• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa hubungan Etika dan Kepribadian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Apa hubungan Etika dan Kepribadian"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Apa hubungan Etika dan Kepribadian??/

Etika adalah norma2 sosial yg berlaku secara umum. Misal: etika dlm berpakaian di tempat

kerja. Etika dalam menyampaikan pendapat.

Sedangkan kepribadian, menyangkut karakter, sikap, yang ada dlm diri seseorang. Bisa bawaan

sejak lahir (gen ortu) atau didikan keluarga, yang mempengaruhi karakter, sifat, sikap, tingkah

laku org tersebut.

100%

1 Suara

Bukan jawaban yang benar? Coba Yahoo! Search

Cari di Yahoo! untuk

Cari

 1bintang - tandai ini sebagaiPertanyaan Menarik!

 Email

Etika adalah bentuk dari tata cara seseorang dalam bertingkah laku di keluarga, masyarakat, maupun

lingkungan.

Sedangkan Kepribadian merupakan sifat dan karakteristik yang berasal dalam diri seseorang sejak dini.

Etika sendiri dapat dibuat-buat oleh seseorang untuk berkamuflase atau menyamar, layaknya seorang

copet yang berpakaian seorang karyawan agar dirinya tidak tampak mencurigakan..

Sedangkan Kepribadian sifatnya sangatlah tampak dan jelas walaupun terkadang seseorang berusaha

untuk menutupinya... Seperti teman satu sekolah yang pendiam dan suka menyendiri tetapi sesekali ia

berusaha membaur dengan teman-temannya agar ia tidak dikucilkan....

makasiih.. :)

materi referensi:

just share.. ;)

o Diedit 8 bulan yang lalu

o Lapor Penyalahgunaan

0%

0 Suara

soeharso...

Pembentukan kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.

a. Kepribadian matang

b. Memahami Etika

(2)

c. Melaksanakan Etiket.

Contoh kepribadian dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat memahami diri sendiri dan lingkungan:

TATA KRAMA BERKENALAN

1. Cara memperkenalkan diri

2. Cara meyapa orang lain

3. Cara berjabat tangan.

B. SIKAP SANTUN

1. Cara berdiri

2. Cara duduk

3. Cara berjalan

4. Cara berbicara

Untuk mengetahui apakah kita dianggap berkepribadian matang atau tidak bergantung dari beberapa hal

seperti:

ü Ada tidaknya perluasan diri

ü Apakah penyesuaian sosial ditandai atau diikuti oleh kehangatan hubungan dengan orang lain atau

tidak.

ü Menerima diri apa adanya.

ü Memilih persepsi yang realistis mengenai tugas dan kemampuan

ü Mampu menilai diri secara objektif.

ü Memiliki falsafah hidup yang dapat mengarahkan sikap dan tindakannya.

Untuk itu agar seseorang bisa diterima disuatu lingkungan maka orang tersebut harus mengenal dan

memahami perilaku sudah tentu tidak lepas dari masalah etika

o 8 bulan lalu

o Lapor Penyalahgunaan

0%

0 Suara

mulyati

Etika

(3)

disebut dengan self control

adalah penalaran yang timbul dari kebiasaan hidup manusia yang dinilai secara umum yang mengacu

juga pada filsafat moral seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab jadi etika melihat dari sudut

baik dan buruk terhadap perbuatan manusia demikian etika sama juga dengan refleksi dari apa yang

disebut dengan self control

Kepribadian

Kepribadian adalah sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, dan sekaligus

proses yang dapat berubah dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, caranyapun unik

dan khas sehingga dapat dibedakan antara kepribadian yang satu dengan yang lainnya. seperti kepada

orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut

“berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut

“tidak punya kepribadian”.

Untuk itu agar seseorang bisa diterima disuatu lingkungan maka orang tersebut harus mengenal dan

memahami perilaku sudah tentu tidak lepas dari masalah etika bergaul di lingkungan masyarakat yang di

masukinya, seperti ramah, saling bertenggang rasa, rendah hati, sopan santun, tidak mudah tersinggung,

tidak berbicara kasar, pandai membawa diri dsb

o 8 bulan lalu

(4)

Makalah Etika dan Kepribadian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Etika dan Kepribadian

a. Etika

Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :

1. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.

(5)

Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik 3. Ilmu tentang yang baik atau buruk.

Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

Etika terbagi atas 2 jenis, yaitu : 1. Etika Filosofis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

2. Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu :

• Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

(6)

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

• Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis:

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:

• Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

• Sintesis

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

• Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

(7)

Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain

Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.

• Kepribadian menurut pengertian sehari-hari

Disamping itu kepribadian sering diartikan dengan ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut “tidak punya kepribadian”.

• Kepribadian menurut psikologi

Berdasarkan penjelasan Gordon Allport tersebut kita dapat melihat bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan,

kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.

Teori kepribadian psikodinamika :

Teori psikodinamika berfokus pada pergerakan energi psikologis di dalam manusia, dalam bentuk kelekatan, konflik, dan motivasi.

Teori Freud

Sigmund Freud berpendapat bahwa kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan superego. Setiap tindakan kita merupakan hasil interaksi dan keseimbangan antara ketiga sistem tersebut. Teori Jung

Carl Jung pada awalnya adalah salah satu sahabat terdekat Freud dan anggota lingkaran koleganya, tetapi pertemanan mereka berakhir dalam pertengkaran tentang ketidaksadaran. Menurut Jung, di samping ketidaksadaran individual, manusia memiliki ketidaksadaran kolektif yang mencakup ingatan universal, simbol-simbol, gambaran tertentu, dan tema-tema yang disebutya sebagai arketipe.

Faktor-faktor penentu kepribadian • Faktor Keturunan

Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender,

temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir. Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi

Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.

(8)

perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis. Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.

• Faktor Lingkungan

Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain. Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.

Sifat-Sifat Kepribadian

Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu seseorang. Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut. Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian. Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan pengembangan karier.

(9)

Untuk memberantas sang koruptor perlu adanya sanksi yang cukup keras, untuk sang koruptor, dan memang harus ada kesadaran dari dalam.

HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH

Hubungan seks di luar nikah pada zaman sekarang ini rata-rata dilakukan pada usia dibawah umur atau masih menginjak bangku sekolah.

Pengawasan orang tua merupakan factor yang paling mempengaruhi penyimpangan tersebut, karena dengan adanya pengawasan dari orng tua terhadap perilaku keseharian anak-anaknya maka hal-hal tersebut bisa terhindari.

Perlu juga adanya sosialisasi atau pemahaman yang lebih mendalam, tetang hubungan sex, sehingga para pelajar mengetahui dampak negative dan positif dari perbuatan tersebut, Dan hal” tersebut dapat terhindari.

(10)

Tawuran pelajar sudah marak di lakukan para remaja untuk menyelesaikan sebuah masalah, mungkin ini merupakan factor-faktor media social (TV) yang selalu menampilkan tayangan-tayangan tawuran para mahasiswa atau antar warga, sehingga para remaja tersebut mengukuti hal-hal tersebut untuk mnyelesaikan masalahnya pula.

Ini sudah jelas-jelas merupakan penyimpanghan social selain karena factor lingkungan juga karena factor pengawasan guru-guru sekolah.

Untuk menyadarkan kembali para remaja yang terlibat tawuran tersebut. Perlu dilakukan sosialisasi di sekolah. Dan perlu juga ada sanksi tegas dari pihak sekolah, sebagai peringatn kepada mereka.

ARAK-ARAKAN PELAJAR

Sudah menjadi tradisi di kalangan para pelajar, setelah lulus sekolah mereka melakukan arak-arakan di jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas, mengapa hal ini di kategorikan juga sebagai penyimpangan ? karena adanya tindakan yang teroganisir yang dapat menimbulkan masalah dalam masyarakat.

BAB III KESIMPULAN

(11)

Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata ‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),

Kepribadian adalah keseluruhan cara di mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain

Referensi

Dokumen terkait

Ada banyak istilah/konsep yang terkait dengan etika dan moral, yaitu karakter, nilai, akhlak, etiket, budi pekerti, dan sopan santun.. Kata “etika” (Yunani

Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia

Dilihat dari fungsi dan perannya, dapat dikatakan bahwa Akhlak, Moral dan Etika sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan

Moral berasal dari kata latin: mos (bentuk tunggal) atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabi’at, akhlak, cara hidup..3.

Setelah menyelesaikan pembahasan makalah yang berjudul “Akhlak, Moral dan Etika, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami perilaku baik dan buruk dalam kehidupan,

Etika (ilmu akhlak) bersifat teoritis sementara moral, susila, akhlak lebih bersifat praktis. Artinya moral itu berbicara soal mana yang baik dan mana yang

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ASPEK ETIKA MORAL AKHLAK Obyek Kajian Prilaku manusia terkait baik dan buruk Prilaku manusia terkait baik dan buruk Prilaku manusia terkait baik

Jadi, kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.6 Etika dalam arti lain merupakan ilmu