UU ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru

yang profesional, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan

(20)

Disisi lain di Indonesia terdapat juga guru honorer yang statusnya belum

Pegawai Negeri Sipil. Kebanyakan guru honorer di Indonesia belum memiliki

kesejahteraan karena gajinya bisa dikatakan sangat sedikit yaitu antara RP.

200.000,00 sampai Rp. 500.000,00. Banyak guru di Indonesia yang belum

diangkat menjadi PNS. Mereka kebanyakan hanya berperan menjadi Guru

honorer yang digaji sangat sedikit. Hal ini sangat memprihatinkan karena dengan

pendapatan gaji yang sedikit itu tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari

keadaan yang terjadi tersebut maka Guru honorer mengharapkan untuk diangkat

menjadi PNS.

Menurut Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan

dan Penjamin Mutu Pendidikan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal

Gultom kepada harian Kompas pada hari Senin, tanggal 5 Maret 2012, bahwa

jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2012 mencapai 904.378 orang.

(http://edukasi.kompas.com/2012/03/06/06420188/Guru.Honorer.Membengkak).

Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta,

sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam

pelajaran, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Banyak diantara mereka

yang bekerja melebihi dari imbalan yang mereka terima. Dengan kata lain,

insentif atau gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan pekerjaan yang

mereka laksanakan dan tanggung jawab yang mereka terima terhadap masa depan

siswanya.

Berbeda kondisi dengan para guru yang telah diangkat statusnya menjadi

(21)

memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Bahkan PNS yang

berstatus guru, selain mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya, mereka juga

mendapatkan tunjangan perbaikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah lolos

sertifikasi.

Minimnya kesejahteraan guru honorer telah menyebabkan konsentrasi

guru honorer terpecah menjadi beberapa sisi. Disatu sisi seorang guru harus

menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbaharui dan

berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Disisi lain,

seorang guru honorer dituntut memenuhi kesejahteraannya dengan melakukan

usaha atau kegiatan lain seperti katering, bimbingan belajar, dan lain-lain.

Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang memiliki cukup banyak

guru honorer, khususnya guru honorer Sekolah Dasar, menurut kepala UPTD

Kecamatan Wonotunggal memiliki 67 guru honorer di Sekolah Dasar. Dari hasil

wawancara yang dilakukan pada 4 guru honorer sekolah dasar yang ada di

kecamatan Wonotunggal pada hari Senin tanggal 22 Juli 2013, mereka rata-rata

hanya digaji Rp. 250.000,00 per bulan. Ada juga yang digaji tiap jam pelajaran.

Mereka mengatakan dengan gaji yang rendah tersebut membuat guru honorer

mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti

makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk

meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan,

dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan

(22)

Ryan & deci (2001: 146) mengatakan, pemenuhan kebutuhan psikologis

ini berkaitan dengan psychological well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka psychological well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap

sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri ( self-realization). Menurut Ryff dan Singer (dalam Ryan & Deci, 2001:146), perealisasian diri terhadap potensi yang sebenarnya dimiliki ini merupakan

gambaran untuk mencapai psychological well-being.

Ryff kemudian mengemukakan adanya enam dimensi yang membangun

psychological well-being seseorang. Dimensi yang Petama adalah penerimaan diri (self-acceptance), yaitu kepemilikan sikap yang positif terhadap diri. Kedua adalah hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), yaitu kemampuan seseorang untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain.

Ketiga adalah kemandirian (autonomy), yaitu kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri berdasarkan standart pribadi dan tidak

bergantung pada pandangan orang lain. Keempat adalah penguasaan lingkungan

(environmental mastery), yaitu kemampuan seseorang untuk memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kelima adalah

tujuan hidup (purpose in life), yaitu kepercayaan yang menimbulkan perasaan bahwa hidup itu berarti dan memiliki tujuan, dimensi yang terakhir adalah untuk

(23)

Penelitian mengenai psychological well-being dinilai penting untuk dilakukan karena tidak hanya memberikan manfaat yang bersifat teoritis, tetapi

juga manfaat yang bersifat praktis. Meskipun demikian, penelitian mengenai

psychological well-being pada guru honorer belum banyak dilakukan di Indonesia. Sebuah penelitian yang dianggap paling mendekati penelitian tersebut

adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumule dan Taganing (2008) mengenai “Psychological Well-Being pada Guru di Yayasan PESAT Nabire, Papua”, yaitu

sebuah yayasan yang terletak diwilayah pedalaman Papua. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa sejumlah guru yang menjadi subjek dalam

penelitian tersebut memiliki tingkat psychological well-being yang beragam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kondisi dimensi-dimensi psychological well-being yang beragam terutama dipengaruhi oleh faktor spiritualitas, pengalaman masa lalu, dan dukungan sosial. Selebihnya peneliti belum menemukan penelitian

psychological well-being lain yang dilakukan terhadap guru honorer atau subjek lain yang serupa. Padahal, penelitian mengenai psychological well-being pada guru honorer dinilai dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia

pendidikan.

Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001:154)

menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan

Psychological Well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung, memiliki Psychological Well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,

(24)

sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak

mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam

menghadapi kelemahan mereka.

Dalam penelitian yang dipaparkan diatas menunjukan adanya pengaruh

spiritualitas, pengalaman masa lalu, dukungan sosial budaya, dan status sosial

ekonomi terhadap psychological well-being. Sayangnya, berbagai penelitian tersebut juga menunjukan hasil yang berbeda dan penelitian mengenai

psychological well-being guru honorer di Indonesia belum banyak dilakukan. Namun, penelitian di Barat mengenai psychological well-being dan status social ekonomi ini menunjukan bahwa semakin rendah status sosial ekonomi seseorang,

maka psychological well-being pun semakin rendah. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai psychological well-being pada guru honorer sekolah dasar.

Penelitian ini difokuskan terhadap guru honorer sekolah dasar karena guru

honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dianggap memiliki beban kerja yang

lebih berat daripada guru honorer di Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah

Menengah Atas. Dengan pendapatan yang relatif rendah, guru honorer Sekolah

Dasar dituntut untuk mengerjakan hampir semua mata pelajaran sebagaimana

guru yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Perbedaan beban kerja

dengan jumlah pendapatan yang relatif sama dinilai akan berpengaruh terhadap

(25)

Padahal guru honorer SD juga membutuhkan kesejahteraan. Sebab honor saya terima hanya dari sekolah. Sebulan yang saya terima hanya Rp. 300.000,00 saja sementara beban pekerjaan saya lebih besar dari pada guru SMP atau SMA.... (www.pikiran-rakyat.com/node/127787)

Sementara itu, Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang dipilih sebagai

lokasi penelitian karena merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Batang

dengan jumlah guru honorer sekolah dasar yang banyak, yaitu mencapai 67 guru

honorer dengan 21 sekolah dasar terdapat rata-rata 2 sampai 3 guru honorer

disetiap sekolah dasar.

Menurut studi pendahuluan awal yang dilakukan, hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa kehidupan yang dialami sebagian besar guru honorer

Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal terbilang cukup berat dimana dengan

gaji dibawah RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan

keluarganya pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang,

merasa malu karena hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja

demi menghidupi keluarganya, kurang harmonis, ada rasa iri ketika melihat guru

yang sudah PNS karena gajinya yang lebih tinggi, dan mereka belum bisa

mencapai apa yang mereka inginkan. Namun ada pula guru honorer yang merasa

sudah cukup bahagia walaupun dengan keadaan serupa. Cara yang mereka pilih

ketika menghadapi masalah atau keadaan tersebut beragam, diantaranya: ada yang

merasa lega setelah bercerita pada teman, minta masukan pada seseorang yang

berpengalaman, dan ada pula yang memilih untuk mendekatkan diri pada Allah.

Selain itu dari hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara kepada

(26)

mendapatkan informasi bagaimana keadaan psychological well-being guru honorer yang ada di kecamatan Wonotunggal. Dari hasil wawancara tersebut

peneliti mendapatkan informasi kalau sebagian besar guru hororer SD di

kecamatan Wonotunggal belum bisa menerima keadaan dirinya, belum bisa

menerima berbagai aspek baik dan buruk, hal ini menunjukkan kalau dimensi

penerimaan diri masih rendah. Selain itu sebagian guru honorer juga merasa

kurang bisa menggunakan kesempatan secara efektif disekitarnya, belum bisa

menguasai dan mengatur lingkungan tujuan, hal ini menunjukkan dimensi

penguasaan lingkungan masih rendah. Dan yang terakhir sebagian besar guru

honorer masih rendah dalam pertumbuhan pribadi, hal ini ditunjukkan dengan

merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta tidak mampu

mengembangkan sikap serta tingkah lakunya, dan tidak bisa mengembangkan

potensi yang dimilikinya.

