• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globali"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TEORITIK TENTANG PENGARUH GLOBALISASI

TERHADAP PROSES DEMOKRATISASI

Joko Susanto

Merumuskan korelasi teoritik antara globalisasi dan demokratisasi bukanlah perkara mudah. Tiga faktor berikut se-tidaknya ikut berperan di balik kesulitan ini. Pertama, eksistensi konsep globalisasi seba-gai fenomena masa kini (current phenomen-on) masih merupakan perdebatan yang be-lum selesai.

Kedua, kerancuan seringkali terjadi antara korelasi globalisasi terhadap demo-kratisasi dengan korelasi globalisasi ter-hadap demokrasi. Ketiga, korelasi teoritik yang menghubungkan globalisasi dengan demokratisasi seringkali tidak terorganisir secara sistematik melainkan terserak kacau di antara studi-studi konsekuensi logis globalisasi dalam hubungannya dengan satuan-satuan analisis terkait semisal negara (state), pemerintahan (governance), pasar

(market) atau yang sejenisnya. Dari sini sebuah tinjauan teoritik yang memberikan perhatian khusus pada upaya menemukan ‘premis-premis assumsional’ di antara kera-guan, kerancuan serta keterserakan glo-balisasi sebagai konsep yang mandiri atau konsep yang dipertautkan dengan demo-kratisasi tentu bermakna signifikan bagi penelitian ini. Untuk itu tinjauan teoritik di sini secara khusus memfokuskan diri pada pembahasan tiga hal. Pertama, ambiguitas globalisasi sebagai konsep tentang fenomena. Kedua, kerancuan globalisasi dalam kaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi. Ketiga, landasan teoritik bagi konsepsi keterhubungan globalisasi dengan demokratisasi.

Abstract

This paper is designed to answer a question of how globalization shapes the processes of democratization. This paper reviews theoretical foundations of the relationship between globalization and democratization. Such discussion is necessary for two considerations. First, as a transition towards democracy, reform movement has its global dimension that deserves to be explored. Second, debate and discourse on the influence of globalization towards democratization processes are basically theoretical. In the early 1990s Huntington only concentrates on the phenomenon of the globalized democratization rather than on democratization as the product of globalisation.

(2)

Globalisasi sebagai Konsep: Mendefinisikan Ambiguitas

Sebagai konsep tentang fenomena, global-isasi banyak menyimpan perdebatan dalam kaitannya dengan kontradiksi konseptual yang melingkupinya. Sebagaimana diung-kapkan ilmuwan paling menonjol dalam studi ini, Anthony Giddens, sebagian besar aspek globalisasi diperdebatkan tidak hanya dalam hal bagaimana istilah itu seharusnya dipahami, tetapi juga apakah istilah itu baru atau tidak serta konsekuensi-konsekuensi logis apa yang menyertainya. Sebagaimana Giddens (1999:32) menulis:

Sebagaian besar aspek globalisasi diper-debatkan; bagaimana istilah itu seharusnya dipahami, apakah istilah itu baru atau tidak, dan apa konsekuensinya. Dua pandangan yang sangat bertentangan muncul, sampai batas tertentu berkaitan dengan posisi-posisi politik yang berbeda. Beberapa orang menyatakan bahwa globalisasi merupakan mitos, atau paling banter sebuah kelanjutan dari trend yang telah lama mapan ... (sementara)… Pada kutub yang lain terdapat para penulis dan penentu kebijakan yang mengatakan bahwa globalisasi tidak hanya real, tetapi juga telah sangat maju per-kembangannya.

Dalam kaitannya dengan ini, keragu-an Paul Hirst dkeragu-an Grahame Thompson terhadap eksisnya proses-proses ekonomi global dewasa ini mewakili kelompok pemikiran yang pertama. Dalam bukunya yang terkenal, Globalization in Question; the International Economy and the Possi-bilities of Governance, secara eksplisit Hirst dan Thompson (1996:1), menyatakan bahwa bukunya ditulis di antara campuran skeptis-ismenya tentang proses-proses ekonomi global serta optimismenya tentang kemung-kinan kontrol atas ekonomi internasional

dan kemungkinan hidup strategi-strategi politik nasional.

Dalam pandangan Hirst dan

Thompson (1996:1), sebuah perekonomian yang benar-benar global dinyatakan telah muncul, atau dalam proses kemunculan, bilamana perekonomian-perekonomian na-sional yang berbeda dan strategi-strategi domestik manajemen ekonomi nasional yang khusus, oleh karenanya, semakin tidak relevan. Sementara dalam kenyataan kedua-nya melihat bahwa sebagaian besar per-dagangan tetap bersifat regional. Negara-negara Uni Eropa, misalnya, masih ber-dagang di antara mereka sendiri. Tingkat ekspor negara Uni Eropa ke negara-negara lain hanya mengalami sedikit pe-ningkatan selama tiga dekade terakhir se-mentara Amerika (Serikat) menjadi lebih terbuka dan mengan-dalkan ekspornya pada periode yang sama.

