• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haruskah Sastra Berideologi di dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Haruskah Sastra Berideologi di dalam"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Haruskah Sastra Berideologi?

Oleh: Fajar S.Roekminto

“Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan

pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa? Mungkinkah berharap”1

Enam belas kata yang dikutip di atas ternyata telah mampu membuat geram serta murka seorang Wapres Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Menariknya lagi, kata-kata itu bukan kutipan berita di surat kabar, tulisan dalam artikel majalah/koran atau kritikan seorang pakar politik pada acara talk show, melainkan kutipan salah satu genre sastra, puisi. Puisi itu juga dibaca dengan intonasi yang biasa-biasa saja, tidak meledak ledak dan tidak penuh dengan kemarahan. Namun demikian dengan sangat reaktif dan cenderung berlebihan, Jusuf Kalla mengomentari puisi itu dengan nada yang tinggi, amat serius dan marah.

Reaksi seperti ini wajar terjadi karena perbedaan cara pandang dan latar belakang kedua orang tersebut. Sebagai seorang saudagar yang kebetulan menjadi birokrat, Jusuf Kalla mendengar puisi itu sebagai sebuah protes “buruh” terhadap “perusahaan” yang dia pimpin. Sedangkan Prof. Surahman terbiasa hidup dalam dunia akademik, sebuah dunia yang menempatkan manusia setinggi tingginya dan memberi pengharagaan yang setinggi-tingginya pula terhadap karya manusia. Bagi Jusuf Kalla manusia adalah “sumber daya” yang dengan mudah dikalkulasi, direstrukturisasi, dipindahkan, dipecat dan ditumpuk seperti karton susu dan ditempatkan di gudang.

Padahal tidak ada tendensi apa-apa dari Prof. Surahman dengan puisi yang ia baca, karena ia hanya ingin menyampaikan kegundahan dan kegetiran hidup yang menimpa ribuan guru yang ada di Indonesia saat ini. Puisi itu tidak memiliki pretensi apa-apa selain sebuah ekspresi kepedihan melalui aliran kata ke kata serta bait ke bait. Sikap yang ditunjukan oleh sang Wapres telah membuat banyak orang, khususnya kalangan akademisi geleng-geleng kepala penuh tanda tanya sebagai bentuk ketidak-pahaman mereka atas sikap orang ke-2 di Republik ini.

(2)

dihantam, dilibas, dihancurkan, dipenjarakan, di-PKI-kan dan kalau perlu dihabisi.”

Di banyak negara, khususnya Uni Sovyet pada masa pra-glasnot dan beberapa negara komunis lainnya, pelarangan serupa juga terjadi pada karya-karya sastra yang ditulis oleh mereka yang berseberangan dengan pemerintah, baik itu mereka yang benar-benar memberikan kritik maupun yang “hanya karena” tidak disukai oleh penguasa. Namun demikian pasca kematian Stalin, yang juga disebut sebagai masa The Thaw, Uni Sovyet melahirkan penulis yang dianugrahi Nobel pada tahun 1958, Boris Pasternak. Pada awalnya karya Pasternak berjudul Doctor Zhivago dapat dengan leluasa dibaca namun kemudian dilarang karena penulisnya memberikan kritik tajam pada pemerintah. Pemerintahan Nikita Khrushchev memang sedikit bersikap lunak terhadap para sastrawan dibandingkan dengan pendahulunya, Stalin. Beberapa karya yang lahir pada masa itu diantaranya adalah Odin den‟ Ivana Denisovicha (1962), A Day in the Life of Ivan Denisovich (1963) karya Aleksandr Solzhenitsyn.

Kebebasan yang diberikan oleh Khrushchev memang tidak seluas yang diberikan Pemerintah Rusia pada saat ini. Kapan dan berapa lama sebuah karya sastra boleh beredar sepenuhnya tergantung keinginan pemerintah. Sehingga seringkali terjadi sebuah karya sastra yang pada awalnya dapat dinikmati masyarakat luas tapi selang beberapa waktu kemudian hilang dari peredaran karena pemerintah berubah pikiran. Alasan itulah yang membuat para sastrawan menerbitkan sendiri karya-karya mereka untuk kemudian didistribusikan dikalangan terbatas baik di dalam maupun di dalam negeri. Fenomena semacam ini disebut dengan samizdat (self-publishing)2. Model penerbitan ini juga pernah dilakukan pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan lain yang dimusuhi oleh Suharto pada masa itu. Dengan sembunyi-sembunyi aktivis-aktivis mahasiswa dan gerakan pro demokrasi mencetak karya-karya itu agar dapat disebarluaskan meski melalui distribusi bawah tanah dan hanya pada kalangan terbatas.