. Bagi guru honorer yang mampu melewati dan menghadapi masalah yang

dihadapi dan berkompetensi mengatur lingkungan, maka akan mengarah pada

kondisi psikologis yang positif dan terbentuklah kesejahteraan psikologis

(psychological well-being) dalam dirinya. Jiwa yang sejahtera menggambarkan seberapa positif seseorang menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya.

Peneliti psychological well-being, Ryff & Keyes (1995: 721) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera apabila ia tidak sededar bebas dari tekanan atau

masalah mental yang lain. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif

terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut

(27)

Dari hasil wawancara guru honorer dan beberapa kepala sekolah SD di

Kecamatan Wonotunggal, menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer SD

memiliki psychological well-being yang rendah, sedangkan dari informasi beberapa kepala sekolah menunjukkan kalau sebagian besar guru honorer di

kecamatan Wonotunggal memiliki psychological well-being rendah juga.

Jika melihat tentang fenomena rendahnya kesejahteraan psikologis guru

honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal, kabupaten Batang seperti

yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai:

“Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan

Wonotunggal, Kabupaten Batang.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan

pemikiran terhadap perkembangan teori keilmuan psikologi pada umumnya, dan

(28)

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini mengungkap tentang tingkat psychological well-being pada guru honorer. Dan diharapkan penelitian ini bisa memberikan kontribusi yang yang nyata pada dunia pendidikan. Khususnya dapat memberikan

masukan yang positif kepada pemerintah di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten

Batang untuk lebih memperhatikan nasib dan mensejahterakan guru honorer.

(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psychological Well-Being

2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being

Psychological Well-being merupakan suatu gambaran kualitas kehidupan dan kesehatan mental yang dimiliki seseorang. Para ahli psikologi mengemukakan

bahwa penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai

psychological well-being. Psychological Well-being sendiri memiliki banyak definisi dari masing-masing tokoh psikologi.

Menurut Stern (2007: 40) konsep psychological well-being adalah konsep yang secara kontemporer banyak dikembangkan dari konsep utamanya yakni “Well-Being”. Secara umum, psychological well-being digunakan sebagai hasil

dalam studi penelitian secara empiris.

Ryff dan Singer (2002: 542) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi/penilaian individu terhadap dirinya yang merupakan

evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman

akan dapat menyebabkan individu menjadi pasrah terhadap keadaan yang

membuat kesejahteraan psikologis menjadi rendah atau berusaha memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat kesejahteraan psikologisnya meningkat.

(30)

dengan memberi batasan dengan “batas-batas pencapaian kebahagiaan dan

mencegah dari kesakitan”. Fokus yang kedua adalah batasan menjadi orang yang

fungsional secara keseluruhan / utuh, termasuk cara berfikir yang baik dan fisik

yang sehat.

Definisi psychological well-being yang berkembang selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan pendapat Bradburn (Ryff, 1989: 1069), berdasarkan

penelitian yang dilakukan Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level

makro (perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan, dan

pendidikan), serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristoteles

yang berjudul “Nichomachean Ethics”. Ia menerjemahkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) menjadi kebahagiaan (happines). Dalam Nichomachean Ethics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya

keseimbangan afek positif dan negatif.

Pendapat Bradburn tersebut ditentang oleh Waterman (Ryff, 1989: 1070).

Waterman merujuk pada kata yang sama dengan yang digunakan Bradburn dalam

buku Nichomachean Ethics, yaitu “Eudaimonia”. Ia menerjemahkan kata tersebut sebagai usaha individu untuk memberikan arti dan arah dalam kehidupan. Dapat

disimpulkan bahwa eudaimonia adalah realisi potensi-potensi yang ada dalam individu.

(31)

mencoba mengembangkan dan menjaga kehangatan dan rasa percaya dalam

hubungan interpersonal (hubungan positif dengan orang lain) dan membentuk

lingkungan mereka, sehingga kebutuhan pribadi (personal needs) dan keinginannya dapat terpenuhi (penguasaan lingkungan). Ketika mempertahankan

individualitas dalam konteks sosial makro, individu juga mengembangkan self determination dan kewibawaan (otonomi). Upaya yang paling penting adalah menemukan makna dari tantangan yang telah dilalui dari upaya-upaya yang

dilakukan dalam menghadapinya (tujuan hidup). Terakhir, mengembangkan bakat

dan kemampuan secara optimal (pertumbuhan pribadi) merupakan paling utama

dalam psychological well-being.