Perkembangan-perkembangan seper-ti ini seper-tidak mendukung terciptanya “per-ekonomian yang sepenuhnya global”. Ke-majuan perdagangan di dalam blok dan antarblok perekonomian yang berbeda se-mata-mata membawa kita kembali ke akhir abad kesembilan belas. Pada masa itu, me-nurut Hirst dan Thompson (Gidden, 1999: 33-4), seperti halnya saat ini, ada liberalisasi ekonomi perdagangan

(3)

barang-barang yang dapat diperdagangkan hanya menyumbang 7 persen dari GDP (Gross

Domestic Product) negara-negara OECD,

dibandingkan 12 persen di tahun 1911. Level 12 persen itu dicapai lagi menjelang tahun 1970, dan menjelang 1997 angka itu naik hingga 17 persen. Selain itu dibanding-kan satu abad yang lalu, sekarang terdapat jauh lebih banyak jenis barang dan jasa yang dapat diperdagangkan, serta terdapat jauh lebih banyak negara yang terlibat perjanjian dagang yang saling menguntungkan.

Namun perubahan paling penting yang membedakan masa kini dengan masa-masa sebelumnya, menurut Giddens, ialah diperluasnya peran pasar keuangan dunia, yang beroperasi pada hitungan waktu real. Lebih dari triliunan dolar per hari di jual dalam transaksi jual beli mata uang. Mengu-tip David Held (Giddens, 1999:34), proporsi keuangan dalam kaitannya dengan perda-gangan telah melonjak lima kali lebih besar selama lima belas tahun terakhir.

Sementara kapital mengambang ( dis-connected capital) --uang yang dikelola se-cara institusional tetapi bebas bergerak--telah meningkat 1.100 persen pada skala dunia 1970 dibandingkan dengan bentuk-bentuk modal lainnya. Dari sini Giddens (1999:35) menyimpulkan bahwa: “globalisa-si ekonomi adalah nyata, dan tidak hanya merupakan kelanjutan, atau kebalikan, dari kecenderungan tahun-tahun sebelumnya.”

Meski begitu, sebagai fenomena glo-balisasi bagi Giddens bukan hanya --atau bahkan terutama-- tentang saling ketergan-tungan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita. Peristiwa di suatu lokalitas yang jauh, entah yang berkaitan dengan ekonomi ataukah tidak, mempengaruhi lokalitas yang lain se-cara lebih langsung dan lebih segera dari-pada yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebaliknya keputusan yang diambil oleh individu-individu pada lokalitas seringkali memiliki implikasi global. Hal ini tak lain sebagai dampak revolusi komunikasi dan penyebaran teknologi informasi yang terjadi dewasa ini.

Konsepsi globalisasi Giddens diatas, meski diakui memuat dampak-dampak re-volusioner, berbeda dengan konsepsi global-isasi Kenichi Ohmae (1995) yang menjadi-kan dunia tanpa batas, dimana negara-bangsa tak lebih dari sekedar “rekaan” dan dimana politikus kehilangan semua kekuatan efektifnya. Konsepsi globalisasi Giddens tidak menjadikan negara-bangsa sebuah “rekaan” dan pemerintah sebuah “mesin usang”, tetapi lebih rumit dari itu globalisasi sedang mengubahnya (Giddens, 1999:36).

Menurut Giddens, globalisasi me-mang sedang “meninggalkan’ negara-bangsa dalam artian bahwa kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki oleh negara termasuk yang mendasari manajemen ekonomi Keynesian-nya telah diperlemah; sedang “menekan ke bawah” dalam artian menciptakan tuntutan-tuntutan dan kesempatan-kesempatan baru untuk meregenerasikan identitas lokal; dan sedang “mendesak ke samping” manakala ia menciptakan wilayah ekonomi dan kultural baru yang kadangkala melintasi batas-batas negara.

(4)

pemerin-tahan, ekonomi dan kultural atas warga ne-gara mereka dan juga atas arena eksternal-nya. Tetapi untuk itu seringkali mereka ha-rus lebih dulu melakukan kolaborasi aktif dengan negara, wilayah dan lokalitas lain berikut kelompok maupun asosiasi transna-sionalnya.

Dalam hubungannya dengan hal ter-sebut, konsep “pemerintah” lantas tidak lagi sepenuhnya dapat diidentifikasikan sebagai “sang” pemerintah (suatu) nasional sebagai akibat pertambahan luas jangkauannya. De-mikian pula dengan konsep “pemerintahan”

(governance) yang selanjutnya menjadi

konsep yang lebih relevan untuk merujuk pada beberapa bentuk kedudukan adminis-tratif dan pengawasan, atas suatu kolek-tivitas dimana badan-badan yang bukan merupakan bagian pemerintah --organisasi-organisasi non pemerintah-- dan yang tidak memiliki ciri transnasional turut berperan serta dalam pemerintahan (Giddens, 1999: 37).

Pembahasan ini dalam banyak hal mengikuti konsepsi Giddens tentang global-isasi. Pembahasan ini tidak hanya meyakini keniscayaan globalisasi sebagai fenomena masa kini tetapi lebih jauh justru berupaya membuktikan keberadaannya melalui pende-teksian pengaruh-pengaruh yang mungkin diberikannya terhadap suatu gejala kekinian yang tidak kalah fenomenalnya yakni de-mokratisasi. Oleh karena itu globalisasi se-bagai konsepsi kompleks tentang transform-asi ruang dan waktu dipegang teguh tidak hanya dalam kaitannya dengan konsekuensi ekonomi, politik dan sosial yang dibawanya, tetapi juga dalam kaitannya dengan desakan-desakan tiga dimensi (ke atas-ke bawah -ke samping) yang dibawanya.

