Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 159-162
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
159
Pembentukan Karakter Religius Melalui Wisata Religi
Sari Narulita, Rihlah Nur Aulia, Firdaus Wajdi, Umi Khumaeroh
Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis peran wisata religi dalam membentuk karakter religius dalam diri seseorang. Karakter religius adalah karakter yang menunjukkan perilaku yang berdasarkan keyakinan suara hati dan keterikatan kepada Tuhan, diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dalam manusia.Sedangkan Wisata religi merupakan jenis wisata keagamaan (pileimge tour) atau wisata yang bermotif spiritual yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok sehingga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memperoleh keberkahan dalam hidup. Wisata religi juga dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki makna khusus bagi umat beragama, biasanya beberapa tempat ibadah yang memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah, adanya mitos dan legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan arsitektur bangunannya. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini menghasilkan beberapa poin penting mengenai proses terjadinya pembentukan karakter religiusitas dalam diri seseorang., yakni di kala seseorang mampu terlibat dalam suatu aktivitas dalam perjalanan wisata religinya, maka ia akan lebih termotivasi untuk meningkatkan karakter religiusitas dalam dirinya.
Kata Kunci: Karakter Religiusitas, Wisata Religi
Pendahuluan
UU SISDIKNAS menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut menegaskan urgensi pembentukan karakter religius pada seseorang.
Karakter religius yang ditampaknya dengan peningkatan spiritualitas menjadi satu kebutuhan rohani yang sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Saat ini manusia telah memasuki masa kebangkitan kemanusiaan dan peradabannya; dimana kemanusiaan seseorang dapat diukur dengan tingkat spiritualitasnya da bukan dengan fisiknya
Spiritualitas menjadi sebuah kekuatan yang dominan dalam kebutuhan hidup manusia saat ini karena spiritualitas diyakini dapat memberikan ketenangan dan ketentraman dalam jiwa manusia; terlebih, masalah-masalah yang senantiasa berdatangan seolah memberikan dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Selain itu, spiritualitas seseorang dapat mempengaruhi keadaan jiwanya. Keadaan jiwa seseorang dapat berubah sesuai dengan keadaan spiritual yang sedang dialami oleh seseorang. Semakin tinggi tingkat spiritualitas seseorang maka dirinya akan cenderung melakukan hal positif yang mengarah pada jalan kebaikan.
Banyak cara yang dilakukan untuk membentuk karakter religius dalam diri seseorang; selain memberikan keteladan dan juga melakukan banyak ritual ibadah, ada cara lain yang dimungkinkan bisa meningkatkan karakter religius dalam diri seseorang, yakni wisata religi. Tak jarang, banyak kalangan yang memilih melakukan wisata religi ke masjid dan makam waliyullah sebagai upaya meningkatkan nilai spiritualitas yang berimbas pada pembentukan karakter religius dalam dirinya. Terlebih, wisata religi atau yang kadang lebih dikenal sebagai wisata ziarah ataupun wisata spiritual, telah menjadi satu budaya bagi masyarakat muslim Indonesia sebelumnya. Namun sejauh mana proses pembentukannya, maka artikel ini akan mencoba mendeskripsikannya lebih jauh.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 159-162
1.
Religious practice (the ritualistic dimension); yakni tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agamanya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.2.
Religious belief (the ideological dimension) yakni Sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik di dalam ajaran agamanya. Misalnya kepercayaan tentang adanya Tuhan, malaikat, kitab-kitab, Nabi dan Rasul, hari kiamat, surga, neraka, dan yang lain-lain yang bersifat dogmatik.3.
Religious knowledge (the intellectual dimension) yakni seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seseorang untuk mengetahui ajaran-ajaran dalam agamanya.4.
Religious feeling (the experiental dimension) yakni terkait perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dirasakan dan dialami. Misalnya seseorang merasa dekat dengan Tuhan, seseorang merasa takut berbuat dosa, seseorang merasa doanya dikabulkan Tuhan, dan sebagainya.5.
Religious effect (the consequential dimension) yakni terkait sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya di dalam kehidupannya. Misalnya ikut dalam kegiatan konversasi lingkungan, ikut melestarikan lingkungan alam dan lain-lain.Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyatakan bahwa Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara
Istilah Religi secara harfiah berarti kepercayaan akan adanya kekuatan akodrati di atas manusia. Menurut Sidi Gazalba, religi adalah kepercayaan pada dan hubungan manusia dengan Yang Kudus, dihayati sebagai hakikat yang gaib, hubungan yang menyatakan diri dalam bentuk serta system kultus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Menurut Durkhim, religi adalah kesatuan sistem kepercayaan dan tindakan yang berhubungan dengan barang-barang yang suci. Barang–barang suci itu ialah barang atau benda yang diasingkan dan diberikan larangan atasnya.
Berdasarkan konsep Durkhim tersebut, Koentjaraningrat menyatakan bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan. Lebih lanjut diterangkan bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu :
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersifat religious .
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat- sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk–mahkluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut.
Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang menggerakan jiwa manusia. Sistem keyakinan di suatu religi dijiwai oleh emosi keagamaan, tetapi sebaliknya emosi keagamaan juga bisa di kobarkan oleh sistem kepercayaan
Dengan demikian maka bisa dipahami bahwa wisata religi merupakan jenis wisata keagamaan (pileimge tour) atau wisata yang bermotif spiritual yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok sehingga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan memperoleh keberkahan dalam hidup. Wisata religi juga dimaknai sebagai kegiatan wisata ke tempat yang memiliki makna khusus bagi umat beragama, biasanya beberapa tempat ibadah yang memiliki kelebihan. Kelebihan ini misalnya dilihat dari sisi sejarah, adanya mitos dan legenda mengenai tempat tersebut, ataupun keunikan dan keunggulan arsitektur bangunannya.