Diener (dalam Leddy, 2006: 140) mengemukakan bahwa psychological well-being adalah evaluasi manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan yang menjadi komponen kualitas hidup seseorang. Persepsi dari kesehatan

dipengaruhi oleh kesejahteraan yang terdiri dari pengaruh positif, pengaruh

negatif, dan kepuasan hidup.

Latipun (2005: 3) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki

psychological well-being yang tinggi juga disebut sebagai orang yang memiliki mental yang sehat. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaanya. World Health Organization (WHO) dalam bukunya Latipun (2005: 3) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas tentang konsep sehat, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental

(32)

Pengertian kesehatan yang dikemukakan WHO merupakan suatu keadaan ideal,

dari sisi biologis, psikologis, sosial.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka peneliti mengambil

kesimpulan bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu

membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu mengontrol

lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu

mengembangkan bakat serta kemampuan untuk perkembangan pribadi.

2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being

Dalam bagian ini dijelaskan mengenai model psychological well-being yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu teori Ryff mengenai enam dimensi

psychological well-being, model pendekatan kesejahteraan Oishi mengenai kebudayaan dan dukungan sosial, serta model kesejahteraan Marcus dan

Kitayama mengenai psikologi kebudayaan. Penjelasan secara lebih rinci akan

dijelaskan sebagai berikut :

2.1.2.1 Model Psychological Well-Being Ryff

Ryff (1989: 1070) menyarankan bahwa keberfungsian psikologis

seharusnya dinilai dalam pola-pola yang terkonsep. Enam dimensi kunci yang

memulai titik konsep untuk instrumen penilaian perkembangan manusia tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan diri. Indikatornya adalah Memiliki perilaku positif pada diri seperti mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik

(33)

2. Hubungan positif dengan orang lain. Indikatornya adalah Mempunyai

hubungan yang hangat dan intim dengan orang lain, dapat dipercaya orang

lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan empati

3. Otonomi (kemandirian). Indikatornya Menentukan diri dan mandiri, mampu

menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri, dan mengevaluasi

diri dengan patokan sendiri.

4. Penguasaan lingkungan. Indikatornya adalah Memiliki perasaan menguasai

dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks,

menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.

5. Tujuan hidup. Indikatornya adalah Memiliki tujuan hidup dan arah hidup,

dan merasakan adanya makna dalam hidup masa kini dan masa lampau.

6. Pertumbuhan pribaadi. Indikatornya adalah Merasakan adanya

pengembangan potensi yang berkelanjutan, terbuka pada pengalaman baru,

menyadari potensi diri, dan melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari

waktu ke waktu.

2.1.2.2. Teori Pendekatan Kesejahteraan Oishi

Oishi (dalam Leddy, 2006: 143) beranggapan bahwa menandai

kesejahteraan seperti kemandirian mengubah individu secara tepat bergantung

pada cita-cita dan nilai-nilai.

(34)

Nilai-nilai yang menuntun prinsip-prinsip hidup dan menganggap cita-cita

yang diinginkan lebih tinggi. Cita-cita yang diinginkan lebih rendah termasuk

kerja keras pribadi, yang didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan

dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran Oishi menemukan perbedaan dalam menghubungkan

dengan kesejahteraan. Hasil yang menggambarkan keberfungsian yang baik

individu yang menunjukan beragam sistematika kebudayaan yang

mengindikasikan bahwa perbedaan kebudayaan dan lingkungan sosial memiliki

perbedaan cara-cara tingkah laku, menilai, dan bersikap yang cocok dengan

penyesuaian fakta-fakta dimasyarakat. Ini berarti, teori-teori konteks sosial dari

kesejahteraan perlu untuk dikembangkan yang didasarkan pada pemahaman yang

jelas tentang pola-pola kebudayaan dalam membentuk kesejahteraan perasaan

individu.

2.1.2.3.Model Kesejahteraan Marcus dan Kitayama

Marcus dan Kitayama mengutarakan bahwa ”Based on cultural psychology, maintains that the nature of “good feelings” differs from culture to culture, depending on each culture’s view of the self” (dalam Leddy, 2006: 143).

Model keseahteraan Marcus dan Kitayama (dalam Leddy, 2006: 143)

didasarkan pada psikologi kebudayaan, yang mempertahankan bahwa sifat dasar dari “good feelings” berbeda dari kebudayaan ke kebudayaan, bergantung pada

pandangan masing-masing kebudayaan tentang diri.