Untuk kasus yang lebih mutakhir, kemurkaan karena kehadiran karya sastra juga menjadi milik Ayatollah Ruhollah Khomeini. Kemurkaannya dipicu oleh kehadiran The Satanic Verses3 karya Salman Rusdie. Khomeini tidak sendirian karena jutaan umat Muslim di seluruh dunia bergerak bersama-sama melawan kehadirannya. Sementara itu Gereja Katolik Roma, Protestan, aliran-aliran dan sekte Kristen tradisional juga telah dibuat geram oleh ulah

Dan Brown dengan novelnya The Da Vinci Code4. Meskipun sikap pemimpin

gereja tidak seekstrim Khomeini terhadap Rusdie namun tetap saja The Da Vinci Code dianggap telah menodai ajaran agama Kristen. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan mencapai penjualan 60,5 juta eksemplar di seluruh dunia, yang kemudian menempatkan Dan Brown menjadi seorang jutawan. Harus diakui bahwa karya-karya sastra tidak jarang dianggap menghina golongan tertentu, agama dan pemerintah hingga akhirnya penguasa memberikan karya-karya sastra itu stigma “meresahkan

masyarakat, menggoncang iman” dan “mengganggu stabilitas”.

(3)

atas pertanyaan itu memunculkan pertanyaan baru lagi. Hal ini disebabkan karena sampai detik ini sastra tidak pernah mampu mendefinisikan dirinya sendiri dengan pemahaman yang dapat memuaskan setiap orang.

Setiap kali muncul definisi sastra, maka pada saat yang hampir bersamaan pula lahir definisi lain yang menyanggah dan menyangsikan definisi sastra yang lahir terdahulu. Keragaman dalam konstelasi kesejarahan dan kompleksitas kebudayaan berdampak pula pada terbentuknya keragaman pemahaman dan definisi sastra. Namun demikian sastra tetap memiliki ciri-ciri umum yang “seolah-olah” sudah disepakati bersama bahwa “karya sastra” bersifat fiktif dan memiliki genre yakni puisi, prosa dan drama. Kesamaan konsep ini tidak bersifat kebetulan karena selain pada dasarnya manusia memiliki kemiripan sudah sejak lama terjadi interaksi budaya antara satu kebudayaan dengan kebudayan yang lain, salah satunya adalah Jalur

Sutera.5 Dimungkinkannya penerjemahan karya-karya sastra dari satu

bahasa ke bahasa yang lain merupakan salah satu contoh bentuk kesepakatan dan kesamaan konsep sastra tersebut. Selain itu, kesamaan konsep juga terjadi pada tiga hal mendasar wacana sastra.

Pertama, semesta (baik itu semesta pembaca maupun penulis) karena sastra tidak pernah lahir dari kekosongan sehingga baik penulis dan pembaca sama-sama memiliki semesta meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Kedua, karya sastra itu sendiri yang diekspresikan dalam bentuk bahasa dan yang terakhir adalah kenyataan bahwa obyek sastra itu sendiri adalah manusia yang harus berhadapan dengan dunia “realitas” sastra yang fiktif dan dunia realitas kemanusiaannya, meskipun pandangan ini pun masih belum sepenuhnya diterima karena dalam beberapa kebudayaan batas antara fakta dan fiksi dalam sastra sangat subtil, saga bangsa Islandia misalnya atau kesusastraan Inggris akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Dalam bahasa Indonesia, kata sastra sering kali diartikan secara luas, yang mencakup baik itu tradisi oral maupun sastra tulis.6 Secara etimologis, kata sastra7 berasal dari bahasa Sansekerta, dengan akar kata sás-, yang

berarti “mengarahkan”, “memberi petunjuk” atau “mengajar” serta akhiran –tra

yang berarti alat. Kata susastra, seperti yang sering diucapkan orang memiliki awalan su-, berarti baik. Mengenai kompleksitas definisi sastra ini, Terry Eagleton8 memberikan uraian secara hati-hati dan comprehensif, mulai dari karya sastra sebagai tulisan yang bersifat imajinatif, perbedaan antara fakta dan fiksi, pemahaman sastra pada abad ke-17 di Inggris sampai totalitas sistem teks yang diusung oleh kaum Formalisme Rusia.