Meski berbicara tentang globalisasi komprehensif, keberadaan negara-bangsa sebagai unit berdaulat dalam pembahasan ini

masih dihargai. Ini artinya, sepakat dengan Giddens, meski globalisasi memberikan dampak-dampak yang berat bagi negara-bangsa tidak lantas diyakini bahwa ia mengikis habis eksistensinya. Bahwa globalisasi mendesak negara-bangsa berikut pemerintahnya adalah suatu landasan assum-sional yang tidak disangkal, tetapi lebih dari itu perlu dicari tahu apakah assumsi di atas ope-rasional bagi penyelidikan pengaruh globalisasi atas proses-proses demokratisasi suatu negara-bangsa.

Globalisasi, Demokrasi dan Demokratisasi: Menjelaskan Kerancuan

Konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demokrasi, meski sering dipertukarkan, berbeda secara mendasar dengan konstruksi teoritik yang mempertaut-kan global-isasi dengan demokratisasi. Akar dari perbedaan ini ialah perbedaan konsep-tual antara demokrasi dan demokratisasi.

(5)

lembaga-lembaga politik serta bagi seba-nyak mungkin masyarakat’. Dengan demiki-an, secara konseptual demokrasi lebih me-rujuk pada substansi sementara demokra-tisasi lebih merujuk pada proses.

Dampak dari perbedaan konseptual ini ialah bahwa konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demo-krasi tidak bisa dipersamakan dengan kons-truksi teoritik yang mempertautkan global-isasi dengan demokratglobal-isasi. Konstruksi teo-ritik pertautan globalisasi dengan demo-krasi, selain berbeda secara mendasar, boleh jadi bertolak belakang dalam kecenderungan dengan konstruksi teoritik pertautan global-isasi dengan demokratglobal-isasi. Di tengah ke-langkaan konstruksi teoritik yang satu atas lainnya perbedaan ini perlu dipertegas guna menghindari kerancuan pemahamannya.

Konstruksi teoritik yang memper-tautkan globalisasi dengan demokrasi, deng-an demikian, tidak bisa dipersamakan dengan konstruksi teoritik yang mempertaut-kan globalisasi dengan demokratisasi. Di-bandingkan yang terakhir, konstruksi teori-tik yang pertama lebih berkonsentrasi pada bagaimana menjelaskan pengaruh-pengaruh globalisasi terhadap demokrasi sebagai sis-tem politik; sementara dibandingkan yang pertama, konstruksi teoritik yang terakhir lebih berkonsentrasi pada bagaimana menjelaskan pengaruh-pengaruh globalisasi terhadap proses-proses menuju demokrasi.

Salah satu formula teoritik yang termasuk dalam kategori pertama ialah kesimpulan Held dalam Democracy and the Global Order: From the Modern State to

Cosmopolitan Governance (1995), atau

Philip G. Cherny dalam Globalization and the Erosion of Democracy (1997). Sedang-kan contoh dari formulasi teoritik yang termasuk dalam kategori yang terakhir adalah pendekatan alternatif Giddens dalam

Beyond Left and Right: the Future of Radical Politics (1996). Formulasi Held dan Cherny secara singkat dikemukakan berikut sedangkan formulasi Giddens dikemukakan lebih lanjut di bagian berikutnya.

Held dalam upayanya mengidentifi-kasi pengaruh globalisasi terhadap eksistensi negara demokrasi liberal dewasa ini sampai pada kesimpulan bahwa, dalam konteks globalisasi makna dan posisi (place) politik demokratis harus dipikirkan kembali (

re-thought) dalam kaitannya dengan

serang-kaian struktur dan proses-proses lokal, regional dan global yang tumpang tindih (overlapping).

Dalam hubungannya dengan ini, tiga elemen perubahan secara essensial diakui. Pertama, cara di mana proses-proses ke-saling-terhubungan militer, politik, hukum dan ekonomi mengubah hakikat (nature), lu-as lingkup (scope), dan kapasitas (capacity) negara-bangsa dari atas sebagaimana ditu-njukkan oleh kemampuan regulatorinya yang terancam dan terreduksi di berbagai ruang lingkup. Kedua, cara bagaimana ke-lompok, gerakan dan komunitas etnis etnik lokal dan regional menimbulkan keraguan dari bawah eksistensi negara demokrasi liberal sebagai sistem kekuasaan yang re-presentatitf dan dapat dipertanggungjawab-kan. Ketiga, cara bagaimana kesaling-terhubungan global menciptakan mata rantai keputusan politik yang saling mengunci (chains of interlocking political decisions) antara negara dan warganya (Giddens, 1999: 57-83).

(6)

doing so at just that moment when the very efficacy of democracy as a national form of political organization appears open to question.” Di balik pertumbuhan globalnya, demokrasi dihadapkan eksistensi negara-bangsa yang tengah dilanda kesulitan akibat pertumbuhan substansial aktivitas manusia yang semakin terorganisir pada level global. Dalam konteks inilah perenungan kembali makna, posisi (place) dan muatan-muatan demokrasi sebagai sistem politik menjadi sebuah keharusan.

