Tradisi Carok pada Masyarakat Adat Madura
Kata carok berasal dari bahasa Madura yang berarti “bertarung atas nama kehormatan”. Carok merupakan tradisi bertarung yang disebabkan karena alasan tertentu yang berhubungan dengan harga diri kemudian diikuti antar kelompok atau antar klan dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan “keluar” dari masalah yang pelik.
Biasanya, “carok” merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah
perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga)
Carok adalah tindakan pembalasan dendam yang disebabkan oleh pelecehan harga diri seseorang terhadap orang lain. Tindakan pembalasan dendam ini dilakukan dengan adu duel (menggunakan senjata celurit) hingga ada korban yang mati, satu lawan satu dan antara lakilaki. Bisa saja dilakukan massal (Carok massal), namun jarang terjadi.
Motivasi carok adalah pelecehan harga diri terutama masalah perempuan, istri dan anggota keluarga, mempertahankan martabat, perebutan harta warisan dan pembalasan dendam karena kakak kandungnya dibunuh. carok adalah solusi bagi masyarakat Madura dalam menyelesaikan konflik, karena sejarah yang sudah berabad-abad lamanya membentuk mereka untuk tidak meyakinin dan mempercayai pengadilan atau hukum yang berlaku.
Carok mungkin bukan peredam konflik. Tetapi salah satu unsur carok yaitu remo, dapat menjadi peredam konflik karena merupakan tempat berkumpulnya para jagoan desa. Carok bagi
masyarakat Madura bukanlah sebagai perbedaan yang perlu dinilai negatif atau dipertentangkan.
Tetapi Carok dipercaya sebagai tradisi yang membantu masyarakat memperoleh kembali harga dirinya, dan opsi penyelesaian konflik yang paling ampuh meskipun bersifat sesaat adalah konsekuensi sebagai Bangsa yang besar dan terbentuk dari perbedaan yang tidak terhitung bentuk dan jumlahnya, maka, masyarakat di luar etnik Madura perlu memahami perbedaan itu tidak dari kacamata mayoritas tetapi sebaliknya dari kacamata minoritas.
Bahwa negara harus memperbaiki wibawanya sebagai aparatur yang baik dan bertanggung jawab kepada rakyatnya, dengan memiliki itikad baik memperbaiki dirinya, terutama menegakkan hukum yang adil.
Sejarah Carok
Carok dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad ke-18 M. Carok
merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
Pada zaman Cakraningrat, Jokotole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan
menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera, seorang mandor tebu dari Pasuruan yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Carok dalam bahasa Kawi Kuno artinya perkelahian. Pertengkaran tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawjah pemerintahan Jokotole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan
Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.
Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada
abad ke-18 M. Setelah Pak Sakera tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater
(jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu.
Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit.
Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian. Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka
bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan. Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda.
Carok: Hak, Harga Diri dan Wanita
Tiang penyangga kuatnya tradisi Madura tak lepas dari prinsip “Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata“ maksudnya lebih baik mati daripada menanggung malu. Ungkapan ini berlaku demi untuk mempertahankan martabat, hak dan harga diri sebagai orang Madura. Dan biasanya timbulnya perselisihan tidak lepas dari permasalahan lingkungan dan wanita.
Dan tentang wanita sendiri, bagi laki-laki Madura mendapat tempat tertinggi, karena dari wanitalah kaum pria di Madura menjadi lebih bersemangat, dan dari kaum wanita pula dapat menimbulkan pembunuhan. Karena tingginya kedudukan wanita Madura, maka kaum wanita khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambang melati. Maka tak heran falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan “duh tang malate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari.
Jadi kalaupun dalam suatu peristiwa carok lantaran wanita hal itu telah merupakan kenyataan yang tak mungkin dihindarkan. Demikian pula masalah hak. Permasalahan ini erat kaitannya dengan permasalahan linkungan yang dijajah atau diganggu oleh pihak lain. Dalam wujud ini, biasanya banyak dikaitkan dengan permasalahan irigasi yang merupakan penentu kelangsungan hidup bagi masyarakat setempat. Karena hanya air yang menjadikan mereka dapat bertahan.
dengan kata lain bisa disebut semacam emansipasi pembawaan naluri. Seorang istri mampunyai peran dan tanggung jawab yang sangat penting untuk menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Mereka bersama-sama turun ke lading membanting tulang dan memeras keringat hingga “ agili pello koneng “ (mengalir keringat kuning), maksudnya bekerja keras sampai tuntas. Rasa kebersamaan kerja ini juga berlaku dipasar, dilaut, atau juga dimana saja sang suami membanting tulang.
