PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
PADA GURU HONORER SEKOLAH DASAR
DI KECAMATAN WONOTUNGGAL
KABUPATEN BATANG
SKRIPSI
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Jurusan Psikologi
oleh
Heri Setiawan
1550407024
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
▸ Baca selengkapnya: contoh sk tmt guru honorer
(2)Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan pada
kode etik ilmiah.
Semarang, 20 Agustus 2014
▸ Baca selengkapnya: contoh surat resign guru honorer
(3)Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang telah dipertahankan dalam sidang dihadapan panitia ujian skripsi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 27 Agustus 2014.
Panitia
Ketua Sekretaris
Drs. Budiyono, M.S. Rahmawati Prihastuti, S.Psi., M.Si. NIP 19631209 198703 1 002 NIP 19790502 200801 2 018
Penguji I Penguji II
Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A. NIP 19720204 200003 2 001 NIP 19780419 200312 2 001
Penguji III/ Pembimbing Utama
▸ Baca selengkapnya: contoh sk kolektif guru honorer
(4)Untuk Benar-Benar Menjadi Besar, Seseorang Harus Berdampingan dengan Orang Lain, Bukan di Atas Orang Lain. (Charles de Montesquieu)
Esensi Menjadi Manusia Adalah Ketika Seseorang Tidak Mencari Kesempurnaan. (George Orwell)
PERSEMBAHAN :
Karya sederhana ini aku persembahkan kepada:
Keluargaku tercinta, bapak, ibu, kakak, dan adik
Seluruh teman-teman Jurusan Psikologi angkatan 2007
skripsi yang berjudul “Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah
Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang” dapat penulis selesaikan dengan baik.
Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar
Sarjana Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Drs. Hardjono, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Semarang.
2. Dr. Edy Purwanto, M.Si., Ketua Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.
3. Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A, sebagai Dosen Pembimbing Utama
sekaligus sebagai Dosen Wali yang dengan sabar telah membimbing dan
memberikan petunjuk serta arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan.
4. Rulita Hendriyani, S.Psi.,M.Si., sebagai Penguji I skripsi yang telah
memberikan masukan dan penilaian terhadap skripsi yang disusun oleh
peneliti.
5. Sugiariyanti, S.Psi.,M.A., sebagai Penguji II skripsi yang telah memberikan
7. Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang
yang telah bersedia menjadi responden selama pelaksanaan penelitian.
8. Bapak Tumarjo, Ibu Rubinem, Bayu Setiaji, Shinta Aji Pratiwi dan seluruh
keluarga yang telah memberikan motivasi, doa, cinta serta kasih sayangnya
kepada penulis.
9. Seluruh staf pengajar Jurusan Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengalaman selama proses kuliah.
10.Yang tercinta Astikha Lutfiana dan sahabat-sahabat penulis yang telah
memberikan dorongan semangat, dan membantu penulis (Ari
Suryaman/Bolor, Indra Aji, Tyo, Singgih Kemput, Adi, Singgih Agung,
Kulphunk, Budhe Mahardika, Agung, Gosong, Dheri, Cikal, Kak Ucup,
Adam, Kak Cireng, Kak Indra, Latif, Jeje Sport).
11.Teman-teman Psikologi Universitas Negeri Semarang Angkatan 2007 terima
kasih atas kebersamaan kita selama ini, tetaplah berjuang kawan.
Semoga segala kebaikan dan keikhlasan mendapat balasan dan rahmat
Allah SWT. Akhir kata semoga karya ini bermanfaat.
Semarang, 20 Agustus 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing Utama Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A
Kata kunci:psychological well-being, guru honorer
Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta, sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam pelajaran, tingkatan jawaban, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Rendahnya penghasilan tersebut membuat guru honorer tentunya akan mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan, dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan psikologis mereka. Pemenuhan kebutuhan psikologis ini berkaitan dengan Psychological Well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka Psychological Well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri (self-realization).
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang yang berjumlah 67 orang. Penelitian ini menggunakan total sampling yang berjumlah 67 guru honorer sekolah dasar. Data penelitian diambil menggunakan skala psychological well-being, dengan jumlah item 57 yang valid dengan koefisien alpha cronbach reliabilitasnya sebesar 0,950. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif dengan metode statistik deskriptif prosentase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar atau 61,2 persen (41 orang) menyatakan dirinya memiliki psychological well-being pada kategori sedang. Sedangkan yang termasuk dalam kriteria tinggi hanya sebesar 7,5 persen persen (5 orang), dan kriteria rendah sebesar 31,3 persen (21 orang). Dari enam dimensi psychological well-being yang diteliti, yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi berada pada kategori yang sedang.
PERNGESAHAN ... ii
PERNYATAAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 12
1.3 Tujuan Penelitian ... 12
1.4 Manfaat Penelitian ... 13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 14
2.1 Psychological Well-Being ... 14
2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being ... 14
2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being ... 17
2.2. Guru Honorer ... 27
2.2.1 Pengertian Guru Honorer ... 27
2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer... ... 28
2.3 Psychological Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 29
BAB 3 METODE PENELITIAN ... 32
3.1 Jenis Penelitian ... 32
3.2 Desain Penelitian ... 33
3.3 Variabel Penelitian ... 33
3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian... ... 33
3.3.2 Definisi Operasional Variabel... ... 33
3.4 Populasi ... 34
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.6 Validitas dan Reliabilitas ... 40
3.6.1 Validitas ... 40
3.6.2 Reabilitas ... 40
4.1.1 Orientasi Kancah Penelitian ... 43
4.1.2 Proses Perijinan ... 44
4.2 Pelaksanaan Penelitian ... 44
4.2.1 Menyusun Instrumen Penelitian ... 44
4.2.2 Pengumpulan Data ... 45
4.2.3 Pelaksanaan Skoring ... 46
4.2.4 Hasil Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 46
4.3 Analisis Hasil Penelitian ... 49
4.3.1 Analisis Deskriptif ... 49
4.3.1.1 Gambaran Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50
4.3.1.1.1 Gambaran Umum Psychological Well-being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 50
4.3.1.1.2 Gambaran Spesifik Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau dari Tiap Dimensi... 52
4.3.1.2 Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi... ... 64
4.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang... 67
BAB
5 PENUTUP ... 84
5.1 Simpulan ... 84
5.2 Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
3.1 : Definisi-definisi Pedoman Teori Psychological Well-Being ... 37
3.2 : Kriteria dan Nilai Alternatif Jawaban Skala Psikologis ... 38
3.3 : Blue Print Skala Psychological Well-Being ... 38