Baik model kesejahteraan Marcus dan Kitayama maupun model

(35)

kesejahteraan. Tetapi ada perbedaan penting masing-masing model pendekatan

dengan pola kebudayaan. Marcus dan Kitayama menyarankan kebudayaan

menentukan penerimaan tingkah laku, dan ketika individu mengikuti tingkah laku

tersebut mereka merasa puas. Model ini tidak menyarankan banyak ragam

individu yang didalamnya ada kebudayaan yang sama. Di lain pihak, model

pendekatan Oishi menyarankan bahwa kebudayaan mempengaruhi cita-cita

individu tersebut dan puas dengan kehidupan yang meningkat karena mereka

bergerak, kearah cita-cita yang meraka inginkan. Model ini juga membolehkan

perbuatan individu dalam sumber-sumber kesejahteraan dalam sebuah

kebudayaan.

2.1.3 Dimensi Psychological Well-Being

Dalam bagian ini diterangkan mengenai dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dalam (Blechman & Brownell 1998: 184) yang terdiri dari enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif

dengan orang lain, dimensi otonomi (kemandirian), dimensi penguasaan

lingkungan, dimensi tujuan hidup, serta dimensi pertumbuhan pribadi.

2.1.3.1 Penerimaan diri (self-acceptance)

Sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari

psychological well-being. Skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima

berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif tentang

kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah menunjukkan individu merasa tidak

(36)

mengalami kesukaran karena sejumlah kualitas pribadi dan ingin menjadi orang

yang berbeda dari dirinya saat ini.

Dimensi ini dicirikan dengan aktualisasi dan dapat berfungsi secara

optimal, kedewasaan, dan penerimaan kehidupan yang dilewati. Faktor-faktor

dalam aspek ini mencakup evaluasi diri yang positif, penerimaan diri, dan orang

lain.

2.1.3.2 Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)

Kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan

orang lain. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai empati dan bersahabat.

Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup hubungan yang dekat, hangat, dan intim

dengan orang lain, membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki

rasa empati, dan perhatian kepada orang lain.

Dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat dioperasionalisasikan

ke dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang

hangat dengan orang lain. Skor tinggi menunjukkan individu mempunyai

hubungan yang hangat, saling percaya dengan orang lain, memperhatikan

kesejahteraan orang lain, dan mampu melakukan empati yang kuat. Skor rendah

menunjukkan individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling

percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, dan

memperhatikan orang lain, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan

interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri mempertahankan hubungan yang

(37)

2.1.3.3 Otonomi (autonomy)

Kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Hal ini berkaitan dengan

kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan

mengatur tingkah laku. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kemandirian,

self determined kemampuan untuk melawan atau menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.

Konsep otonomi berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri

sendiri, kemandirian, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Skor tinggi

menunjukkan bahwa individu mampu mengarahkan diri dan mandiri, mampu

menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri

dengan standar pribadi. Skor rendah menunjukkan bahwa individu

memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian

orang lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial

dalam berfikir dan bertingkah laku.

2.1.3.4 Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga

sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup memiliki

kemampuan untuk mengatur dan memilih lingkungan yang kondusif untuk

mencapai tujuan.

Skor tinggi menyatakan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang

kompleks, dan menggunakan kesempatan yang ada secara efektif. Skor rendah

(38)

tidak waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang

mempunyai kontrol terhadap dunia luar.

2.1.3.5 Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life)

Kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya.

Faktor-faktor dalam Dimensi ini mencakup memiliki makna dan arti hidup, serta

memiliki arah dan tujuan hidup.

Dimensi tujuan hidup dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi rendahnya

pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Skor tinggi menyatakan

bahwa individu mempunyai tujuan dan arah hidup, merasakan adanya arti / makna

dalam hidup masa kini dan masa lampau. Individu yang berfungsi secara positif

memiliki tujuan, misi, dan arah yang mebuatnya merasa hidup ini memiliki

makna. Skor rendah menunjukkan bahwa individu kurang mempunyai arti hidup,

tujuan, arah hidup dan cita-cita yang jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari

kehidupan masa lalu.

2.1.3.6 Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara

berkelanjutan. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kapasitas untuk

bertumbuh dan mengembangkan potensi, perubahan personal atau pribadi

sepanjang hidup yang mencerminkan pengetahuan diri dan efektivitas yang

bertambah, keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru, dapat menerima

kenyataan, mampu membela diri, dan menghargai diri sendiri.