Sedangkan Ideologi9 secara kategorikal menjelajahi wilayah keyakinan, nilai-nilai dan konsep ideal mengenai pemahaman cara kerja dunia serta bagaimana manusia merespon orang lain dan lingkungannya, membedakan mana yang baik dan benar serta merumuskan sesuatu yang ideal dalam kehidupan. Dalam konteks disiplin ilmu, ideologi memang bukan istilah yang dimiliki oleh sastra.10 Wacana ideologi terkait erat dengan disiplin ilmu sosial dan politik serta diidentikan kekuasaan.

(4)

dan ideologi tidak merujuk pada ilmu sastra maka sastra akan tereduksi menjadi sekedar karya sastra saja dengan tiga genre-nya, puisi, drama.

Sering terjadi dalam diskusi sastra, mereka yang tidak memiliki pengetahuan mengenai teori dan kritik sastra mengulas sebuah karya sastra dengan memberikan analisis-analisis yang pada akhirnya bias. Apakah novel 1984 karya George Orwell merupakan sebuah alegori, sekedar ekspresi atau ramalan George Orwell akan datangnya sebuah negara totaliter? Novel itu sendiri ditulis pada saat Perang Dunia Ke-2 baru saja selesai yakni suatu masa ketika di dunia ini dipenuhi oleh banyak pemimpin diktator yang memiliki kemiripan untuk dijadikan representasi Big Brother seperti misalnya Adolf Hitler, Mao Tse-tung, Francisco Franco dan Benito Mussolini. Mungkinkah 1984 merupakan gambaran negara yang dipimpin atas salah satu diktator tersebut? Apakah Orwell membawa ideologi tertentu dalam 1984? Diskusi yang tidak menyertakan teori dan kritik sastra dalam membahas novel tersebut justru akan melenyapkan esensi karya sastra itu sendiri hingga pada akhirnya Orwell tidak dilihat sebagai seorang pengarang melainkan politikus padahal dalam kenyataannya tidak demikian.

Sastra harus dipahami secara terintegrasi yakni karya sastra itu sendiri (termasuk didalamnya semesta pembaca dan penulis), sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra.13 Dengan memiliki pemahaman ini maka jawaban atas pertanyaan, “Haruskah sastra berideologi?”, menjadi lebih mudah untuk dijawab, tidak dengan sebuah jawaban pendek “ya” atau “tidak” melainkan kemudahan dalam memahami dan memetakan konfigurasi sastra yang kompleks. Selain itu untuk tujuan apa kita berbicara mengenai ideologi dan sastra.

Ideologi mengacu pada cara berpikir orang dan kelompok tertentu, sehingga apabila seorang sastrawan yang mengekspresikan semestanya dalam sebuah karya sastra, maka apa yang dia tuangkan dalam teks itu adalah apa yang dia ingin katakan termasuk didalamnya ideologi yang dia anut dan dengan sendirinya karya sastra itu sendiri sudah berideologi, setidaknya ideologi pengarang. Namun demikian tidak berarti sastrawan menulis karena tujuan propaganda ideologi yang dianutnya. Jika hal itu terjadi maka pada saat itu juga esensi sastra itu hilang.14 Karya sastra adalah

sebuah ruang yang dibentangkan untuk meletakkan sebagian “realitas”

kemanusiaan penulis atas keberadaannya. Ruang bukanlah alat dan akan berubah menjadi alat ketika terjadi pemaknaan sedangkan pemaknaan itu sendiri tidak berada di tangan penulis melainkan pembaca, entah itu pembaca secara individu, kelompok maupun penguasa. Sebagai sebuah wadag atas gagasan-gagasan yang memang harus dikomunikasikan dan dibagikan pada manusia yang lain, ideologi membutuhkan sebuah media dalam melakukan proses komunikasi ini, sastra salah satunya dan dari sinilah kemudian ruang berubah menjadi alat karena sastra dipahami sebagai praksis dan bukan ontologis15.

(5)

Marx ideologi adalah superstructure sedangkan sistem sosioekonomi yang

berjalan pararel adalah base dan sastra merupakan bagian dari

superstructure.

Dalam konteks Kesusastraan Indonesia, ideologi dalam sastra seyogyanya memiliki makna bagi kepentingan sastra Indonesia dengan tujuan akhir menempatkan manusia Indonesia sebagai obyek sekaligus subyek sastra dalam rangka memaknai jaman. Sebagai sebuah contoh, bagaimana ideologi diajarkan dalam sastra dan bagaimana menghadapi beragam pemikiran dalam dunia global yang bergerak dengan begitu cepat. Selain itu

ideologi juga berperan dalam kanonisasi sastra.16 Pengalaman dan

kesejarahan sosial, politik dan sastra bangsa Indonesia berbeda dengan bangsa lain, sehingga pengajaran sastra juga harus berbeda termasuk bagaimana relasi sastra dan ideologi. Pengalaman Amerika17 misalnya, tidak bisa dijadikan acuan begitu saja karena banyak perbedaan mendasar yang terjadi dalam kesejarahan sastra kedua bangsa.18