Sejajar dengan Held, dalam riset Cherny terhadap perkembangan demokrasi akhir 1980-an dan awal 1990-an sampai pula pada kesimpulan bahwa, meski mengalami pertumbuhan pesat dalam hal penyebaran sepanjang periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, kemungkinan bagi tumbuhnya pemerintahan demokratis sejati (genuine democratic governance) justru mengalami penurunan (declining). Terhadap kesimpulan ini Cherny (1997) mengajukan dua proposisi pendukung. Pertama, bahwa demokrasi liberal tumbuh dari proses kon-solidasi negara-bangsa dan terbenam tanpa bisa keluar (inextricably embedded) dalam konteks tersebut. Kedua, dalam dunia yang terglobalisasi, struktur pemerintahan yang tumpang tindih (overlapping) dan saling memintas (cross-cutting), serta proses-proses swastanisasi dan oligarkhi yang terus meningkat; norma-norma liberal hegemonik mendelegitimasi secara umum pemerintahan yang berbasis negara; dan negara demokratis pun kehilangan kapasitas politik yang di-perlukan untuk mentransformasikan secara demokratis input-input yang masuk menjadi output otoritatif.

Akibatnya, dihadapkan perubahan-perubahan global yang terjadi periode ini, hambatan-hambatan terjal eksis dan ber-potensi untuk membatasi; pelembagaan kembali ‘mata rantai demokratis’ (

demo-cratic chain) antara prinsip akuntabilitas dan efektivitas, pengartikulasian kembali karak-ter multi tugas (the multi-tasking character) institusi-institusi otoritatif, dan pembaharuan kapasitas agen-agen otoritatif untuk mem-buat side payment dan menjalankan pe-mantauan yang diperlukan untuk mengontrol para penumpang gelap (free-riding) dan asimilasi kelompok-kelompok terasing (alienated groups).

Bertolak belakang dengan kedua konstruksi teoritik di atas, konstruksi teoritik Giddens sebagaimana dikemas dalam apa yang ia sebut sebagai ‘pendekatan alternatif’ terhadap gelombang demokratisasi global dewasa ini. Menurutnya, penjelasan bagi marak dan populernya gerakan-gerakan demokratisasi dewasa ini dapat dicari penjelasannya dalam eksistensi globalisasi sebagai perubahan sosial yang paling mendasar dewasa ini. Meski versi yang lebih lengkap tentang pendekatan alternatif ini akan dijelaskan lebih rinci dalam sub bab setelah ini, sekedar gambaran awal dapatlah dikemukakan bahwa di mata Giddens, glo-balisasi adalah penjelasan paling memadai dibalik gelombang demokratisasi global dewasa ini. Namun di balik pandangan po-sitipnya dalam melihat pengaruh globalisasi terhadap pertumbuhan demokratisasi global, Giddens tetap berpendapat bahwa konsep demokrasi baru harus segera dipikirkan mengingat di tengah iklim globalisasi kon-sep demokrasi yang lama menerima serang-kaian tantangan kemunduran serius.

(7)

sosial selain dipahami mampu mendorong proses-proses demokratisasi, tetapi juga mengancam stabilitas sistem demokrasi liberal itu sendiri melalui proses-prosesnya yang melintasi arena politik (Giddens, 1999:104-33).

Dengan demikian dalam spektrum pemilahan sederhana tujuan versus proses, konstruksi teoritik yang pertama lebih berbicara soal bagaimana globalisasi ber-pengaruh terhadap demokrasi sebagai ideal sistem politik; sementara konstruksi teoritik yang terakhir lebih berbicara soal bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap demokrasi sebagai proses.

Dalam kaitannya dengan tipologi pemerintahan, konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demo-krasi lebih banyak membahas bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap masa depan pemerintahan yang telah demokratis secara sistem politik; sementara konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demokratisasi lebih banyak memba-has bagaimana globalisasi berpengaruh ter-hadap masa depan proses-proses transisi menuju demokrasi pemerintahan-pemerin-tahan yang sebelumnya tidak demokratis.

Globalisasi dan Demokratisasi: Mendasarkan Keterhubungan

Secara teoritik, dasar bagi upaya menghu-bungkan proses-proses demokratisasi yang berlangsung dalam kasus reformasi Indo-nesia dengan proses-proses globalisasi yang tengah berlangsung dewasa ini ialah dua hal berikut. Pertama, penjelasan Giddens (1999: 104-43) terhadap gelombang demokratisasi global dewasa ini. Kedua, pembagian Leslei Sklair terhadap proses-proses globalisasi ke

dalam tiga area yakni ekonomi, politik dan ideologi kultural.

Terdapat dua pendekatan dalam me-lihat fenomena akselerasi gelombang demo-kratisasi dewasa ini. Sebagaimana dikemu-kakan Giddens, dua pendekatan tersebut ialah pendekatan orthodox dan pendekatan alternatif. Pendekatan orthodox melihat fenomena maraknya demokratisasi lebih disebabkan oleh ketiadaan alternatif historis selain demokrasi.