4.1 : Skala Psychological Well-Being ... 47
4.2 : Interpretasi reliabilitas ... 49
4.3 : Penggolongan Kategori Analisis Berdasarkan Mean Teoritik ... 49
4.4 : Distribusi Umum Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar ... 51
4.5 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54
4.6 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56
4.7 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Otonomi ... 57
4.8 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 59
4.9 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 61
4.10 : Distribusi Frekuensi Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 63
4.11 : Komposisi Ringkasan Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Ditinjau Dari Masing-Masing Dimensi ... 64
4.12 : Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi Psychological Well-Being ... 66
Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 73
4.1 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being... ... 52 4.2 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah
Dasar Dimensi Penerimaan Diri ... 54
4.3 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Hubungan Positif Dengan Orang Lain ... 56
4.4 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Otonomi... ... 58
4.5 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Penguasaan Lingkungan ... 60
4.6 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Dimensi Tujuan Hidup ... 62
4.7 : Diagram Psychological Well-Being Pada Guru Honorer
Sekolah Dasar Dimensi Pertumbuhan Pribadi ... 64
4.8 : Diagram Analisis Psychological Well-Being Pada Guru Honorer
Sekolah Dasar ... 65
4.9 : Diagram Perbandingan Mean Empirik Tiap Dimensi
Psychological Well-Being ... 66 4.10 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru
Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 25-35 Tahun... ... 69
4.11 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Rentang Usia Antara 40-59... 71
4.12 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada Guru Honorer Sekolah Dasar Jenis Kelamin Pria ... 74
4.13 : Diagram Gambaran Umum Psychological Well-Being Pada
1 Instrumen Penelitian ... 90
2 Tabulasi Data ... 102
3 Hasil Uji ... 109
1. Hasil Uji Validitas Skala Psychological Well-Being ... 110
2. Hasil Uji Reliabilitas Skala Psychological Well-Being ... 115
4 Analisis Deskriptif... ... 116
1. Distribusi Statistik Deskriptif Instrumen... .... 117
2. Distribusi Statistik Frekuensi... ... 118
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia senantiasa beperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Namun pencapaian kebutuhan setiap manusia berbeda-beda. Ada yang berhasil
memenuhi kebutuhannya, namun ada pula yang belum bisa memenuhi
kebutuhannya karena berbagai macam faktor penyebab.
Pencapaian kebutuhan tentunya akan membuat manusia menjadi bahagia
dan kegagalan dalam mencapai kebutuhan juga bisa menimbulkan permasalahan
meskipun tidak sedikit orang yang juga berhasil melewati kegagalannya dengan
baik, hal ini terkait dengan kemampuan individu dalam menerima kenyataan.
Aristoteles (dalam Ryff, 1989: 1070) berpendapat bahwa pengertian
bahagia bukanlah diperoleh dengan jalan mengejar kenikmatan dan menghindari
rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu, melainkan melalui
tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimiliki individu.
Hal inilah yang merupakan tugas dan tanggung jawab manusia sehingga
merekalah yang menentukan apakah menjadi individu yang merasa bahagia,
merasakan apakah hidupnya bermutu, berhasil, atau gagal.
Teori hirarki kebutuhan Maslow menjadi salah satu tolak ukur yang bisa
digunakan dalam memahami kebutuhan manusia yang sangat beragam. Maslow
menyusun teori kebutuhan dalam bentuk hirarki yang dimulai dari kebutuhan
sebagainya hingga kebutuhan yang dianggap tertinggi yaitu kebutuhan aktualisasi
diri (http://id.wikipedia.org/wiki/Abraham_Maslow).
Untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara berkelanjutan seperti
makan, minum, dan sebagainya manusia dituntut untuk memiliki pekerjaan yang
layak dan mapan agar dalam memenuhi kebutuhan itu tercukupi.
Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu tidak akan pernah
berhenti sepanjang hidupnya. Dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup dan
permasalahan yang dihadapi individu tersebut akan membuat individu
mendapatkan pengalaman-pengalaman, baik pengalaman yang menyenangkan
ataupun tidak menyenangkan, yang selanjutnya akan mengakibatkan kebahagiaan
dan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan dan tidak kebahagiaan itu juga disebut
kesejahteraan psikologis atau psychological well-being (Halim & Atmoko, 2005).
Menurut Ryff (1989: 1970) tingkat psychological well-being seseorang berkaitan dengan tingkat pemfungsian positif yang terjadi dalam hidup orang
tersebut. Dengan kata lain, psychological well-being seseorang akan berkaitan dengan psychological functioning atau kemampuan berfungsi secara psikologis orang tersebut dalam menjalani hidupnya. Ketika individu memiliki kondisi
psychological well-being yang baik maka ia mampu berfungsi secara psikologis dengan baik.
Bila hal ini dispesifikasikan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat
psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan hubungan dengan
Orang dewasa menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan bekerja.
Berbagai aktivitas yang terjadi ditempat kerja seperti rutinitas, supervisi, dan
kompleksitas tugas mempengaruhi kemampuan kontrol seseorang sehingga ia
mampu merasakan emosi dan persepsi yang positif mengenai tempat kerjanya.
Penilaian yang positif ini merupakan indikator dari kesejahteraan. Kesejahteraan
psikologis (psychological well-being) dapat diketahui dari ada atau tidaknya perasaan bahagia. Ketika seseorang menilai lingkungan kerja sebagai lingkungan
yang menarik, menyenangkan, dan penuh dengan tantangan dapat dikatakan
bahwa ia merasa bahagia dan menunjukkan kinerja yang optimal.
Pekerjaan yang banyak diminati oleh sebagian masyarakat Indonesia
adalah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan bekerja sebagai PNS
mereka akan digaji oleh Negara, bahkan sudah pensiun pun masih tetap
mendapatkan gaji. Maka dari itu kebanyakan masyarakat Indonesia memilih
bekerja sebagai PNS karena mereka berpikiran hidupnya akan sejahtera.
Animo masyarakat yang tinggi dalam setiap penerimaan CPNS, baik yang
sudah berstatus Pegawai Honorer sebelumnya ataupun yang baru melamar,
mengindikasikan profesi tersebut masih begitu menjanjikan, sebagai sebuah
asumsinya, menjadi CPNS akan menjadi titik aman, menerima uang pensiunan,
mendapatkan gaji setiap bulan, dengan segala tunjangan keluarga, kesehatan,
transportasi, dan hingga adanya gaji ke-13, dan akan lebih menjanjikan lagi
apabila dihubungkan dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan gaji dan
kesejahteraan PNS yang hampir setiap tahunnya, pantas saja jika profesi ini akan
dampak dalam kehidupan bersosial, menjadi PNS biasanya status sosialnya
meningkat, lebih percaya diri, dan sudah barang tentu lebih dihormati dalam
kehidupan bermasyarakat.