Persoalan yang umum terjadi di Indonesia adalah seringkali ideologi dicomot begitu saja dan dipakai untuk kepentingan pragmatis dengan memperalat sastra, misalnya aliran realisme sosial ala Aleksei Maksimovich yang bernama pena Maxim Gorky (kepahitan) yang sempat menghuni tubuh Lekra dan menghantui lawan-lawan ideologinya. Demi kepentingan revolusi hal ini sah-sah saja. Jagad sastra memang selalu menarik, meriah dan “edan” apabila dikaitkan dengan ideologi hingga terjadi polemik terus menerus. Dengan cara semacam ini sastra menjadi berkembang hanya saja warna dan kualitas polemik itu tidak terlepas dari watak dan ideologi bangsa yang membentuknya, dan memang begitulah realitas yang terjadi dalam sastra.

1

Kutipan puisi yang dibacakan oleh Prof Winarno Surahman pada Hari Guru Ke-60 Tahun 2005 di Solo.

2

Kenneth Lantz, “Russian Literature.” Microsoft® Student 2007 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006.

3

Fiction made headlines with the ‘sentence of death’ passed in February by Iran's Ayatollah Khomeini on British

novelist Salman Rushdie…… the book blasphemed Islam. Encarta Yearbook 2007, Microsoft ® Encarta ® 2007.© 1993-2006 Microsoft Corporation.

4

“Da Vinci Code Dad Named in Multimillion-Dollar Gift”, The Exeter Initiatives, November 1, 2004.

5

Kutipan puisi Four Lyrics from Dunhuang (Lirik Ke-1:Eternal Longing: He was a traveler west of the river, with

wealth and eminence are in this world. All day long in vermilion towers ... dancing and singing songs. The cup filled again and again, till he's drunk as mud; lightly, lightly trading golden goblets, wearing out the day tasting joys, pursuing pleasures— Some people are rich and never go home). Dunhuang merupakan salah satu tempat di provinsi Gansu (saat ini) yang merupakan kota utama Jalur Sutera selama berabad-abad. Tempat itu menjadi pertemuan antara kebudayaan Cina dan Asia Tengah sekaligus pusat agama Budha dengan biara yang terkenal bernama “Gua Seribu Budha” (The Caves of the Thousand Buddhas). Kira-kira pada abad ke-11 terjadi pencurian terhadap 30.000 manuskrip. Puisi yang dikutip berjudul Eternal Longing, salah satu yang terdapat dalam manuskrip yang hilang tersebut. (Victor H Mair., (Ed). Columbia Anthology of Traditional Chinese Literature. New York: Columbia University Press, 1994 via Microsoft ® Encarta ® 2007. © 1993-2006 Microsoft Corporation).

6

Sastra Indonesia Modern (SIM) baru dimulai kira-kira 60 tahun yang lalu. (Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip Kritik Sastra, Cet. Ke-2, UGM University Press, Jogyakarta, 1997, hal. 1). Lihat juga Jakob Sumardjo,

Kesusastraan Melayu Rendah, Masa Awal, Cet. Ke-1, Galang Press, Jogyakarta, 2004, hal. 1-38). Terjadinya celah antara bahasa tulis dan ekspresi lisan sangat berpengaruh terhadap pemahaman sastra. Meskipun tidak dalam jumlah yang besar celah itu terjadi pada masyarakat Indonesia (Amin Sweeney, A Full Hearing: Orality and Literacy in Malay World, First Edition, University of California Press, Los Angeles, 1987, hal.101).

7

Sastra dalam bahasa Inggris, literature yang berasal dari bahasa Perancis, littérature, dan kata inipun berasal dari bahasa Latin, litteratura. (Tom McArthur dan Feri Arthur (Ed), The Oxford Companion to the English Language, Oxford University Press, New York, 1992, hal. 619-620).

8

Theory of Literature, An Introduction, Second Edition, Blackwell Publishing, Oxford UK, 1996, hal.1-14.

9

Istilah ideologi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Destutt de Tracy (1755-1836), seorang filsof aristokrat Perancis. Dalam bukunya Eléments d'idéologie (4.vols., Paris, 1801-15) pada prinsipnya dia mengatakan bahwa ideologi adalah, “....a sience of ideas, their truth or error, working through a critical theory of the actual process of

the mind.” (Duncan Mitchell (Ed.) A Dictionary of Sociology, First Edition, Routledge & Kegan Paul, London, 1968, hal. 94).