Demokrasi menjadi populer dan uni-versal dewasa ini dikarenakan ia merupakan sistem politik terbaik yang pernah dicapai peradaban manusia. Dibandingkan dengan fascisme yang telah lama berlalu, komunis-me dan pekomunis-merintahan militer yang gagal menciptakan pemerintahan efektif, demo-krasi liberal yang berpasangan dengan kapi-talisme dalam kancah ekonomi membukti-kan diri mampu bertahan dan bahmembukti-kan se-makin berkembang.

Dalam diskursus demokratisasi kon-temporer pandangan orthodox ini terwakili pemikiran Francis Fukuyama. Fukuyama melalui karyanya yang monumentalThe End

of History and the Last Man,

mengemu-kakan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologi manusia (the end point of mankind’s ideological evo-lution) sekaligus bentuk final dari pemerin-tahan manusia (the final form of human government).

(8)

meringankannya dalam melewati masa-masa sulit. Pendek kata, dalam kaca mata demo-krasi liberal rezim-rezim non-demokratis sungguh merupakan rezim yang tidak

fleksible.

Dirunut dari sejarahnya pendekatan orthodox ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh hari Weber sudah menekankan ke-utamaan demokrasi sebagai sistem politik. Dalam pandangan Weber demokrasi dengan pengaku-annya pada hak-hak warga negara untuk memilih siapa yang seharusnya mengatur mereka mamberikan kondisi ter-tentu yang dapat memunculkan pemimpin-pemimpin politik yang baik. Dengan cara begini demokrasi memberikan apa yang tidak mampu diberikan oleh sistem politik satu partai per definisi dan juga ekonomi-ekonomi sosialis vis a vis ekonomi pasar kapitalis.

Meski memiliki akar pada pemikiran abad pertengahan, pendekatan orthodox di sini tidak lagi bisa dikategorikan sebagai penganut apresiasi demokratik Weber yang aristokratik. Pandangan orthodox yang ber-kembang dewasa ini muncul lebih sebagai “catching up theory of democracy” (Giddens, 1999:105).

Menurut teori ini berbagai upaya demokratisasi yang marak dewasa ini lebih dilandasi oleh alasan untuk memperbaiki kebangkrutan dan kebobrokan negara serta mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara lain yang sukses secara ekonomi politik melalui penerapan sistem politik demokrasi. Gejala ini nampak sekali pada gelombang demokratisasi yang marak di Eropa Timur akhir dekade 1980-an. Menurut teori ini gelombang demokratisasi muncul selain didasari oleh kesadaran akan tidak efisiennya sistem komunis secara ekonomi dan otoritarianismenya secara politik juga dilandasi keinginan untuk mengejar

keter-tinggalannnya dengan rekan-rekan mereka di Eropa Barat.

Pada tahap ini kesejajaran demokrasi liberal dengan kapitalisme sebagaimana di-kemukakan Fukuyama menemukan konteks-nya. Bagi Fukuyama kapitalisme berkait erat dengan demokrasi karena kapitalisme mam-pu menyediakan otonomi material yang memungkinkan terselenggaranya penghor-matan timbal balik. Kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalisme oleh Fukuyama dipandang mampu meningkatkan kondisi-kondisi bagi otonomi individual. Melalui cara pandang ini kapitalisme dan demokrasi menemukan titik temunya dalam pemenuhan hasrat untuk mendapatkan pengakuan --suatu hasrat kemanusiaan yang mendasar dan universal. Konsekuensinya, ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal karena ketidakmampuannya untuk memenuhi hasrat kemanusiaan yang paling mendasar tersebut diyakini tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berkembang universal.

(9)

terjadi sekarang padahal revolusi borjuis yang diakui sebagai tonggak kebangkitan demokrasi liberal sudah kurang lebih empat abad berlalu?

Atas dasar ketidakpuasan itulah pen-dekatan alternatif akhirnya mencoba mena-warkan penjelasan yang lebih rasional. Me-nurut pendekatan alternatif fenomena demo-kratisasi yang marak dan universal dewasa ini harus di-pahami dalam kerangka per-ubahan-perubahan sosial yang mendasari bukan pada keampuhan demokrasi liberal sebagai ideologi.

Lebih jauh, berdasarkan pengamatan terhadap proses-proses demokratisasi yang melanda Eropa Timur perubahan sosial yang mendasari tersebut dapat dikenali dengan sebutan globalisasi --sebuah istilah untuk revolusi sosial yang terjadi dewasa ini (the social revolutions of our time). Sebagaimana di ungkapkan Giddens (1999:110), pelopor utama pendekatan ini, fenomena Eropa Timur 1989 secara umum berbeda dengan revolusi-revolusi yang terjadi di awal abad XX.

Perbedaan ini bukan saja tentang tatanan apa yang tengah dihadapi tetap, lebih penting dari itu, tentang prosesnya yang berlangsung tanpa kehadiran partai revolusioner terorganisir sebagai penggerak, perjalanannya yang damai dan lebih menye-rupai peleburan ketimbang penggulingan, serta --yang terutama-- terdapatnya peran perangkat komunikasi elektronik yang nyata. Berbagai rentetan peristiwa yang bergerak cepat dari satu negara ke negara lain dalam fenomena Eropa Timur 1989 tidak mungkin terjadi tanpa peran komuni-kasi elektronik yang notabene salah satu aspek dari perubahan sosial yang disebut globalisasi.

