• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KE"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DALAM BINGKAI KEINDONESIAAN DAN KEMANUSIAAN Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan:

Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan Pustaka. (Halaman 7-320, Bab 1-5)

Pengantar Umum

‘Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan’ merupakan buah pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang rampung dibukukan pada 9 Februari 2009. Kelahiran buku ini dipicu oleh kerisauan batinnya akan wajah Islam dalam bingkai kemanusiaan di

Indonesia.Wajah yang seharusnya dinamis dan bersahabat, terbuka, inklusif, nirkekerasan dan diskriminasi, dan mampu memberikan sumbangsikhususnya dalam ranah intelektual berupa solusi atas dilema yang dihadapi bangsa ini agaknya mulai memudar. Buku ini menjadi potret kegelisahan dan keprihatinan Maarif akan realitas umat Islam yang masih belum mampu menyelaraskan hubungan Islam, kemanusiaan, dan keindonesiaan dalam keseharian mereka sebagai kaum mayoritas di Ibu Pertiwi. Buku ini secara gamblang menjelaskan hubungan Islam dan nusantara, Islam dan demokrasi, kualitas Islam Indonesia, serta masa depan Islam di Indonesia. Buku ini turut menyajikan kegamangan Islam dalam menghadapi perubahan serta usaha penentuan identitas Muslim Indonesia yang seidealnya didasarkan pada prinsip dasar Islam, yakni keadilan dan kedamaian.

Maarif menggunakan metode kualitatif dan analisis sejarah dalam usaha pencarian sumber dan penulisan gagasannya. Beliau memanfaatkan pelbagai referensi buku dan

pengalaman lapangannya selama 11 tahun sebagai seorang tokoh lintas agama, kultural, etnis dan intelektual Muslim Indonesia. Maarif mendedikasikan buku ini bukan hanya bagi mereka yang berkecimpung dalam ranah akademis saja. Buku ini ditujukan bagi semua pihak dan golongan, terkhusus bagi mereka yang menaruh kepedulian terhadap masa depan bangsa Indonesia.

Studi dalam buku ini bertujuan menelaah secara kritis pergumulan Islam dengan kemanusiaan di Indonesia, sebagaimana dicerminkan dalam ajaran Islam dan ideologi bangsa ini (Pancasila). Telaah kritis yang dilakukan Maarif bermaksud untuk mendekonstruksi pemahaman dikotomis kita mengenai Islam dan Pancasila, Islam dan kepelbagaian, Islam dan demokrasi, maupun Islam dan kemanusiaan. Maarif, melalui buku ini secara tersirat,

menyematkan harapanya akan kesadaran pembaca untuk mulai merekonstruksi pemahaman biner mereka tentang Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Selain itu, Maarif berusaha mengajak para pembaca untuk mengevaluasi diri dalam menghayati identitas sebagai Muslim sekaligus bangsa Indonesia yang plural.

Gagasan Penulis

Secara implisit Maarif berusaha untuk menampilkan ketegangan teologis dan filosofis mengenai universalisme dan identitas Islam Indonesia dalam perspektif keislaman. Maarif berusaha untuk menguraikan permasalahan identitas tersebut dalam kenyataan sosio-historis. Menurut saya thesis statement yang terkandung dalam buku ini adalah Islam sebagai bagian dari Indonesia tidak mungkin terpisahkan dari pengaruh atau nilai lokal bangsa Indonesia. Islam merupakan bagian dari demokrasi Indonesia dan Islam merupakan bagian dari kepelbagaian Indonesia. Seperti yang diakatakan Maarif “Islam merupakan agama yang bersifat universal dalam hakikat ajaran dan misi kemanusiaan. Namun, praktik sosial Islam dalam format budaya berbagai suku bangsa tidak mungkin bebas dari pengaruh lokal, nasional maupun glabal.” (p. 19). Untuk itu, Islam perlu berdialog terhadap hal tersebut, khususnya yang berkaitan dengan ajaran dan misi kemanusiaan, sebab jika Islam terus berdiam diri maka tidak tertutup kemungkinan jika Islam nantinya akan jatuh pada stagnasi.