10

Dalam kamus A Glossary of Literary Term, Seventh Edition, Heinle & Heinle, Massachusetts, 1999, yang ditulis oleh M.H Abram, tidak terdapat lema “ideologi” dan hanya menjadi bagian dari penjelasan mengenai lema Author

(6)

Criticsm (hal.180), Postcolonial Studies (hal.236), Poststructuralism (238) danText and Writing (Écriture) (hal. 316).

11

Dalam konteks studi kebudayaan, setidaknya terdapat lima hal yang signifikan dalam pembicaraan mengenai ideologi yakni kesatuan sistematis gagasan yang diartikulasikan oleh sekelompok orang, distorsi gambaran sebuah realitas, bentuk-bentuk ideologi, gagasan Marx, Althusser serta pemikiran Roland Barthes. (John Storey,

An Introduction to Cultural Theory and Popular Culture. Second Edition, Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, Herfordshire, 1993, hal. 4-6)

12

Dalam gagasan Marx dan Engels, “ideologi” tidak merujuk pada seperangkat keyakinan melainkan lebih sebagai kriteria normatif. (Encyclopædia Britannica CD 99, Copyright 1994-1999)

13

Dalam buku Theory of Literature, Rene Wellek dan Austin Warren, Penguin Book Ltd: Hardmondsworth 1968, hal.25. Beberapa pandangan tentang sastra ini sepertinya sangat dipengaruhi oleh eksistensi Wellek sebagai seorang sejarawan kritik. Buku itu sendiri kemudian menjadi referensi standar dalam studi sastra di tingkat pascasarjana di negara-negara Barat.

14

Sastra harus bersifal polivalen secara politik sehingga sastra tidak direduksi menjadi propaganda. (Adorno via Raymond William, Marxism and Literature Oxford University Press: Oxford, 1977, hal. 202

15

Pandangan ini setidaknya mirip dengan studi sastra Marxisme.

16

Terdapat beberapa hal mendasar dalam pengajaran sastra di Indonesia. Lihat Kurikukulum Satuan Tingkat Pendididikan (KSTP). Dalam kurikulum tersebut (pelajaran Bahasa Indonesia) terlihat bahwa sastra hanya diajarkan sebagai bagian dari bahasa Indonesia serta tidak memiliki arah yang jelas. Sastra tidak diapresiasi tetapi sekedar diketahui. Pengajaran sastra dalam kurikulum secara ideologis seharusnya memiliki arah yang jelas. Sedangkan kanonisasi sastra juga menjadi persoalan yang pelik karena tidak ada otoritas yan g menjalankan fungsi tersebut. Meski tidak bermaksud untuk menyeragamkan ideologi, “kesepakatan” dan “persamaan” persepsi mengenai kanonisasi itu seharusnya secara umum berjalan pada satu ideologi yang sama antara penguasa dan anggota masyarakat.

17

Tradisi sastra Amerika sangat kuat dengan gagasan Puritanism dan bahkan gagasan teolog Martin Luther (1483-1546) yang mempengaruhi secara permanen agama dan lembaga-lembaga masyarakat dalam demokrasi di Amerika. (George Perkins dan Barbara Perkins (Eds.), Cet.Ke-8. The American Tradition in Literature,McGrawhill, Inc.NewYork, 1994, hal. 5-11)

18

Referensi

Dokumen terkait

Sarana dan prasarana di SMP Negeri 9 Magelang sudah cukup memadai karena sekolah ini sudah termasuk dalam kategori Sekolah Standar Nasional. Untuk pembelajaran Bahasa

Terbilang : Tiga puluh satu jiita sembilan ratus sembilan puluh ribu

In this paper, we evaluated the potential of PNN as an alternative to the traditional logistic regression model for the purpose of predicting disease occurrence in shrimp farms.

Finally, the simulated multi-temporal SAR images from ERS are used to validate the PCA technique, and then ENVISAT dual-pol SAR data and ALOS PALSAR full-pol SAR data are applied

[r]

TEMA: HIBURAN Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Nilai Budaya Dan Karakter Bangsa KewirauSahaan/ Ekonomi Kreatif Materi Pokok dan Uraian Materi Kegiatan Belajar Indikator

196010051986031005 DAFTAR PESERTA YANG M EM ENUHI PERSYARATAN (M P) TES KOM PETENSI DASAR. CPNS TAHUN 2013 DI LINGKUNGAN KEM ENTERIAN PENDIDIKAN

Pokja ULPD Kementerian Keuangan Provinsi Bangka