Dimensi pertumbuhan pribadi dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi

(39)

berkelanjutan. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu merasakan adanya

pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan dapat melihat kemajuan diri dari

waktu ke waktu. Skor yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan

adanya kemajuan dan potensi diri dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak

tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan

sikap atau tingkah laku baru.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dimensi psycholohgical well-being meliputi 6 dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, keyakinan memiliki tujuan hidup, dan

pertumbuhan pribadi.

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070)

menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status

sosial ekonomi, dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being dapat dijelaskan sebegai berikut:

2.1.4.1 Usia

Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian

Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring

dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan

(40)

dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan

positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia.

2.1.4.2 Jenis Kelamin

Merupakan adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis

kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif

dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan

angka kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.

2.1.4.3Status sosial ekonomi

Adanya perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan

memicu terbentuknya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa

baik kondisi psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga

mendukung seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil

penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status

pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta

kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat

pendidikan seseorang.

2.1.4.4 Budaya

Menurut Ryff & Keyes (1995: 720) mengatakan bahwa sistem nilai

individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam

dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang

menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi

(41)

2.1.5 Dinamika Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being

Penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070) menemukan bahwa

faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya

mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.

Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian

Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring

dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan

hidup dan pertumbuhan pribadi, secara jelas, menunjukan penurunan seiring

dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan

positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia.

Adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis kelamin

menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan

orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan angka

kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.

Perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan memicu

terbentukya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa baik kondisi

psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga mendukung

seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil penelitian

Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status pekerjaan

yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta kesejahteraan

psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang.

(42)

menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (misalnya: uang, ilmu,

dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan.

Sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap

psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan

budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang

tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

2.2

GURU HONORER

2.2.1 Pengertian Guru Honorer

Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu

pengetahuan kepada anak didiknya. Guru dalam pandangan masyarakat adalah

orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti

dilembaga pendidikan formal tetapi bisa juga di lembaga pendidikan nonformal

seperti masjid, surau, dirumah dan sebagainya (Djamarah, 2000: 34).

Sedangkan guru honorer adalah guru tidak tetap yang belum berstatus

minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan digaji per-jam

pelajaran. Seringkali mereka digaji secara sukarela, dan bahkan di bawah gaji

minimum yang telah ditetapkan secara resmi. Secara kasat mata, mereka sering

nampak tidak jauh berbeda dengan guru tetap, bahkan mengenakan seragam

Pegawai Negeri Sipil layaknya seorang guru tetap. Hal tersebut sebenarnya sangat

menyalahi aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Secara fakta, mereka

berstatus pengangguran terselubung. Pada umumnya, mereka menjadi tenaga

(43)

honorer, ataupun sebagai penunggu peluang untuk lulus tes Calon Pegawai Negeri

Sipil formasi umum. (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru)

2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer

Ada beberapa hak yang dapat diterima oleh guru honorer (Mulyasa, 2006:

52) yaitu :

a. Honorarium perbulan

b. Cuti berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan

c. Perlindungan hukum

Ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang guru

honorer (Mulyasa, 2006: 53), yaitu :

a. Melaksanakan tugas mengajar, melatih, membimbing dan unsur pendidikan

lainnya kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Melaksanakan tugas-tugas administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku

c. Mematuhi segala ketentuan yang berlaku disekolah tempat tugasnya.

d. Mematuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK).

Keputusan Gubernur nomor 8 tahun 2004 guru honorer berhak

mendapatkan gaji. Gaji adalah hak yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk

uang sebagai imbalan dari pemerintah daerah kepada guru honorer. Gaji yang

diberikan sesuai dengan jenis kedudukannya. Guru honorer dapat diberikan

kesejahteraan yang bersifat materiil dan non materiil. Kesejahteraan yang bersifat

materil adalah tunjangan profesi, tunjangan transport dan uang makan, tunjangan

(44)

duka terhadap keluarga guru yang meninggal dunia dan pakaian dinas.

Kesejahteraan

2.3

Psychological Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Di

Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang

Sesuai dengan tugas perkembangannya, seorang individu dewasa harus

memiliki pekerjaan. Pada saat sekarang ini untuk mendapatkan suatu pekerjaan

sangatlah sulit karena jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit dibandingkan

dengan pencari kerja. Untuk mendapatkan pekerjaan setiap individu harus

berusaha dengan keras karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah

ketat. Oleh karena itu diperlukan keterampilan yang baik untuk memenangkan

persaingan tersebut. Sekarang ini masih banyak guru yang hanya menjadi guru

honorer. Guru honorer diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mengatasi

kekurangan guru. Fasilitas yang diperoleh oleh guru honorer tidak sama dengan

yang diperoleh oleh guru tetap. Selain itu status kepegawaiannya pun juga belum

jelas karena hanya dikontrak saja. (Anoraga, 2001: 41).