(2)

Sejarah mencatat, Nusantarasebelum kedatangan Islamtelah didiami oleh pelbagai penganut agama lokal dan kepercayaan dinamisme, animisme, bahkan jauh sebelum Hindu dan Budha datang dan menjadi agama mayoritas Nusantara. Kedudukan Hindu dan Budha sebagai agama mayoritas kala itu, rupanya tidak menghalangi Islam untuk masuk (melalui jalur perdagangan) dan berkembang di Nusantara. Islam dapat dikatakan berkembang dengan pesat. Walau memakan waktu yang cukup lama, diperkirakan lima abad, Islam berhasil mengembangkan ajaran dan kekuasaannya di Nusantara. Dan pada akhirnya Islam menjelma menjadi agama mayoritas bahkan sampai saat ini. Relasi Islam dengan agama minoritas: Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konfusianisme dapat dikatakan cukup serasi. Walaupun, “cacat” dalam rupa konflik tetap menghiasi wajah relasi tersebut.

Kekuasaan Islam sampai abad ke-16 masih belum merata, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera yang masih kental kehinduan dan kebudhaannya. Abad ke-13 merupakan tonggak sejarah dan bukti atas keberhasilan penyebaran ajaran dan perluasan kekuasaan Islam. Pasalnya, baru pada abad ini Islam melalui rahim para pengikutnya berhasil melahirkan kerajaan Muslim pertama di Pasai. Dalam perkembangan selanjutnya, Islam muncul sebagai “pemenang” atas kedua agama raksasa yang datang sebelumnya. Keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh cara masuk Islam ke Nusantara yang dinilai nirkekerasan dan pemaksaan. Walupun tidak dapat disangkal jika saat ekspansi kekuasaan, jalan kekerasan pun digunakan.

Bab ini juga membahas perjuangan Islam, khususnya Islam puritan, dalam

menghadapi lapisan-lapisan nilai lama yang telah mengakar, yakni animisme dan dinamisme. Perjuangan tersebut masih belum berakhir sampai saat ini, namun bentuknya tidak seagresif dahulu. Perjuangan puritanisme agresif yang nampak dalam perang Paderi di ranah Minang semakin ditinggalkan dan digantikan dengan pendekatan kultural yang lebih mencerahkan dan persuasif. Muhammadiyah dan gerakan Islam tradisi dalam NU merupakan contoh dari puritanisme moderat yang mengusung keterbukaan, kemodernan, dan kemoderatan yang merupakan modal sosial bagi kelangsungan Indonesia sebagai bangsa yang plural. Secara gamblang, bab ini juga menjelaskan sejarah Islamisasi di Nusantara, pergulatan Islam

menghadapi kemelut kolonialisme Belanda, keikutasertaan Islam dalam pergerakan nasional, sampai pergulatan Islam dengan ideologi politik dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada bab dua, pembahasan difokuskan pada pandangan Islam mengenai demokrasi, toleransi, dan keragaman agama dan budaya di Indonesia. Sebagian dari kita mungkin berpendapat jika sistem demokrasi, paham keberagaman, toleransi, dan pesan anti-kekerasan bukanlah nafas Islam. Bahkan tidak sedikit orang yang menuduh bahwa sistem atau paham tersebut berlawanan dengan Islam. Maarif menyanyangkan pendapat yang demikian.

Baginya, sistem demokrasi, keberagaman, toleransi, dan pesan anti-kekerasan bukanlah suatu sistem yang haram bagi Islam. Maarif bahkan berpendapat bahwa sistem demokrasi dan keberagaman merupakan bagian dari ajaran Islam. Maarif meyakini bahwa Islam dan demokrasi merupakan nilai yang selaras dan sejalan. Dan lewat demokrasilah nilai-nilai inti Islam dapat dipraktikkan (p. 147-148).