Menurut KORAN SINDO pada hari Kamis, tanggal 24 April 2014,
profesi pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi incaran nomor wahid masyarakat
Indonesia. Tak heran, berjuta-juta pelamar selalu berebut posisi tersebut saat
dibuka rekrutmen calon abdi masyarakat ini. Dari survei yang dilakukan Litbang
KORAN SINDO, sebanyak 15% responden menyatakan mengidamkan menjadi
PNS dalam hidupnya. Survei ini dilakukan terhadap penduduk Indonesia berusia
15-25 tahun. (m.koran-sindo.com/node/384472).
Salah satu pekerjaan PNS yang paling banyak diminati masyarakat
Indonesia adalah bekerja sebagai guru. Dengan bekerja sebagai guru yang sudah
diangkat menjadi PNS hidup mereka akan tercukupi. Apalagi guru yang sudah
mendapatkan sertifikasi, gajinya bisa dikatakan lebih banyak dan bisa untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari. Menurut hasil survei Media Indonesia hari
Selasa tanggal 9 November 2013, pekerjaan sebagai guru menduduki posisi kedua
terbanyak pekerjaan yang paling diminati masyarakat Indonesia setelah Dokter.
(forinsight.wordpress.com/2013/11/9/10-pekerjaan-tervaforit/)
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai
dilirik orang, karena UU ini menjanjikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru
yang profesional, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan
Disisi lain di Indonesia terdapat juga guru honorer yang statusnya belum
Pegawai Negeri Sipil. Kebanyakan guru honorer di Indonesia belum memiliki
kesejahteraan karena gajinya bisa dikatakan sangat sedikit yaitu antara RP.
200.000,00 sampai Rp. 500.000,00. Banyak guru di Indonesia yang belum
diangkat menjadi PNS. Mereka kebanyakan hanya berperan menjadi Guru
honorer yang digaji sangat sedikit. Hal ini sangat memprihatinkan karena dengan
pendapatan gaji yang sedikit itu tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari
keadaan yang terjadi tersebut maka Guru honorer mengharapkan untuk diangkat
menjadi PNS.
Menurut Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan
dan Penjamin Mutu Pendidikan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Syawal
Gultom kepada harian Kompas pada hari Senin, tanggal 5 Maret 2012, bahwa
jumlah guru honorer di Indonesia tahun 2012 mencapai 904.378 orang.
(http://edukasi.kompas.com/2012/03/06/06420188/Guru.Honorer.Membengkak).
Guru honorer yang bekerja pada beberapa sekolah negeri maupun swasta,
sampai saat ini belum memiliki standar gaji yang menitikberatkan pada bobot jam
pelajaran, dan tanggung jawab masa depan siswanya. Banyak diantara mereka
yang bekerja melebihi dari imbalan yang mereka terima. Dengan kata lain,
insentif atau gaji yang mereka terima tidak sebanding dengan pekerjaan yang
mereka laksanakan dan tanggung jawab yang mereka terima terhadap masa depan
siswanya.
Berbeda kondisi dengan para guru yang telah diangkat statusnya menjadi
memberikan gaji bulan ke-13 bagi PNS dan pensiunan. Bahkan PNS yang
berstatus guru, selain mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya, mereka juga
mendapatkan tunjangan perbaikan kesejahteraan bagi mereka yang sudah lolos
sertifikasi.
Minimnya kesejahteraan guru honorer telah menyebabkan konsentrasi
guru honorer terpecah menjadi beberapa sisi. Disatu sisi seorang guru harus
menambah kapasitas akademis pembelajaran dengan terus memperbaharui dan
berinovasi dengan media, metode pembelajaran, dan kapasitas dirinya. Disisi lain,
seorang guru honorer dituntut memenuhi kesejahteraannya dengan melakukan
usaha atau kegiatan lain seperti katering, bimbingan belajar, dan lain-lain.
Di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang memiliki cukup banyak
guru honorer, khususnya guru honorer Sekolah Dasar, menurut kepala UPTD
Kecamatan Wonotunggal memiliki 67 guru honorer di Sekolah Dasar. Dari hasil
wawancara yang dilakukan pada 4 guru honorer sekolah dasar yang ada di
kecamatan Wonotunggal pada hari Senin tanggal 22 Juli 2013, mereka rata-rata
hanya digaji Rp. 250.000,00 per bulan. Ada juga yang digaji tiap jam pelajaran.
Mereka mengatakan dengan gaji yang rendah tersebut membuat guru honorer
mengalami beberapa hambatan dalam memenuhi kebutuhan fisik, seperti
makanan dan tempat tinggal yang layak, serta mengalami akses untuk
meningkatkan kemampuan, memuaskan minat, dan memelihara hubungan,
dimana hal-hal tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan
Ryan & deci (2001: 146) mengatakan, pemenuhan kebutuhan psikologis
ini berkaitan dengan psychological well-being seseorang, dimana semakin terpenuhinya kebutuhan psikologis orang tersebut, maka psychological well-being-nya pun akan semakin meningkat. Oleh karena itu, uang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting untuk dapat meningkatkan akses terhadap
sumber-sumber penting dalam memperoleh kesenangan dan merealisasikan diri ( self-realization). Menurut Ryff dan Singer (dalam Ryan & Deci, 2001:146), perealisasian diri terhadap potensi yang sebenarnya dimiliki ini merupakan
gambaran untuk mencapai psychological well-being.
Ryff kemudian mengemukakan adanya enam dimensi yang membangun
psychological well-being seseorang. Dimensi yang Petama adalah penerimaan diri (self-acceptance), yaitu kepemilikan sikap yang positif terhadap diri. Kedua adalah hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), yaitu kemampuan seseorang untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Ketiga adalah kemandirian (autonomy), yaitu kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan bagi dirinya sendiri berdasarkan standart pribadi dan tidak
bergantung pada pandangan orang lain. Keempat adalah penguasaan lingkungan
(environmental mastery), yaitu kemampuan seseorang untuk memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kelima adalah
tujuan hidup (purpose in life), yaitu kepercayaan yang menimbulkan perasaan bahwa hidup itu berarti dan memiliki tujuan, dimensi yang terakhir adalah untuk
Penelitian mengenai psychological well-being dinilai penting untuk dilakukan karena tidak hanya memberikan manfaat yang bersifat teoritis, tetapi
juga manfaat yang bersifat praktis. Meskipun demikian, penelitian mengenai
psychological well-being pada guru honorer belum banyak dilakukan di Indonesia. Sebuah penelitian yang dianggap paling mendekati penelitian tersebut
adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumule dan Taganing (2008) mengenai “Psychological Well-Being pada Guru di Yayasan PESAT Nabire, Papua”, yaitu
sebuah yayasan yang terletak diwilayah pedalaman Papua. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sejumlah guru yang menjadi subjek dalam
penelitian tersebut memiliki tingkat psychological well-being yang beragam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kondisi dimensi-dimensi psychological well-being yang beragam terutama dipengaruhi oleh faktor spiritualitas, pengalaman masa lalu, dan dukungan sosial. Selebihnya peneliti belum menemukan penelitian
psychological well-being lain yang dilakukan terhadap guru honorer atau subjek lain yang serupa. Padahal, penelitian mengenai psychological well-being pada guru honorer dinilai dapat memberikan kontribusi terhadap kemajuan dunia
pendidikan.
Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001:154)
menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan
Psychological Well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung, memiliki Psychological Well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,
sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak
mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam
menghadapi kelemahan mereka.
Dalam penelitian yang dipaparkan diatas menunjukan adanya pengaruh
spiritualitas, pengalaman masa lalu, dukungan sosial budaya, dan status sosial
ekonomi terhadap psychological well-being. Sayangnya, berbagai penelitian tersebut juga menunjukan hasil yang berbeda dan penelitian mengenai
psychological well-being guru honorer di Indonesia belum banyak dilakukan. Namun, penelitian di Barat mengenai psychological well-being dan status social ekonomi ini menunjukan bahwa semakin rendah status sosial ekonomi seseorang,
maka psychological well-being pun semakin rendah. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai psychological well-being pada guru honorer sekolah dasar.
Penelitian ini difokuskan terhadap guru honorer sekolah dasar karena guru
honorer yang mengajar di Sekolah Dasar dianggap memiliki beban kerja yang
lebih berat daripada guru honorer di Sekolah Menengah Pertama atau Sekolah
Menengah Atas. Dengan pendapatan yang relatif rendah, guru honorer Sekolah
Dasar dituntut untuk mengerjakan hampir semua mata pelajaran sebagaimana
guru yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Perbedaan beban kerja
dengan jumlah pendapatan yang relatif sama dinilai akan berpengaruh terhadap
Padahal guru honorer SD juga membutuhkan kesejahteraan. Sebab honor saya terima hanya dari sekolah. Sebulan yang saya terima hanya Rp. 300.000,00 saja sementara beban pekerjaan saya lebih besar dari pada guru SMP atau SMA.... (www.pikiran-rakyat.com/node/127787)
Sementara itu, Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang dipilih sebagai
lokasi penelitian karena merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Batang
dengan jumlah guru honorer sekolah dasar yang banyak, yaitu mencapai 67 guru
honorer dengan 21 sekolah dasar terdapat rata-rata 2 sampai 3 guru honorer
disetiap sekolah dasar.
Menurut studi pendahuluan awal yang dilakukan, hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa kehidupan yang dialami sebagian besar guru honorer
Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal terbilang cukup berat dimana dengan
gaji dibawah RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan
keluarganya pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang,
merasa malu karena hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja
demi menghidupi keluarganya, kurang harmonis, ada rasa iri ketika melihat guru
yang sudah PNS karena gajinya yang lebih tinggi, dan mereka belum bisa
mencapai apa yang mereka inginkan. Namun ada pula guru honorer yang merasa
sudah cukup bahagia walaupun dengan keadaan serupa. Cara yang mereka pilih
ketika menghadapi masalah atau keadaan tersebut beragam, diantaranya: ada yang
merasa lega setelah bercerita pada teman, minta masukan pada seseorang yang
berpengalaman, dan ada pula yang memilih untuk mendekatkan diri pada Allah.
Selain itu dari hasil studi pendahuluan dengan metode wawancara kepada
mendapatkan informasi bagaimana keadaan psychological well-being guru honorer yang ada di kecamatan Wonotunggal. Dari hasil wawancara tersebut
peneliti mendapatkan informasi kalau sebagian besar guru hororer SD di
kecamatan Wonotunggal belum bisa menerima keadaan dirinya, belum bisa
menerima berbagai aspek baik dan buruk, hal ini menunjukkan kalau dimensi
penerimaan diri masih rendah. Selain itu sebagian guru honorer juga merasa
kurang bisa menggunakan kesempatan secara efektif disekitarnya, belum bisa
menguasai dan mengatur lingkungan tujuan, hal ini menunjukkan dimensi
penguasaan lingkungan masih rendah. Dan yang terakhir sebagian besar guru
honorer masih rendah dalam pertumbuhan pribadi, hal ini ditunjukkan dengan
merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta tidak mampu
mengembangkan sikap serta tingkah lakunya, dan tidak bisa mengembangkan
potensi yang dimilikinya.
. Bagi guru honorer yang mampu melewati dan menghadapi masalah yang
dihadapi dan berkompetensi mengatur lingkungan, maka akan mengarah pada
kondisi psikologis yang positif dan terbentuklah kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) dalam dirinya. Jiwa yang sejahtera menggambarkan seberapa positif seseorang menghayati dan menjalani fungsi-fungsi psikologisnya.
Peneliti psychological well-being, Ryff & Keyes (1995: 721) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera apabila ia tidak sededar bebas dari tekanan atau
masalah mental yang lain. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif
terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut
Dari hasil wawancara guru honorer dan beberapa kepala sekolah SD di
Kecamatan Wonotunggal, menunjukkan bahwa sebagian besar guru honorer SD
memiliki psychological well-being yang rendah, sedangkan dari informasi beberapa kepala sekolah menunjukkan kalau sebagian besar guru honorer di
kecamatan Wonotunggal memiliki psychological well-being rendah juga.
Jika melihat tentang fenomena rendahnya kesejahteraan psikologis guru
honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal, kabupaten Batang seperti
yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai:
“Psychological Well-Being pada Guru Honorer Sekolah Dasar di Kecamatan
Wonotunggal, Kabupaten Batang”.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tingkat psychological well-being guru honorer Sekolah Dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan
pemikiran terhadap perkembangan teori keilmuan psikologi pada umumnya, dan
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini mengungkap tentang tingkat psychological well-being pada guru honorer. Dan diharapkan penelitian ini bisa memberikan kontribusi yang yang nyata pada dunia pendidikan. Khususnya dapat memberikan
masukan yang positif kepada pemerintah di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten
Batang untuk lebih memperhatikan nasib dan mensejahterakan guru honorer.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Psychological Well-Being
2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being
Psychological Well-being merupakan suatu gambaran kualitas kehidupan dan kesehatan mental yang dimiliki seseorang. Para ahli psikologi mengemukakan
bahwa penelitian mengenai kebahagiaan dan ketidakbahagiaan dikenal sebagai
psychological well-being. Psychological Well-being sendiri memiliki banyak definisi dari masing-masing tokoh psikologi.
Menurut Stern (2007: 40) konsep psychological well-being adalah konsep yang secara kontemporer banyak dikembangkan dari konsep utamanya yakni “Well-Being”. Secara umum, psychological well-being digunakan sebagai hasil
dalam studi penelitian secara empiris.