Namun demikian satu kelebihan wanita Madura, tugas-tugas yang lain, baik sebagai ibu dari anak-anaknya maupun sebagai pendamping suami dari menyiapkan makan dan minum maupun tetek bengek lainnya, sang istri akan selalu setia melayani. Tetapi di dalam persamaan hak tersebut, wanita Madura menurut tradisi harus selalu hidup dibawah kekuasaan pria (suami). Artinya wanita Madura harus tunduk, patuh, taat dan menyerah pada kemauan suami dan tidak dibenarkan untuk menolak maupun membantah. Bahkan untuk menentukan perkawinan diteruskan atau diputuskan. Dan apabila suami tidak mampu memberikan keturunan, biasanya sang suami mengambil inisiatif untuk menalak atau kawin lagi dengan alas an demi meneruskan keturunan.
Demikian pula sebaliknya sang suami tidak akan merestui bila istri berkehendak minta cerai. Kecuali bila suami melepaskan dengan suka rela. Tapi hal itu jarang dan sulit terjadi, karena menyangkut prestise dan harga diri sebagai laki-laki yang harus dipertahankan. Kalaupun sampai terjadi, maka akan berakibat buruk dan berkepanjangan, terutama kalau perkawinan terjadi antar keluarga. Hubungan keluarga akan menjadi retak. Akibat yang lain bila suatu ketika bekas istrinya kawin lagi dengan pria lain, maka tak ayal akan terjadi dan timbul permusuhan, cemburu dan sakit hati bekas suaminya. Apalagi dikemudian hari bekas istri menemukan kebahagiaan lain
Pada prinsipnya, suami Madura biasanya bersikap keras dan tegas dalam membela
kehormatan dan kesudian istrinya. Dan umumnya pangkal utama timbulnya perselisihan dari kaum wanita. Sehingga tak heran timbulnya carok, kadang hanya masalah sepele, yaitu lantaran bekas istri dilamar atau dikawin dengan laki-laki lain.
Terkadang konflik antara dua orang biasanya merembet melibatkan orang lain, antar keluarga, kerabat bahkan sampai melibatkan semua penduduk kampong. Peristiwa carok antar kampong yang cukup mengerikan pernah terjadi beberapa tahun lampau, tepatnya di Bangkalan. Carok masal itu terjadi antara penduduk desa Bilaporah dengan penduduk Jodih saling berhadapan dengan clurit ditangan. Dan akibatnya 5 orang tewas serta beberapa puluh lainnya luka-luka parah. Kejadian ini sempat menggegerkan masyarakat Bangkalan khususnya, hingga membuat Bupati, Polisi, Tentara dan para ulama prihatin dan turun tangan. Dan banyak contoh-contoh lain yang kerap terjadi peristiwa carok di pulau Madura maupun daerah-daerah lain di Jawa yang kebanyakan dilator belakangi oleh adat istiadat yang dibawa dari Madura.
seseorang tidak akan diketahui bila tanpa dibuktikan dilapangan. Jadi bila seseorang telah memungkinkan untuk menjajal ketinggian ilmunya, maka biasanya ia dengan sengaja
mengganggu ketentraman orang lain, baik mengganggu keluarga maupun istri seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan ilmu yang setara. Bila tak heran akan memancing dan merangsang emosi pihak yang keluarganya diganggu untuk menantang carok. Nah saat itu pula mereka mengadakan perjanjian menetukan waktu dan tempat bertarung dengan disaksikan beberapa orang/tokoh yang lain.
Sementara pendapat yang lain mengatakan, carok pada awalnya merupakan suatu bentuk permainan pentas yang dilakukan masyarakat Madura tradisional. Menurut cerita, pentas semacam itu tiap-tiap daerah mempunyai nama tersendiri. Di daerah Sampang menyebut “karja” di Pamekasan menyebut “ salabadan”, sedang di Sumenep disebut “pojian”.