Maarif berpendapat, sesungguhnya Islam Indonesia bukanlah Islam yang

(3)

“Kenyataannya, orang yang benar-benar memahami substansi demokrasi akan menemukan bahwa substansi tersebut berasal dari konsep Islam” (p. 149).

Demokrasi dalam praktiknya selalu berkiblat pada empat pilar, yakni tanggung jawab, lapang dada, rela menerima kekalahan, dan tidak membiarkan kesadaran membeku. Atau dengan bahasa Havel, demokrasi merupakan semangat untuk mengubah kesadaran manusia. Namun, keidealan demokrasi di atas agaknya belum berlaku di Indonesia (p. 149). Beberapa dasawarsa belakangan ini, demokrasi malah menjadi senjata canggih untuk menjatuhkan pihak lain. Bahkan dalam periode tertentu demokrasi malah melahirkan bencana bagi suatu negara. Kegagalan negara atau para pemimpin negara dalam berdemokrasi inilah yang kemudian menjadi alasan bagi segelintir umat Muslim menolak demokrasi. Kelompok-kelompok radikal anti-demokrasi dengan berjubahkan dalil-dalil agama yang tidak tepat dan bertamengkan model pemerintahan Arab, yang sejatinya tirani dan anti-demokrasi, serta kurangnya sikap kritis menjadi faktor utama penyebab penolakan tersebut (p. 150). Menurut, Maroko Fatimah Mernissiseorang pengkritik mental Arab yang menolak demokrasisikap yang demikian merupakan faktor utama tersendatnya perwujudan keadilan sosial dan ekonomi.

Dalam bab ini, Maarif juga berusaha untuk menjabarkan secara kritikal masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan visi antar generasi Muslim, kemunculan

kelompok-kelompok radikal, dan dimensi global dari Islam Indonesia. Dalam bab ini, Maarif menawarkan sebuah upaya bagi Muslim Indonesia untuk mencari titik temu dalam pemikiran keagamaan. Menurut Maarif, pendidikan modern yang semakin merata khususnya di

kalangan Muslim seharunya menjadi celah untuk mendialogkan titik temu tersebut. Namun, perlu diingat bahwa dialog tersebut benar-benar terjadi jika masing-masing pihak bersedia meminimalisir egoisme pribadi maupun kelompok, serta bersedia untuk mentransformasi diri menjadi lebih toleran, inklusif, dan ramah. Dengan begitu, Maarif menyakini bahwa cepat maupun lambat Muslim dan Islam Indonesia akan menemukan solusi terbaik dalam masalah hubungan Islam dan keindonesiaan.

Pada bab tiga, Maarif memusatkan perhatiannya pada kelemahan umat Islam di Indonesia. Islam memang menjadi agama mayoritas di negara ini. Namun, jumlahnya yang mayoritas tidak sepadan dengan kualitas yang ditunjukan. Untuk itu, pendidikan menjadi fokus utama dalam bab ini. Pendidikan merupakan sarana ampuh dalam usaha memperbaiki kualitas manusia. Kelalaian dan keacuhan negara dalam masalah pendidikan akan melahirkan sebuah masyarakat yang kurang berkualitas dan tertinggal, baik dalam bidang ilmu,

teknologi, dan ekonomi (p. 213). Menurut Maarif, Islam sebagai agama mayoritas memiliki andil dalam usaha meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia. Peran Islam dalam

meningkatkan mutu masyarakat ini sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak era penjajahan, kalangan umat Muslim Indonesia bekerjasama guna mendirikan pusat-pusat pendidikan umum yang khas Islam, dalam bentuk pesantren dan madrasah. Sampai saat ini pun, Islam melalui pesantren dan madrasahnya masih berkontribusi dalam usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