Ryff dan Singer (2002: 542) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi/penilaian individu terhadap dirinya yang merupakan
evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Evaluasi terhadap pengalaman
akan dapat menyebabkan individu menjadi pasrah terhadap keadaan yang
membuat kesejahteraan psikologis menjadi rendah atau berusaha memperbaiki
keadaan hidupnya yang akan membuat kesejahteraan psikologisnya meningkat.
dengan memberi batasan dengan “batas-batas pencapaian kebahagiaan dan
mencegah dari kesakitan”. Fokus yang kedua adalah batasan menjadi orang yang
fungsional secara keseluruhan / utuh, termasuk cara berfikir yang baik dan fisik
yang sehat.
Definisi psychological well-being yang berkembang selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan pendapat Bradburn (Ryff, 1989: 1069), berdasarkan
penelitian yang dilakukan Bradburn untuk meneliti perubahan sosial pada level
makro (perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan, dan
pendidikan), serta rujukan Bradburn pada buku terkenal karangan Aristoteles
yang berjudul “Nichomachean Ethics”. Ia menerjemahkan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) menjadi kebahagiaan (happines). Dalam Nichomachean Ethics dijelaskan bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya
keseimbangan afek positif dan negatif.
Pendapat Bradburn tersebut ditentang oleh Waterman (Ryff, 1989: 1070).
Waterman merujuk pada kata yang sama dengan yang digunakan Bradburn dalam
buku Nichomachean Ethics, yaitu “Eudaimonia”. Ia menerjemahkan kata tersebut sebagai usaha individu untuk memberikan arti dan arah dalam kehidupan. Dapat
disimpulkan bahwa eudaimonia adalah realisi potensi-potensi yang ada dalam individu.
mencoba mengembangkan dan menjaga kehangatan dan rasa percaya dalam
hubungan interpersonal (hubungan positif dengan orang lain) dan membentuk
lingkungan mereka, sehingga kebutuhan pribadi (personal needs) dan keinginannya dapat terpenuhi (penguasaan lingkungan). Ketika mempertahankan
individualitas dalam konteks sosial makro, individu juga mengembangkan self determination dan kewibawaan (otonomi). Upaya yang paling penting adalah menemukan makna dari tantangan yang telah dilalui dari upaya-upaya yang
dilakukan dalam menghadapinya (tujuan hidup). Terakhir, mengembangkan bakat
dan kemampuan secara optimal (pertumbuhan pribadi) merupakan paling utama
dalam psychological well-being.
Diener (dalam Leddy, 2006: 140) mengemukakan bahwa psychological well-being adalah evaluasi manusia secara kognitif dan afektif terhadap kehidupan yang menjadi komponen kualitas hidup seseorang. Persepsi dari kesehatan
dipengaruhi oleh kesejahteraan yang terdiri dari pengaruh positif, pengaruh
negatif, dan kepuasan hidup.
Latipun (2005: 3) mengungkapkan bahwa orang yang memiliki
psychological well-being yang tinggi juga disebut sebagai orang yang memiliki mental yang sehat. Sehat (health) adalah konsep yang tidak mudah diartikan sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaanya. World Health Organization (WHO) dalam bukunya Latipun (2005: 3) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas tentang konsep sehat, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental
Pengertian kesehatan yang dikemukakan WHO merupakan suatu keadaan ideal,
dari sisi biologis, psikologis, sosial.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka peneliti mengambil
kesimpulan bahwa kesejahteraan psikologis (psychological well-being) adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu
membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mampu mengontrol
lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki tujuan hidup dan mampu
mengembangkan bakat serta kemampuan untuk perkembangan pribadi.
2.1.2 Teori-Teori Psychological Well-Being
Dalam bagian ini dijelaskan mengenai model psychological well-being yang dikemukakan oleh beberapa ahli yaitu teori Ryff mengenai enam dimensi
psychological well-being, model pendekatan kesejahteraan Oishi mengenai kebudayaan dan dukungan sosial, serta model kesejahteraan Marcus dan
Kitayama mengenai psikologi kebudayaan. Penjelasan secara lebih rinci akan
dijelaskan sebagai berikut :
2.1.2.1 Model Psychological Well-Being Ryff
Ryff (1989: 1070) menyarankan bahwa keberfungsian psikologis
seharusnya dinilai dalam pola-pola yang terkonsep. Enam dimensi kunci yang
memulai titik konsep untuk instrumen penilaian perkembangan manusia tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan diri. Indikatornya adalah Memiliki perilaku positif pada diri seperti mengakui dan menerima berbagai aspek diri, termasuk kualitas baik
2. Hubungan positif dengan orang lain. Indikatornya adalah Mempunyai
hubungan yang hangat dan intim dengan orang lain, dapat dipercaya orang
lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan empati
3. Otonomi (kemandirian). Indikatornya Menentukan diri dan mandiri, mampu
menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri, dan mengevaluasi
diri dengan patokan sendiri.
4. Penguasaan lingkungan. Indikatornya adalah Memiliki perasaan menguasai
dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks,
menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.
5. Tujuan hidup. Indikatornya adalah Memiliki tujuan hidup dan arah hidup,
dan merasakan adanya makna dalam hidup masa kini dan masa lampau.
6. Pertumbuhan pribaadi. Indikatornya adalah Merasakan adanya
pengembangan potensi yang berkelanjutan, terbuka pada pengalaman baru,
menyadari potensi diri, dan melihat peningkatan dalam diri dan perilaku dari
waktu ke waktu.
2.1.2.2. Teori Pendekatan Kesejahteraan Oishi
Oishi (dalam Leddy, 2006: 143) beranggapan bahwa menandai
kesejahteraan seperti kemandirian mengubah individu secara tepat bergantung
pada cita-cita dan nilai-nilai.
Nilai-nilai yang menuntun prinsip-prinsip hidup dan menganggap cita-cita
yang diinginkan lebih tinggi. Cita-cita yang diinginkan lebih rendah termasuk
kerja keras pribadi, yang didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Oishi menemukan perbedaan dalam menghubungkan
dengan kesejahteraan. Hasil yang menggambarkan keberfungsian yang baik
individu yang menunjukan beragam sistematika kebudayaan yang
mengindikasikan bahwa perbedaan kebudayaan dan lingkungan sosial memiliki
perbedaan cara-cara tingkah laku, menilai, dan bersikap yang cocok dengan
penyesuaian fakta-fakta dimasyarakat. Ini berarti, teori-teori konteks sosial dari
kesejahteraan perlu untuk dikembangkan yang didasarkan pada pemahaman yang
jelas tentang pola-pola kebudayaan dalam membentuk kesejahteraan perasaan
individu.