Dengan kata lain, gelombang demo-kratisasi berlangsung lebih marak dan

uni-versal dewasa ini dikarenakan adanya feno-mena globalisasi sebagai perubahan sosial yang mendasari. Globalisasi melalui trans-formasi-transformasi yang dihadirkannya mampu meyediakan dasar bagi tekanan-tekanan demokratisasi yang makin mening-kat dewasa ini. Dengan demikian, melemah-nya negara otoritarian (the weakness of strong states) bukan disebabkan oleh cacad dari dalam melainkan lebih disebabkan oleh perubahan kondisi pada lingkungan masya-rakat global yang lebih besar. Proses-proses demokratisasi pada konteks ini dikendalikan oleh ekspansi refleksivitas sosial dan de-tradisonalisasi. Begitu refleksivitas mening-kat tidak banyak yang bisa dilakukan oleh negara-negara totaliter pada umumnya.

Proses-proses berskala lokal atau pun global tersebut meski tidak serta merta me-lemahkan rezim-rezim otoritarian secara unilateral stidaknya akan mengubah status domain politik formalnya. Dalam pemaham-an pendekatpemaham-an alternatif perubahpemaham-an ter-penting yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat dewasa ini tidak lagi berakar sepenuhnya pada dalam ruang-ruang politik formal tetapi bisa hanya dalam beberapa bagian yang terakup olehnya.

(10)

akan memperlemah negara-negara dengan sistem demokrasi liberal di kemudian hari.

Dalam kaitannya dengan persoalan ini, pendekatan alternatif memandang perlu memperkenalkan konsep demokrasi baru yang lebih deliberatif dan transendental sebagai ‘demokrasi dialogis’ (dialogic

democracy) (Giddens, 1999: 112-24).

Konsep demokrasi dialogis di sini, menurut Giddens, bukan perluasan (extension) dari demokrasi liberal atau pun pelengkap (complement) untuknya.

Konsep demokrasi dialogis secara lebih jauh berupaya mengetengahkan bentuk-bentuk pertukaran sosial (social interchange) yang dapat memberi kontribusi pada rekonstuksi solidaras sosial dalam kaitannya dengan otonomi. Dengan begitu demokrasi dialogis tidak hanya berbicara tentang proliferasi hak-hak atau pun repre-sentasi kepentingan tetapi secara lebih jauh berupaya mengembangkan kosmopolitan-isme kultural sebagai bangunan utama da-lam tarik ulur keterhubungan otonomi dan solidaritas. Dari sini terlihat bahwa demo-krasi dialogis tidak lagi dipusatkan pada negara sebagai unit tetap terbias dalam empat arena kehidupan di mana globalisasi dan refleksifitas sosial berlangsung. Ke-empat arena kehidupan itu ialah: arena kehidupan pribadi yang makin otonom, arena kelompok-kelompok swadaya masya-rakat dan gerakan sosial yang makin menjamur (proli-ferated), arena organisasi-onal besar yang makin terdesentralisisasi serta arena tatanan global yang makin ter-lembagakan. Hanya melalui cara pandang kosmopolitanisme kultural seperti ini kaum alternatif yakin bahwa masa depan demo-kratisasi demokrasi diyakini akan lebih terjamin.

Pembahasan ini bertujuan menguji bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap

proses-proses demokratisasi dalam kasus reformasi Indonesia. Artinya, dalam melihat proses-proses demokratisasi yang berlang-sung dalam kasus reformasi Indonesia. Pembahasan berupaya mencari keterhubung-annya dengan proses-proses perubahan sosial berskala global yang kini berlangsung.

Dengan demikian dalam upayanya menjelaskan proses-proses demokratisasi yang ada, pembahasan ini lebih mengikuti cara pandang pendekatan alternatif ketimbang pendekatan orthodox. Masalah-nya ialah proses-proses globalisasi seperti apa yang akan dilihat pengaruhnya pada proses-proses demokratisasi dalam refor-masi indonesia? Dengan kata lain setelah mendapatkan landasan teoritik bagi penga-ruh globalisasi terhadap demokratisasi yang diuji, pembahasan tentang hal ini masih membutuhkan pemahaman yang memadai tentang proses-proses globalisasi yang di-maksud.

Meski diyakini sebagai proses yang sudah lama berlangsung, terdapat ketidak-sepakatan yang cukup mendasar tentang apa yang dimaksud dengan globalisasi (what it is) serta apa yang terjadi dengannya (what is taking place) (Clark, 1997:19-20).

Dalam kaitannya dengan kesulitan ini, klasifikasi sederhana Sklair atas globalisasi perlu dianut meski dalam hal rumusan untuk masing-masingnya berbagai pencomotan sana-sini akan dibuat untuk melengkapinya. Mengikuti pemilahan Sklair (1991:1-51) tentang globalisasi dalam

Sociology of the Global System: Social Change in Global Perspective, globalisasi sebagai perubahan sosial dapat dibedakan ke dalam tiga area, yakni: ekonomi, politik dan ideologi-kultural.