Pentas semacam tersebut digelar dalam bentuk teater arena (semacam Lenong Rumpi). Jadi antara pelaku dan penonton tidak ada jarak, mereka bergantian tampil sesuai dengan karakter masing-masing dengan diiringi “saronen”, yaitu sejenis tabuhan yang biasa dialunkan sebagai pengiring kerapan sapi atau hajat lainnya, merupakan jenis music tradisional Madura.
Dalam gelar tersebut biasanya menampilkan nama-nama tokoh artificial sebagai pengantar cerita kepahlawanan yang menggambarkan tokoh-tokoh Madura seperti Sakerah, Ke’ Lesap dan sebagainya. Dalam babak tersebut diperagakan suatu bentuk perkelahian sebagai klimaks cerita.
Bahkan pernah sampai terjadi perkelahian sungguhan, dan mengakibatkan salah seorang
diantaranya tewas. Melihat latar belakang peristiwa tersebut, karena orang-orang Madura telah kadung di klaim sebagai orang yang berwatak keras, bringas dan “mbalelo”. Maka setiap perkelahian dan menjatuhkan korban yang dilakukan orang Madura, dianggap sebagai perkelahian carok.
Analisis Berdasarkan Kasus dan Hukum Nasional
Contoh Kasus:
KOMPAS.com (Kamis, 26 Juni 2014)
Muhamad Suwito (26), warga Kelurahan Pasir Kuda, Kota Bogor, tega menghabisi nyawa Dede Rahmat (28) dengan cara menyabet perut korban menggunakan sebuah celurit.
Menurut Kapolres Bogor Kota, AKBP Bahtiar Ujang Purnama, Suwito membunuh Dede karena sang istri berselingkuh dengan Dede. “Jadi tersangka menyabetkan celurit ke arah perut korban. Dia melakukan perbuatan tersebut karena emosi istrinya selingkuh dengan korban,” ucap Bahtiar Ujang di Mapolresta Kedung Halang, Kamis(26/6/2014).
Bahtiar menambahkan, Suwito membunuh Dede dibantu oleh empat rekan lainnya, Soleh (56), Samin (32), Rukun (65), dan Muhamad Sahlun (26). Sementara itu, satu orang lainnya atas nama Idi masih menjadi buronon.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Bogor Kota, AKP Condro Sasongko menjelaskan, peristiwa pembunuhan itu terjadi pada hari Rabu (25/6/2014) sekitar pukul 01.00 WIB. Pelaku membunuh korban di dalam angkot 03 Jurusan Baranangsiang-Bubulak.
Diduga, pembunuhan ini dilatarbelakangi tradisi “Carok Madura” di mana adat harga diri
seorang istri dibawa oleh laki-laki lain. “Sebelum eksekusi korban, para pelaku sudah melakukan perencanaan pembunuhan di rumah Muhamad Suwito yang merupakan eksekutor,” papar
Condro.
Hukum Positif yang dilanggar
Berdasarkan Hukum yang berlaku di Negara Indonesia atau sering disebut dengan ketentuan Hukum Nasional, jelas seperti bunyi pada Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan dangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.” Dan juga seperti asas “Equality before the law” yang menyatakan setiap orang sama kedudukannya dimata hukum, tidak membeda-bedakan secara subjektifitas, melainkan secara objektifitas.
Oleh karena itu hukum harus ditegakkan, tak peduli apapun alasannya (termasuk adat yang membolehkan), yang melanggar harus dihukum. Seperti pada contoh kasus diatas, beberapa ketentuan Hukum Nasional yang dilanggar adalah sebagai berikut:
Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Penjelasan: Pasal ini di kenakan, bersumber dari pernyataan atau pengakuan si tersangka “perencanaan pembunuhan di rumah Muhamad Suwito yang merupakan eksekutor” papar Condro. Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat di simpulkan bahwa si tersangka terlebih dulu merencanakan aksi pembunuhannya bersama rekan-rekan lainnya.
Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Penjelasan: Pasal ini berdasarkan kematian atau meninggalnya si korban, yang di sebabkan oleh para tersangka.
Pasal 351 Ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
“Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”