Selain itu, suatu daerah yang menjadi DTW (daerah tujuan wisata) yang masuk dalam kategori baik adalah bila dapat diminati pengunjung serta memiliki 3 (tiga) kriteria, yaitu,
1. Something to see adalah objek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa dilihat atau di jadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain objek tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menyedot minat dari wisatawan untuk berkunjung di objek tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 159-162
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
161
3. Something to buy adalah fasilitas untuk wisatawan berbelanja, yang pada umumnya adalah ciri khas atau icon dari daerah tersebut, sehingga dapat dijadikan sebagai oleh-oleh.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dan merupakan penelitian lapangan. Instrumen pada penelitian ini adalah observasi ke daerah wisata religi yang ada di Jakarta dan juga wawancara kepada beberapa pengunjung dan wisatawan untuk bisa melihat proses pembentukan karakter religius yang yang ada pada dirinya setelah melakukan wisata religi.
Wisata religi dianggap mampu meningkatkan karakter religiusitas dengan gambaran sebagai berikut, 1. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious practice
Kegiatan yang dilakukan selama wisata religi umumnya didominasi dengan ritual ibadah baik itu shalat ataupun membaca al-Qur’an. Karenanya, keterlibatan seseorang dalam kegiatan wisata religi akan membuatnya terbiasa melakukan banyak ritual dan ibadah
2. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious belief
Orang yang melakukan wisata religi umumnya adalah yang memiliki keyakinan kepada Allah; dan semakin kuat di kala ia melihat banyak orang melakukan hal yang sama bahkan lebih. Di kala ia melihat betapa banyak khalayak umum yang rela bermalam untuk bermunajat, maka disaat itulah keyakinannya makin kuat
3. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious knowledge
Seseorang yang melakukan wisata religi pun umumnya terlibat dalam kajian keagamaan yang dibawakan oleh ustadz yang ditugaskaa. Karenanya, dengan semakin sering melakukan wisata religi, maka semakin banyak kajian dan wawasan keagamaan yang didapatkannya.
4. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious feeling
Para responden yang terbiasa melakukan wisata religi dan bahkan terkadang sangat terlibat dalam kegiatan yang ada, maka akan memiliki ikatan rasa yang kuat dengan agamanya. Dikala malam hari, di kala ia bermunajat, maka keterikatan akan agamanya menjadi semakin terasa. Disaat itulah, ia akan merasakan ketenangan dan kedamaian di
kala ia berdoa dengan khusu’nya disaat kebanyakan orang tertidur pulas di malam hari.
5. Peran wisata religi dalam meningkatkan religious effect
Para responden yang terbiasa melakukan wisata religi umumnya menjadi lebih mampu berinteraksi dengan baik dengan sesamanya. Hal ini selaras dengan penelitian Umi Khumaeroh yang menggambarkan bahwa para responden dalam penelitiannya merasakan perubahan sikapnya kepada sesama setelah banyak melakukan kunjungan wisata religi.
Peningkatan karakter religius dalam wisata religi diatas hanya bisa didapatkan bila wisata yang dimaksud tidak sekedar hanya melihat-lihat semata. Namun juga disertai dengan keterlibatan dan partisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Masjid. Bahkan terkadang, religious feeling akan lebih dirasakan dikeheningan malam, dikala melakukan munajat dan shalat malam. Beberapa masjid yang senantiasa menfasilitasi pengunjungnya dengan kegiatan malam adalah Masjid Luar Batang dan juga Masjid Sunda Kelapa.
SIMPULAN
Membentuk karakter religius bukanlah proses yang hanya sekilas dan sekali dilakukan. Dibutuhkan komitmen kuat untuk bisa membentuknya dalam diri. Karenanya, pengurus Masjid hendaknya menfasilitasi pengunjung dengan beragam kegiatan yang mampu membuat pengunjungnya mampu meningkatkan karakter religius dalam dirinya.
REFERENSI
Ahmad Fadli, Ulama Betawi; Studi tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke 19 dan 20. (Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011)
Andriana Anca Cristea et all, The Role of Media in Promoting Religious Tourism in Romania Procedia: Sosial & Behaviour Sciences, Vol 188, 14 Mei 2015
Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi. (Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2006)
Djuretna A Imam Muhni, Moral & Religi menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. (Jakarta: Kanisius, 1995)
Firdaus Wajdi, Sari Narulita & Rihlah Nur Aulia. The Role of 3D Page Flip Media in the Development of Religious Tourism among Young Generation in Indonesia; A Case Study of Betawi Muslim Community (UUM Malaysia: Proceedings International Conference on Media Studies, 2017) hal 447 – 449
Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 159-162
http://semnastafis.unimed.ac.id ISSN: 2598-3237 (media cetak) ISSN: 2598-2796 (media online)
162 Oka A Yoeti, Pengantar Ilmu Pariwisata.(Bandung: Angkasa, 1996)
Sari Narulita, Embang Syasyadin & Firdaus Wajdi. Religious Tourism Development Through Media Communication and Information in Jakarta (UUM Malaysia: Proceedings International Conference on Media Studies, 2017) hal 450 – 454 Sidi Gazalba, Islam Dan Kesenian. (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1998)
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo Persada :, 2003)
Umi Khumaeroh, Sari Narulita & Firdaus Wajdi. The Improvement of Intrapersonal Communication Through Religious Tourism (UUM Malaysia: Proceedings International Conference on Media Studies, 2017) hal 419-425