(11)

terinterna-sionalisasi (internationalized) menjadi ter-globalisasi (globalized). Dalam ekonomi yang terinternasionalisir meski terjadi aktiv-itas antarnegara yang meluas keberadaan ekonomi nasional sebagai unit yang terpisah masih dominan dan relatif otonom, semen-tara dalam ekonomi yang terglobalisasi ber-bagai unit ekonomi nasional yang berbeda lebur (subsumed) dan terartikulasi ke dalam sistem melalui transaksi dan proses-proses internasional (Hirst and Thompson, 1996:8-13).

Dalam konteks ini globalisasi dilihat sebagai bentuk lebih maju dari internasio-nalisasi dan bentuk yang lebih mutakhir dari aktivitas ekonomi yang secara tidak lang-sung mengindikasikan suatu derajat integrasi fungsional di antara aktivitas-aktivitas eko-nomi yang tersebar secara internasional. Integrasi ini selain merupakan respon dari juga merupakan katalis bagi konvergensi pasar dan apa yang oleh kalangan ekonom dipandang sebagai kemunculan pasar global bagi produk-produk terstandarisasi.

Di antara gejala-gejala ekonomi yang ada, dunia finansial yang berjalan beriringan dengan perkembangan komunikasi instan merupakan bentuk tertinggi.

Globalisasi sebagai proses-proses politik meski mengakui keberadaan dorong-an-dorongan ekonomi di balik dinamika globalisasi menganggap bahwa ia bukan semata-mata persoalan ekonomi. Lebih lanjut globalisasi lebih merupakan proses-proses politik yakni proses-proses di mana struktur kebijakan domestik menjadi semakin ter-hubungkan dengan proses-proses trans-governmental dan transnasional. Berbagai proses kerjasama intergovernmental --mulai dari perjanjian dagang hingga negosiasi lingkungan-- beserta jaringan advokasi dan kelompok kepentingan yang transnasional saling jalin-menjalin dengan politik

domes-tik dalam proses pengambilan keputusan negara-negara. Dalam konteks ini global-isasi dipahami sebagai proses di mana negara selain tidak lagi otonom dan usang (obsolete)per se juga menjadi ajang konflik utama (primary terrain of conflict) antara kekuatan-kekuatan sosial yang menghendaki kontrol domestik atas kecenderungan global-isasi (Cherny, 1997).

Terakhir, globalisasi sebagai proses-proses sosio-kultural menghadirkan global-isasi sebagai paket perubahan sosial yang komprehensif dimana selain membawa ekses-ekses perubahan pada pola keterhu-bungan (intercourse) sosial dan kultural juga menyebarkan idealisme-idealisme tertentu yang merubah kesadaran. Termasuk dalam pemahaman jenis ini adalah konsepsi glo-balisasi sebagai westernisasi sebagaimana dikemukakan Bull dan Watson atau kon-sepsi globalisasi sebagai perluasan modern-isasi sebagaimana dikemukakan Giddens.

Bagi Bull dan Watson globalisasi tak lebih dari proses perubahan menuju tatanan internasional yang di dominasi barat. Se-mentara bagi Giddens, globalisasi akhirnya tak lebih sebagai ‘an enlargement of modernity, from society to the world. It is modernity on a global scale’.

(12)

Sebagaimana deskripsi Hurrel ten-tang kompleksitas globalisasi: “First, we are witnessing a dramatic increase in the ‘density’ and ‘depth’ of economic inter-dependence. Second, information tech-nology and the information revolution are playing an especially critical role in the diffusing knowledge, technology and ideas. Third, these development create the ma-terial infrastructure for the strenghtening of societal interdependence….Fourth, this is leading to an unprecedented and growing consciousness of ‘global problems’…..and of belonging to a single ‘human com-munity’.”

Deskripsi Hurrel, secara tidak lang-sung, menegaskan bahwa globalisasi bukan-lah proses yang monolitik. Sebaliknya, globalisasi sebagaimana pemilahan Sklair memuat kompleksitas proses-proses ekono-mi, politik maupun ideo-kultural. Yang menarik, dalam kompleksitas tersebut batas bagi masing-masing tidak terdefinisikan secara tegas. Hal ini tentu memungkinkan bagi pemahaman yang saling bertukar (interchangeable) di antaranya.

Dengan demikan, dalam kaitannya dengan transisi demokrasi yang bergulir dalam apa yang kemudian dikenal sebagai gerakan reformasi seperti di Indonesia, pendekatan alternatif yang dikemukakan Giddens jelas mengemukakan pentingnya melihat proses-proses demokratisasi yang menyertainya dalam kerangka pengaruh-pengaruh positip perubahan-perubahan ber-skala global yang dikenal sebagai global-isasi. Sementara dari Sklair serta telaah sambil lalu beberapa pemikiran terkait tentang globalisasi, pemilahan globalisasi ke dalam tiga area analisis: ekonomi, politik dan ideo-kultural adalah mungkin dan pen-ting. Secara ekonomi integrasi pasar ter-utama pasar finansial yang semakin

meng-global merupakan ciri penting meng-globalisasi yang dapat dicatat, sementara secara politik globalisasi secara terutama tercirikan dalam kesaling terhubungan politik domestik deng-an perkembdeng-angdeng-an global akibat trdeng-ansnasion- transnasion-alisasi dan fasilitasi kemajuan teknologi.

Akhirnya, globalisasi harus pula me-nyangkut penyebaran ide-ide dan kultur hegemonik yang semakin mengglobal. Dari sini apa pun pengidentifikasian terhadap eksis tidaknya pengaruh-pengaruh global-isasi terhadap suatu kasus transformasi domestik setidaknya harus pula memuat: pertama, pengaruh-pengaruh interkoneksitas pasar terutama pasar finansial yang semakin meningkat dan terintegrasi. Kedua, peng-aruh-pengaruh transformasi global, aktor-aktor eksternal dan kemajuan teknologi. Ketiga, peran ide-ide dan kultur hegemonik di balik asal-muasal, proses-proses atau pun muatan-muatan perubahannya.

(13)

Kedua, penambahan bobot tekanan demokratisasi atas rezim non-demokrasi melalui saling keterhubungan yang makin spontan antara kecenderungan demokratisasi yang berlangsung pada level global dengan proses-proses politik domestik suatu negara-bangsa oleh ketersediaan, saling keterhu-bungan dan peran signifikan pemerintah maupun aktor non pemerintah lintas nasional yang makin meningkat serta media komunikasi yang makin global.

Ketiga, penyediaan wacana global demokrasi (dalam hal inicivil society) yang berperan penting bagi proses pengagegrasian kekuatan-kekuatan penuntut perubahan kedalam satu spektrum issue yang memiliki akar transnasional dan berdimensi global.

Daftar Pustaka

Bull, Hedley Bull, and A. Watson, The Expansion of International Society

(Oxford: Oxford University Press, 1984).

Cherny , Philip G., “Globalization and the Erosion of Democracy,” makalah

Workshop on Democratization and

the Changing Global Order, the

Eropean Consortium for Political Research, Bern-Swiss, 27 Februari s.d. 4 Maret 1997, tidak diterbitkan.

Cherny, Philip G., “Globalization and Politics: Contribution to a Debate in the Swiss Political Review,” paper tak diterbitkan

Giddens, Anthony, Beyond Left and Right

(Cambridge: Polity Press, 1996).

Giddens, Anthony, Jalan Ketiga: Pembaha-ruan Demokrasi Sosial, terjemahan Ketut Arya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999).

Held, David, Democracy and the Global Order: From the Modern State to

Cosmopolitan Governance

(Cam-bridge: Polity Press, 1995).

Held, David, and Anthony McGrew, “Glo-balization and the Liberal Demo-cratic State,” dalam Yoshikazu Sakamoto (ed.), Global Transform-ation to the State System(Tokyo: UN University Press, 1994), 57-83.

Hirst, Paul, dan Grahame Thompson, Glo-balization in Question: The Inter-national Economy and the

Possibi-lities of Governance (Cambridge:

Polity Press, 1996).

Huntington, Samuel P., Gelombang Demo-kratisasi Ketiga, terjemahan Asril Marjohan (Jakarta: Grafiti, 1997).

O’Donnel, Guillermo, dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju

De-mokrasi:Rangkaian Kemungknan

dan Ketidak Pastian, terj. Nurul

Agustina (Jakarta: LP3ES, 1993).

Ohmae, Kenichi, The End of Nation State: The Rise of Regional Economies

(London: Harper-Collins, 1995).

Robertson, Roland, Globalization: Social Theory and Global Culture(London: SAGE Publications, 1992).

(14)

Perspective (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1991).

Uhlin, Anders, “Demokratisasi di Indo-nesia: Peluang dan Hambatan,”

Referensi

Dokumen terkait

Penyesuaian bentuk sel darah merah terhadap proses fisiologis tubuh unggas antara lain dengan tingkat fleksibilitas sel darah untuk mampu bergerak bebas dengan

Cacing ini mempunyai tubuh yang lunak dan hidup be- bas sebagai fauna dasar (benthic fauna) pada berbagai habitat di dasar laut.. Cacing laut dapat hidup pada perairan dangkal sam-

Dari hasil pengukuran tersebut maka dapat diketahui bahwa dengan adanya protype yang dibuat maka air dengan kapasitas aliran 14 Liter/menit dapat menghasilkan tenaga listrik

Kapal Keruk Hamson (01) di lokasi kolam P.25 menghisap material lumpur yang sudah dicampur dengan air kemudian dialirkan ke pipa buang langsung menuju outlet di lokasi KP.159

Sangat terampill, jika menunjukkan adanya usaha untuk menerapkan konsep / prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan relasi. Beri tanda

 Mencoba memecahkan masalah dengan tenang dan berfikir dengan cerdas  Memperbaiki diri sendiri dari kesalahan yang telah berlalu.  Belajar mengatur dir,i dsb MUHAMMAD ILHAM

Sementara sampai dengan tahun 2014, Penyelian Mitra Tani (PMT) yang merupakan pendamping yang telah direkrut sebanyak 1528 orang, Tujuan PUAP adalah; (1)

Terdapat sebuah kerangka sistematis yang dapat dilakukan organisasi dalam mengelola pengetahuan yaitu; penciptaan pengetahuan (knowledge creation); penyimpanan dan