(4)

Bab ini juga mengupas lebih jauh peran Muhammadiyah dan NU dalam usaha peningkatan mutu bangsa melalui pendidikan dan pencerahan. Muhammadiyah dengan berlandaskan pandangan filosofisnya mengenai pendidikan “mendidik anak-anak dan pemuda-pemuda supaya kelaknya menjadi orang Islam yang berarti” yang tertera dalam rumusan Angaran Dasar 1934 berusaha untuk melahirkan generasi-generasi Muslim yang nantinya berguna bagi agama dan juga bagi negara. Muhammadiyah berusaha untuk melahirkan corak manusia yang sesuai dengan pandangan hidup Islami melalui pendidikannya (p. 225).

Berbeda dengan Muhammadiyah yang lebih memfokuskan diri pada dunia pendidikan yang lebih luas (menekankan pada rasionalitas), NU lebih memfokuskan diri pada tradisi pesantren (tassawuf). Namun, perlu diketahui bahwa NU, dalam hal pesantren, berada

selangkah di depan Muhammadiyah yang terlalu fokus pendidikan umum. Ketertinggalan NU dari Muhammadiyah dalam konteks pendidikan umum memaksa lembaga Maarifnya untuk bekerja keras memperbaiki dan memajukan mutu pendidikan yang bersifat umum (p. 234). Dalam konteks ini Maarif menolak adanya usaha pemisahan pendidikan agama dan umum yang dilakukan secara dikotomis.Pasalnya, pendidikan umum dan agama haruslah seimbang guna menciptakan masyarakat Indonesia yang berkualitas secara intelektual maupun akhlak. Maarif berharap, pendidikan yang seimbang tersebut dapat menodorong maju peradaban Islam sehingga tidak mengalami stagnasi. Perlu diketahui bahwa bukan hanya

Muhammadiyah dan NU yang bergerak dalam pendidikan di kalangan umat Islam Indonesia. Sarekat Islam, Persatuan Islam, Al-Washiliyah, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Perti, Perguruan Thawalib, Nahdhatul Wathan, Al-Khairat, dll menjadi organisasi Islam lainya yang berfokus dan peduli pada kemajuan pendidikan Indonesia (p. 234). Organisasi-organisasi ini sekaligus menjadi bukti partisipasi Islam dalam usaha memajukan kualitas masyarakat Indonesia.

Pada bab empat, Maarif memfokuskan tulisannya pada Islam sebagai agama yang terbuka. Dalam bab ini, Maarif secara terbuka mengkritik kegamangan dan kegagapan Islam dalam mengatasi persoalan-persoalan internal dalam tubuhnya. Maarif mengakui, bukan hal mudah untuk memberikan pengertian kepada umat Muslim tentang kebebasan berpikir yang sebenarnya bersifat mutlak dan bahkan menjadi syarat bagi sebuah ijtihad yang sebenarnya. Dalam bab ini, Maarif menyatakan, sebagai seorang Muslim yang menginginkan ajaran Islam yang hidup dan menghidupkan seharusnya kita bersikap kritis dan berani menilai seluruh khazanah pemikiran Muslim masa lampau. Dengan keberanian tersebut, kita dapat

menerapkan ajaran Islam yang relevan dan kontekstual dengan kehidupan bermasyarakat saat ini.

Bab lima atau bab terakhir dari buku ini, berusaha merangkumkan segala gagasan Maarif yang tertuang dalam bab pertama sampai ke empat. Bab ini berusaha menyajikan sebuah perspektif baru bagi Islam dan Indonesia. Bab ini memperlihatkan keyakinan Maarif mengenai keselarasan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Maarif menyakini bahwa ketiga hal tersebut bukan hanya dapat berjalan bersamaan saja tapi juga ketiganya dapat saling mengisi dan menyatu tanpa mengubah identitasnya masing-masing. Kesatuan ketigas hal tersebut pada akhirnya mencerminkan wajah Islam yang sesungguhnya, yakni wajah universal Islam dalam wujud kemanusiaan yang adil dan beradab (p. 301). Dalam bab ini, Maarif juga mengingatkan kita sebagai Muslim Indonesia agar senantiasa

mempertimbangkan semua tindakan dan pemikiran yang bercorak Islam dengan konteks dan realitas sosio-historis Indonesia guna menjaga keamanan dan kedamaian Indonesia.