2.1.2.3.Model Kesejahteraan Marcus dan Kitayama
Marcus dan Kitayama mengutarakan bahwa ”Based on cultural psychology, maintains that the nature of “good feelings” differs from culture to culture, depending on each culture’s view of the self” (dalam Leddy, 2006: 143).
Model keseahteraan Marcus dan Kitayama (dalam Leddy, 2006: 143)
didasarkan pada psikologi kebudayaan, yang mempertahankan bahwa sifat dasar dari “good feelings” berbeda dari kebudayaan ke kebudayaan, bergantung pada
pandangan masing-masing kebudayaan tentang diri.
Baik model kesejahteraan Marcus dan Kitayama maupun model
kesejahteraan. Tetapi ada perbedaan penting masing-masing model pendekatan
dengan pola kebudayaan. Marcus dan Kitayama menyarankan kebudayaan
menentukan penerimaan tingkah laku, dan ketika individu mengikuti tingkah laku
tersebut mereka merasa puas. Model ini tidak menyarankan banyak ragam
individu yang didalamnya ada kebudayaan yang sama. Di lain pihak, model
pendekatan Oishi menyarankan bahwa kebudayaan mempengaruhi cita-cita
individu tersebut dan puas dengan kehidupan yang meningkat karena mereka
bergerak, kearah cita-cita yang meraka inginkan. Model ini juga membolehkan
perbuatan individu dalam sumber-sumber kesejahteraan dalam sebuah
kebudayaan.
2.1.3 Dimensi Psychological Well-Being
Dalam bagian ini diterangkan mengenai dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dalam (Blechman & Brownell 1998: 184) yang terdiri dari enam dimensi yaitu dimensi penerimaan diri, dimensi hubungan positif
dengan orang lain, dimensi otonomi (kemandirian), dimensi penguasaan
lingkungan, dimensi tujuan hidup, serta dimensi pertumbuhan pribadi.
2.1.3.1 Penerimaan diri (self-acceptance)
Sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri penting dari
psychological well-being. Skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, dan merasa positif tentang
kehidupan yang telah dijalani. Skor rendah menunjukkan individu merasa tidak
mengalami kesukaran karena sejumlah kualitas pribadi dan ingin menjadi orang
yang berbeda dari dirinya saat ini.
Dimensi ini dicirikan dengan aktualisasi dan dapat berfungsi secara
optimal, kedewasaan, dan penerimaan kehidupan yang dilewati. Faktor-faktor
dalam aspek ini mencakup evaluasi diri yang positif, penerimaan diri, dan orang
lain.
2.1.3.2 Hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others)
Kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang hangat dengan
orang lain. Seseorang yang memiliki psychological well-being yang baik digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai empati dan bersahabat.
Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup hubungan yang dekat, hangat, dan intim
dengan orang lain, membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki
rasa empati, dan perhatian kepada orang lain.
Dimensi hubungan positif dengan orang lain dapat dioperasionalisasikan
ke dalam tinggi rendahnya kemampuan seseorang dalam membina hubungan yang
hangat dengan orang lain. Skor tinggi menunjukkan individu mempunyai
hubungan yang hangat, saling percaya dengan orang lain, memperhatikan
kesejahteraan orang lain, dan mampu melakukan empati yang kuat. Skor rendah
menunjukkan individu hanya mempunyai sedikit hubungan yang dekat dan saling
percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap hangat, terbuka, dan
memperhatikan orang lain, merasa terasing dan frustasi dalam hubungan
interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan diri mempertahankan hubungan yang
2.1.3.3 Otonomi (autonomy)
Kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri. Hal ini berkaitan dengan
kemampuan untuk mengarahkan diri sendiri, kemandirian, dan kemampuan
mengatur tingkah laku. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kemandirian,
self determined kemampuan untuk melawan atau menghadapi tekanan sosial, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku.
Konsep otonomi berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan diri
sendiri, kemandirian, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Skor tinggi
menunjukkan bahwa individu mampu mengarahkan diri dan mandiri, mampu
menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku sendiri dan mengevaluasi diri
dengan standar pribadi. Skor rendah menunjukkan bahwa individu
memperhatikan pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian
orang lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan sosial
dalam berfikir dan bertingkah laku.
2.1.3.4 Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Kemampuan individu untuk memilih atau mengubah lingkungan sehingga
sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup memiliki
kemampuan untuk mengatur dan memilih lingkungan yang kondusif untuk
mencapai tujuan.
Skor tinggi menyatakan bahwa individu mempunyai sense of mastery dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang
kompleks, dan menggunakan kesempatan yang ada secara efektif. Skor rendah
tidak waspada akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang
mempunyai kontrol terhadap dunia luar.
2.1.3.5 Keyakinan memiliki tujuan hidup (purpose in life)
Kemampuan pemahaman seseorang akan tujuan dan arah hidupnya.
Faktor-faktor dalam Dimensi ini mencakup memiliki makna dan arti hidup, serta
memiliki arah dan tujuan hidup.
Dimensi tujuan hidup dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi rendahnya
pemahaman individu akan tujuan dan arah hidupnya. Skor tinggi menyatakan
bahwa individu mempunyai tujuan dan arah hidup, merasakan adanya arti / makna
dalam hidup masa kini dan masa lampau. Individu yang berfungsi secara positif
memiliki tujuan, misi, dan arah yang mebuatnya merasa hidup ini memiliki
makna. Skor rendah menunjukkan bahwa individu kurang mempunyai arti hidup,
tujuan, arah hidup dan cita-cita yang jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari
kehidupan masa lalu.
2.1.3.6 Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Kemampuan seseorang untuk mengembangkan potensi diri secara
berkelanjutan. Faktor-faktor dalam dimensi ini mencakup kapasitas untuk
bertumbuh dan mengembangkan potensi, perubahan personal atau pribadi
sepanjang hidup yang mencerminkan pengetahuan diri dan efektivitas yang
bertambah, keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru, dapat menerima
kenyataan, mampu membela diri, dan menghargai diri sendiri.
Dimensi pertumbuhan pribadi dapat dioperasionalisasikan dalam tinggi
berkelanjutan. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu merasakan adanya
pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan dapat melihat kemajuan diri dari
waktu ke waktu. Skor yang rendah menunjukkan bahwa individu tidak merasakan
adanya kemajuan dan potensi diri dari waktu ke waktu, merasa jenuh dan tidak
tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk mengembangkan
sikap atau tingkah laku baru.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dimensi psycholohgical well-being meliputi 6 dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, keyakinan memiliki tujuan hidup, dan
pertumbuhan pribadi.
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070)
menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status
sosial ekonomi, dan budaya mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being dapat dijelaskan sebegai berikut:
2.1.4.1 Usia
Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian
Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring
dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan
dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan
positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia.
2.1.4.2 Jenis Kelamin
Merupakan adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis
kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif
dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan
angka kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.
2.1.4.3Status sosial ekonomi
Adanya perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan
memicu terbentuknya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa
baik kondisi psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga
mendukung seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil
penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status
pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta
kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat
pendidikan seseorang.
2.1.4.4 Budaya
Menurut Ryff & Keyes (1995: 720) mengatakan bahwa sistem nilai
individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam
dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang
menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi
2.1.5 Dinamika Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being
Penelitian yang dilakukan, Ryff (1989: 1070) menemukan bahwa
faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya
mempengaruhi perkembangan psychological well-being seseorang.
Perbedaan rentang usia berdasarkan data yang didapatkan dari penelitian
Ryff menunjukan akan penguasaan lingkungan dan otonomi (kemandirian) seiring
dengan perbandingan usia yaitu antara usia 25-39, usia 40-59, dan 60-74. Tujuan
hidup dan pertumbuhan pribadi, secara jelas, menunjukan penurunan seiring
dengan bertambahnya usia. Sedangkan dari sisi penerimaan diri dan hubungan
positif dengan orang lain menunjukan variasi skor kesejahteraan berdasarkan usia.
Adanya suatu perbedaan gender pria atau wanita. Faktor jenis kelamin
menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan
orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi dimana wanita menunjukan angka
kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada pria.
Perbedaan status ekonomi maupun perbedaan status pekerjaan memicu
terbentukya kelas-kelas sosial. Hal ini akan mempengaruhi seberapa baik kondisi
psikis seseorang dalam menjalani hidup. Perbedaan status sosial juga mendukung
seberapa mandiri seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hasil penelitian
Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang dengan status pekerjaan
yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi, serta kesejahteraan
psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang.
menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (misalnya: uang, ilmu,
dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan.
Sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap
psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan
budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang
tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
2.2
GURU HONORER
2.2.1 Pengertian Guru Honorer
Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu
pengetahuan kepada anak didiknya. Guru dalam pandangan masyarakat adalah
orang yang melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti
dilembaga pendidikan formal tetapi bisa juga di lembaga pendidikan nonformal
seperti masjid, surau, dirumah dan sebagainya (Djamarah, 2000: 34).
Sedangkan guru honorer adalah guru tidak tetap yang belum berstatus
minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dan digaji per-jam
pelajaran. Seringkali mereka digaji secara sukarela, dan bahkan di bawah gaji
minimum yang telah ditetapkan secara resmi. Secara kasat mata, mereka sering
nampak tidak jauh berbeda dengan guru tetap, bahkan mengenakan seragam
Pegawai Negeri Sipil layaknya seorang guru tetap. Hal tersebut sebenarnya sangat
menyalahi aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Secara fakta, mereka
berstatus pengangguran terselubung. Pada umumnya, mereka menjadi tenaga
honorer, ataupun sebagai penunggu peluang untuk lulus tes Calon Pegawai Negeri
Sipil formasi umum. (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru)
2.2.2 Hak dan Kewajiban Guru Honorer
Ada beberapa hak yang dapat diterima oleh guru honorer (Mulyasa, 2006:
52) yaitu :
a. Honorarium perbulan
b. Cuti berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
c. Perlindungan hukum
Ada beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang guru
honorer (Mulyasa, 2006: 53), yaitu :
a. Melaksanakan tugas mengajar, melatih, membimbing dan unsur pendidikan
lainnya kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Melaksanakan tugas-tugas administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku
c. Mematuhi segala ketentuan yang berlaku disekolah tempat tugasnya.
d. Mematuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Perjanjian Kerja (SPK).
Keputusan Gubernur nomor 8 tahun 2004 guru honorer berhak
mendapatkan gaji. Gaji adalah hak yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang sebagai imbalan dari pemerintah daerah kepada guru honorer. Gaji yang
diberikan sesuai dengan jenis kedudukannya. Guru honorer dapat diberikan
kesejahteraan yang bersifat materiil dan non materiil. Kesejahteraan yang bersifat
materil adalah tunjangan profesi, tunjangan transport dan uang makan, tunjangan
duka terhadap keluarga guru yang meninggal dunia dan pakaian dinas.
Kesejahteraan
2.3
Psychological Well-Being Guru Honorer Sekolah Dasar Di
Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang
Sesuai dengan tugas perkembangannya, seorang individu dewasa harus
memiliki pekerjaan. Pada saat sekarang ini untuk mendapatkan suatu pekerjaan
sangatlah sulit karena jumlah lapangan pekerjaan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan pencari kerja. Untuk mendapatkan pekerjaan setiap individu harus
berusaha dengan keras karena persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah
ketat. Oleh karena itu diperlukan keterampilan yang baik untuk memenangkan
persaingan tersebut. Sekarang ini masih banyak guru yang hanya menjadi guru
honorer. Guru honorer diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mengatasi
kekurangan guru. Fasilitas yang diperoleh oleh guru honorer tidak sama dengan
yang diperoleh oleh guru tetap. Selain itu status kepegawaiannya pun juga belum
jelas karena hanya dikontrak saja. (Anoraga, 2001: 41).
Selain itu gaji yang diterima guru honorer juga terbilang rendah sehingga
menyebabkan guru honorer kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan
orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
Kekurangan materi ini membuat orang-orang yang mengalaminya
mendapat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti
aman dari perlakuan dan ancaman tindak kekerasan, dan lain sebagainya (Sahdan,
2005).
Menurut studi pendahuluan awal terlihat kondisi tersebut terlihat pada
guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang.
Kehidupan guru honorer terbilang cukup berat sekali dimana dengan gaji dibawah
RP. 500.00,00 mereka belum merasa bahagia lantaran keadaan keluarganya
pas-pasan, merasa terbebani dengan status sosialnya sekarang, merasa malu karena
hanya sebagai guru honorer tetapi mereka berusaha bekerja demi menghidupi
keluarganya.
Penelitian yang dilakukan Ryff dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001: 154)
menunjukan adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap tingkatan
psychological well-being seseorang. Biasanya seseorang dengan status ekonomi yang rendah cenderung , memiliki psychological well-being yang rendah pula, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan,
dan pertumbuhan pribadi. Hal ini kerena mereka sering membandingkan diri
sebagai orang yang lebih buruk dibandingkan orang lain dan merasa mereka tidak
mampu untuk mengumpulkan sumber-sumber yang dapat membantu dalam
menghadapi kelemahan mereka.
Hasil penelitian Ryff (dalam Leddy, 2006: 143) menunjukan bahwa orang
dengan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang
tinggi, serta kesejahteraan psikologis meningkat seiring dengan meningkatnya
tingkat pendidikan seseorang. Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya tingkat
(misalnya: uang, ilmu, dan keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah,
BAB 3
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah masalah yang penting dan syarat utama dalam
pelaksanaan suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk atau berusaha menemukan, mengembangkan, dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah dan metode
tertentu yang sistematik.
Penggunaan metode penelitian harus tepat dan mengarah pada tujuan
penelitian, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, khususnya untuk
menjawab permasalahan yang diajukan. Bab 3 ini akan dijelaskan mengenai jenis,
desain penelitian, variabel penelitian yang meliputi identifikasi variabel, definisi
operasional variabel, subjek yang meliputi populasi, metode pengumpulan data,
validitas, reliabilitas dan metode analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Menurut Arikunto
(2010: 27) penelitian kuantitatif yaitu jenis pendekatan penelitian yang banyak
dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap
data tersebut serta penampilan dari hasil. Hasil penelitian dengan pendekatan
kuantitatif menjadi lebih baik apabila disertai dengan tabel, grafik, bagan, gambar,
atau tampilan lain yang dapat menjelaskan gambaran di lapangan secara ringkas
3.2 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif
prosentase (Azwar, 2012: 7) yang bertujuan untuk menggambarkan secara
sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang
tertentu. Penyajian hasil analisis penelitian deskriptif dalam penelitian ini berupa
frekuensi dan persentase, yaitu dengan menggunakan tabel frekuensi dan grafik
untuk memberikan kejelasan serta pemahaman keadaan data yang disajikan
(Azwar, 2012: 126).
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Arikunto (2010: 161) menyatakan bahwa variabel adalah objek penelitian
atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Identifikasi variabel
merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama dalam penelitian dan
fungsi masing-masing variabel Azwar (2010: 61). Pengidentifikasian membantu
dalam menemukan alat pengumpulan data dan teknik analisis yang digunakan.
Variabel yang diteliti harus sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian. Adapun variabel pada penelitian ini adalah
psychological well-being.
3.3.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang
dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang diamati
(Azwar, 2010:74). Definisi operasional variabel digunakan untuk menghindari
ambiguitas arti suatu variabel penelitian dan memudahkan peneliti dalam
pelaksanaan penelitian maupun dalam proses analisisnya.
Psychological well-being adalah suatu keadaan dimana individu mampu menerima keadaan dirinya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan
orang lain, mampu mengontrol lingkungan, memiliki kemandirian, memiliki
tujuan hidup dan mampu mengembangkan bakat serta kemampuan untuk
perkembangan pribadi. Dalam penelitian ini, psycholagical well-being akan diukur menggunakan alat ukur yang berupa skala psychological well-being melalui beberapa dimensi-dimensi tersebut antara lain penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
pertumbuhan pribadi.
3.4 Populasi
Menurut Azwar (2010: 77) populasi adalah sekelompok subjek yang akan
dikenai generalisasi hasil penelitian. Arikunto (2010: 173) mendefinisikan
populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi menunjukan sejumlah
individu-individu yang mempunyai ciri dan karakter yang sama.
Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah guru honorer SD di
Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang. Populasi ini merujuk pada sejumlah
individu yang paling sedikitnya mempunyai sifat atau karakteristik yang sama.
Untuk menentukan populasi, terlebih dahulu perlu ditentukan luas dan
karakteristik populasi serta memberikan batas yang tegas agar tidak terjadi
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode total sampling dikarenakan jumlah subjek penelitian kurang dari 100, maka keseluruhan populasi
akan digunakan sebagai subjek penelitian menjadi penelitian populasi. (Arikunto,
2006: 134).
3.5 Metode Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi.
Skala psikologi selalu mengacu pada alat ukur aspek atau atribut afektif. Sebagai
alat ukur, skala memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan alat
ukur yang lain, karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi.
Data akan dikumpulkan melalui skala psikologis. Skala psikologis selalu
mengacu kepada alat ukur aspek atau atribut afektif. Skala terdiri dari daftar
pertanyaan atau pernyataan yang diajukan agar dijawab oleh responden dan
interpretasi jawaban responden dapat merupakan proyeksi dari perasaan
responden.
Alasan peneliti menggunakan skala psikologi sebagai metode
pengumpulan data adalah sebagai berikut:
(1). Data yang diungkap berupa konstrak atau konsep psikologi yang
menggambarkan kepribadian individu.
(2). Pertanyaan sebagai stimulus tertentu pada indikator perilaku guna memancing
jawaban yang merupakan refleksi keadaan dari diri subjek yang tidak disadari
oleh responden.
(3). Responden tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan
Azwar (2005: 3) menyebutkan karakteristik skala sebagai alat ukur
psikologi, yaitu:
(1). Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung
mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator
perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini, meskipun subjek yang
diukur memahami pertanyaan atau pernyataan namun tidak mengetahui arah
jawabannya yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan sehingga
jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek terhadap
pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu berupa
proyeksi diri perasaan atau kepribadiannya.
(2). Atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator
perilaku tetapi indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk item-item,
maka skala psikologi selalu berisi banyak item. Jawaban subyek terhadap
suatu item baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut
yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat
dicapai bila semua item telah direspons.
(3). Respons subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”.
Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan
sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda
pula.
memiliki keunggulan dalam hal efisiensi dan kepraktisan, disamping itu juga
mempertimbangkan jumlah subjek dan waktu penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan skala psychological well-being. Skala ini disusun untuk mengungkap psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten
Batang. Bagaimana gambaran psychological well-being yang dialami guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang, Indikator
dalam skala psychological well-being ini meliputi :
Tabel 3.1 Definisi-definisi Pedoman Teori Dimensi-dimensi psychological well-being menurut Ryff dan Singer (2002: 543)
No. Dimensi Indikator
1. Penerimaan diri Memiliki sikap positif pada diri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk, perasaan positif terhadap kehidupan yang dijalani.
2. Hubungan positif dengan orang lain
Mempunyai hubungan yang intim dan hangat, dapat dipercaya orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, mampu berempati yang kuat.
3. Otonomi (kemandirian)
Menentukan diri dan mandiri, dapat melawan tekanan sosial, mengatur tingkah laku dari dirinya, mengevaluasi diri dengan patokan sendiri.
4. Penguasaan lingkungan
Memiliki perasaan menguasai dan mampu mengatur lingkungan, mengontrol kegiatan luar yang kompleks, menggunakan secara efektif kesempatan disekitarnya.
5. Tujuan hidup Memiliki tujuan hidup dan tujuan hidup, Perasaan akan makna dimasa sekarang dan dimasa lalu.
6. Pertumbuhan pribaadi
Skala psychological well-being guru honorer sekolah dasar di Kecamatan Wonotunggal Kabupaten Batang ini menggunakan model skala Likert, di ma