Selain itu gaji yang diterima guru honorer juga terbilang rendah sehingga

menyebabkan guru honorer kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan

orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam

masyarakat yang bersangkutan.

Kekurangan materi ini membuat orang-orang yang mengalaminya

mendapat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti

(45)

aman dari perlakuan dan ancaman tindak kekerasan, dan lain sebagainya (Sahdan,

2005).

Menurut studi pendahuluan awal terlihat kondisi tersebut terlihat pada

guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.

Kehidupan guru honorer terbilang cukup berat sekali dimana dengan gaji dibawah

RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan keluarganya

pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang, merasa malu karena

hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja demi menghidupi

keluarganya.

Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001: 154)

menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan

psychological well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung , memiliki psychological well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,

dan pertumbuhan pribadi. Hal ini kerena mereka sering membandingkan diri

sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak

mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam

menghadapi kelemahan mereka.

Hasil penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang

dengan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang

tinggi, serta kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya

tingkat pendidikan seseorang. Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat

(46)

(misalnya: uang, ilmu, dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah,

(47)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah masalah yang penting dan syarat utama dalam

pelaksanaan suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan kegiatan yang

bertujuan untuk atau berusaha menemukan, mengembangkan, dan menguji

kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah dan metode

tertentu yang sistematik.

Penggunaan metode penelitian harus tepat dan mengarah pada tujuan

penelitian, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, khususnya untuk

menjawab permasalahan yang diajukan. Bab 3 ini akan dijelaskan mengenai jenis,

desain penelitian, variabel penelitian yang meliputi identifikasi variabel, definisi

operasional variabel, subjek yang meliputi populasi, metode pengumpulan data,

validitas, reliabilitas dan metode analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Menurut Arikunto

(2010: 27) penelitian kuantitatif yaitu jenis pendekatan penelitian yang banyak

dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap

data tersebut serta penampilan dari hasil. Hasil penelitian dengan pendekatan

kuantitatif menjadi lebih baik apabila disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar,

atau tampilan lain yang dapat menjelaskan gambaran di lapangan secara ringkas

(48)

3.2 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif

prosentase (Azwar, 2012: 7) yang bertujuan untuk menggambarkan secara

sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang

tertentu. Penyajian hasil analisis penelitian deskriptif dalam penelitian ini berupa

frekuensi dan persentase, yaitu dengan menggunakan tabel frekuensi dan grafik

untuk memberikan kejelasan serta pemahaman keadaan data yang disajikan

(Azwar, 2012: 126).

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

Arikunto (2010: 161) menyatakan bahwa variabel adalah objek penelitian

atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Identifikasi variabel

merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama dalam penelitian dan

fungsi masing-masing variabel Azwar (2010: 61). Pengidentifikasian membantu

dalam menemukan alat pengumpulan data dan teknik analisis yang digunakan.

Variabel yang diteliti harus sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian. Adapun variabel pada penelitian ini adalah

psychological well-being.

3.3.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang

dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati

(Azwar, 2010:74). Definisi operasional variabel digunakan untuk menghindari

(49)

ambiguitas arti suatu variabel penelitian dan memudahkan peneliti dalam

pelaksanaan penelitian maupun dalam proses analisisnya.

Psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan

orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki

tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan untuk

perkembangan pribadi. Dalam penelitian ini, psycholagical well-being akan diukur menggunakan alat ukur yang berupa skala psychological well-being melalui beberapa dimensi-dimensi tersebut antara lain penerimaan diri, hubungan

positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan

pertumbuhan pribadi.

3.4 Populasi

Menurut Azwar (2010: 77) populasi adalah sekelompok subjek yang akan

dikenai generalisasi hasil penelitian. Arikunto (2010: 173) mendefinisikan

populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi menunjukan sejumlah

individu-individu yang mempunyai ciri dan karakter yang sama.

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah guru honorer SD di

Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Populasi ini merujuk pada sejumlah

individu yang paling sedikitnya mempunyai sifat atau karakteristik yang sama.

Untuk menentukan populasi, terlebih dahulu perlu ditentukan luas dan

karakteristik populasi serta memberikan batas yang tegas agar tidak terjadi

(50)

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode total sampling dikarenakan jumlah subjek penelitian kurang dari 100, maka keseluruhan populasi

akan digunakan sebagai subjek penelitian menjadi penelitian populasi. (Arikunto,

2006: 134).

3.5 Metode Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi.

Skala psikologi selalu mengacu pada alat ukur aspek atau atribut afektif. Sebagai

alat ukur, skala memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan alat

ukur yang lain, karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi.

Data akan dikumpulkan melalui skala psikologis. Skala psikologis selalu

mengacu kepada alat ukur aspek atau atribut afektif. Skala terdiri dari daftar

pertanyaan atau pernyataan yang diajukan agar dijawab oleh responden dan

interpretasi jawaban responden dapat merupakan proyeksi dari perasaan

responden.

Alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode

pengumpulan data adalah sebagai berikut:

(1). Data yang diungkap berupa konstrak atau konsep psikologi yang

menggambarkan kepribadian individu.

(2). Pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna memancing

jawaban yang merupakan refleksi keadaan dari diri subjek yang tidak disadari

oleh responden.

(3). Responden tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan

(51)

Azwar (2005: 3) menyebutkan karakteristik skala sebagai alat ukur

psikologi, yaitu:

(1). Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung

mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator

perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini, meskipun subjek yang

diukur memahami pertanyaan atau pernyataan namun tidak mengetahui arah

jawabannya yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan sehingga

jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek terhadap

pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu berupa

proyeksi diri perasaan atau kepribadiannya.

(2). Atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator

perilaku tetapi indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk item-item,

maka skala psikologi selalu berisi banyak item. Jawaban subyek terhadap

suatu item baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut

yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat

dicapai bila semua item telah direspons.

(3). Respons subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”.

Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan

sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda

pula.

(52)

memiliki keunggulan dalam hal efisiensi dan kepraktisan, disamping itu juga

mempertimbangkan jumlah subjek dan waktu penelitian.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala psychological well-being. Skala ini disusun untuk mengungkap psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten

Batang. Bagaimana gambaran psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, Indikator

dalam skala psychological well-being ini meliputi :

Tabel 3.1 Definisi-definisi Pedoman Teori Dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dan Singer (2002: 543)

No. Dimensi Indikator

1. Penerimaan diri Memiliki sikap positif pada diri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, perasaan positif terhadap kehidupan yang dijalani.

2. Hubungan positif dengan orang lain

Mempunyai hubungan yang intim dan hangat, dapat dipercaya orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu berempati yang kuat.

3. Otonomi (kemandirian)

Menentukan diri dan mandiri, dapat melawan tekanan sosial, mengatur tingkah laku dari dirinya, mengevaluasi diri dengan patokan sendiri.

4. Penguasaan lingkungan

Memiliki perasaan menguasai dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks, menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.

5. Tujuan hidup Memiliki tujuan hidup dan tujuan hidup, Perasaan akan makna dimasa sekarang dan dimasa lalu.

6. Pertumbuhan pribaadi

(53)

Skala psychological well-being guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang ini menggunakan model skala Likert, di ma

Gambar

Gambar  4.1  : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being..................... ..
Tabel 3.2  Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Psikologi
Tabel 4.1 Skala Psychological Well-being
Tabel 4.2 Interpretasi reliabilitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dunia pendidikan anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan, serta

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa melalui uji regresi berganda, terdapat nilai koefisien

Praktik Mura>bah}ah bil Waka>lah pada pembiayaan Mitra Amanah Syariah di BPRS Magetan menurut hukum Islam akadnya fasid, karena ada sebagian rukun yang tidak

Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu hanyalah akan

Tetapi setelah dilakukan teguran oleh Pengadilan, pihak yang kalah tidak mengindahkan, maka putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap itu tidak dapat

Buku pedoman ini, merupakan suatu hasil karya dari Mahasiswa Pascasarjana Program Pendidikan Bahasa Inggris yang berinovasi pada strategi belajar dengan

Pada hari ini, Selasa tanggal Sembilan Belas bulan Juni tahun Dua Ribu Dua Belas (19-06-2012) pukul 09,00 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB bertempat di Ruang

Proses penentuan harga pokok Tandan Buah Segar (TBS), CPO dan Inti Sawit di kebun Gunung Bayu PTPN IV Kabupaten Simalungun 2008-2012 adalah : a.Harga pokok TBS antara 2008-2012