Analisis Struktur Buku

(5)

usahanya membaca ulang Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Bukan hal yang mudah menyatukan tiga gagasan tersebut. Dan menurut saya, Maarif berhasil menarik benang merah ketiganya. Dengan gaya bahasanya yang lugas dan kritis, beliau menyajikan informasi yang jujur dan apa adanya. Kritiknya yang tajam terhadap beberapa pandangan Islam Indonesia (lebih tepatnya sebagian Muslim Indonesia) yang terlalu konservatif, seperti pengharaman demokrasi dan kepelbagaian sebagai bagian dari Islam, memperlihatkan kita akan kekonsistenannya sebagai seorang cendikiawan Islam yang moderat, modren, dan inklusif.

Tulisan ini memang baik dan merupakan angin segar bagi khazanah pemikiran Islam. Namun, dalam tulisan ini saya melihat keraguan dalam diri Maarif akan gagasannya sendiri. Rasanya, gagasan penyatuan Islam, keidonesiaan, dan kemanusiaan merupakan gagasan yang sulit untuk diwujudnyatakan, mengingat konteks masyarakat Indonesia yang masih terjebak dalam ranah pemikiran konservatif serta anti-Barat (demokrasi dianggap sebagai produk Barat). Belum lagi masalah pendidikan yang masih carut marut dalam praktiknya. Dan saya melihat keraguaan dan pesimistis yang sama tersebut dalam diri penulis.

Refleksi Kritis

Demokrasi merupakan ide klasik yang terus menerus digumuli, bahkan dari masa para filsuf klasik seperti Plato, Sokrates, maupun Aristoteles, sampai masa kini. Wacana demokrasi rasanya tidak ada habisnya untuk dibahas. Lalu bagaimana demokrasi di

Indonesia? Rasanya, demokrasi di negara ini masih jauh dari kata ideal. Bagaimana bisa ideal jika para pejabat negara sendiri tidak memahami apa itu demokrasi. Dan masalah yang lebih krusial adalah pandangan negatif mengenai demokrasi yang melakat dalam pemikiran

masyarakat Indonesia pada umumnya. Sebagian dari masyarakat menyakini bahwa demokrasi dan isu-isu lainnya, seperti kepelbagaian, bukanlah isu yang ada di dalam ajaran Islam. Bahkan ekstremnya, banyak di antara mereka yang menjadikan demokrasi sebagai musuh Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 2 menunjukan elemen data, tipe data dan panjang field yang ada dalam file Akun sebagai berikut, nama database yang digunakan kas, untuk penamaan file tabelnya yaitu Akun

HUMAS dari Badan POM dalam kegiatan “Badan POM Sahabat Ibu” dalam melakukan pemberitaan/menyebarkan informasi yang bertujuan untuk mendapatkan respon positif dengan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi tingkat konsentrasi dan kelentukan pergelangan tangan terhadap ketepatan servis pendek (short

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang ada dalam sebuah karya sastra

[r]

Mengenai alat bantu dalam proses belajar mengajar yang ada smk negeri 2 sekayu terutama yang digunakan oleh mahasiswa pelaksana program pendampingan di jurusan TKJ sudah

7 Suwarjo , Konseling Sebaya Untuk Mengembangkan Resilensi Remaja, Universitas Negeri Yogyakarta, 2008.. teknik shapping efektif untuk meningkatkan komunikasi

Menyatakan bahwa “Skripsi” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana